Headlines News :
Diberdayakan oleh Blogger.
Guru Tulis
"Kalau saya pulang kampung, saya sering tiba-tiba meminta sopir berhenti di tengah jalan. Keluar dari mobil, menghirup aroma tanah ladang. Terkenang dengan masa lalu."
“tiada episode sejarah tanpa perjuangan pemuda”

(Yulizal Yunus)
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis

Pemerintah Berutang pada Sumpurkudus

Oleh Yulizal Yunus
Dosen fakultas Ilmu Budaya/Adab IAIN Imam Bonjol
Padang Ekspres • Kamis, 18/04/2013 12:28 WIB • 376 klik

PDRI (1948-1949) da­lam mempertahankan ke­mer­dekaan Republik Indonesia, menyisakan utang pada Sumpurkudus, khusus pada Halifah Dt Pa­duko Rajo, diukur sekarang ratusan juta. Utang itu dijan­jikan harus dibayar dalam surat per­nya­taan Mr Sutan Mohammad Rasjid, mantan Gubernur Militer Sumatera Barat dan Tengah merangkap Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pe­muda dan Perburuhan PDRI,  tertanggal 24 Oktober 1974 sebesar Rp 50 juta.

Ketua Yayasan Rajo Ibadat, Drs Azwir Maaruf Dt Sirajo, menyebut utang itu belum diba­yar pemerintah, mudah-mu­dahan pemerintahan tak mung­kir janji.

Fungsi Pemerintahan Da­ru­rat Republik Indonesia (PDRI) dalam penye­leng­gara­an peme­rintahan Republik Indonesia amat besar. Boleh disebut PDRI-lah yang menye­lamatkan roh kemerdekaan NKRI yang di­prok­lamirkan 17 Agustus 1945, meskipun ber­geril­ya keluar masuk hutan menggendong radio peme­rintah dan diburu Belanda. Pe­merintahan semen­tara PDRI (22 Desember 1948–13 Juli 1949) ini dibentuk dan dipim­pin Sjafroeddin Prawira­negara yang sekarang sudah dinya­takan sebagai pahlawan bang­sa. Pembentukan PDRI ini berdasarkan mandat sebagai hasil rapat kenegaraan pasca-Presiden Soekarno dan Wap­res Hatta ditangkap Belanda 19 Desember 1948.

Dalam pelaksanaan PDRI untuk membela ketahanan na­sio­nal (tannas), memper­ta­han­­kan identitas, integritas dan keberlanjutan NKRI,  Na­ga­ri Sumpurkudus, Keca­ma­tan Sum­­purkudus, Kabu­paten Sa­wahlunto/Sijunjung, Su­matera Barat menempati po­sisi pen­ting. Di nagari ber­pen­duduk yang kuat adat dan agama ini, pernah dise­leng­garakan kon­ferensi (sidang kabinet semen­tara) membi­carakan Perse­tujuan Roem Royen di Hotel Des Indes Ja­karta dipimpin Merle Coch­ran. Delegasi Belan­da dipim­pin Dr J H van Royen anggota Mr N S Blom, Mr A Jacob, Dr  J J van der Velde, serta empat orang penasihat. Delegasi In­do­nesia diketuai Mr Moh Roem dan wakil Mr Ali Sastroamidjojo dengan ang­gotanya dr Leimena, Ir Djuan­da, Prof Dr Mr Supomo, Mr Latuharhary disertai lima orang penasihat. Persetujuan Roem-Royen ini penting bagi penga­kuan kedaulatan RI kem­bali pada Konferensi Meja Bun­dar, 27 Desember 1949.

Dalam Surat Pernyataan Mr St M Rasjid tadi disebutkan bahwa pelaksanaan konferensi PDRI di Sumpurkudus bekas Kerajaan Rajo Ibadat Minang­kabau itu, Halifah Dt Paduko Rajo (mertua Prof Dr Syafi’i Maarif) dulu seorang kaya yang membantu memfasilitasi pem­bia­yaan dengan harta ben­danya sendiri. Tidak saja dana pem­biayaan konferensi, tetapi juga membiayai 200 prajurit dan pembesar PDRI, kabinet serta pengawal Mobrig yang ber­markas di rumahnya ketika itu. Fasilitas yang diberikannya di antaranya 100 ekor sapi dan kerbau, 100 ton beras, 100 ton gambir, belum dihitung kebu­tuhan pokok lainnya.

Utang itu bagi negara kecil, bagi warga dan nagari Sum­purkudus cukup besar. Ketika Halifah Dt Paduko Rajo ber­umur 70 tahun, ia dalam kea­daan sakit-sakitan. Pejuang ini membutuhkan biaya pengo­batan. Halifah memberi surat kuasa kepada anaknya Nasar Halifah untuk mengurus piu­tang­nya kepada pemerintah, seperti yang dijanjikan Mr St Mohammad Rasjid, Rp 50 juta (1974). Namun belum berun­tung, sampai hari ini belum diselesaikan pemerintah. Baik masyarakat maupun nagari, kata Drs Azwir Maaruf Ketua Yaya­san Rajo Ibadah Sum­purkudus, kiranya pemerintah di samping menyantuni ke­luar­ga Halifah Dt Paduko Rajo, juga mening­katkan bantuan perbai­kan mo­numen Bela Ne­gara PDRI di Sumpurkudus, di sam­ping situs sejarah dan warisan budaya lainnya di nagari ini.

Melihat fisik situs sejarah nagari bekas Kerajaan Rajo Ibadat ini, terkesan sekali me­mer­lukan peningkatan perha­tian khusus dan fasilitasi/ban­tuan untuk merehabilitasinya oleh pemerintahan. Tim “Pa­dang Ekspress Group” (“Pa­dang Today” dan “Padang TV” termasuk Majalah Mi­nang­kabau SAGA-PT Minang Alammedia Nusanatara) me­nga­dakan kun­jungan jurna­listik dan peduli situs sejarah ke Sumpurkudus, 26 Maret  2013. Kunjungan dipim­pin Sutan Zaili Asril, Presiden Direktur Padang Ekspres dan saya menyertainya sebagai Pe­mim­pin Redaksi SAGA, serta tokoh nagari Prof Sabiruddin Juli dan Ketua Yayasan Rajo Ibadat Azwir Maaruf. Kun­ju­ngan disambut wali nagari Sum­purkudus dan ninik ma­mak nan 34, serta masyarakat di kantor wali nagari.

Zaili berpendapat, nagari bekas kerajaan ini dapat mem­ber­dayakan dirinya dan me­nye­barkanluaskan kekayaan sejarah dan budaya Minang­kabau di sana. Tidak mesti hanya me­nung­gu pemerintah, tetapi de­ngan member­daya­kan kemam­puan nagari dan rantau yang ada. Tidak perlu besar-besar, cukup dimulai dari yang murah tapi meriah. Misalnya dalam waktu dekat dapat membuat buletin, dan blog khusus Sum­purkudus dengan menyertakan pelajar SMA. “Padang Ekspres Group siap membantu melalui Pa­dang Today membuatkan blog-­nya dan melatih SDM pela­jar, dengan cara Sum­purkudus mengirim pelajar ke Padang Today,” kata Zaili.

Nagari Sumpurkudus ini kaya dengan situs-situs sejarah dan budaya. Situ-situs ini pen­ting dan berharga di nagari ini sebagai aset nasional. Kare­na­nya, dipandang perlu segera mendapat pemugaran dan reha­bilitasi pemerintah dan pening­katan perlindungan, penyela­matan, pelestarian peninggalan kepurbakalaan oleh Balai Peles­ta­­rian Cagar Budaya. Di anta­ra­nya yang terpenting di sam­ping Mo­numen PDRI, Balai Adat La­buah Gajah, Menhir dan Ma­kam Syeikh Ibarahim, Ma­kan Sultan Alif Rajo Ibadat, Masjid Rajo Ibadat, Candi Tanah Bato.

Ada harapan besar ma­sya­rakat warga Nagari Rajo Ibadat ini. Wakil Ketua Panitia Mo­numen Bela Negara Sumbar Tuanku Bagindo M Leter, me­nyebutkan dalam minggu ini Sumpurkudus akan dikun­jungi Ketua Panitia Monumen Bela Negara Muslim Kasim Dt Sinaro Basa, Wakil Gubernur Sumbar beserta rombongan. Disebutkan akan memugar monumen PDRI Sum­pur­ku­dus ini seperti di daerah lain yang menjadi basis sejarah PDRI. Sebuah janji, kiranya tak mungkir. (*)

300 Pakar Arab dan Pariwisata Sumbar

Oleh Yulizal Yunus
Dosen Sastra Arab IAIN IB, Tim Perumusan RIP Pariwisata Sumbar
Padang Ekspres • Jumat, 23/08/2013

Menarik merespons kunjungan ilmiah ratusan pakar Arab, minggu terakhir Agustus 2013 ini, di­man­faatkan untuk promosi pa­riwisata Sumbar berbasis ABS-SBK (Adat Basandi Sya­rak, Syarak Basandi Ki­ta­bullah). Justru ini momentum tepat karena ja­rang sekali atau tak ban­yak wisatawan Arab datang ke Sum­bar.

Kunjungan pakar Arab tahun ini ke Sum­bar lebih separuh dari 300 orang, datang dari 18 negari di Timur Tengah termasuk dari Eropa dan negara-negara ASEAN, adalah dalam rangka kunjungan dan temu ilmiah bertajuk “International Conference” di Padang 27-31 Agustus 2013. Mereka adalah para guru (dosen/profesor) bahasa dan sastra Arab se-dunia, tergabung dalam IMLA (Ittihad al-Mudarrisiy al-Lughat al-Arabiyah ­/Persatuan Guru Bahasa Arab).

Sebenarnya, guru-guru ba­hasa dan sastra Arab yang ter­gabung dalam IMLA itu, sudah mempunyai agenda ta­hunan PINBA (Pertemuan Il­miah In­ter­nasional Bahasa Ara­b). Tahun 2013 adalah PIN­BA ke-8, pen­yelen­g­garaannya diper­cayakan kepada IAIN Imam Bonjol se­bagai tuan rumah.

Prof Dr Masnal Zajuli, ketua umum panitia International Conference, menyebutkan, dari 300 peserta direncanakan, dari luar negeri terutama Timur Tengah, ASEAN dan Eropa sudah mendaftar lebih dari separuh dari 18 negara. Di an­taranya Irak, Arab Saudi, Mesir, Yordania, Palestina, Yaman, Jerman, Nigeria, Malaysia, Fil­ipina, Brunei dan lainnya.

Para peserta “International Conference” ini sudah sampai di Padang, 27 Agustus. Saat itu mo­mentum dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan Sum­bar dalam acara malam taaruf, welcome dinner dan pem­bu­kaan International Conference sekaligus pelantikan pengurus IMLA Cabang Sumbar oleh IMLA pusat, sengaja diadakan di aula Gubernuran Sumbar, Jalan Jenderal Sudirman Padang. Sebelum International Conference dibuka Menteri Agama dan keynote speakers Menteri Pen­didikan dan Kebudayaan, Gu­bernur Sumbar Irwan Prayitno punya kesempatan me­ma­par­kan dan memperkenalkan po­tensi Sumbar, termasuk po­tensi wisata.

Padang pun mendapat ke­sem­patan besoknya, 28 Agustus, di Palanta Rumah Dinas Wali Kota Padang, untuk mem­per­kenalkan potensi Padang ter­masuk potensi pariwisata dan kawasan spesifik, seperti city tour kawasan Pantai Padang, kuliner keripik balado Mahkota, jembatan Siti Nurbaya, kota tua, Teluk Bayur, Unand, Bypass, PT Semen Padang dan lainnya.

Tak cukup di Padang, Bu­kit­tinggi pun mendapat kunjungan para wisatawan ilmu dari 18 negara, terutama Timur Tengah dan Eropa serta ASEAN ini, dengan objek daerah tujuan wisata (DTW) spesifik sebagai wisata ilmu, budaya dan alam. Dibidik kawasan MTI Candung sebagai pusat wisata ilmu, serta city tour lainnya di Bukittinggi seperti kawasan wisata alam Ngarai Sianok, Lobang Jepang, Jam Gadang, dan wisata budaya, shooping, sampai kembali ke Padang lewat Danau Maninjau menuruni Kelok 44 sering dise­but pengunjung Arab sebagai ka­wasan unik. Sumbar mem­pun­yai potensi wisata luar biasa baik budaya lokal dan adat mas­yarakatnya berfilosofi ABS-SBK, maupun wisata ilmu, sejarah, dan alam. Namun ken­dalanya, masih saja ada persepsi ketika menyebut wisata, terkesan mak­siat. Se­pertinya parawisata be­lum di­pahami secara luas se­luruh unsur masyarakat. Pa­dahal dalam Islam, perjalanan wisata itu disuruh dan dian­jur­kan karena punya benefit (man­faat) besar.

Dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW banyak dise­but manfaat perjalanan wisata, di antaranya ada lima manfaat perjalanan wisata itu: (1) ta­farruj al-hammi (refreshing), (2) iktisab ma’isyah (bisnis), (3) al-’ulum (kepentingan ilmu), (4) al-adab (kebudayaan/pera­daban), dan (5) shuhbat al-majid (mendapatkan teman yang baik/mitra seimbang). Karenanya, perjalanan wisata dianjurkan (safiruu–kamu laku­kanlah perjalanan wisata), dan dinyatakan sebagai sehat (safiru tashihhu/berjalanlah–berwisata agar sehat).

Islam juga menganjurkan DTW-nya sehat dan berkunjung (tamu) dipandang sebagai orang bertuhan, suka berbuat baik (muhsin) dipandu dalam tata krama nilai Islami damai seperti tergambar dalam QS Al-Baqarah 2:58), yakni (1) masuk secara prosedural (al-baaba) tidak boleh lewat preman dan lewat pintu belakang, (2) pengunjung mematuhi tata krama yang ada (sujjada), dan tak melanggar sopan santun, (3) pengunjung mencicipi kuliner (ma’kulat) setempat yang disukainya dan tak boleh meminta minuman dan makanan macam-macam tak lazim di daerah itu, dan (4) berbudi baik dan babaso indah (khiththah) dengan mendoakan orang-orang di DTW itu ter­bebas dari segala bentuk ke­sa­lahan. Sesungguhnya, nilai is­lami ini diamalkan dalam adat Minang seperti dinyatakan da­lam komitmen Syara’ Ma­nga­to–Adat Mamakai.

Kespesifikan Sumbar ini sebenarnya menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung, apalagi dari Timur Tengah. Momen langka ini semestinya tak dibiarkan lewat begitu saja. Tetapi, sedianya dimanfaatkan dan diisi dengan informasi po­tensi daerah, mem­pro­mosikan dan memperlihatkan segala aspek wisata Sumbar kepada parta tamu. Biar nanti se­kem­balinya para tetamu ini ke negara masing-masing, mereka dapat menyampaikan informasi kepa­da Kedubes dan warganya, bah­wa Sumbar merupakan DT­W terbaik bagi Timur Tengah dan patut dikunjungi. (*)

Menahan Diri Badunie

Oleh Yulizal Yunus
Diterbitkan 31 Juli 2012 di Singgalang

Dunia mesti
tapi tak harus badunie
yang melumpuhkan ketahanan diri
yang melupakan ukhrawi.  

Memasuki Ramadhan dan mengakhirinya saat menjelang Lebaran diperlukan upaya pemanasan dan penguatan ketahanan diri. Ibarat berolahraga diperlukan pemanasan dan diakhiri dengan penguatan dengan penyegaran mengatur pernapasan. Pemanasan dan penguatan ketahan diri di awal dan di akhir 
Ramadhan, bentuknya penguatan kualitas “menahan diri” dari dominasi godaan karakter badunie.
Badunie itu misalnya dalam mengawali Ramadhan, gengsi kalau tidak punya persiapan lebih memasuki Ramadhan atau merasa malu kalau tidak mengikuti sesuatu kebiasaan, meski secara substansi tanpa disadari ada yang melanggar norm syara’ (Islam) dan adat. Misalnya ada pelanggaran norma dalam tradisi maanta limau dan tradisi berlimau. Juga saat mengakhir Ramadhan, ada tradisi persiapan berbuka yang berlebihan. Kemudian menyambut hari raya dengan jebakan rayuan serba baru.
Balimau mengawali Ramadhan misalnya, bagian yang semarak dan dimanfaatkan dunia wisata, yakni meramikan DTW (Daerah Tujuan Wisata) dan menjadi objek wisata budaya yang awalnya bernuansa agama. Namun dalam pelaksanaannya terdapat prilaku yang melanggar nilai agama dan adat sendiri.  

Titik pelanggaran itu berada pada suasana takatsur (bermegah-megah) dan tafakhur (berbangga-bangga). Kesannya tidak mampu menahan diri bahkan ketahanan dirinya lumpuh. Ada tradisi balimau di daerah setempat yang daerahnya sudah menjadi DTW. Ada tradisi ke tempat-tempat sumber air (sungai, mata air, pincuran, lubuk dan lainnya).
Kebiasaan di satu daerah tadi seperti maanta limau dan balimau terkesan melanggar nilai saat terjadi pertarungan besarnya dulang limau yang diantarkan. Pertarungan itu menimbulkan gengsi, ada rasa takut menjadi gunjingan kalau limaunya tidak besar dulang bawaannya. Akibatnya memaksakan diri mengadakannya.
Lain pula halnya berlimau berkunjung ke sumber air. Berjalan ke sana dengan hati ria, berpacu dalam kerumunan massa, anak muda ugal-ugalan dan kebut-kebutan, tidak jarang menimbulkan korban di jalan raya. Lalu di lokasi di alam terbuka mandi campur laki dan perempuan yang bukan muhrim. Bahkan sengaja pacaran mandi bersama seperti pasangan suami istri, padahal belum menikah. Ada akibatnya, terperosok ke kancah skandal bahkan memicu kekerasan dan pemerkosaan.
Fenomena tadi tidak baik. Simpul kecil, tak mampu menahan diri yang seharusnya sudah dimulai dari awal Ramadhan. Karakter menahan diri harus dipertahankan dan diperkuat, sehingga terbentuk “ketahanan diri” yang kuat menghadapi Ramadhan sejak awal sampai akhir.
Ketahanan diri yang kuat dapat memperteguh daya tahan (shiyam  menahan diri) terhadap rayuan semua yang disukai dan badunie. (*)

Paham Agama dan Menilik Bulan

Oleh Yulizal Yunus
 Diterbitkan 1 Agustus 2013 di Singgalang


Hisab seiring rukyat.
Puasa dan berbuka sebab melihat,
Jika rukyat diliputi awan gelap,
Lakukan perkiraan – hisab
 
Penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul-Fitri substansinya adalah paham dan akidah. Caranya mungkin rukyat (maniliak bulan) atau hisab. Namun praktiknya masih ada badunie, gengsi kalau tidak ikut rami-rami puasa bukan karena keyakinan.
 
Ragu-ragu pun harus ditinggalkan. Tapi kalau tidak tahu bolehlah memilih cara diajarkan hadis riwayat Muslim: faqdurulah (perkiraan  atau ikut orang banyak).
 
Justru, tegaknya keyakinan/ paham bagian dari ketahanan diri, tidak memaksakan paham kepada orang bagian dari menahan diri yang harus dilatih.
 
Soal rukyat (maniliak bulan) dan hisab sering menjadi ramai. Kadang seperti menggelisahkan. Sumber kegelisahan itu biasanya, pertama salah merespons hasil rukyat pemerintah (ditambah pula rasa curiga memihak pada sebuah paham).
 
Kedua, hasil rukyat itu berbeda dengan hasil hisab yang sudah lama disiarkan. Ketika, media massa berlebihan pula menyiarkan. keeempat, tidak disadari persoalan rukyat dan hisab itu memasuki wilayah khilafiyah (beda pendapat) mengenai paham keagamaan.
 
Perbedaan itu dipicu juga faktor kekurangan pengetahuan tentang kekuatan hisab (menghitung waktu) dan rukyat. Lagi pula hasil hisab sudah disiarkan setiap saat di berbagai media massa.
 
Inti hisab menghitung, justru perjalanan bulan dan matahari dapat dihitung. Hasilnya dapat digunakan membuat kalender, menghitung waktu sepanjang tahun, membuat kalender, dapat digunakan bagi penentuan waktu beribadah, imsyak (waktu menahan) dan berbuka, waktu shalat wajib lima waktu sehari semalam, waktu penentuan shalat dua hari raya dan sebagainya.
 
Sedangkan rukyat adalah melihat wujud hilal Ramadhan di akhir Syaban, hasilnya digunakan hanya untuk sebulan berikutnya. Ditentukan di akhir Syaban hanya untuk puasa, imsyak dan berbuka Ramadhan saja.
 
Rukyat dan beda awal puasa tidak perlu digelisahkan. Sejak dahulu kita berbeda juga, tapi tenang saja, karena tidak disiarkan media massa secara luas.
 
Perbedaan itu sejak dulu ada empat. Pertama, paham naqsyabandi melaksanakan puasa yakin lebih awal dimungkinkan Rabu 18 Juli 2012.
 
Kedua, Satariyah melaksanakan puasa yakin lebih kemudian (justru tahun ini maniliak bulan 20 Juli di komplek Syeikh Burhanuddin Ulakan).
 
Ketiga, NU mengandalkan rukyat di awal/ akhir Ramadhan, keempat, Muhammadiyah mengandalkan hisab yang menetapkan waktu beribadah sepanjang tahun termasuk berpuasa dan lebaran.
Jadi kalau ada pertanyaan begini: kenapa kita tidak sama saja puasa dan shalat Idul Fitri. Pertanyaan itu juga tidak benar.
 
Sebab penentuan awal berpuasa dan Idul Fitri menyangkut paham keagamaan. Paham tidak dapat dirubah dengan kekuatan apa pun, termasuk kekuatan pemerintah.
 
Mungkin itu penyebabnya, pendahulu negara ini tidak mau mencampuri urusan paham/ akidah sebuah agama. Artinya Negara memberi kebebasan bagi pemeluknya untuk beribadah sesuai dengan akidahnya.
 
Prinsip ini dituangkan dalam UUD 1945. Sebenarnya siapa dan unsur manapun yang mengusik sisi paham ini dan memaksa termasuk pemerintah adalah melanggar UUD 1945. Untuk itu tidak perlu gelisah, dengan rukyat.
 
Tidak gerlisah itu juga telah berarti menahan diri yang perlu dilatih dan melatih diri agar punya daya tahan menghadapi Ramadhan. (*)

Anak Kecil Disuruh Menahan Diri

Oleh Yulizal Yunus


Terbit di Singgalang, 2 Agustus 2013
 
Sesuatu yang benar
meski dari anak kecil
boleh didengar dan jadi pelajaran orang dewasa.
Anak kecil disuruh shiyam (menahan diri). Pernah Nabi Muhammad SAW mengirim utusannya ke kampung Anshar di Medinah.

Mereka di Hari Asyura itu ditugasi mengumumkan: Siapa yang puasa di pagi ini maka teruskan puasanya, tapi siapa yang berbuka pagi ini, maka teruskan sisa harinya.

Lalu mereka menyuruh anak-anak kecil shiyam. Mereka ke masjid, membuatkan anak-anak
mainan dari kapas. Dalam bermain jika ada anak baka (menangis), dikasih (makan), hingga waktu berbuka datang (dari Sumber Hadis Bukhari Muslim).

Dalam kaitan latihan anak menahan diri, Imam Bukhari menceritakan kekesalan Umar pada suatu kali, ketika ia melihat orang yang mabuk-mabukan di bulan Ramadhan.

“Celaka mereka, kenapa mabuk-mabukan, sementara anak-anak kecil kita pun mampu shiyam (berpuasa, menahan diri).”

Sesungguhnya Ramadhan momentum melatih anak berkarakter mampu menahan diri, dimulai dengan puasa semampunya. Justru Ramadhan itu salah satu namanya adalah syahru l-tarbiyah (bulan pendidikan).

Melatih anak di bulan Ramadhan tidak saja melaksanakan puasa, tetapi banyak event yang dapat dijadikan masa berlatih menahan diri dari cara makan minum anak-anak tanpa mengenal waktu, melatih diri menahan bermain untuk menunaikan shalat lima waktu, dan malamnya untuk tarawih, serta menahan diri untuk tidak meribut dalam masjid.

Anak usia sekolah di waktu malam, diltaih mendengarkan ceramah Ramadhan dengan membuat catatan singkat isi ceramah dilegalisasi penceramahnya malam itu.

Siangnya sambil berpuasa dapat dilatih belajar singkat dalam pesantren kilat Ramadhan tentang agama dan adat serta melatih berkarakter sesuai dengan nilai ajaran agama dan adat yang diperoleh dsb.]

Ternyata dari berberapa daerah mulai dari Padang pendidikan anak usia sekolah pada Pesantren Ramadhan, amat bermanfaat.
 
Pantas kita berikan cap jempol kepada Walikota Fauzi Bahar berserta walikota dan bupati lainnya yang sukses. Pendidikan ini berbentuk pendidikan nonformal pendidikan luar sekolah.
 
Hanya saja dimungkinkan pelaksanaannya masih perlu peningkatan kualitas penerapan ajaran secara terpadu antara ranah kognitif (penguasaan pengetahuan) dengan ranah apektif dan psikomotorik (kearah pembentukan prilaku anak dan keterampilan anak mengamalkan ajaran agama dan adat).
 
Praktiknya, ketika anak-anak diajar akhlak suka menolong, lalu menjadi karakter pribadi suka menolong, temannya yang membutuhkan bantuan.
 
Pengaruhnya sudah ada pada sebagian anak-anak, berarti mereka sudah mulai punya kepribadian menahan diri kandungan makna dari shiyam.
 
Ketika anak dapat memelihara diri, sebenarnya juga pelajaran bagi orang dewasa yang lemah karakter menahan diri, bahkan pelajaran bagi orang dewasa yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
 
Sebenarnya tidak ada alas an tidak berpuasa. Anak kecil saja mampu, kenapa orang dewasa tidak. Yang dewasa dan sehat tapi tidak puasa di bulan Ramadhan, Umar bin Khathab tadinya menyebut wail (celaka), dan mungkin asha (durhaka). Karenanya mari kita berpuasa dan menahan diri dengan baik. (*)

Luruskan Gugatan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol

 PADANG – Meluruskan beberapa gugatan terhadap Tuanku Imam Bonjol dan mengenang kembali perjuangan pahlawan nasional tersebut, para akademisi Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol (IB) Padang gelar seminar nasional. Kegiatan ini sebagai wujud kepedulian akademisi terhadap tokoh pejuang Minangkabau yang namanya dipakai sebagai nama lembaga pendidikan di perguruan tinggi Islam tersebut.
Kegiatan ini juga merupakan rangkaian akhir seminar seiring dies natalis ke-46 IAIN IB, dengan mengangkat tema, “Eksistensi Histori Tuanku Imam Bonjol dan verifikasi Islam di Minangkabau”. Seminar diikuti sekitar 100 peserta, terdiri dari para dosen di lingkungan kampus tersebut, dibuka Pembantu Rektor I Bidang Akademik IAIN IB Dr. H. Syafruddin, Kamis (13/12) di Hotel Hayam Wuruk Padang.
Ketua Pelaksana acara, sekaligus menjabat Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Dr. Yufni Faisal, kepada Singgalang mengatakan, seminar ini sebagai bentuk kepedulian terhadap pejuang yang telah banyak berkontribusi terhadap dunia Islam, khususnya di Minangkabau. “Melalui seminar ini, kita menegaskan kembali eksistensi perjuangan Tuanku Imam Bonjol sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam dalam kaitannya dengan adagium Minangkabau, Adat Basandi Sarak Sarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK),” katanya.

Kemudian, untuk memperlurus gugatan terhadap Tuanku Imam Bonjol yang sempat berkembang baru-baru ini. “Belakangan ini ada kritikan terhadap gerakan Padri yang diusung Tuangku Imam Bonjol. Bahkan ada yang menggugat ketokohannya, maka pada kesempatan ini kita berupaya meluruskan hal tersebut, melalui pengkajian kembalai, bagaimana perjuangan beliau sesungguhnya,” katanya.
 
Pihak akademik menghadirkan beberapa pemateri yang menyampaikan tema sesuai kompetensi masing-masing, diantaranya, pengarang buku Tuanku Imam Bonjol, yang juga sastrawan, peneliti dan aktivis Taman Budaya Sumbar, Syafnir Aboe Nain Dt. Kando Marajo, dengan materi, “Aplikasi ABS-SBK di Minangkabau Kajian Naskah Tuanku Imam Bonjol”.
 
Kemudian, Dosen FISIP Unand, Prof. Dr. Nursyirwan Effendi, dengan materi, “Kondisi ABS-SBK dalam Realitas Sosial Proses Tanpa Henti Grafitasi Islam di Minangkabau”. Lalu, peneliti dan dosen IAIN IB Padang H. Yulizal Yunus, dengan materi “Perivikasi Islam Tuanku Imam Bonjol dan Masa Depan ABS-SBK di Minangkabau”. Ada lagi, Dosen Sejarah Fakultas Adab IAIN, yang juga telah menulis beberapa buku, Irhash A. Shamad, dengan materi, “Tinjauan Kritis Tinjauan Sejarah Tuanku Imam Bonjol dan Adagium ABS-SBK”.
 
Terjadi diskusi menarik antara pemateri dengan para peserta seminar, bagaimana mempertahankan perjuangan Tuanku Imam Bonjol memerangi penyimpangan-penyimpangan masyarakat dari ajaran Islam. Sebagai salah satu perguruan tinggi Islam Sumatra Barat, IAIN IB Padang merasa bertanggung jawab melanjutkan perjuangan tersebut dengan memberi semangat pada masyarakat Minangkabau, khususnya kalangan intelektual.
 
“Upaya tersebut harus kita lakukan terus-menerus tanpa henti sesuai kapasitas dan kompetensi masing-masing,” ujar Yufni Faisal. (pep)

Kesultanan Indrapura

Oleh Yulizal Yunus
 Terbit Singgalang, 4 Desember 2012

Indrapura, Kesultanan (Kerajaan Islam Malayu, 1100 – 1911) terletak di Pesisir Selatan. Pernah jaya abad XVII – XVIII, karena posisinya sebagai kota pantai, pusat perdagangan dengan komiditi unggulan emas dan lada, berbasis pelabuhan Samuderapura dengan armada kuat, ramai dikunjungi kapal dagang dan jadi rebutan pengaruh kekuatan asing.

Kesultanan Indrapura berdiri di atas keruntuhan Kerajaan lama Indrapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX SM – XII M (80 SM– 1100 M). Kerajaan Indrapura lama didirikan anak cucu leluhur Iskandar Zulkarnaini (356-324 SM, putra Pilipeaus raja ke-2 Masedonia, 382-336 SM). Tidak disebut nama pendirinya kecuali pimpinan adat. Ada disebut tahun 134 SM lahir Indo Juita (keturunan Iskandar Zulkarnaini) kemudian tahun 110 SM menikah dengan Inderajati moyang Indrapura (asal Parsi – Turki) dan melahirkan keturunan raja-raja.

Pada episode berikutnya Zatullahsyah (anak cucu Iskandar Zulkarnaini) datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Pura, Teluk Air Pura (awal abad ke-12). Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Inderapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta men cari hasil hutan.
Masa pemerintahan Zatul lahsyah datang 3 orang anak saudara kandungnya (Hidayatullahsyah) yakni Sri Sultan Maharaja Alif, Sri Sultan Maharaja Depang dan Sri Sultan Maharaja Diraja, dari Rum lewat Bukit Siguntang-Guntang. Tidak lama di Air Pura, Sri Sultan Maharaja Diraja mendapat perintah Zatullahsyah, pergi ke Gunung Marapi, didampingi temannya Cati Bilang Pandai dan dibantu putra sepupunya Sultan Muhammadsyah (putra Zatullahsyah – Dewi Gando Layu). Di sana ia mendirikan kerajaan di Parh yangan (Pariangan) yang disebut sebagai nagari asal seperti juga Air Pura. Sri Sultan Maharaja Diraja kawin dengan Puti Jamilan dan melahirkan Dt. Ketumanggungan, setelah Sri Sultan wafat Puti Jamilan dikawini temannya Cati Bilang Pandai dan melahirkan Dt. Parpatih nan Sabatang.
Di Kerajaan Air Pura kepemimpinan berlanjut dalam empat episode sejarah. Dua episode I (Kerajaan Air Pura – Indrajati) dan dua episode II (Kesultanan Indrapura – Era Regen). Dua episode I Kerajaan Air Pura dilanjutkan kepemimpinan Kerajaan Indrajati (Indra di Laut) abad XII – XVI (1100 – 1500). Berawal dari datangnya Indrayana disebut putra mahkota Kerajaan Sriwijaya yang terusir karena masuk Islam, menetap di Pasir Ganting dan mendirikan Kerajaan Indrajati. Ia sendiri raja ke-1 dan raja ke-2 anaknya bernama Indrasyah Sultan Galomatsyah. Dlam perjalanannya kerajaan ini pernah diincer ekspedisi Pamalayu I (1247) di samping Darmasyraya, Siguntur yang kemudian menjadi Kerajaan Pagaruyung (1343).
Dua episode Kesultanan Indrapura berikutnya abad XVI – XIX (1500 – 1824) dilanjutkan era kepemimpinan Regen abad XIX – XX (1824 – 1911). Episode sejarah sampai naik tahtanya raja ke-11 Kerajaan Indrajati Cumatang Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah, kerajaan berubah menjadi Kesultanan Indrapura dengan raja ke-1 Cumatang sendiri. Penggalan sejarah berikutnya masa Sultan Usmansyah gelar Sultan Firmansyah, tahun 1550 dikukuhkan batas wilayah. Utara berbatas Airbangis-Batang Toru (Batak), Selatan berbatas Taratak Air Hitam Muara Ketaun, Timur berbatas Durian ditakuak Rajo, Nibuang balantak mudik lingkaran Tanjung Simeledu (sepadan Jambi) dan Barat berbatas laut leba ombak badebu (Samudra Indonesia). Wilayah semakin menyusut diawali berberapa daerah Kesultanan Indrapura pro Inggiris yakni Mukomuko, Banta, Seblat dan Ketaun memisahkan diri tahun 1695 jadi Kerajaan Anak Sungai dengan ibu negeri Mukomuko, dipimpin Sultan Gelomatsyah.
Organisasi pemerintahan Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), dilaksanakan Perdana Mentri (Mangkubumi) dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir). Raja-raja Kesultanan Indrapura banyak sekali, di antaranya keturunan asli Indrapura dan dianggap keturunan Iskandar Zulkarnaini (Marjohan, 2002 baca juga St. Sulaiman, 2002) menjadi raja ialah: (1) Zatullahsyah paman Sri Sultan Maharaja Diraja, (2) Daulat Jamal al- Alam Sultan Sri Maharajo Dirajo Muhyiddinsyah Sultan Muhammadsyah, (3) Sultan Jamal al-Alam Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo Alamsyah, (4) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Firmansyah (5) Sultan Jamal al-Alam Sultan Daulat Alamsyah, (6) Sultan Jamal al-Alam Sultan Usmansyah Sultan Muhammadsyah (Tuanku Berdarah Putih), (7) Sultan Jamal al-Alam Sultan Firmansyah Sultan Mandaro Putih gelar Tuanku Hilang di Parit), (8) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Muhammadsyah (Marah Muhammad Ali Akbar Sultan Muhammadsyah), (9) Iskandar Alam Daulat, (10) Sultan Alam Mughatsyah.
Berikut (11) Sultan Bagagar Alamsyah, (12) Sultan Usman Sultan Muhammadsyah, (13) Sultan Jamal al-Alam Sultan Maradu Alamsyah, (14) Sultan Alidinsyah (15) Sultan Samejalsyah keturunan Putri Gembalo Intan anak Sultan Alidinsyah raja Indrapura (1513), (16) Sultan Baridinsyah (1520), (17) Dang Tuanku (1520 – 1524) beristeri Puti Bungsu, makamnya di Bukit Selasih Batangkapas, (18) Usmansyah Sultan Firmansyah (1534 – 1556), (19) Sultan Jamalul Alam YDD Sultan Sri Gegar Alamsyah Sultan Muhammadsyah (1560), (20) Sultan Zamzamsyah Sultan Muhammadsyah .
Selanjutnya1600-1635, (21) Sultan Khairullahsyah Sultan Muhammadsyah (1635-1660), (22) Sultan Bangun Sri Sultan Gandamsyah, (23) Sri Sultan Daulat Pesisir Barat, (24) Inayatsyah (1640), (25) Sultan Mal(z)afarsyah Kerajaan Indrapura (1660-1687), (26) Marah Amirullah Sultan Firmansyah, (27) Raja Adil (1680), (28) Marah Akhirullah Sultan Muhammadsyah (w.1838), (29) Raja Perempuan Puti Rekna Candra Dewi, (30) Raja Perempuan Puti Rekna Alun (Tuanku Padusi Nan Gepuk), (31) Raja Gedang di Mukomuko, (32) Sultan Syahirullahsyah Sultan Firmansyah (1688-1707), (33) Sultan Zamzamsyah Sultan Firmansyah Tuanku Pulang Dari Jawa berhubungan dengan Kesultanan Jogyakarta (1707-1737), (34) Sultan Indar Rahimsyah Sultan Muhammadsyah Tuanku Pulang Dari Jawa (1774-1804), (35) Sultan Inayatsyah Sultan Firmansyah, 1804-1840, (36) Sultan Muhammad Jayakarma (1818 – 1824), (37) Sultan Takdir Khalifatullah Inayatsyah, (38) Abdul Muthalib Sultan Takdir Khalifatullahsyah (kemudian menajdi regen di Mukomuko, pensiun 1870). (39) Regen Marah Yahya Ahmadsyah (1825-1857), (40) Regen Marah Arifin (1857-1858), (41) Regen Marah Muhammad Baki Sultan Firman Syah (1858-1891), (42) Regen Marah Rusli 
Sultan Abdullah (1891 – 1911). Banyak lagi raja yang tidak dapat dicatat kebesarannya.
Pengaruh Kerajaan Indrapura amat luas. Bandaro Harun (Harunsyah Sultan Bengawan), ke Brunei (1625) disebut ayah Dato Godan salah seorang leluhur Dipetuan Sultan Haji Hasanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Rajo Putih Indrapura ke Natal dan mendirikan Kerajaan Lingga Pura di sana kemudian dikenal leluhur dari Sutan Syahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana (Putri Bulkis Alisjahbana, 1996:43-44). Dari asal Puti Indrapura pindah ke Mukomuko dan Bintuhan, terbuka pula tabir rahasia adanya hubungan Megawati Sukarno Putri dengan Kesultanan Indrapura, ketika event pemberian gelar Puti (dari Mukomuko dan Bintuhan dulu bagian dari Kesultanan Indrapura) kepadanya di Bengkulu tahun 2001. Taufik Kemas dalam acara itu memakai tutup kepala dari Bintuhan kemudian memakai yang dari Mukomuko (Agus Yusuf dari Sutan Aminullah, 2003).
Sebagai kerajaan bahari terbesar dan jaya, pernah menjadi ajang percaturan imperialisme asing berebut pengaruh, di antaranya secara kronogis dapat dicatat: (1) Aceh (ketika itu asing) tahun 1521 menguasai dagang lada dan emas di perairan Indrapura. 1625 Aceh menempatkan seorang wakilnya/ panglima (lihat juga Navis, 1984) di bandar Indrapura, secara de facto berakhir 1632, tetapi tetap bercokol sampai abad ke-17 dasawarsa ke-8 di Pantai Barat Sumatra. (2) Belanda (Rusli Amran 1985, lihat juga Errens 1931, baca Stibe 1939) memasuki wilayah Indrapura (1602, 20 Maret), Coen (VOC) mengirim kapal dagang (1616) merebut lada dan emas dari Aceh dan Inggris, kandas dicegat raja Hitam, kemudian (1664) berhasil dan memungut pajak lada Indrapura, setiap 1200 bahar lada dikeluarkan 1 bahar, menghabisi wilayah kantong Aceh dan merebut kapal Inggiris di Indrapura (1656), terpaksa ke meja perunding damai di Sungai Bungin (Batangkapas) soal perdagangan lada Indrapura (1660), mendirikan Loji VOC 1662 di Pulau Cingkuk, tersayat dan terpaksa lagi ke meja perundingan Sandiwara Batangkapas disusul Perjanjian Painan (Painansch Contract, 6 Juli 1663), mendirikan Loji VOC di Indrapura (1664), hasut Air Haji (Bruins,1936) memberontak terhadap Indrapura (1682). Jacob Groenewegen mulai berkuku di Pantai Barat Sumatera mengawali kolonialisme, Januari 1685 Indrapura dinyatakan darutat, Batavia perintahkan hancurkan lada Indrapura untuk taklukan Indrapura. Rakyat marah, 6 Juni 1701, loji VOC di Indrapura diserbu rakyat Pesisir, pegawainya dibunuh, kecuali satu orang dibiarkan mengadu ke kantor pusat VOC di Padang, Belanda marah dan hancurkan tanaman lada. 1740, Indrapura bersama Abdul Jalil raja Minangkabau memerangi Belanda dibantu Inggris. Belanda dapat angin lagi pasca perjanjian masang 22 Januari 1824 Belanda (van den Berg) dan Pidari (Paderi) berdampak Indrapura bangkrut, semua kapal berkebangsaan apa saja bongkar muat barang di Padang tidak lagi di Indrapura bahkan tambang emas Salido dikuasai pasca pergantian Raff dengan Du Puy (1 Januari 1824).

Tahun 1865 Belanda dirikan sekolah sejenis HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Indrapura dengan tujuan melumpuhkan Islam (deislamisasi), rakyat tahu niat jahat itu, lalu ditutup. (3) Inggris terisolasi di perairan Indrapura (1618) dalam berdagang landa pasca 2 tahun monopoli, baru bisa meraut lada Juni 1684 dan mendirikan Loji di Indrapura. 1685 mendapat dukungan dagang dari Raja Ibarahim (bekas penghulu Pariaman, 1676) di Indrapura, juga dukungan keponakan raja Minangkabau Sultan Abdul Jalil Saruaso berunding dengan raja Indrapura, melawan misi Belanda hancurkan lada Indrapura, Juni 1685 East India Company (EIC) mendirikan kantor perwakilan settlement di Indrapura, Majunto, Taluk dll., menguasai Selebar, mem bakar kemarahan Belanda, baru reda pasca Perjanjian Paris (1763) membagi wilayah dagang: Inggris ke selatan (Majunto – Silebar) dan VOC ke utara (Indrapura, Tiku, Air Bangis, Natal dll.).

Tahun 1686, Kapal Royal James gagal raut lada, 30 dari 100 tentara meninggal diserang penyakit di Indrapura. 1687, Agustus kantor Inggiris diserang rakyat Indrapura, banyak korban di pihak Inggiris dan merampas meriam serta melumpuhkan 5 kapal yang datang kemudian dari Eropa, juga diserang kekuasaan Sri Sultan Ahmadsyah seorang calon raja Pagaruyung yang lari ke Bengkulu. (4) Cina tahun 1989 datang berdagang ke Indrapura 9 tahun pasca perjanjian pemuka kota pantai dari Ombak Ketaun (Pesisir Selatan) hingga Air Bangis (Pesisir Utara, Pasaman Barat sekarang) ditandatangani (1680) oleh Raja Adil dan Muhammadsyah (sultan Indrapura) sedikit memberi ruang gerak kepada VOC berdagang lada dan emas.

Bukti sejarah kebesaran Kesultanan Indrapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di Sumatera Barat. 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di antaranya (1) bekas istana Raja/ Sultan (1824), (2) bekas istana Regen di Pasar Minggu dekat peninggalan meriam R.Gil Pin FE CIT.J768, (3) Rumah Mangkubumi (perdana menteri) Kesultanan, (4) Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang, berfungsi museum penyimpan benda-benda peninggalan Bundo Kandung seorang raja putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu) kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas sebagai Museum Lokal Sumatra Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina (keturunan ke-7 dari Bundo Kandung). (5) Situs dalam bentuk arsitektur sakral (imarah diniyah) wujud Masjid Agung (1850) masa Regen ke-2 Marah Ripin. (6) Gobah komplek pemakaman raja-raja Kesultanan Indrapura seluar 0,5 Ha. (6) Makam raja Tuanku Badarah Putih. (7) Makam Bundo Kandung (Salareh Pinang Masak, raja perempuan Pagaruyung), (8) Makam Dang Tuanku, (9) Makam Puti Bungsu istri Dang Tuanku. (10) Makam Cindur Mato raja dan tokoh legendaries Minang.(Yulizal Yunus)

Kelompok Sosial Anak Nagari Sebelum dan Sa’at Kembali kepada Sistim Pemerintahan Nagari

Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

Disintegrasi sosial mewarnai sosial budaya masyarakat sa’at kembali ke nagari. Fenomena ini terjadi dimungkinkan karena reformasi disarati demokratisasi dicederai sikap political euphoria, sementara sebelumnya masyarakat diajar manja dengan material pembangunan yang sentralistik tapi terkungkung dalam berdemokrasi.
Pada perinsipnya masyarakat memiliki kelompok sosial yang cukup majemuk termasuk di nagari. Pembicaraan mengenai masalah sosial masyarakat nagari, berarti memasuki kawasan pembicaraan budaya. Justeru sosial satu di antara 7 aspek budaya. Tujuh aspek budaya itu adalah sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kesenian dan kepercayaan.

Di nagari, masyarakatnya memiliki kelompok sosial yang pluralistik. Setidak-tidaknya majemuk dalam suku serta masyarakat pendukung budayanya masing-masing. Justeru nagari dalam sistem pemerintahan Indonesia merupakan unit terkecil dan terbawah di daerah, di Minangkabau nagari merupkan sub kultur dan simbol adat.

Anak nagari adalah masyarakat nagari berada dalam kelompok sosial mereka. Sistim pemerintahan nagari, termasuk struktur wilayah administrasi pemrintahan. Dalam pembagian wilayah admnistrasi, propinsi, kabupaten dan kota adalah daerah. Wilayah terkecil daerah sebelumnya adalah desa. Sekarang dalam pengimplementasian otonomi daerah di Sumatera Barat, memakai sistem kembali ke nagari berbasis surau, nagari yang menjadi unit terkecil pemerintahan di daerah Sumatera Barat.

Kembali ke nagari dimaksud dari sisi adat adalah kembali kepada kehidupan bernagari. Dari sudut pandang sistem pemerintahan, kembali ke nagari dimaksud adalah perubahan sistem pemerintahan pada unit terendah yakni dari desa kembali memakai sistem pemerintahan nagari sebagai wilayah terkecil di daerah.

Dalam perubahan sistem pemerintahan ini pada sub kultur Minangkabau atau di wilayah Sumatera Barat ini permasalahannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Banyak permasalahan yang dihadapi. Permasalahan itu mengemuka dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang ada.

***
Dalam kondisi objektif, kelompok sosial yang ada secara kategoris dapat dibedakan kepada dua bentuk. Pertama kelompok sosial dilihat dari pengelompokan wilayah administratif dan kedua kelompok sosial dilihat dari pengelompokan sub-sub kultur.

Kelompok sosial berdasarkan wilayah administeratif ada ungkapan “bakoghong bakampung”. Di Pesisir Selatan, nagari setidaknya memiliki kampung dan dusun. Ini diatur dalam Perda Nagari di Pesisir Selatan.

Kelompok sosial dilihat dari sub kultur Minangkabau, ditemukan pula secara umum pengelompokannya dalam bentuk stratifikasi sosial (1) lapisaan atas (elit), (2) lapisan tengah (kelas menengah), (3) lapisan bawah (rakyat badarai). Juga terlihat kelompok-kelompok fungsional dan profesional.

Kelompok fungsional di antaranya terlihat (1) pada lembaga politik, (2) lembaga sosial masyarakat (LSM) yang nanti akan memiliki supremasi besar mengalahkan supremasi partai kalau pemilihan kepala negara secara langsung dalam sistem distrik, (3) kaum adat (a) ninik mamak 4 suku (4 jinih +jinih nan-4), (b) kerabat / karib, (c) sumando/ mandeh bapak, (d) kemenakan: batali darah (segaris keturunan dengan mamak), aka/ adat (inggok mancakam), budi (mirip anak angkat, keluarga mengaku bermamak) dan emas (berkaitan dengan jasa /uang).

Ada kelompok tambahan bersamaan keluarnya Perda Nagari di Sumbar No. 9/ 2000. Unsur tambahan ini memperkuat lembaga ninik mamak, yakni (1) ulama (kepercayaan masyarakat, jinih nan-4), (2) cadiak pandai, (3) bundo kanduang (kaum ibu), (4) pemuda (tersekolah, fungsional dan territorial).

Sedangkan pada kelompok profesional terlihat kelompok (1) swasta, (2) petani, (3) peternak dan nelayan, (4) pegawai, (5) tukang, (6) pedagang, dll.

***
Secara pradigmatik, tertib sosial anatar kelompok masyarakat itu, diatur dengan pranata. Kalau sebuah pranata dalam masyarakat tidak lagi mampu menertibkan sosial, pranata harus diganti. Ini satu aliran yang menggiring sekelompok paham kemasyarakatan yang selalu bertumpu pada paradigma ketika melihat masyarakat konflik, fikirannya memastikan harus diganti atau diamandemen atau diproduk peraturan perundang undangan yang baru.

Mengatur tertib sosial dalam implementasi otonomi daerah di Sumatera Barat termasuk di Pesisir Selatan kembali ke nagari, dibuat paradigma baru dalam bentuk Perda di daerah provinsi dan diperkuat Perda Kabupaten/ Kota.

Sebenarnya tidak selalu paradigma/ peraturan perundangan yang salah tetapi juga manusianya. Karenanya diperlukan melirik berbagai alternatif, misalnya pengembangan konsep empowerman dan atau mengimplementasikan nagari paper.

***
Dari sudut lingstra ( lingkungan strategis ) meliputi tantangan dan peluang dalam lingkungan internasional yang penuh dengan pengaruh global, lingkungan regional dengan muatan sub regional dan Asean+3, serta lingkungan nasional khusus dengan pengaruh implementasi otonomi daerah, maka kelompok sosial nagari turut berubah.

Pranata adat serta pranata sosial lainnya dan pranata pemerintah menghadapi tantangan besar mengatur tertib sosial di nagari. Dalam adat Minang, nagari mempunyai undang undang. Undang undang nagari ibarat pakaian bagi orang tua, pun nyaris tidak gairah lagi memakainya. Dalam nagari ada saja konflik setidaknya di tingkat elit. Antar nagari pun ada konflik satu di antaranya menyentuh persoalan geo-politik yang beritikan tapal batas nagari.

Kaum laki-laki mengalami disintegrasi dalam bentuk kehilangan identitasnya sebagai lelaki Minang. Fenomena lelaki Minang memprotes ninik mamak, berarti ketika ia memprotes, sa’at itu pula ia tidak sadar ia juga mamak dan memprotes dirinya, secara tidak langsung membatalkan dirinya sebagai lelaki Minang. Kaum perempuan juga mengalami disintegarasi sosial dalam berprilaku secara adat termasuk berpakaian. Kadang kaum ibu pun ada sikap meniadakan mamak (kaum lelaki dewasa) di nagari. Fenomena ini terlihat jelas dalam penguasaan tradisi dalam adat perkawinan di Minang. Sepertinya tidak ada lagi mamak, hanya ada induak-induak.

***
Analisis alternatif SOM (subject, object dan methode) dari data berangkat dari fakta dalam fenomena yang ada tadi, dapat digunakan untuk melihat kondisi ideal yang diharapkan dalam pengembangan kelompok-kelompok sosial di nagari.

Secacara subjektif, pelaku yang berperan dalam pengembangan kelompok sosial nagari lebih strategis pemuka dari setiap kelompok sosial masyarakat tadi, difasilitasi oleh pemerintah dan pihak swasta/ stick holder.

Secara objektif yang harus menjadi kebijakan pengembangan kelompok sosial masyarakat antara lain (1) kelompok sosial budaya yang ada dan (2) penguatan prananta adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Secara metodologis dimungkinkan dengan strategi dan upaya-upaya yang implementatif. Strategi dimungkinkan (1) recovery, (2) restorasi dan (3) sustainabilitas.Upaya-upaya konkrit dan implementatif (1) pemulihan kehidupan bernagari secara maksimal dan optimal, (2) penguatan identitas dan pengimplementasian adat dan syarak, (3) penguatan identitas pemerintahan nagari dalam kerangkan NKRI, (4) pemberdayaan ninik mamak dan segenap unsur masyarakat, (5) pemberdayaan aparat pemerintah (bersih dan berwibawa), (6) konsolidasi program dan peraturan untuk menata seluruh aspek kehidupan bernagari (hokum, politik, ekonomi, agama, budaya, pendidikan, pemerintahan nagari dan otonomi, pengaalian dan pengelolaan sumber daya alam nagari dan pertahanan keamanan), (6) kerjasama berpola kemitraan, dalam negeri bisa antar nagari bertali adat, atau vi to vi ( kalau dulu ji to ji) untuk luar negeri.
***

Kondisi ideal yang diharapkan, kelompok-kelompok sosial anak nagari sebelum dan sa’at kembali kepada sistem pemerintahan nagari menjadi dinamis yang secara integral tercermin dalam seluruh aspek kehidupan bernagari. Masyarakatnya ulet, tangguh dan memiliki kemampuan mengembangkan kekuatan nagarinya. Dengan kekuatan nagarinya itu mampu menjamin terpeliharanya identitas nagari, integritas dan keberlanjutan hidup nagarinya. Dalam pengertian lain, kekuatan nagarinya mampu menghadapi berbagai tantangan dan dapat mengubahnya menjadi peluang, sebagai jaminan terhadap identitas, integritas dan kelangsungan hidup bernagari dalam upaya mencapai tujuan masyarakat nagari yang adil dan makmur .

Dari Numera ke Pan Melayu

Oleh: Yulizal Yunus

(Dari Sku. Haluan Padang, 21 Maret 2012)


Temu budayawan (sastrawan – sejarawan) melayu dengan event seminar sejarah – kebudayaan “menelusuri sejarah dan benang merah rumpun melayu di Asia Tenggara” (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Philipian dll) dan seminar sastra dan identitas kultural “Nusantara Melayu Raya” (Numera) Indonesia diselenggarakan kerjasama Numera Indonesia – Dinas Budpar Pemko Padang, 16-18 Maret 2012 banyak catatan penting yang patut ditindaklanjuti kearah penciptaan persatuan budaya alam melayu di samping secara khusus mewujudkan keinginan penguatan jaringan forum masyarakat sejarah melayu dan forum sastrawan melayu dengan sekretariat ASEAN, yang secara substansial saya eksplisitkan dalam bentuk perwujudan gerakan Pan-Melayu, sebagai wadah dan polisi pengawal ketahanan budaya alam melayu itu dari intervensi arus deras pengaruh global.

Substansi gagasan ke arah Pan-Melayu itu saya lihat setelah mendengar pemikiran 52 pakar/ budayawan (sejarawan dan sastrawan) yang dihadirkan, termasuk 7 keynote speaker’s yakni: Dr. Siti Fatimah, MPd., MHum, Prof. Dr. Mestika Zed, MA, Prof. Dr. Nursyirwan Effendi, Prof. Dr. Ahmad Kamal Abdullah (Malaysia), Prof. Dr. Eka Budianta, Nik Abdul Rakib bin Nik Hassan (Thailand) dan Dr. Nopriyasman, MHum. Gagasa itu semakin menguat dalam seni II seminar sastra dan identitas melayu yang saya pandu dan sesi III pada seminar sejarah – kebudayaan melayu yang saya dipercaya sebagai salah seorang nara sumber. Pada Sesi II seminar sastra “Sastra Melayu dan Identitas Kultural” itu, dihadirkan nara sumber: (1) Dr. A.Halim Ali (UPSI Malaysia) presentasi “Cara Berfikir tentang Estetika dalam Kesusasteraan Melayu”, (2) Fazilah Husein, PhD (UPM) mempresentasikan “Hubungan Teater Malaysia – Indonesia”, (3) Prof. Dr. Victor A. Pogadaev (seorang budayawan asal Rusia guru besar di Universiti Malaya) mempresentasikan “Taufiq Ismail, Penyambung Lidah Orang Miskin dan Tertindas”, (4) Zawawee Padaameen (Fakulti Kemanusiaan dan Sains Sosial Universiti Prince Songkla Thailand) mempresntasikan “Penggunaan Bahasa Melayu dan Aksara Jawi di Selatan Thailand”, dan (5) Arbak Othman mempresentasikan “Keperkasaan Estetik terhadap Sensitiviti Puitik Menelusuri Rahasia Cahaya”. Pada sesi III seminar penelusuran sejarah benang merah rumpun melayu di Asia Tenggara, menghadirikan nara sumber: (1) Dasman Djamaluddin SH, MHum/ mempresntasikan “Melayu Raya dalam Perspektif Sejarah Indonesia”, (2) Dra. Zusneli Zubir dan (3) Jannatul Husna bin Nuar (UM)/ Sejara Hidup dan Ketokohan Buya Mawardi Muhammad, (4) Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo/ Islam Minangkabau dalam Lingkaran Peradaban Dunia Melayu Dunia Islam, (5) Dedi Irwanto Muhammad Santun/ Tafsir Melayu atas Palembang pada Masa Sriwijaya, (6) Jumhari, SS/ Multikulturalisme Melayu – Bengkulu dalam Perspektif Sejarah”.

Dari sesi-sesi seminar ini yang menelusuri perkembangan sastra dan sejarah benang merah Negara-negara rumpun melayu di Asia Tenggara, hal yang amat subtansi dan dieksplisitkan sebagai gagasan perwujudan gerakan pan-melayu itu adalah sebuah kepentingan penguatan teras identitas cultural (sastra dan sejarah) melayu. Brunei misalnya mengukuhkan dan mengimplementasi teras identitas kemelayuannya yakni Melayu – Islam, tercermin dalam filosofinya yakni MIB (Melayu – Islam Beraja). Demikian pula di Indonesia pada subkultur Minangkabau mengukuhkan Islam sebagai teras identitas melayu seperti tercermin dalam konsesus (perjanjian Bukit Marapalam) dan menjadi filosofi yakni ABS-SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah) dilaksanakan dengan komitmen SM-AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai) dan ATJG (Alam Takambang Menjadi Guru). Pengukuhan teras identas melayu itu, diperlukan penguatan kelembagaan dengan fungsi yang jelas, di antaranya dimungkinkan dalam bentuk “pan-melayu”.

Terlepas dari kemungkinan generalisan gagasan ini dhaif di kalangan 200-san sastrawan dari negara tetangga yang hadir pada Numera (dari Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura dan Thailand, dan 70 % kawan-kawan sastrawan/ budayawan dari Sumbar, Riau, Aceh, Jakarta, Jambi, Kalimantan, Lampung, NTB dll), namun sebuah gerakan pembelaan dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap keberlanjutan integritas dan jati diri (identitas) budaya melayu, amat perlu dilembagakan. Gerakan ini kilometer nolnya dimulai dengan pemanfaatan momentum event Numera Indonesia ini dengan menindaklanjuti rekomendasi yang dilahirkannya. Kepala Dinas Pariwisata Padang Dr. Edi Hasymi sebagai penanggung jawab dan Sastri Yunizarti ketua pengarah temu budayawan (sastrawan dan sejarawan) Numera Indonesia ini berharap forum ini efektif memulai penguatan persaudaraan budayawan melayu dan gerakan penguatan kebudayaan melayu. Salah satu alternative kelembagaan dari perspektif gerakan melayu adalah sejenis gerakan dan kelembagaan pan-melayu itu.

Justru masyarakat alam melayu nusantara memerlukan wadah sebagai basis gerakan kemelayuan. Pandangan ini akan menguat bila kembali melirik ke abad-19, ketika Daulat Usmaniyah memproklamirkan diri sebagai Negara super power. Daulat ini meluaskan hegemoninya dimulai dari menyatukan umat Islam dan bangsa Arab dengan gerakan pan-Islamisme, yang kemudian mendapat respon positif dari masyarakat Negara-neara melayu. Pan-Islamisme berhadapan dengan kekuatan Barat yang ketika itu menjajah beberapa Negara-negara di kepulauan melayu seperti Indonesia dan Brunei dalam perspektif politik berhadapan praktis dalam tekanan Barat itu. Respon melayu ketika itu dieksplisitkan dengan hubungan surat menyurat dan kegiatan diplomatik serta pengiriman utusan/ delegasi ke Istambul pusat kekuasaan Usmaniyah ketika itu. Pergolakan timur – barat itu mempengaruhi iklim perkembangan budaya melayu.

Barat sampai saat ini masih masuk jauh ke kalbu budaya melayu, untuk melumpuhkan kekuatan rumpun melayu yang berpotensi menjadi kekuatan basis Islam dunia. Fenomena ini menimbulkan kekhatiran tercerabutnya nilai budaya melayu itu sendiri dari akarnya. Bahasa Indonesia saja sebagai salah satu negara yang budayanya berada dalam lingkaran peradaban melayu, betapa jauh pengaruh bahasa Inggiris, yang membuat negara melayu serumpun menggerutu, sulit sekali sekarang memahami bahasa Indonesia sebagai ordo bahasa melayu. Dari fenomena ini kita berfikir perlu perumusan bahasa dan ejaan melayu. Huruf arab melayu di subkultur Minangkabau saja misalnya sudah terkubur dalam pusara kelumpuhan rasa bangga menjadi masyarakat budaya melayu. Sementara di Malaysia, Thailand Selatan (Pattani) dan Brunei dll misalmya tulisan jawi (di Minang dulu disebut huruf arab melayu), masih ditempatkan sebagai salah satu teras identitas melayu, dieksplisitkan dalam budaya keseharian di samping dipakai dalam penulisan pada media masa dan buku pengetahuan, sampai ke hal praktek terkecil pembuatan label papan nama toko/ kedai, perkantoran pemerintah dan swasta/ perusahaan serta bangunan sipil, monument dan sakral lainnya, masih menempatkan tulisan jawi di atas tulisan latin.

Dari berbagai fenomena ancaman lingkungan strategis internasional/ global itu, masyarakat melayu memerlukan wadah yang menjadi basis dan sentra gerakan penguatan ketahanan budaya melayu, yang satu alternative adalah gerakan pan-melayu ini. Pan-melayu diwujudkan dalam bentuk ideology yang menggerakkan jiwa masyarakat melayu mempertahankan budaya melayu dari berbagai pengaruh yang merusaknya bernaung dibawah sistem pemerintahan masing-masing negara melayu. Visi dan matlamat/ tujuannya adalah menyatukan masyarakat melayu dengan pengukuhan teras identitasnya di antaranya roh Islam sebagai dinamo penggerak dan sumber energi menyalakan semangat bangkit masyarakat negara-negara melayu bersatu. Pan-Melayu difungsikan sebagai polisi negara melayu untuk menciptakan iklim damai mayarakat melayu – Islam. Dengan fungsi ini Pan-melayu akan menjadi lembaga basis dan modal menggelar berbagai kegiatan kebudayaan (dalam sistem sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan/ sejarah, filsafat, seni (sastra) dan sitem religi) serta menegakkan perinsip-perinsip paham melayu sebagai “arus dalam” yang kuat memintas kehanyutan melayu dalam arus deras pengaruh Barat dan global.***

Pemahaman tentang Nagari

/ Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
I. Pendahuluan
Kebijakan “kembali ke nagari” sebagai strategi pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat mengundang pembicaraan hangat publik. Tidak saja pasalnya disebut-sebut implementasinya setengah hati, bahkan disebut sebagai “lebih parah”, paradoksal dan dehumanisasi. Parodoksal, teramati, dulu ketika pemerintahan desa melaksanakan UU 5/1979 dan Perda Sumar No.13/ 1983, nagari tidak pecah dan kelembagaan adat esksis, sekarang di era otonomi daerah melaksanakan UU 22/ 1999 diganti dengan UU 32/ 2004 plus UU 08/2005 dan Perda 09/2000 direvisi Perda 02/2007, justru nagari lama menjadi pecah dan dibagi dalam beberapa nagari disebut dengan istilah pemekaran. Dehumanisasi, teramati, niat pemekaran nagari hendak memudahkan urusan dan pelayanan warga, justru menghadang bahaya besar, ibarat meninggalkan bom waktu untuk anak cucu di nagari dan bisa meledak 5-10 tahun yang akan datang.
Kembali ke nagari dan terjadi pemekaran nagari bagaimanapun ini sebuah kebijakan. Permasalahanya bukan pada kebijakan saja, tetapi meliputi sistim kebijakan itu yakni: kebijakan itu sendiri, lingkungan kebijakan dan pelaku kebijakan. Dapat digarisbawahi pandangan Dunn (2001:67) masalah kebijakan bukan saja eksis dalam fakta di balik kasus tetapi banyak terletak pada para pihak/ pelaku (stakeholder) kebijakan. Artinya pelaku kebijakan sering menjadi persoalan. Tak kecuali dalam pelaksanaan kembali ke nagari yang kemudian tak dapat dihindari tuntutan memecah nagari yang disebut pemekaran itu.
Pelaku kebijakan (stakeholders) utama adalah pemerintah, masyarakat dan swasta. Masalah itu muncul ketika matrik stakeholder itu kabur dan tidak teraplikasikan sharing power ketiga stakeholders utama itu di nagari. Fenomena ini diikuti timbulnya pertanyaan besar, yakni lahirnya kebijakan, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, apakah kebijakan berposisi blamming the victims (ketidakadilan sosial)?.
Fenomena ironis dan menjadi isu otoda di Sumatera Barat dengan sistim kembali ke nagari itu, fokusnya berada antara fakta – ideal geneologis dan teritorial nagari. Idealnya kembali ke nagari ketahanannya menjadi kuat terpleihara integritas, identitas dan keberlanjutan nagari itu, justru sebaliknya nagari digambarkan sebagai disintegrasi mengancam identitas dan keberlanjutannya terutama sebagai subkultur Minangkabau terdesak dengan pilihan pemekaran yang diwadahi Perda.
LKAAM[2] sebagai bagian stakeholders utama dari unsur masyarakat adat, perlu menjelaskan kembali “pemahaman tentang nagari” dalam bebarapa dua silang pandang/ pendapat yang menjebak pro kontra. Pertama nagari faktor geneologis, kedua susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang, ketiga sejarah pembentukan kampung baru dan nagari, keempat sistim pemerintahan nagari (struktur dan perkembangannya, sarana prasarana, dan aset nagar), kelima pro kontra pemekaran nagari era otoda dan banyak lagi hal penting tentang nagari yang menarik dibicarakan dalam upaya pemahamannya secara komprehensip.
II. Nagari di Minangkabau
2.1 Nagari faktor geneologis dan teritorial persekutuan hukum republik kecil
Nagari Minang dominan faktor geneologis (pertalian darah). Beda dengan desa Jawa, lebih dilihat dari faktor teritorial (wilayah). Suasana suku lebih terasa di nagari Minang dibanding teritorial. Sungguh pun demikian nagari yang merupakan sub kultur (budaya khusus) Minang tidak mengabaikan wilayah. Nagari memiliki batas-batas wilayah nagari[3] yang kuat ditetapkan dengan sumpah satia moyang- puyang ketika nagari baru dibuat. Dalam nagari itu tak setapak pun tanah tak bermilik: milik komunal mulai dari ulayat nagari/ rajo, ulayat suku/ kaum/ penghulu, sampai milik wakaf dan milik privat yakni ulayat pribadi/ berlaku hukum faraidh (Islam).
Nagari merupakan persekutuan hukum. Persekutuan hukum yang dimaksud persekutuan warga yang terikat dengan satu kesatuan di mana warga antara satu sama lain memandang sama dalam seluruh aspek kehidupan.
Sebagai satu persekutuan hukum, ada kekuasaan, ada pemimpin yang bertindak atas nama atau kepentingan kesatuan masyarakatnya. Karenanya nagari pernah disebut Belanda sebagai Republik Kecil, seperti negara kecil yang merdeka memiliki kesatuan negara dan kewarganegaraan.
Dapat dipahami nagari Minang itu wilayah subkultur dan wilayah pemerintahan. Tumbuhnya nagari dari persepketif historisnya, tidak membagi wilayah pemerintahan yang luas, tetapi bermula dari keharusan pengadaan lahan baru, kemudian dilahan baru itu diproses menjadi nagari (terdiri banyak kampung dan sekurangnya 4 suku).
Sebelum menjelaskan proses orang Minang membentuk kampung baru ke arah proses pembuatan nagari baru, dijelaskan susunan masyarakat Minang.
2.2 Susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang
Susunan (organisasi) masyarakat Minang di nagari dapat dijelaskan dalam organ sbb.:
2.2.1 Paruik
Paruik sudah mempunyai persekutuan hukum. Kelompok paruik ini merupakan satu keluarga besar (famili).
2.2.2 Jurai
Jurai ini berasal dari paruik yang sudah berkembang. Perkembangan paruik itu, memicu timbulnya keharusan membelah diri menjadi satu kesatuan yang berdiri sendiri, inilah disebut dengan jurai.
2.2.3 Suku
Suku merupakan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya setelah jurai. Organ masyarakat suku ini merupakan kesatuan-kesatuan matrilineal baru di samping paruik asalnya yang bertali darah dilihat dari garis ibu. Namun suku tidak merupakan satu persekutuan hukum, karena suku dapat berpencar di lain wilayah. Artinya suku tidak terikat dengan teritorial, tetapi diikat tali darah dari garis ibu. Karenanya di mana saja suku yang merasa satu kesatuan masyarakat yang sama merasa setali darah (badusanak).
2.2.4 Kampung
Kampung adalah kelanjutan dari paruik. Paruik berkembang menjadi jurai. Di samping paruik dan jurai berkembang lagi kesatuan matrilineal baru seperti tadi disebut suku. Mereka mendirikan rumah berdekatan. Kelompok rumah yang se-paruik, se-jurai dan se-suku disebut kampung.
2.2.5 Nagari
Nagari kelanjutan dari paruik, jurai, suku dan kampung. Bila di kampung lama sudah habis tanah mendirikan rumah, keluarga besar sawah dan lahan kering sempit, maka mereka mencari lahan baru. Lahan baru itu dibersihkan (ditatak) menjadi Taratak. Bagian dari anggota paruik atau jurai atau se suku dalam kampung lama ada yang ingin pindah ke wilayah baru itu. Taratak berkembang menjadi dusun. Dusun memiliki wilayah pusat bernama Koto. Mereka yang se paruik, sejurai atau sesuku mendirikan rumah pula berdekatan, lalu munculan perkampungan baru. Lama kelamaan kampung menjadi banyak. Ada disebut kampung kampai, kampung sikumbang, kampung panai, kampung caniago dsb. Akhirnya bersama-sama para tuo kampung mendirikan nagari.
3. Sejarah pembentukan nagari Minang
Tadi dalam susunan masyarakat nagari disebut nagari mulo dibuek (mulai didirikan) berhubungan dengan lahan/ wilayah baru tak berpenduduk. Bermula dari taratak, taratak menjadi dusun. Dusun menjadi koto. Koto sebagai wilayah pusat perkampungan. Kampung-kampung bergabung sepakat menjadi nagari baru. Jadi pembuatan nagari baru bukan membagi wilayah nagari yang telah ada. Tetapi bermula dari mencari lahan baru karena ruang hidup (lebensraum) sudah sempit. Tak ada lagi lahan mendirikan rumah, tak cukup lagi sawah ladang yang ada untuk kaum (paruik – suku). Lalu KK (Tunganai/ saudara lelaki tertua) diikuti beberapa keluarganya dalam satu suku atau banyak suku mencari lahan baru. Mereka berpisah dengan kampung asalnya meninggalkan sanak saudaranya yang lain separuik atau sesuku. Di lahan baru itu mereka berladang, meneroka sawah dan mendirikan rumah. Saat itu dimulai proses pengembangan wilayah (resort) perkampungan baru.
3.1 Taratak
Prosesnya bermula dari orang di kampung-kampung pada satu nagari lama. Dari perspektif ekonomis, mereka pindah dan membuka lahan baru berladang jauh dari nagarinya untuk memenuhi kebutuhan hidupannya. Dari perspektif geostrategis, ruang hidup mereka di nagari lama sudah merasa sempit dan perlu perluasan wilayah. Mereka membuka lahan baru jauh dari nagarinya. Mereka membangun pemukiman disebut Taratak. Mereka membuat rumah, meneroka sawah, mengolah ladang dan mengatur kebutuhan hidup dan sosial budaya mereka. Setidaknya mereka terdiri dari dua suku. Pertalian dengan kampung asal usul masih kuat dan utuh. Mereka masih bermamak dan berpenghulu andiko ke kampung asalnya sebagai kepala keluarga dalam masyarakat adat.
3.2 Dusun
Berproses dari Taratak. Ketika wilayah Taratak berkembang, jumlah penduduk bertambah pindah ke sana, rumah semakin bertambah, maka wilayah itu diproses penduduknya menjadi Dusun. Syarat menjadi dusun itu setidaknya ada 3 suku. Warga dusun ini masih bermamak ke kampung lama tempat asal usulnya.
3.3 Koto dan Nagari
Lahirnya Koto berproses dari Dusun. Ketika itu dusun telah punya penduduk yang cukup rapat dan terus bertambah menjadi 4 suku. Mereka terus memperluas perkampungan di sekitar wilayah itu. Mereka meneroka sawah dan membuka lahan kering berladang. Mereka mendirikan perkampungan baru dan menjadi banyak kampung yang berpusat pada Koto. Kampung-kampung dari daerah pusat itu bersama-sama mereka membuat nagari. Kampung-kampung baru menjadi nagari baru merupakan keberlanjutan hidup paruik baranak pinak dan berkembang menjadi jurai. Di nagari baru ini saudara perempuan yang banyak dalam kaum sesuku mendirikan rumah berdekatan/ mengelompok. Di sini tempat kediaman tetap yang baru bagi paruik yang berpisah dari keluarga di kampung lama. Hubungan selanjutnya tetap erat, diatur kesatuan geneologis (suku – tali darah) yang tidak dibatasi teritorial kampung lama dan baru. Di sini mereka menetapkan struktur baru pemerintahan di wilayah nagari baru, KK (tunganai), penghulu andiko, tuo kampung/ jorong, penghulu 4 suku dst.
Dapat dicatat, Taratak, Dusun, Koto bukanlah struktur nagari tetapi proses pengembangan wilayah menuju terbentuknya kampung baru sebagai wilayah utama nagari. Yang menjadi struktur wilayah nagari adalah (1) Kampung/ Koghong (Korong/ Jorong) dan (2) Nagari.
Nagari lama tidak dapat dibagi/ dipecah meskipun luas karena sudah menjadi wilayah subkultur dan persekutuan hukum. Budaya Minang tidak baik mendirikan kampung – nagari dalam kampung – nagari. Apakah kearifan lokal (local genius) Minang seperti ini, Minang tidak menuntut sebagai daerah istimewa, di samping memang kuat tekan luar yang tak tersongsong arus Minang. Namun yang jelas, budaya Minang kalau ingin membuat kampung harus membuka lahan baru jauh dari kampung induk meski harus menguatkan tali hubungan darah. Setidaknya budaya (kode prilaku) Minang tak mau bikin kampung di tengah kampung seperti ini dapat menyertai (menengahi?) polemik wartawan senior Marthias Pandoe (Padang Ekspres, Jum’at 24 Okt 2008) dan pakar budaya Suryadi (Padang Ekspres Selasa 28 Okt 2008) tentang orang Minang ke mana pun Merantau tidak pernah membuat kampung Minang di kota/ negeri rantau seperti Kampung Jawa, Cina, Keling, Nias, Bugis dan kampung lainnya yang ada di kota-kota besar. Sebab itu pula pemekaran nagari memasuki wilayah pro kontra.Yang kental geneologis dan budaya adatnya pasti tak mau (kontra) dan longgar mengantarkan prinsip setuju (pro).
4. Sistim pemerintahan nagari
4.1 Struktrur, sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari
Secara umum pemerintah nagari di Minang diatur dengan Undang-Undang Nagari (bagian dari UU nan-4 Minang). Yang diatur tidak saja struktur tetapi juga sistem pemerintahan nagari yang mandiri, dieksplisitkan dalam rukun, syarat dan syiar nagari.
4.1.1 Rukun nagari, nilainya dalam undang-undang dalam bentuk petatah sbb.:
Rang gadih mangarek kuku
Pangarek pisau sarawik
Pangabuang batang tuonyo
Batangnya ambiak ka lantai
Nagari baampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang bamamak ba nan tuo
Rumah dibari batunganai
(anak gadis memotong kuku
Pemotongnya pisau serawik
Pemotong batang tuanya
Batangnya diambil untuk lantai
Nagari harus ada 4 suku
Dalam suku ada keturunan se perut
Kampung punya mamak dan punya ketua kampung
Rumah ada lelaki sulung)
Nagari sebagai wilayah subkultur, sejak dahulu sudah memiliki alat kelengkapan pemerintahan. Struktur pertama dari bawah rumah batunganai sebagai Kepala Keluarga (saudara lelaki tertua/ mamak tertua dalam paruik). Kedua bamamak yakni mamak kaum sebagai penghulu andiko/ dipilih dari Tunganai, ketiga kampung ba nan tuo yakni Tuo Kampung (Kepala Jorong) dipilih dari penghulu andiko, keempat kepala tali darah (suku) dipimpin penghulu suku nan-4 di nagari.
Struktur ini terlihat pada petatah (tata pemerintahan) dalam Undang Undang Nagari Minang di atas. Pertama penghulu 4 suku, kedua tuo kampung, ketiga penghulu andiko, keempat kepala keluarga/ tunganai/ mamak paruik yang tertua. Dari petatah tadi juga terbaca sistim pemerintahan, kerukunan nagari otoritas 4 suku, tuo kampung, penghulu andiko, dan tunganai/ anak lelaki sulung yang berfungsi sebagai KK dengan tugas sebagai pengawas harta benda kaumnya. Penghulu 4 suku memilih ketua KN (Kerapatan Nagari), ketua kerapatan nagari langsung menjadi Kapalo Nagari (Penghulu Palo). Struktur ini berkembang sesuai kelarasan dan demokrasi Minang yang dianut nagari, nanti dijelaskan dalam perubahan sistim pemerintahan nagari.
4.1.2 Syarat nagari
Balabuah batapian
Babalai ba musajik
Bagalanggang bapamedanan
(punya jalan dan tepian tempat mandi
Punya balai-balai tempat bermufakat dan punya masjid
Punya gelanggang tempat bersilat)
Butir Undang Undang Nagari ini mengariskan sarana dan prasarana pisik sebagai syarat vital harus dimiliki Nagari. Sarana dan prasarana vital itu:
(1) jalan, (2) pemandian, (3) balai-balai/ gedung pertemuan (tempat musyawarah), (4) masjid, (5) gelanggang (tempat latihan bela diri) dan (6) pemakaman Nagari.
4.1.3 Syiar nagari
Rangkiang nan tinggi manjulang
Sawah nan bapiring bapamatang
Ameh jo perak nan batahia batimbang
Kabau jo bantiang nan banyak di padang
(rangkiang yang tinggi menjulang
Sawah luas punya petakan dibatasi pematangnya
Emas dan perak banyak
Kerbau dan jawi banyak di padangnya)
Butir Undang Undang Nagari ini mengatur sarana prasarana serta aset ekonomi nagari disebut sebagai dapat menghidupkan syiar (semarak) nagari yang menunjukan kesejahteraan rakyat dan aman kemakmuran. Sarana dan aset ekonomi nagari itu yang mesti diadakan: (1) rangkiang (lumbung gabah/ beras), (2) lahan basah (sawah), (3) masyarakat memiliki perhiasan (emas dan perak), memiliki ternak (kerbau dan jawi) serta padang rumput tempat pengembalaannya.
Simpul kecil struktur, sistim dan sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari dapat dieksplisitkan dalam 8 butir sbb.:
(1) Babalai – bamusajik: punya rumah adat tempat bersidang membuat mufakat dan masjid untuk tempat beribadat dan pusat budaya ABS-SBK dengan aplikasi SM-AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai).
(2) Basuku – banagari: punya 4 suku, struktur tertinggi nagari yang punya otoritas memberikan jaminan berkembangannya suasana kehidupan bernagari.
(3) Bakorong – bakampuang: punya korong (lingkaran inti)/ jorong) kampung sebagai bagian wilayah utama nagari.
4) Bahuma – babendang: punya rumah gadang tempat berteduh paruik dan punya penerangan kampung yang cukup.
(5) Balabuah – batapian : punya prasarana jalan untuk mengakses nagari dan punya tepian tempat pemandian. Sekarang tepian mungkin sebagian sudah dipindahkan ke dalam rumah dalam bentuk kamar kecil/ kamar mandi yang indah yang sifatnya privat, menggusur dan tak menganggap penting lagi pemandian yang komunal (milik kaum).
(6) Basawah – baladang : punya aset ekonomi nagari sawah – ladang yang luas termasuk perhiasan (emas dan perak) dan ternak (kerbau dan jawi) dengan padang pengembalaan.
(7) Bahalaman – bapamedanan : rumah kediaman punya halaman dan gelanggang pemainan anak nagari atau sasaran silat.
(8) Bapandam – bapakuburan : punya komplek pemakaman nagari tempat berkubur anak nagari).
5. Perkembangan sistim pemerintahan nagari
Sistim pemerintahan nagari berkembang sejalan dengan sistim demokrasi dan kelarasan serta perubahan yang terjadi di nagari. Sistim itu meliputi struktur, SDM dan mekanisme organisasi (manajemen) pemerintahan nagari. Perubahan sistim pemerintahan nagari itu banyak ditulis penulis Minang (a.l. AM Dt. Batuah, Dt. Sanggono Dirajo, Bahar Dt.Nagari Basa, AA Navis, Dr. Chairul Anwar, A.Dt. Rajo Mangkuot dll.) setelah dibanding dan dikombinasikan liputan para penulis itu dapat dijelaskan sbb.:
1.1 Nagari tradisi-1 menganut demokrasi kelarasan Koto Piliang (Dt. Ketumanggungan) abad ke-8 menggambarkan :
- Nagari otonomi
- Pemerintah Nagari (Eksekutif dan Legislatif). Struktur pemerintahan (eksekutif) Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4 suku) dan Rakyat (Paruik, Jurai dan Kaum Suku). Struktur pemerintah (legislatif) adalah Ketua KN, Kumpulan Penghulu dari Kampung/ Jorong plus penghulu kaum dan rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) dipimpin penghulu pucuk diplih dari penghulu anggota KN
- KN berfungsi legislatif
- Ketua KN langsung menjadi Kapalo Nagari (eksekutif) dan diberi hak mengangkat perangkat nagari dengan struktut/ formasi sesuai kebutuhan.
- Peradilan nagari (yudikatif) diangkat dengan mufakat Kapalo Nagari dan KN
- Sandi hukum adat: adat basandi alua jo patuik, alam takambang jadi guru.
1.2 Nagari tradisi-2 menganut demokrasi kelarasan Bodi Caniago (Dt. Perpatih nan Sabatang sampai Adityawarman):
- Sudah otonomi
- Pemerintah Nagari (Eksekutif dan Legislatif). Struktur pemerintahan (eksekutif) Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4 suku) dan Rakyat (Paruik, Jurai dan Kaum Suku). Struktur pemerintah (legislatif) adalah Ketua KN, Kumpulan Penghulu kaum dari kaum di Kampung/ Jorong dan rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) wakil penghulu kaum diplih dari kumpulan penghulu kaum
- KN berfungsi legislatif
- Ketua KN langsung menjadi Kapalo Nagari (eksekutif) dan diberi hak mengangkat perangkat nagari terdiri dari: manti (sekretaris), cati, bandaro, parik paga, pendidikan dan peradilan.
- Peradilan nagari (yudikatif) menjadi perangkat nagari diangkat Kapalo Nagari bersama KN
- Sandi adat tetap seperti nagari tradisi-1
2. 1803-1837 pasca tradisi dan penguatan pengaruh Islam
2.1 Nagari tawaran ulama
- Otonomi
- Pengaruh Islam lebih menguat
- Pemerintahan nagari eksekutif, legislative dan yudikatif. Ada pemisahan kekuasaan trias politika: Dewan Nahi (Yudikatif) wakil fungsionaris Tungku Tigo Sajarangan, Badan Ulil Amri (Eksekutif) dan Dewan Amar Ma’ruf (Legislatif). Ketiga Dewan/ Badan ini dipilih umat (rakyat). Cerminan nilai tali tigo sapilin (syara’/ anggo tanggo, undang/ raso pareso, aturan/ hukum adat/ alua jo patuik), dijalankan fungsionaris tungku tigo sajarangan: ulama, penghulu, cadiak pandai dilembagakan dalam KN.
Struktur: Badan Ulil Amri/ Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum dan Umat (Rakyat). Perangkat nagari: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan, kapalo kampong/ jorong dan kaum membantu.
- Penghulu + ulama dipilih wakil untuk duduk di legislative dan yudikatif serta eksekutif/ kapalo nagari.
- Kapalo Nagari terbitkan aturan adat salingka nagari
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM
2.2 Nagari ABS-SBK
- Otonomi
- Aspirasi perjanjian Marapalam (771 H)
- Pemerintahan nagari eksekutif (Kapalo Nagari), legislatif (KN: wakil NM, AU dan CP dipilih kerapatan NM,AU,CP. Kerapatan NM, AU dan CP dipilih Kerapatan NM,AU dan CP) dan Yudikatif (Peradilan Nagari).
- Struktur: Kapalo Nagari (dipilih t-3s), Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum dan Rakayat.
- Perangkat nagari: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Tingkatan pemerintahan: (1) Minangkabau (rajo 3 selo + basa 4 balai), (2) Luak (koordinator kelarasan), (3) Lareh (federasi nagari-nagari dipimpin kapalo lareh), (4) Nagari (kapalo nagari), (5) Jorong (kapalo jorong), (6) kampung (kapalo kampung/ jika perlu), (7) kaum (kapalo kaum), (8) kerabat (mamak rumah), (9) paruik (ibu tertua), (10) rakyat (anak kapanakan).
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM
3. 1837-1942 Masa Belanda, pasca Perang Paderi sampai masuk Jepang
Nagari berdasarkan Stb774 th 1914 dan Stb 667 th 1918
- Nagari tidak otonomi lagi
- Sudah struktur bawah dari Ass. Residen. KN (legislative, wakil t32: NM,AU dan CP) semula setara dan setangkup dengan pemerintahan nagari strukturnya seperti ditempatkan di bawah Kapalo Nagari. Kapalo Nagari sekaligus ketua KN (Stb 774 th 1914). Kapalo nagari dipilih t-3s dikukuhkan SK Residen Weskust Sumatera an. Pemerintahan Hindia Belanda (Stb 667 th 1918).
- Kapalo nagari dipilih
- Struktur lengkapnya (1) Residen Sumatera (2) Ass. Residen, (3) Nagari Hoofd, (4) Kapalo Jorong, (5) Penghulu kaum, (6) Rakyat.
- Perangkat nagari: juru tulis, peradilan, bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Kepala nagari dipilih Kerapatan Nagari (penghulu) digaji
- Penghulu ba-SK
4. 1942-1945 era Jepang sampai masa kemerdekaan
- Nagari sistem militer
- tak otonom
- Kapalo Nagari ditunjuk Jepang
- KN (Legislatif) dibiarkan jalan begitu saja tapi tak dihormati, anggotanya terjaris kerja paksa ke logas, KN tidak bisa melindungi.
- Sandi adat ABS-SBK tidak dihormati
- Kepala nagari penghulu dipilih masy. diangkat jepang
5. 1945 – 1979 masa Kemerdekaan, Orla dan Orba
5.1 Nagari Sumatera Barat (Maklumat Residen Sumbar 20/21 th 1946) sejak revolusi –orla.
- Nagari wil. pemerintahan terendah dalam sistem NKRI
- Kepala nagari dipilih KN dari t3s diangkat pemerintah.
- Pem. Nagari terdiri dari (1) Kapalo Nagari, (2) DPN (Dewan Perwakilan Nagari) sebagai legislatif wakil t3s: NM, AU dan CP dan KN tidak dieksplisitkan dan (3) Peradilan Nagari (PN) sebagai yudikatif.
- Struktur: (1) Kapalo Nagari, (2) Kapalo Jorong, (3) Penghulu kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat Kapalo Nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.2 Nagari Sumatera Tengah 1949
- tak otonomi
- Pemerintah nagari: (1) wali wilayah (eksekutif) dipilih dari t3s NM, AU dan CP, (2) DPR Wilayah (legislatif wakil t3-s NM, AU dan CP ), KN juga hilang dan (3) Peradilan Nagari (yudikatif) diplih dari t-3s.
- Struktur pemerintah nagari: (1) Wali Wilayah (langsung ke Bupati), (2) Kapalo Jorong, (3) Kapalo kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.3 Nagari perubahan
- tak otonomi
- Wali wilayah dirubah menjadi Wali Nagari, DPRWilayah dirubah menjadi DPRN, peradilan ditiadakan. Struktur kepala kaum dirubah menjadi penghulu kaum.
- Perangkat diperbanyak termasuk kaur pembangunan.
5.4 Nagari 1959 (Instruksi Peperda No. 02.462.1963 dan SK Gub. No. 32/Desa/GSB/59
- tak otonom
- Pem. Nagari terdiri dari (1) Kepala Nagari dan (2) BMN.
- Rubah struktur, (1) wali nagari dirubah menjadi kepala nagari (lengsung terstruktur ke camat), (2) DPRN bagai legislatif dirubah menjadi BMN (Badan Musyawarah Nagari) berada di bawah struktur Muspika di tingkat kecamatan. Anggota BMN ditunjuk Muspika dari 10 unsur masyarakat: adat, agama, FN (fron nasional), LSN, koperasi, wanita, tani/ nelayan, buruh, pemuda dan veteran.
- Kepala Nagari disyaratkan surat TTT PRRI dari Kodam 17 Agustus.
5.5 Nagari Orla (SK Gub No 32/GSB/59)
- Perubahan Kepala Nagari dirubah lagi Wali Nagari dan BMN diganti DPRN bawahan dari Muspika di tingkat kecamatan (camat, koter kec., polisi kecamatan). Sivil dikomandoi militer.
5.6 Nagari 1968 (SK Gub. No. 15/GSB/68)
- tak otonom
- struktur sama dengan SK Gub 32/GSB/59.
6. 1979 – 1999 era pemerintahan desa
(UU 5/1979 + Perda Sumbar No.13/ 1983)
- Nagari tetap wilayah adat, pemerintahan desa setingakt jorong/ kampung di nagari.
- Desa wilayah adm pemerintah terendah dalam NKRI (perspektif politik)
- Nagari menjadi ideal: lembaga persekutuan hukum adat (perspektif subkultur)
- KAN (Kerapatan Adat Nagari) dihormati tertinggi di nagari berfungsi legislatif (lembaga demokrasi tempat bermusyawarah) dan yudikatif (peradilan). Struktur (1) KAN di Nagari, (2) Tepatan KAN di tingkat desa setingkat jorong/ kampong dan (3) penghulu kaum. Keanggotaan KAN 4 unsur: NM, AU, CP, BK.
- Kades diangkat pemerintah dan diberi honor.
- Struktur: (1) Kades di tingkat Jorong/ Kampung, (2) Penghulu Kaum dan (3) Rakyat.
7. 1999 – era reformasi sekarang
7.1 Nagari mengacu UU No. 22/1999+ Perda 9/2000)
- Otoda: sistim kembali ke nagari, nagari ganti mantel desa
- Otonomi setengah hati
- Nagari disetingkatkan desa di provinsi lain di Indonesia, akibatkan nagari terancam dipecah istilah politik pemekaran dengan berbagai motivasi dan pardigma.
- Struktur: (1) Wali Nagari (bertanggung jawab ke Bupati), otonom seperti raja kecil, (2) Kepala Kampung (nama di tempat lain juga ada Kepala Jorong), (3) Rakyat.
- KAN pasilitasi kembali ke nagari dan pasilitasi pembentukan DPN dan BMAS. Wali Nagari dipilih rakyat dilakukan dalam event Pilwana dibentuk DPN, Wali Nagari terpilih dilatintik Bupati dalam siding pleno DPN.
- KAN masih dieksplisitkan tetapi kehilangan peran: sebab (1) dualisme dengan BMAS yang memicu konflik nagari. Artinya fungsi legislatif dan yudikatif KAN hilang. Apa mungkin KAN dan BMAS sebagai parelemen dua kamar seperti Australia (majelis tinggi dan majelis rendah) juga belum teridentifikasi, (2) menyamakan posisi KAN dengan lembaga unsur ulama, bundo kandung, cadiak pandai dan pemuda, yang mengakibatkan posisinya dijatuhkan dan tidak dihormati dalam pertarungan politik. Seharusnya KAN itu di dalamnya semua unsur itu. Kalau pemilihan DPN dan BMAS, calon KAN justru yang dicalonkan 4 unsur lainnya itu.
7.1 Nari mengacu UU 32/2004+ UU 8/2005 + Perda Sumbar No.2/2007)
- Keadaan tidak berubah, malah pemekaran nagari makin memasuki kancah pro kontra
- Kalau sebelumnya KAN kabur dengan DPN dan BMAS, sekarang dikaburkan dengan Bamus (Badan Musyawarah Nagari) dan disejajarkan dengan kelembagaan pemuda, alim ulama, Bundo Kandung dan Cadiak Pandai, berakibat banyak memicu konflik dalam pemilihan Bamus bahkan pemuda (kapanakan) terjadi mandago mamak/ melawan hokum adat.
- Komitment nagari sebagai subkultur semakin kabur.
Mencermati perjalan sejarah sistim pemerintahan nagari, terlihat dua bentuk sistim. Pertama pemerintahan nagari perspektif kenegaraan setangkup dengan pemerintahan adat, kedua pengaburan pernan kelembagaan adat dalam pemerintahan nagari.
Pemerintahan nagari setangkup dengan adat, terlihat dieksplisitkan kelembagaan adat yakni KN kemudian KAN dan jelas pendistribusian kekuasaannya. Ada 6 periode sistim pemerintahan yang secara ekplisit memerankan KN/ KAN, (a) peran ganda legislatif dan yudikatif yakni (1) era pemerintahan nagari tradisi (masa Dt. Katumanggunan dan (2) era Dt. Perpatih nan Sabatang) dan (3) era pemerintahan desa (UU 5/1979 + Perda 13/ 1983), (b) peran legislatif saja pada era pemerintahan nagari ABS-SBK pasca perjanjian Marapalam (771 H) dan era pelaksanaan Stb 774/1914 – Stb 667/ 1918,(c) kabur peran kelembagaan KAN yang dieksplisitkan di era Otoda “kembali ke nagari” pelaksanaan UU 22/ 1999 + Perda Sumbar 9/ 2000 karena legislatif diadakan DPN dan yudikatif diadakan BMAS; (d) peluang berperan yudikatif, karena Bamus diperankan sebagai legislatif di era pemerintahan nagari sekarang pelaksanaan UU 32/2004 + UU 8/2005 + Perda 2/2007.
Pemerintahan nagari yang tidak setangkup dengan adat dan kelembagaan KN tidak dieksplisitkan yakni era (1) sistim ditawarkan ulama Islam dan adat inplisit dinyatakan Kapalo Nagari terbitkan adat salingka nagari, (2) era revolusi – orla KN diganti DPN sebagai legislatif dan Peradilan sebagai Yudikatif, (3) era Sumatera Tengah KN diganti DPRW sebagai legislatif dan Peradilan sebagai Yudikatif, (4) era Peperda o2.462.1963 + SK Gub 32/Desa/GSB/59 tidak ada KN diganti BMN bawahan Muspika Kecamatan terasa intervensi militer, (5) Orla SK Gub 32/GSB/59 KN dengan BMN dan BMN diganti DPRN bawahan dari Muspika dan era Orba SK.Gub 15/GSB/68 sama DPRN bawahan Muspika.
III. Menjelaskan pro kontra pemekaran nagari era otoda kembali ke nagari
Dari perspektif nagari di Minang dan sistim pemerintahannya, sebenarnya pemekaran nagari dalam pengertian sekarang, ada yang boleh boleh dan ada yang tidak. Dibolehkan bila (1) nagari memanjang, tak sama asal usul, tak sama monografi, tak kuat lagi hubungan tali darah (paruik, jurai, suku), (2) wilayahnya jauh dari nagari induknya dan atau memanjang akses jalan melewati nagari lain seperti Kampung Mandeh dengan Nagari Nanggalo atau Mudik Ayia dengan Nagari Duku di Tarusan melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa baru sampai ke nagari Duku.
Sejarah punya nilai instruktif. Sejarah nagari menginstruksikan, tidak ditemukan istilah pemekaran nagari Minang yang pengertiannya memecah wilayah nagari yang luas (punya persekutuan hukum berdasarkan asal usul yang sama) dan masyarakatnya yang tersusun dalam kesatuan hubungan tali darah (paruik, jurai, suku) yang kaut, menjadi beberapa nagari baru. Yang ada dan boleh pendirian nagari baru dengan wilayah baru dan penduduknya dengan kemauan sendiri translok/ pindah ke sana dan wilayah itu berproses menjadi nagari baru. Membentuk nagari itu dulu dan mempertahankan persekutuan hukumnya dengan sumpah satia: “nagari diwariskan ke anak cucu sampai hari kiamat dan menjaga integritas, identitas dan keberlanjutannya, tak berubah sampai gagak putih”.
Namun peluang masih ada kampung yang terbengkalai berproses menjadi nagari, fenomena ini dimungkinkan boleh diproses menjadi nagari baru, dan ini bukan pemekaran namanya, tetapi dilanjutkan prosesnya menjadi nagari baru dengan sumpah satia yang baru. Misalnya Kampung Mandeh dalam Nagari Nanggalo, Kampung Mudiak Ayia wilayahnya jauh dari Nagari Duku melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa atau juga mungkin seperti Lagan dll.
Mekar nagari dalam pengertian memecah wilayah yang luas dengan mempersingkat jarak dan membagi penduduk seperti yang menjadi sebuah fenomena pro kontra, banyak mengahadang bahaya. Bom waktu bagi anak cucu di mana 5-10 tahun yad saja dimungkinkan bakal meledak. Hati-hati, kita bakal menjadi moyang dan puyang. Pemekaran nagari induk menjadi banyak nagari, lihat betul motivasi dan paradigmanya. Apakah karena keinginan sementara pihak menjadikan basis politik dan kekuasaan atau karena mau pembagian kue pembangun lebih banyak seperti desa dulu yang tanpa sadar melumpuh semangat goro yang selama ini menjadi roh nagari?. Jan rusak nan banyak karano nan saketek (sedikit). Jangan samapi rusak adat di nagari sebagai subkultur yang dominan faktor geneologis yang intinya adat. Kembali ke nagari yang ada saja (1 KAN:1 Wali Nagari) masih belum efektif pelaksanaannya karena tidak banyak tahu sejarahnya dan memang sudah lama pula tidak dipraktekan lagi kehidupan bernagari itu. Karenanya pula merevitalisasi sistim pemerintahan nagari lama saja masih sulit (ya SDM, ya manajemennya, ya kinerja aparaturnya) menjadi nagari mandiri, ditambah lagi dengan masalah nagari baru yang harus pula membangun hal-hal yang vital di nagarinya yang baru itu.
Taroklah dalam pemekaran itu lembaga adat tidak dipecah, hanya pemerintahan saja yang dipecah. Pertama sudah berulang sejarah memisahkan adat dan pemerintah berbeda dengan sistim nagari semula yakni pemerintahan adat dan negara setangkup. Kedua bahaya akan menghadang, wali nagari banyak pada satu nagari adat (1 KAN berbanding banyak Wali Nagari). Siapa yang menjadi komando, mungkinkah dengan 1 KAN memberi kemudahan (tidak mengalami konflik) bagi Wali Nagari yang banyak dalam pengambilan keputusan nagari yang intinya di nagari Minang adalah musyawarah (rapek) dan hasil rapek itu yang dijalankan? Banyak hambatan, ujungnya konflik dan membahayakan ketahanan nagari (integritasnya, identitasnya bahkan keberlansungan hidupnya) baik dilihat dari perspektif sistim sosial, sistim politik maupun sistim ekonomi.
Dari perspektif sosial, pemekaran nagari induk besar kemungkinan akan memecah persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat Minang, adat akan semakin dimarginalkan bahkan akan kaburkan peranan lelaki Minang terutama ninik mamak yang sebenarnya amat diharapkan pemerintah.
Dari perspektif politik, pemekaran nagari memicu konflik (1) antara lembaga nagari yang ada dan (2) antara lembaga nagari dan kelembagaan adat. Kini KAN satu, nagari baru mekar merasa sama besar dengan nagari induknya, lalu mendirikan KAN baru pula, ujungnya konflik. Sebelum dimekarkan saja, pendistribusian tupoksi antara KAN dan Bamus pun belum jelas. Kalau tidak saling dewasa atau masih saling sama merasa besar di nagari, akan menimbulkan perpecahan dan saling tak menghormati. Dalam satu persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat 1 nagari adat (1 KAN) dimekarkan menjadi banyak nagari lambat laun memicuk lahirnya konflik perbatasan nagari. Soal batas nagari yang ada (induk) saja belum terselesaikan. Sebab dalam pespektif ilmu geopolitik, perbatasan rawan konflik dan berhadapan dengan sahwat perluasan wilayah seperti diberi peluang teori expansionisme Jellen.
Dari perspektif ekonomi, satu nagari memanjang, dibagimekarkan, sungai mengalir di sepanjang nagari induk dan nagari baru itu yang dulu satu. Nagari yang di mudik mau berladang kacang, pengairan ditiadakan tani kacang, nagari baru dihilir mau mengolah sawah, lalu bertabrakan kepentingan ladang kacang satu nagari dengan kepentingan sawah di nagari yang lain yang dulunya satu komando. Kapan itu sama-sama dapat air mengeloah sawah bersama dan ladang kacang bersama dalam 6-7 nagari pada 1 KAN. Saat itulah konflik terjadi.
Konflik tak terselesaikan oleh 6-7 Wali Nagari : 1 KAN dan safety valve konflik tak ditemukan, maka kesatuan ekonomi terancam dan dalam adat Minang, fenomena ini disebut “tanda di nagari itu tak ado lai ba nan gadang” (tak ada yang dihormati) dan sudah banyak komando, siapa yang mau didengar. Mungkin akan lebih besar konflik misalnya ketika investor masuk dan berhubungan dengan tanah ulayat, sulit mengambil keputusan dengan 1 komando adat berbanding banyak wali nagari. Apalagi penafsiran tanah ulayat itu kabur antara hak komunal dan privat, yang bisa mengantarkan kepandangan yang salah menjual tanah ulayah ke investor dan amat tercela sebenarnya di Minang. Tanah ulayat adalah investasi nagari tak boleh dijual dan digadaikan, ibarat batang kayu, buah manisnya boleh dimakan, batangnya tak boleh dijual/ digadaikan.
IV. Penutup
Punyang Minang, cukup pintar manta persekutuan hukum dan menata kesatuan kelompok sosial di samping faktor wilayah, ekonomi dan politik, dominan faktor geneologis (mulai dari kelompok paruik, jurai, suku, kampung dan nagari) serta arif dalam membentuk nagari dan melegitimasi serta menciptakan ketahanannya dalam semua aspek kehidupan masyarakatnya (ipoleksosbudhankam nagari) dengan sumpah satia: nagari diwariskan utuh sampai kiamat dan putiah gagak hitam nagari tidak akan berubah.
Artinya dari amanat sejarah, wilayah nagari yang luas, persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakatnya masih kuat tidak boleh dipecah dan dibagi menjadi banyak nagari seperti pengertian pemekaran nagari kini yang memasuki wilayah pro kontra anak Minang. Yang boleh dimekarkan, adalah mengupayakan kampung yang jaraknya memanjang, akses jalan berbelit, tidak kuat lagi pertalian asal usulnya, tak satu monografinya karena puyangnya mencari lahan jauh dari nagari induk dan prosesnya jadi nagari dulu mungkin terbengkalai.
Disarankan, nagari yang masih kuat persekutuan hukumnya meski wilayah luas dan penduduk rapat, pertimbangkanlah untuk pemekaran. Silahkan dimekarkan kampung menjadi nagari yang posisinya memanjang, akses jalannya melewati nagari lain/ jalan sulit dan tak kuat lagi pertalian asal usulnya dibuktikan tidak ada keharusan secara eksplisit masyarakatnya bermamak berkapanakan kepada nagari induknya dalam berbagai pelayanan ulayat dan putus pelayanannya pada paruik, jurai dan suku di kampungnya itu. Artinya kampung itu dulu dimaksudkan menjadi wilayah baru menjadi nagari, tapi terbengkalai menjadi nagari, karena faktor hambatan kurang jumlah kampung dan jumlah suku.
Lebih penting lagi, disarankan melahirkan perda mengakomodasikan nilai adat, dengan proses memutuskan dan mengusulkan struktur pemerintahan terendah itu adalah kampung bukan nagari. Kalau mesti nagari juga, hindari kebijakan publik terperosok ke kancah blaming the victims (ketidakadilan sosial), sebab lahir/ diundangkannya sebuah kebijakan, pertanyaan penting yang muncul: “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan”. Hindari Perda membuat tak berdaya kelembagaan adat. Perda nagari yang ada terasa memarjinalkan dan merugikan adat, kelembagaannya dibuat tak berdaya contohnya KAN disamabesarkan dengan 4 lembaga nagari termasuk dengan lembaga pemuda (kapanakan) di nagari. Perlu dijelaskan dalam adat, semua unsur di nagari (wali nagari, ketua Bamus, ketua LPM, ulama, bundo kandung, cadiak pandai, tentara, polisi, pns, anggota DPR/D dan semua fungsi dalam negara dan masyarakat termasuk datuk/ penghulu sendiri sebagai ketua ninik mamak, adalah kalau sudah “gadang” pasti berfungsi mamak, kalau masih “ketek” pasti “anak” atau “kapanakan”. Kalau disamakan KAN misalnya dengan organisasi pemuda di nagari, berarti memberi peluang pada anak kapanakan melanggar hukum adat yakni mandago mamak. Bacalah konflik pemilihan Bamus di nagari, KAN disamabesarkan dan terjebak bersaing dengan organisasi anak kapanakan (pemuda) dalam pemilihan Bamus atau caleg di nagarinya, akibatnya fatal, kepanakan tega memarjinalkan peran mamaknya dalam persaingan kepentingan sesaat itu. Tapi kalau pemimpin KAN-nya tahu dengan besarnya lalu dibuktikannya, KAN tak punya nama calon di kantongnya dan mengakomodasikan apa yang diusulkan dari 4 unsur di nagari: AU, BK, CP dan Pemuda lalu dikoordinasikannya, pasti aman dan KAN tetap besar. Yang susahnya saling merasa besar, kata pemuda lembaganya besar dan KAN tak sadar pula dengan posisi besarnya dan bersaing dengan lembaga 4 unsur lainnya di nagari yang sebenarnya mamak atau kapanakannya juga, berakibatnya gawat, kapanakan (pemuda) akan terperosok mandago mamak (KAN). Kalau KAN menjatuhkan posisinya sama dengan pemuda (kapanakan) lalu terjebak persaingan politik, dalam politik praktis seperti yang ditemukan secara empiris oleh Machiavelli, sah-sah saja saling menjatuhkan, meski kapanakan menjatuhkan mamak. Tetapi dalam etika politik Minang tidak dibenarkan, fenomena itu mendago (mendaga) mamak, melanggar hukum adat. Demo saja tidak pernah ada berakar pada budaya Minang. Siapa saja yang penyaluran aspirasi dengan tekanan demo, dari perspektif Minang, ketika demo itu mereka keluar dari etika tak menjadi orang Minang. Sebab di Minang, tidak baik meneriakan malu kepada orang, ajaran nilai adat: suku tak dapek diasak, malu tak dapek diagiahkan.
Penyelesaian sengketa/ kasus di Minang bertingkat dalam mekanisme informal adat, kasus privat diselesaikan mamak rumah/ paruik, penghulu andiko (mamak tertua di paruik), mamak jurai, mamak suku dan penghulu suku. Kasus komuninal diselesaikan tuo kampung (penghulu memimpin kampung yang dipilih dari penghulu andiko), mamak nagari dan KAN. Diyakini di Minang, tak ada kasus yang tidak bias selesai: tak ado kusuik tak akan salasai/ tak ado karuh nan tak kajaniah. Kalau tak jernih juga, masih ada tingkat mekanisme formal dengan hukum formal mulai dari peradilan pemerintahan nagari dengan penegak hukumnya polisi dan peradilan negeri. Karenanya perankanlah ninik mamak dan berdayakan kelembagaan adat dengan akomodasikan perda (sekarang di samping Bamus, diakui atau tidak KAN masih berpeluang menjadi lembaga yudikatif, menyelesaikan sengketa adat/ nagari dalam mekanisme informal adat). Kalau ninik mamak dan lembabaganya berperan, tidak bakal mau lagi lelaki dewasa Minang (dalam semua fungsinya di pemerintah, masyarakat/ adat dan di swasta di kampung dan di rantau) yang meragukan peran ninik mamak. Karena sikap itu berarti laki-laki dewasa Minang itu sudah tak jelas lagi status kelaki-lakiannya di Minang, berarti ia sudah menggugat perannya sendiri sebagai lelaki Minang, karena ia sendiri lelaki, kalau sudah dewasa ia adalah mamak, meskipun tidak datuk. Datuk itu bukankah ketua Ninik Mamak dipilih ninik mamak kaumnya dan dengan ninik mamak lainnya itu berhimpun di KAN sebagai lembaga adat yang punya historis panjang dan penting di nagari Minang.***
Painan, 29 Oktober 2008
Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

[1]Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo, LKAAM Sumbar- Biro Advokasi Hukum Adat, Syarak dan Perundang-undangan. Ketua KAN Taluk, Batangkapas, Pesisir Selatan. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Balaiselasa, Lektor Kepala Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Direktur Eksekutif Institute for Research and Society Empowering. Direktur Penerbit IAIN-IB Press. Makalah nara sumber an.LKAAM di DPRD Pesisir Selatan 29 Oktober 2008 (dasar surat Ketua DPRD No.005/412/DPRD-PS/2008, tanggal 15 Oktober 2008).
[2]Sebelum LKAAM, pernah ada lembaga adapt bernama SAAM (Sarikat Adat Alam Minangkabau) didirikan tahun 1911. Tahun 1927 SAAM dirubah menjadi MTKAAM (Majelis Tinggi KerapatanAdat Alam Minangkabau) sarat muatan politik dan dilanjutkan LKAAM sekarang.
[3]Nagari sebagai pesekutuan hukum subkultur Minang tidak dapat mengabaikan faktor teritorial (wilayah). Penetapan wilayah nagari ini pun dahulu dengan sumpah satia moyang – puyang. Batas wilayah itu ditetapkan sejak nagari baru dibangun di atas lahan yang baru di luar nagari yang sudah ada (nagari lama). Dibatasi dengan alam, bukik nan badinding sailiran aliran sungai dan juga ada bendera pohon tua, seperti batang durian, batang jambu keling (duat) dsb.
 


Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger