/ Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo
I. Pendahuluan
Kebijakan
“kembali ke nagari” sebagai strategi pelaksanaan otonomi daerah di
Sumatera Barat mengundang pembicaraan hangat publik. Tidak saja pasalnya
disebut-sebut implementasinya setengah hati, bahkan disebut
sebagai “lebih parah”, paradoksal dan dehumanisasi. Parodoksal,
teramati, dulu ketika pemerintahan desa melaksanakan UU 5/1979 dan Perda
Sumar No.13/ 1983, nagari tidak pecah dan kelembagaan adat esksis,
sekarang di era otonomi daerah melaksanakan UU 22/ 1999 diganti dengan
UU 32/ 2004 plus UU 08/2005 dan Perda 09/2000 direvisi Perda 02/2007,
justru nagari lama menjadi pecah dan dibagi
dalam beberapa nagari disebut dengan istilah pemekaran. Dehumanisasi,
teramati, niat pemekaran nagari hendak memudahkan urusan dan pelayanan
warga, justru menghadang bahaya besar, ibarat meninggalkan bom waktu
untuk anak cucu di nagari dan bisa meledak 5-10 tahun yang akan datang.
Kembali
ke nagari dan terjadi pemekaran nagari bagaimanapun ini sebuah
kebijakan. Permasalahanya bukan pada kebijakan saja, tetapi meliputi
sistim kebijakan itu yakni: kebijakan itu sendiri, lingkungan kebijakan
dan pelaku kebijakan. Dapat digarisbawahi pandangan Dunn (2001:67)
masalah kebijakan bukan saja eksis dalam fakta di balik kasus tetapi
banyak terletak pada para pihak/ pelaku (stakeholder) kebijakan. Artinya
pelaku kebijakan sering menjadi persoalan. Tak kecuali dalam
pelaksanaan kembali ke nagari yang kemudian tak dapat dihindari tuntutan
memecah nagari yang disebut pemekaran itu.
Pelaku
kebijakan (stakeholders) utama adalah pemerintah, masyarakat dan
swasta. Masalah itu muncul ketika matrik stakeholder itu kabur dan tidak
teraplikasikan sharing power ketiga stakeholders utama itu di
nagari. Fenomena ini diikuti timbulnya pertanyaan besar, yakni lahirnya
kebijakan, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, apakah
kebijakan berposisi blamming the victims (ketidakadilan sosial)?.
Fenomena
ironis dan menjadi isu otoda di Sumatera Barat dengan sistim kembali ke
nagari itu, fokusnya berada antara fakta – ideal geneologis dan
teritorial nagari. Idealnya kembali ke nagari ketahanannya menjadi kuat
terpleihara integritas, identitas dan keberlanjutan nagari itu, justru
sebaliknya nagari digambarkan sebagai disintegrasi mengancam identitas
dan keberlanjutannya terutama sebagai subkultur Minangkabau terdesak
dengan pilihan pemekaran yang diwadahi Perda.
LKAAM
sebagai bagian stakeholders utama dari unsur masyarakat adat, perlu
menjelaskan kembali “pemahaman tentang nagari” dalam bebarapa dua silang
pandang/ pendapat yang menjebak pro kontra. Pertama nagari faktor geneologis, kedua susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang, ketiga sejarah pembentukan kampung baru dan nagari, keempat sistim pemerintahan nagari (struktur dan perkembangannya, sarana prasarana, dan aset nagar), kelima
pro kontra pemekaran nagari era otoda dan banyak lagi hal penting
tentang nagari yang menarik dibicarakan dalam upaya pemahamannya secara
komprehensip.
II. Nagari di Minangkabau
2.1 Nagari faktor geneologis dan teritorial persekutuan hukum republik kecil
Nagari
Minang dominan faktor geneologis (pertalian darah). Beda dengan desa
Jawa, lebih dilihat dari faktor teritorial (wilayah). Suasana suku lebih
terasa di nagari Minang dibanding teritorial. Sungguh pun demikian
nagari yang merupakan sub kultur (budaya khusus) Minang tidak
mengabaikan wilayah. Nagari memiliki batas-batas wilayah nagari
yang kuat ditetapkan dengan sumpah satia moyang- puyang ketika nagari
baru dibuat. Dalam nagari itu tak setapak pun tanah tak bermilik: milik komunal
mulai dari ulayat nagari/ rajo, ulayat suku/ kaum/ penghulu, sampai
milik wakaf dan milik privat yakni ulayat pribadi/ berlaku hukum faraidh
(Islam).
Nagari
merupakan persekutuan hukum. Persekutuan hukum yang dimaksud
persekutuan warga yang terikat dengan satu kesatuan di mana warga antara
satu sama lain memandang sama dalam seluruh aspek kehidupan.
Sebagai
satu persekutuan hukum, ada kekuasaan, ada pemimpin yang bertindak atas
nama atau kepentingan kesatuan masyarakatnya. Karenanya nagari pernah
disebut Belanda sebagai Republik Kecil, seperti negara kecil yang merdeka memiliki kesatuan negara dan kewarganegaraan.
Dapat
dipahami nagari Minang itu wilayah subkultur dan wilayah pemerintahan.
Tumbuhnya nagari dari persepketif historisnya, tidak membagi wilayah
pemerintahan yang luas, tetapi bermula dari keharusan pengadaan lahan
baru, kemudian dilahan baru itu diproses menjadi nagari (terdiri banyak
kampung dan sekurangnya 4 suku).
Sebelum
menjelaskan proses orang Minang membentuk kampung baru ke arah proses
pembuatan nagari baru, dijelaskan susunan masyarakat Minang.
2.2 Susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang
Susunan (organisasi) masyarakat Minang di nagari dapat dijelaskan dalam organ sbb.:
2.2.1 Paruik
Paruik sudah mempunyai persekutuan hukum. Kelompok paruik ini merupakan satu keluarga besar (famili).
2.2.2 Jurai
Jurai
ini berasal dari paruik yang sudah berkembang. Perkembangan paruik itu,
memicu timbulnya keharusan membelah diri menjadi satu kesatuan yang
berdiri sendiri, inilah disebut dengan jurai.
2.2.3 Suku
Suku merupakan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya setelah jurai. Organ masyarakat suku ini merupakan kesatuan-kesatuan matrilineal
baru di samping paruik asalnya yang bertali darah dilihat dari garis
ibu. Namun suku tidak merupakan satu persekutuan hukum, karena suku
dapat berpencar di lain wilayah. Artinya suku tidak terikat dengan
teritorial, tetapi diikat tali darah dari garis ibu. Karenanya di mana
saja suku yang merasa satu kesatuan masyarakat yang sama merasa setali
darah (badusanak).
2.2.4 Kampung
Kampung
adalah kelanjutan dari paruik. Paruik berkembang menjadi jurai. Di
samping paruik dan jurai berkembang lagi kesatuan matrilineal baru
seperti tadi disebut suku. Mereka mendirikan rumah berdekatan. Kelompok
rumah yang se-paruik, se-jurai dan se-suku disebut kampung.
2.2.5 Nagari
Nagari
kelanjutan dari paruik, jurai, suku dan kampung. Bila di kampung lama
sudah habis tanah mendirikan rumah, keluarga besar sawah dan lahan
kering sempit, maka mereka mencari lahan baru. Lahan baru itu
dibersihkan (ditatak) menjadi Taratak. Bagian dari anggota paruik atau
jurai atau se suku dalam kampung lama ada yang ingin pindah ke wilayah
baru itu. Taratak berkembang menjadi dusun. Dusun memiliki wilayah pusat
bernama Koto. Mereka yang se paruik, sejurai atau sesuku mendirikan
rumah pula berdekatan, lalu munculan perkampungan baru. Lama kelamaan
kampung menjadi banyak. Ada disebut kampung kampai, kampung sikumbang,
kampung panai, kampung caniago dsb. Akhirnya bersama-sama para tuo
kampung mendirikan nagari.
3. Sejarah pembentukan nagari Minang
Tadi dalam susunan masyarakat nagari disebut nagari mulo dibuek
(mulai didirikan) berhubungan dengan lahan/ wilayah baru tak
berpenduduk. Bermula dari taratak, taratak menjadi dusun. Dusun menjadi
koto. Koto sebagai wilayah pusat perkampungan. Kampung-kampung bergabung
sepakat menjadi nagari baru. Jadi pembuatan nagari baru bukan membagi
wilayah nagari yang telah ada. Tetapi bermula dari mencari lahan baru
karena ruang hidup (lebensraum) sudah sempit. Tak ada lagi
lahan mendirikan rumah, tak cukup lagi sawah ladang yang ada untuk kaum
(paruik – suku). Lalu KK (Tunganai/ saudara lelaki tertua) diikuti
beberapa keluarganya dalam satu suku atau banyak suku mencari lahan
baru. Mereka berpisah dengan kampung asalnya meninggalkan sanak
saudaranya yang lain separuik atau sesuku. Di lahan baru itu mereka
berladang, meneroka sawah dan mendirikan rumah. Saat itu dimulai proses
pengembangan wilayah (resort) perkampungan baru.
3.1 Taratak
Prosesnya
bermula dari orang di kampung-kampung pada satu nagari lama. Dari
perspektif ekonomis, mereka pindah dan membuka lahan baru berladang jauh
dari nagarinya untuk memenuhi kebutuhan hidupannya. Dari perspektif
geostrategis, ruang hidup mereka di nagari lama sudah merasa sempit dan
perlu perluasan wilayah. Mereka membuka lahan baru jauh dari nagarinya.
Mereka membangun pemukiman disebut Taratak. Mereka membuat rumah,
meneroka sawah, mengolah ladang dan mengatur kebutuhan hidup dan sosial
budaya mereka. Setidaknya mereka terdiri dari dua suku. Pertalian dengan
kampung asal usul masih kuat dan utuh. Mereka masih bermamak dan
berpenghulu andiko ke kampung asalnya sebagai kepala keluarga dalam
masyarakat adat.
3.2 Dusun
Berproses
dari Taratak. Ketika wilayah Taratak berkembang, jumlah penduduk
bertambah pindah ke sana, rumah semakin bertambah, maka wilayah itu
diproses penduduknya menjadi Dusun. Syarat menjadi dusun itu setidaknya
ada 3 suku. Warga dusun ini masih bermamak ke kampung lama tempat asal
usulnya.
3.3 Koto dan Nagari
Lahirnya
Koto berproses dari Dusun. Ketika itu dusun telah punya penduduk yang
cukup rapat dan terus bertambah menjadi 4 suku. Mereka terus memperluas
perkampungan di sekitar wilayah itu. Mereka meneroka sawah dan membuka
lahan kering berladang. Mereka mendirikan perkampungan baru dan menjadi
banyak kampung yang berpusat pada Koto. Kampung-kampung dari daerah
pusat itu bersama-sama mereka membuat nagari. Kampung-kampung baru
menjadi nagari baru merupakan keberlanjutan hidup paruik baranak pinak
dan berkembang menjadi jurai. Di nagari baru ini saudara perempuan yang
banyak dalam kaum sesuku mendirikan rumah berdekatan/ mengelompok. Di
sini tempat kediaman tetap yang baru bagi paruik yang berpisah dari
keluarga di kampung lama. Hubungan selanjutnya tetap erat, diatur
kesatuan geneologis (suku – tali darah) yang tidak dibatasi teritorial
kampung lama dan baru. Di sini mereka menetapkan struktur baru
pemerintahan di wilayah nagari baru, KK (tunganai), penghulu andiko, tuo
kampung/ jorong, penghulu 4 suku dst.
Dapat
dicatat, Taratak, Dusun, Koto bukanlah struktur nagari tetapi proses
pengembangan wilayah menuju terbentuknya kampung baru sebagai wilayah
utama nagari. Yang menjadi struktur wilayah nagari adalah (1) Kampung/ Koghong (Korong/ Jorong) dan (2) Nagari.
Nagari
lama tidak dapat dibagi/ dipecah meskipun luas karena sudah menjadi
wilayah subkultur dan persekutuan hukum. Budaya Minang tidak baik
mendirikan kampung – nagari dalam kampung – nagari. Apakah kearifan
lokal (local genius) Minang seperti ini, Minang tidak menuntut sebagai
daerah istimewa, di samping memang kuat tekan luar yang tak tersongsong
arus Minang. Namun yang jelas, budaya Minang kalau ingin membuat kampung
harus membuka lahan baru jauh dari kampung induk meski harus menguatkan
tali hubungan darah. Setidaknya budaya (kode prilaku) Minang tak mau
bikin kampung di tengah kampung seperti ini dapat menyertai (menengahi?)
polemik wartawan senior Marthias Pandoe (Padang Ekspres, Jum’at 24 Okt
2008) dan pakar budaya Suryadi (Padang Ekspres Selasa 28 Okt 2008)
tentang orang Minang ke mana pun Merantau tidak pernah membuat kampung
Minang di kota/ negeri rantau seperti Kampung Jawa, Cina, Keling, Nias,
Bugis dan kampung lainnya yang ada di kota-kota besar. Sebab itu pula
pemekaran nagari memasuki wilayah pro kontra.Yang kental geneologis dan
budaya adatnya pasti tak mau (kontra) dan longgar mengantarkan prinsip
setuju (pro).
4. Sistim pemerintahan nagari
4.1 Struktrur, sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari
Secara umum pemerintah nagari di Minang diatur dengan Undang-Undang
Nagari (bagian dari UU nan-4 Minang). Yang diatur tidak saja struktur
tetapi juga sistem pemerintahan nagari yang mandiri, dieksplisitkan
dalam rukun, syarat dan syiar nagari.
4.1.1 Rukun nagari, nilainya dalam undang-undang dalam bentuk petatah sbb.:
Rang gadih mangarek kuku
Pangarek pisau sarawik
Pangabuang batang tuonyo
Batangnya ambiak ka lantai
Nagari baampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang bamamak ba nan tuo
Rumah dibari batunganai
(anak gadis memotong kuku
Pemotongnya pisau serawik
Pemotong batang tuanya
Batangnya diambil untuk lantai
Nagari harus ada 4 suku
Dalam suku ada keturunan se perut
Kampung punya mamak dan punya ketua kampung
Rumah ada lelaki sulung)
Nagari sebagai wilayah subkultur, sejak dahulu sudah memiliki alat kelengkapan pemerintahan. Struktur pertama dari bawah rumah batunganai sebagai Kepala Keluarga (saudara lelaki tertua/ mamak tertua dalam paruik). Kedua bamamak yakni mamak kaum sebagai penghulu andiko/ dipilih dari Tunganai, ketiga kampung ba nan tuo yakni Tuo Kampung (Kepala Jorong) dipilih dari penghulu andiko, keempat kepala tali darah (suku) dipimpin penghulu suku nan-4 di nagari.
Struktur ini terlihat pada petatah (tata pemerintahan) dalam Undang Undang Nagari Minang di atas. Pertama penghulu 4 suku, kedua tuo kampung, ketiga penghulu andiko, keempat kepala keluarga/ tunganai/
mamak paruik yang tertua. Dari petatah tadi juga terbaca sistim
pemerintahan, kerukunan nagari otoritas 4 suku, tuo kampung, penghulu
andiko, dan tunganai/ anak lelaki sulung yang berfungsi sebagai KK
dengan tugas sebagai pengawas harta benda kaumnya. Penghulu 4 suku
memilih ketua KN (Kerapatan Nagari), ketua kerapatan
nagari langsung menjadi Kapalo Nagari (Penghulu Palo). Struktur ini
berkembang sesuai kelarasan dan demokrasi Minang yang dianut nagari,
nanti dijelaskan dalam perubahan sistim pemerintahan nagari.
4.1.2 Syarat nagari
Balabuah batapian
Babalai ba musajik
Bagalanggang bapamedanan
(punya jalan dan tepian tempat mandi
Punya balai-balai tempat bermufakat dan punya masjid
Punya gelanggang tempat bersilat)
Butir
Undang Undang Nagari ini mengariskan sarana dan prasarana pisik sebagai
syarat vital harus dimiliki Nagari. Sarana dan prasarana vital itu:
(1)
jalan, (2) pemandian, (3) balai-balai/ gedung pertemuan (tempat
musyawarah), (4) masjid, (5) gelanggang (tempat latihan bela diri) dan
(6) pemakaman Nagari.
4.1.3 Syiar nagari
Rangkiang nan tinggi manjulang
Sawah nan bapiring bapamatang
Ameh jo perak nan batahia batimbang
Kabau jo bantiang nan banyak di padang
(rangkiang yang tinggi menjulang
Sawah luas punya petakan dibatasi pematangnya
Emas dan perak banyak
Kerbau dan jawi banyak di padangnya)
Butir Undang Undang Nagari ini mengatur sarana prasarana serta aset ekonomi nagari disebut sebagai dapat menghidupkan syiar
(semarak) nagari yang menunjukan kesejahteraan rakyat dan aman
kemakmuran. Sarana dan aset ekonomi nagari itu yang mesti diadakan: (1)
rangkiang (lumbung gabah/ beras), (2) lahan basah (sawah), (3)
masyarakat memiliki perhiasan (emas dan perak), memiliki ternak (kerbau
dan jawi) serta padang rumput tempat pengembalaannya.
Simpul kecil struktur, sistim dan sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari dapat dieksplisitkan dalam 8 butir sbb.:
(1) Babalai – bamusajik:
punya rumah adat tempat bersidang membuat mufakat dan masjid untuk
tempat beribadat dan pusat budaya ABS-SBK dengan aplikasi SM-AM (Syara’
Mangato – Adat Mamakai).
(2) Basuku – banagari: punya 4 suku, struktur tertinggi nagari yang punya otoritas memberikan jaminan berkembangannya suasana kehidupan bernagari.
(3) Bakorong – bakampuang: punya korong (lingkaran inti)/ jorong) kampung sebagai bagian wilayah utama nagari.
4) Bahuma – babendang: punya rumah gadang tempat berteduh paruik dan punya penerangan kampung yang cukup.
(5) Balabuah – batapian :
punya prasarana jalan untuk mengakses nagari dan punya tepian tempat
pemandian. Sekarang tepian mungkin sebagian sudah dipindahkan ke dalam
rumah dalam bentuk kamar kecil/ kamar mandi yang indah yang sifatnya
privat, menggusur dan tak menganggap penting lagi pemandian yang komunal
(milik kaum).
(6) Basawah – baladang : punya
aset ekonomi nagari sawah – ladang yang luas termasuk perhiasan (emas
dan perak) dan ternak (kerbau dan jawi) dengan padang pengembalaan.
(7) Bahalaman – bapamedanan : rumah kediaman punya halaman dan gelanggang pemainan anak nagari atau sasaran silat.
(8) Bapandam – bapakuburan : punya komplek pemakaman nagari tempat berkubur anak nagari).
5. Perkembangan sistim pemerintahan nagari
Sistim
pemerintahan nagari berkembang sejalan dengan sistim demokrasi dan
kelarasan serta perubahan yang terjadi di nagari. Sistim itu meliputi
struktur, SDM dan mekanisme organisasi (manajemen) pemerintahan nagari.
Perubahan sistim pemerintahan nagari itu banyak ditulis penulis Minang
(a.l. AM Dt. Batuah, Dt. Sanggono Dirajo, Bahar Dt.Nagari Basa, AA
Navis, Dr. Chairul Anwar, A.Dt. Rajo Mangkuot dll.) setelah dibanding
dan dikombinasikan liputan para penulis itu dapat dijelaskan sbb.:
1.1 Nagari tradisi-1 menganut demokrasi kelarasan Koto Piliang (Dt. Ketumanggungan) abad ke-8 menggambarkan :
- Nagari otonomi
-
Pemerintah Nagari (Eksekutif dan Legislatif). Struktur pemerintahan
(eksekutif) Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4
suku) dan Rakyat (Paruik, Jurai dan Kaum Suku). Struktur pemerintah
(legislatif) adalah Ketua KN, Kumpulan Penghulu dari Kampung/ Jorong
plus penghulu kaum dan rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) dipimpin penghulu pucuk diplih dari penghulu anggota KN
- KN berfungsi legislatif
-
Ketua KN langsung menjadi Kapalo Nagari (eksekutif) dan diberi hak
mengangkat perangkat nagari dengan struktut/ formasi sesuai kebutuhan.
- Peradilan nagari (yudikatif) diangkat dengan mufakat Kapalo Nagari dan KN
- Sandi hukum adat: adat basandi alua jo patuik, alam takambang jadi guru.
1.2 Nagari tradisi-2 menganut demokrasi kelarasan Bodi Caniago (Dt. Perpatih nan Sabatang sampai Adityawarman):
- Sudah otonomi
- Pemerintah
Nagari (Eksekutif dan Legislatif). Struktur pemerintahan (eksekutif)
Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4 suku) dan
Rakyat (Paruik, Jurai dan Kaum Suku). Struktur pemerintah (legislatif)
adalah Ketua KN, Kumpulan Penghulu kaum dari kaum di Kampung/ Jorong dan
rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) wakil penghulu kaum diplih dari kumpulan penghulu kaum
- KN berfungsi legislatif
- Ketua
KN langsung menjadi Kapalo Nagari (eksekutif) dan diberi hak mengangkat
perangkat nagari terdiri dari: manti (sekretaris), cati, bandaro, parik
paga, pendidikan dan peradilan.
- Peradilan nagari (yudikatif) menjadi perangkat nagari diangkat Kapalo Nagari bersama KN
- Sandi adat tetap seperti nagari tradisi-1
2. 1803-1837 pasca tradisi dan penguatan pengaruh Islam
2.1 Nagari tawaran ulama
- Otonomi
- Pengaruh Islam lebih menguat
- Pemerintahan
nagari eksekutif, legislative dan yudikatif. Ada pemisahan kekuasaan
trias politika: Dewan Nahi (Yudikatif) wakil fungsionaris Tungku Tigo
Sajarangan, Badan Ulil Amri (Eksekutif) dan Dewan Amar Ma’ruf (Legislatif).
Ketiga Dewan/ Badan ini dipilih umat (rakyat). Cerminan nilai tali tigo
sapilin (syara’/ anggo tanggo, undang/ raso pareso, aturan/ hukum adat/
alua jo patuik), dijalankan fungsionaris tungku tigo sajarangan: ulama,
penghulu, cadiak pandai dilembagakan dalam KN.
Struktur: Badan Ulil Amri/ Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung,
Penghulu Kaum dan Umat (Rakyat). Perangkat nagari: manti (sekretaris),
bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan, kapalo kampong/
jorong dan kaum membantu.
- Penghulu + ulama dipilih wakil untuk duduk di legislative dan yudikatif serta eksekutif/ kapalo nagari.
- Kapalo Nagari terbitkan aturan adat salingka nagari
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM
2.2 Nagari ABS-SBK
- Otonomi
- Aspirasi perjanjian Marapalam (771 H)
- Pemerintahan
nagari eksekutif (Kapalo Nagari), legislatif (KN: wakil NM, AU dan CP
dipilih kerapatan NM,AU,CP. Kerapatan NM, AU dan CP dipilih Kerapatan
NM,AU dan CP) dan Yudikatif (Peradilan Nagari).
- Struktur: Kapalo Nagari (dipilih t-3s), Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum dan Rakayat.
- Perangkat nagari: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Tingkatan
pemerintahan: (1) Minangkabau (rajo 3 selo + basa 4 balai), (2) Luak
(koordinator kelarasan), (3) Lareh (federasi nagari-nagari dipimpin
kapalo lareh), (4) Nagari (kapalo nagari), (5) Jorong (kapalo jorong),
(6) kampung (kapalo kampung/ jika perlu), (7) kaum (kapalo kaum), (8)
kerabat (mamak rumah), (9) paruik (ibu tertua), (10) rakyat (anak
kapanakan).
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM
3. 1837-1942 Masa Belanda, pasca Perang Paderi sampai masuk Jepang
Nagari berdasarkan Stb774 th 1914 dan Stb 667 th 1918
- Nagari tidak otonomi lagi
- Sudah
struktur bawah dari Ass. Residen. KN (legislative, wakil t32: NM,AU dan
CP) semula setara dan setangkup dengan pemerintahan nagari strukturnya
seperti ditempatkan di bawah Kapalo Nagari. Kapalo Nagari sekaligus
ketua KN (Stb 774 th 1914). Kapalo nagari dipilih t-3s dikukuhkan SK
Residen Weskust Sumatera an. Pemerintahan Hindia Belanda (Stb 667 th
1918).
- Kapalo nagari dipilih
- Struktur lengkapnya (1) Residen Sumatera (2) Ass. Residen, (3) Nagari Hoofd, (4) Kapalo Jorong, (5) Penghulu kaum, (6) Rakyat.
- Perangkat nagari: juru tulis, peradilan, bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Kepala nagari dipilih Kerapatan Nagari (penghulu) digaji
- Penghulu ba-SK
4. 1942-1945 era Jepang sampai masa kemerdekaan
- Nagari sistem militer
- tak otonom
- Kapalo Nagari ditunjuk Jepang
-
KN (Legislatif) dibiarkan jalan begitu saja tapi tak dihormati,
anggotanya terjaris kerja paksa ke logas, KN tidak bisa melindungi.
- Sandi adat ABS-SBK tidak dihormati
- Kepala nagari penghulu dipilih masy. diangkat jepang
5. 1945 – 1979 masa Kemerdekaan, Orla dan Orba
5.1 Nagari Sumatera Barat (Maklumat Residen Sumbar 20/21 th 1946) sejak revolusi –orla.
- Nagari wil. pemerintahan terendah dalam sistem NKRI
- Kepala nagari dipilih KN dari t3s diangkat pemerintah.
-
Pem. Nagari terdiri dari (1) Kapalo Nagari, (2) DPN (Dewan Perwakilan
Nagari) sebagai legislatif wakil t3s: NM, AU dan CP dan KN tidak
dieksplisitkan dan (3) Peradilan Nagari (PN) sebagai yudikatif.
- Struktur: (1) Kapalo Nagari, (2) Kapalo Jorong, (3) Penghulu kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat Kapalo Nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.2 Nagari Sumatera Tengah 1949
- tak otonomi
-
Pemerintah nagari: (1) wali wilayah (eksekutif) dipilih dari t3s NM, AU
dan CP, (2) DPR Wilayah (legislatif wakil t3-s NM, AU dan CP ), KN juga
hilang dan (3) Peradilan Nagari (yudikatif) diplih dari t-3s.
- Struktur pemerintah nagari: (1) Wali Wilayah (langsung ke Bupati), (2) Kapalo Jorong, (3) Kapalo kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.3 Nagari perubahan
- tak otonomi
-
Wali wilayah dirubah menjadi Wali Nagari, DPRWilayah dirubah menjadi
DPRN, peradilan ditiadakan. Struktur kepala kaum dirubah menjadi
penghulu kaum.
- Perangkat diperbanyak termasuk kaur pembangunan.
5.4 Nagari 1959 (Instruksi Peperda No. 02.462.1963 dan SK Gub. No. 32/Desa/GSB/59
- tak otonom
- Pem. Nagari terdiri dari (1) Kepala Nagari dan (2) BMN.
- Rubah
struktur, (1) wali nagari dirubah menjadi kepala nagari (lengsung
terstruktur ke camat), (2) DPRN bagai legislatif dirubah menjadi BMN
(Badan Musyawarah Nagari) berada di bawah struktur Muspika di tingkat
kecamatan. Anggota BMN ditunjuk Muspika dari 10 unsur masyarakat: adat,
agama, FN (fron nasional), LSN, koperasi, wanita, tani/ nelayan, buruh,
pemuda dan veteran.
- Kepala Nagari disyaratkan surat TTT PRRI dari Kodam 17 Agustus.
5.5 Nagari Orla (SK Gub No 32/GSB/59)
-
Perubahan Kepala Nagari dirubah lagi Wali Nagari dan BMN diganti DPRN
bawahan dari Muspika di tingkat kecamatan (camat, koter kec., polisi
kecamatan). Sivil dikomandoi militer.
5.6 Nagari 1968 (SK Gub. No. 15/GSB/68)
- tak otonom
- struktur sama dengan SK Gub 32/GSB/59.
6. 1979 – 1999 era pemerintahan desa
(UU 5/1979 + Perda Sumbar No.13/ 1983)
- Nagari tetap wilayah adat, pemerintahan desa setingakt jorong/ kampung di nagari.
- Desa wilayah adm pemerintah terendah dalam NKRI (perspektif politik)
- Nagari menjadi ideal: lembaga persekutuan hukum adat (perspektif subkultur)
- KAN
(Kerapatan Adat Nagari) dihormati tertinggi di nagari berfungsi
legislatif (lembaga demokrasi tempat bermusyawarah) dan yudikatif
(peradilan). Struktur (1) KAN di Nagari, (2) Tepatan KAN di tingkat desa
setingkat jorong/ kampong dan (3) penghulu kaum. Keanggotaan KAN 4
unsur: NM, AU, CP, BK.
- Kades diangkat pemerintah dan diberi honor.
- Struktur: (1) Kades di tingkat Jorong/ Kampung, (2) Penghulu Kaum dan (3) Rakyat.
7. 1999 – era reformasi sekarang
7.1 Nagari mengacu UU No. 22/1999+ Perda 9/2000)
- Otoda: sistim kembali ke nagari, nagari ganti mantel desa
- Otonomi setengah hati
- Nagari disetingkatkan desa di provinsi lain di Indonesia, akibatkan nagari terancam dipecah istilah politik pemekaran dengan berbagai motivasi dan pardigma.
-
Struktur: (1) Wali Nagari (bertanggung jawab ke Bupati), otonom seperti
raja kecil, (2) Kepala Kampung (nama di tempat lain juga ada Kepala
Jorong), (3) Rakyat.
-
KAN pasilitasi kembali ke nagari dan pasilitasi pembentukan DPN dan
BMAS. Wali Nagari dipilih rakyat dilakukan dalam event Pilwana dibentuk
DPN, Wali Nagari terpilih dilatintik Bupati dalam siding pleno DPN.
- KAN
masih dieksplisitkan tetapi kehilangan peran: sebab (1) dualisme dengan
BMAS yang memicu konflik nagari. Artinya fungsi legislatif dan
yudikatif KAN hilang. Apa mungkin KAN dan BMAS sebagai parelemen dua
kamar seperti Australia (majelis tinggi dan majelis rendah) juga belum
teridentifikasi, (2) menyamakan posisi KAN dengan lembaga unsur ulama,
bundo kandung, cadiak pandai dan pemuda, yang mengakibatkan posisinya
dijatuhkan dan tidak dihormati dalam pertarungan politik. Seharusnya KAN
itu di dalamnya semua unsur itu. Kalau pemilihan DPN dan BMAS, calon
KAN justru yang dicalonkan 4 unsur lainnya itu.
7.1 Nari mengacu UU 32/2004+ UU 8/2005 + Perda Sumbar No.2/2007)
- Keadaan tidak berubah, malah pemekaran nagari makin memasuki kancah pro kontra
-
Kalau sebelumnya KAN kabur dengan DPN dan BMAS, sekarang dikaburkan
dengan Bamus (Badan Musyawarah Nagari) dan disejajarkan dengan
kelembagaan pemuda, alim ulama, Bundo Kandung dan Cadiak Pandai,
berakibat banyak memicu konflik dalam pemilihan Bamus bahkan pemuda
(kapanakan) terjadi mandago mamak/ melawan hokum adat.
- Komitment nagari sebagai subkultur semakin kabur.
Mencermati
perjalan sejarah sistim pemerintahan nagari, terlihat dua bentuk
sistim. Pertama pemerintahan nagari perspektif kenegaraan setangkup
dengan pemerintahan adat, kedua pengaburan pernan kelembagaan adat dalam
pemerintahan nagari.
Pemerintahan
nagari setangkup dengan adat, terlihat dieksplisitkan kelembagaan adat
yakni KN kemudian KAN dan jelas pendistribusian kekuasaannya. Ada 6
periode sistim pemerintahan yang secara ekplisit memerankan KN/ KAN, (a)
peran ganda legislatif dan yudikatif yakni (1) era pemerintahan nagari
tradisi (masa Dt. Katumanggunan dan (2) era Dt. Perpatih nan Sabatang)
dan (3) era pemerintahan desa (UU 5/1979 + Perda 13/ 1983), (b) peran
legislatif saja pada era pemerintahan nagari ABS-SBK pasca perjanjian
Marapalam (771 H) dan era pelaksanaan Stb 774/1914 – Stb 667/ 1918,(c)
kabur peran kelembagaan KAN yang dieksplisitkan di era Otoda “kembali ke
nagari” pelaksanaan UU 22/ 1999 + Perda Sumbar 9/ 2000 karena
legislatif diadakan DPN dan yudikatif diadakan BMAS; (d) peluang
berperan yudikatif, karena Bamus diperankan sebagai legislatif di era
pemerintahan nagari sekarang pelaksanaan UU 32/2004 + UU 8/2005 + Perda
2/2007.
Pemerintahan
nagari yang tidak setangkup dengan adat dan kelembagaan KN tidak
dieksplisitkan yakni era (1) sistim ditawarkan ulama Islam dan adat inplisit
dinyatakan Kapalo Nagari terbitkan adat salingka nagari, (2) era
revolusi – orla KN diganti DPN sebagai legislatif dan Peradilan sebagai
Yudikatif, (3) era Sumatera Tengah KN diganti DPRW sebagai legislatif
dan Peradilan sebagai Yudikatif, (4) era Peperda o2.462.1963 + SK Gub
32/Desa/GSB/59 tidak ada KN diganti BMN bawahan Muspika Kecamatan terasa
intervensi militer, (5) Orla SK Gub 32/GSB/59 KN dengan BMN dan BMN
diganti DPRN bawahan dari Muspika dan era Orba SK.Gub 15/GSB/68 sama DPRN bawahan Muspika.
III. Menjelaskan pro kontra pemekaran nagari era otoda kembali ke nagari
Dari
perspektif nagari di Minang dan sistim pemerintahannya, sebenarnya
pemekaran nagari dalam pengertian sekarang, ada yang boleh boleh dan ada
yang tidak. Dibolehkan bila (1) nagari memanjang, tak sama asal usul,
tak sama monografi, tak kuat lagi hubungan tali darah (paruik, jurai,
suku), (2) wilayahnya jauh dari nagari induknya dan atau memanjang akses
jalan melewati nagari lain seperti Kampung Mandeh dengan Nagari
Nanggalo atau Mudik Ayia dengan Nagari Duku di Tarusan melewati Nagari
Nanggalo dan Nagari Batu Ampa baru sampai ke nagari Duku.
Sejarah
punya nilai instruktif. Sejarah nagari menginstruksikan, tidak
ditemukan istilah pemekaran nagari Minang yang pengertiannya memecah
wilayah nagari yang luas (punya persekutuan hukum berdasarkan asal usul
yang sama) dan masyarakatnya yang tersusun dalam kesatuan hubungan tali
darah (paruik, jurai, suku) yang kaut, menjadi beberapa nagari baru.
Yang ada dan boleh pendirian nagari baru dengan wilayah baru dan
penduduknya dengan kemauan sendiri translok/ pindah ke sana dan wilayah
itu berproses menjadi nagari baru. Membentuk nagari itu dulu dan
mempertahankan persekutuan hukumnya dengan sumpah satia: “nagari
diwariskan ke anak cucu sampai hari kiamat dan menjaga integritas,
identitas dan keberlanjutannya, tak berubah sampai gagak putih”.
Namun
peluang masih ada kampung yang terbengkalai berproses menjadi nagari,
fenomena ini dimungkinkan boleh diproses menjadi nagari baru, dan ini
bukan pemekaran namanya, tetapi dilanjutkan prosesnya menjadi nagari
baru dengan sumpah satia yang baru. Misalnya Kampung Mandeh dalam Nagari Nanggalo, Kampung
Mudiak Ayia wilayahnya jauh dari Nagari Duku melewati Nagari Nanggalo
dan Nagari Batu Ampa atau juga mungkin seperti Lagan dll.
Mekar
nagari dalam pengertian memecah wilayah yang luas dengan mempersingkat
jarak dan membagi penduduk seperti yang menjadi sebuah fenomena pro
kontra, banyak mengahadang bahaya. Bom waktu bagi anak cucu di mana 5-10
tahun yad saja dimungkinkan bakal meledak. Hati-hati, kita bakal
menjadi moyang dan puyang. Pemekaran nagari induk menjadi banyak nagari,
lihat betul motivasi dan paradigmanya. Apakah karena keinginan
sementara pihak menjadikan basis politik dan kekuasaan atau karena mau
pembagian kue pembangun lebih banyak seperti desa dulu yang tanpa sadar
melumpuh semangat goro yang selama ini menjadi roh nagari?. Jan rusak nan banyak karano nan saketek
(sedikit). Jangan samapi rusak adat di nagari sebagai subkultur yang
dominan faktor geneologis yang intinya adat. Kembali ke nagari yang ada
saja (1 KAN:1 Wali Nagari) masih belum efektif pelaksanaannya karena
tidak banyak tahu sejarahnya dan memang sudah lama pula tidak
dipraktekan lagi kehidupan bernagari itu. Karenanya pula merevitalisasi
sistim pemerintahan nagari lama saja masih sulit (ya SDM, ya
manajemennya, ya kinerja aparaturnya) menjadi nagari mandiri, ditambah
lagi dengan masalah nagari baru yang harus pula membangun hal-hal yang
vital di nagarinya yang baru itu.
Taroklah dalam pemekaran itu lembaga adat tidak dipecah, hanya pemerintahan saja yang dipecah. Pertama
sudah berulang sejarah memisahkan adat dan pemerintah berbeda dengan
sistim nagari semula yakni pemerintahan adat dan negara setangkup. Kedua
bahaya akan menghadang, wali nagari banyak pada satu nagari adat (1 KAN
berbanding banyak Wali Nagari). Siapa yang menjadi komando, mungkinkah
dengan 1 KAN memberi kemudahan (tidak mengalami konflik) bagi Wali
Nagari yang banyak dalam pengambilan keputusan nagari yang intinya di
nagari Minang adalah musyawarah (rapek) dan hasil rapek itu yang
dijalankan? Banyak hambatan, ujungnya konflik dan membahayakan ketahanan
nagari (integritasnya, identitasnya bahkan keberlansungan hidupnya)
baik dilihat dari perspektif sistim sosial, sistim politik maupun sistim
ekonomi.
Dari
perspektif sosial, pemekaran nagari induk besar kemungkinan akan memecah
persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat Minang, adat akan
semakin dimarginalkan bahkan akan kaburkan peranan lelaki Minang
terutama ninik mamak yang sebenarnya amat diharapkan pemerintah.
Dari
perspektif politik, pemekaran nagari memicu konflik (1) antara lembaga
nagari yang ada dan (2) antara lembaga nagari dan kelembagaan adat. Kini
KAN satu, nagari baru mekar merasa sama besar dengan nagari induknya,
lalu mendirikan KAN baru pula, ujungnya konflik. Sebelum dimekarkan
saja, pendistribusian tupoksi antara KAN dan Bamus pun belum jelas.
Kalau tidak saling dewasa atau masih saling sama merasa besar di nagari,
akan menimbulkan perpecahan dan saling tak menghormati. Dalam satu
persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat 1 nagari adat (1
KAN) dimekarkan menjadi banyak nagari lambat laun memicuk lahirnya
konflik perbatasan nagari. Soal batas nagari yang ada (induk) saja belum
terselesaikan. Sebab dalam pespektif ilmu geopolitik, perbatasan rawan
konflik dan berhadapan dengan sahwat perluasan wilayah seperti diberi
peluang teori expansionisme Jellen.
Dari
perspektif ekonomi, satu nagari memanjang, dibagimekarkan, sungai
mengalir di sepanjang nagari induk dan nagari baru itu yang dulu satu.
Nagari yang di mudik mau berladang kacang, pengairan ditiadakan tani
kacang, nagari baru dihilir mau mengolah sawah, lalu bertabrakan
kepentingan ladang kacang satu nagari dengan kepentingan sawah di nagari
yang lain yang dulunya satu komando. Kapan itu sama-sama dapat air
mengeloah sawah bersama dan ladang kacang bersama dalam 6-7 nagari pada 1
KAN. Saat itulah konflik terjadi.
Konflik tak terselesaikan oleh 6-7 Wali Nagari : 1 KAN dan safety valve konflik tak ditemukan, maka kesatuan ekonomi terancam dan dalam adat Minang, fenomena ini disebut “tanda di nagari itu tak ado lai ba nan gadang”
(tak ada yang dihormati) dan sudah banyak komando, siapa yang mau
didengar. Mungkin akan lebih besar konflik misalnya ketika investor
masuk dan berhubungan dengan tanah ulayat, sulit mengambil keputusan
dengan 1 komando adat berbanding banyak wali nagari. Apalagi penafsiran
tanah ulayat itu kabur antara hak komunal dan privat, yang bisa
mengantarkan kepandangan yang salah menjual tanah ulayah ke investor dan
amat tercela sebenarnya di Minang. Tanah ulayat adalah investasi nagari
tak boleh dijual dan digadaikan, ibarat batang kayu, buah manisnya
boleh dimakan, batangnya tak boleh dijual/ digadaikan.
IV. Penutup
Punyang
Minang, cukup pintar manta persekutuan hukum dan menata kesatuan
kelompok sosial di samping faktor wilayah, ekonomi dan politik, dominan
faktor geneologis (mulai dari kelompok paruik, jurai, suku, kampung dan
nagari) serta arif dalam membentuk nagari dan melegitimasi serta
menciptakan ketahanannya dalam semua aspek kehidupan masyarakatnya
(ipoleksosbudhankam nagari) dengan sumpah satia: nagari diwariskan utuh sampai kiamat dan putiah gagak hitam nagari tidak akan berubah.
Artinya dari amanat sejarah, wilayah nagari yang luas, persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakatnya masih kuat tidak boleh dipecah dan dibagi menjadi banyak nagari seperti pengertian pemekaran nagari kini yang memasuki wilayah pro kontra anak Minang. Yang boleh dimekarkan,
adalah mengupayakan kampung yang jaraknya memanjang, akses jalan
berbelit, tidak kuat lagi pertalian asal usulnya, tak satu monografinya
karena puyangnya mencari lahan jauh dari nagari induk dan prosesnya jadi
nagari dulu mungkin terbengkalai.
Disarankan, nagari yang masih kuat persekutuan hukumnya meski wilayah luas dan penduduk rapat, pertimbangkanlah untuk pemekaran. Silahkan dimekarkan kampung menjadi nagari yang posisinya memanjang,
akses jalannya melewati nagari lain/ jalan sulit dan tak kuat lagi
pertalian asal usulnya dibuktikan tidak ada keharusan secara eksplisit
masyarakatnya bermamak berkapanakan kepada nagari induknya dalam
berbagai pelayanan ulayat dan putus pelayanannya pada paruik, jurai dan
suku di kampungnya itu. Artinya kampung itu dulu dimaksudkan menjadi
wilayah baru menjadi nagari, tapi terbengkalai menjadi nagari, karena
faktor hambatan kurang jumlah kampung dan jumlah suku.
Lebih penting lagi, disarankan melahirkan perda mengakomodasikan nilai adat, dengan proses memutuskan dan mengusulkan struktur pemerintahan terendah itu adalah kampung bukan nagari. Kalau mesti nagari juga, hindari kebijakan publik terperosok ke kancah blaming the victims
(ketidakadilan sosial), sebab lahir/ diundangkannya sebuah kebijakan,
pertanyaan penting yang muncul: “siapa yang diuntungkan dan siapa yang
dirugikan”. Hindari Perda membuat tak berdaya kelembagaan adat.
Perda nagari yang ada terasa memarjinalkan dan merugikan adat,
kelembagaannya dibuat tak berdaya contohnya KAN disamabesarkan dengan 4
lembaga nagari termasuk dengan lembaga pemuda (kapanakan) di nagari.
Perlu dijelaskan dalam adat, semua unsur di nagari (wali nagari, ketua
Bamus, ketua LPM, ulama, bundo kandung, cadiak pandai, tentara, polisi,
pns, anggota DPR/D dan semua fungsi dalam negara dan masyarakat termasuk
datuk/ penghulu sendiri sebagai ketua ninik mamak, adalah kalau sudah
“gadang” pasti berfungsi mamak, kalau masih “ketek” pasti “anak” atau
“kapanakan”. Kalau disamakan KAN misalnya dengan organisasi
pemuda di nagari, berarti memberi peluang pada anak kapanakan melanggar
hukum adat yakni mandago mamak. Bacalah konflik pemilihan
Bamus di nagari, KAN disamabesarkan dan terjebak bersaing dengan
organisasi anak kapanakan (pemuda) dalam pemilihan Bamus atau caleg di
nagarinya, akibatnya fatal, kepanakan tega memarjinalkan peran mamaknya
dalam persaingan kepentingan sesaat itu. Tapi kalau pemimpin
KAN-nya tahu dengan besarnya lalu dibuktikannya, KAN tak punya nama
calon di kantongnya dan mengakomodasikan apa yang diusulkan dari 4 unsur
di nagari: AU, BK, CP dan Pemuda lalu dikoordinasikannya, pasti aman
dan KAN tetap besar. Yang susahnya saling merasa besar, kata pemuda
lembaganya besar dan KAN tak sadar pula dengan posisi besarnya dan
bersaing dengan lembaga 4 unsur lainnya di nagari yang sebenarnya mamak
atau kapanakannya juga, berakibatnya gawat, kapanakan (pemuda) akan
terperosok mandago mamak (KAN). Kalau KAN menjatuhkan posisinya
sama dengan pemuda (kapanakan) lalu terjebak persaingan politik, dalam
politik praktis seperti yang ditemukan secara empiris oleh Machiavelli,
sah-sah saja saling menjatuhkan, meski kapanakan menjatuhkan mamak.
Tetapi dalam etika politik Minang tidak dibenarkan, fenomena itu mendago
(mendaga) mamak, melanggar hukum adat. Demo saja tidak pernah ada
berakar pada budaya Minang. Siapa saja yang penyaluran aspirasi dengan
tekanan demo, dari perspektif Minang, ketika demo itu mereka keluar dari
etika tak menjadi orang Minang. Sebab di Minang, tidak baik meneriakan
malu kepada orang, ajaran nilai adat: suku tak dapek diasak, malu tak dapek diagiahkan.
Penyelesaian sengketa/ kasus di Minang bertingkat dalam mekanisme informal adat, kasus privat diselesaikan mamak rumah/ paruik, penghulu andiko (mamak tertua di paruik), mamak jurai, mamak suku dan penghulu suku. Kasus komuninal diselesaikan tuo kampung (penghulu memimpin kampung yang dipilih dari penghulu andiko), mamak nagari dan KAN. Diyakini di Minang, tak ada kasus yang tidak bias selesai: tak ado kusuik tak akan salasai/ tak ado karuh nan tak kajaniah.
Kalau tak jernih juga, masih ada tingkat mekanisme formal dengan hukum
formal mulai dari peradilan pemerintahan nagari dengan penegak hukumnya
polisi dan peradilan negeri. Karenanya perankanlah ninik mamak dan berdayakan kelembagaan adat dengan akomodasikan perda (sekarang
di samping Bamus, diakui atau tidak KAN masih berpeluang menjadi
lembaga yudikatif, menyelesaikan sengketa adat/ nagari dalam mekanisme
informal adat). Kalau ninik mamak dan lembabaganya berperan, tidak bakal
mau lagi lelaki dewasa Minang (dalam semua fungsinya di pemerintah,
masyarakat/ adat dan di swasta di kampung dan di rantau) yang meragukan
peran ninik mamak. Karena sikap itu berarti laki-laki
dewasa Minang itu sudah tak jelas lagi status kelaki-lakiannya di
Minang, berarti ia sudah menggugat perannya sendiri sebagai lelaki
Minang, karena ia sendiri lelaki, kalau sudah dewasa ia adalah mamak,
meskipun tidak datuk. Datuk itu bukankah ketua Ninik Mamak dipilih ninik
mamak kaumnya dan dengan ninik mamak lainnya itu berhimpun di KAN
sebagai lembaga adat yang punya historis panjang dan penting di nagari
Minang.***
Painan, 29 Oktober 2008
Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo
Yulizal
Yunus Dt.Rajo Bagindo, LKAAM Sumbar- Biro Advokasi Hukum Adat, Syarak
dan Perundang-undangan. Ketua KAN Taluk, Batangkapas, Pesisir Selatan.
Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Balaiselasa, Lektor Kepala
Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Direktur Eksekutif
Institute for Research and Society Empowering. Direktur Penerbit IAIN-IB
Press. Makalah nara sumber an.LKAAM di DPRD Pesisir Selatan 29 Oktober 2008 (dasar surat Ketua DPRD No.005/412/DPRD-PS/2008, tanggal 15 Oktober 2008).
Nagari
sebagai pesekutuan hukum subkultur Minang tidak dapat mengabaikan
faktor teritorial (wilayah). Penetapan wilayah nagari ini pun dahulu
dengan sumpah satia moyang – puyang. Batas wilayah itu ditetapkan sejak
nagari baru dibangun di atas lahan yang baru di luar nagari yang sudah
ada (nagari lama). Dibatasi dengan alam, bukik nan badinding sailiran
aliran sungai dan juga ada bendera pohon tua, seperti batang durian,
batang jambu keling (duat) dsb.