Oleh Yulizal Yunus
Diterbitkan 1 Agustus 2013 di Singgalang
Hisab seiring rukyat.
Puasa dan berbuka sebab melihat,
Jika rukyat diliputi awan gelap,
Lakukan perkiraan – hisab
Puasa dan berbuka sebab melihat,
Jika rukyat diliputi awan gelap,
Lakukan perkiraan – hisab
Penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul-Fitri substansinya adalah paham
dan akidah. Caranya mungkin rukyat (maniliak bulan) atau hisab. Namun
praktiknya masih ada badunie, gengsi kalau tidak ikut rami-rami puasa
bukan karena keyakinan.
Ragu-ragu pun harus ditinggalkan. Tapi kalau tidak tahu bolehlah memilih
cara diajarkan hadis riwayat Muslim: faqdurulah (perkiraan atau ikut
orang banyak).
Justru, tegaknya keyakinan/ paham bagian dari ketahanan diri, tidak
memaksakan paham kepada orang bagian dari menahan diri yang harus
dilatih.
Soal rukyat (maniliak bulan) dan hisab sering menjadi ramai. Kadang
seperti menggelisahkan. Sumber kegelisahan itu biasanya, pertama salah
merespons hasil rukyat pemerintah (ditambah pula rasa curiga memihak
pada sebuah paham).
Kedua, hasil rukyat itu berbeda dengan hasil hisab yang sudah lama
disiarkan. Ketika, media massa berlebihan pula menyiarkan. keeempat,
tidak disadari persoalan rukyat dan hisab itu memasuki wilayah
khilafiyah (beda pendapat) mengenai paham keagamaan.
Perbedaan itu dipicu juga faktor kekurangan pengetahuan tentang kekuatan
hisab (menghitung waktu) dan rukyat. Lagi pula hasil hisab sudah
disiarkan setiap saat di berbagai media massa.
Inti hisab menghitung, justru perjalanan bulan dan matahari dapat
dihitung. Hasilnya dapat digunakan membuat kalender, menghitung waktu
sepanjang tahun, membuat kalender, dapat digunakan bagi penentuan waktu
beribadah, imsyak (waktu menahan) dan berbuka, waktu shalat wajib lima
waktu sehari semalam, waktu penentuan shalat dua hari raya dan
sebagainya.
Sedangkan rukyat adalah melihat wujud hilal Ramadhan di akhir Syaban,
hasilnya digunakan hanya untuk sebulan berikutnya. Ditentukan di akhir
Syaban hanya untuk puasa, imsyak dan berbuka Ramadhan saja.
Rukyat dan beda awal puasa tidak perlu digelisahkan. Sejak dahulu kita
berbeda juga, tapi tenang saja, karena tidak disiarkan media massa
secara luas.
Perbedaan itu sejak dulu ada empat. Pertama, paham naqsyabandi
melaksanakan puasa yakin lebih awal dimungkinkan Rabu 18 Juli 2012.
Kedua, Satariyah melaksanakan puasa yakin lebih kemudian (justru tahun
ini maniliak bulan 20 Juli di komplek Syeikh Burhanuddin Ulakan).
Ketiga, NU mengandalkan rukyat di awal/ akhir Ramadhan, keempat,
Muhammadiyah mengandalkan hisab yang menetapkan waktu beribadah
sepanjang tahun termasuk berpuasa dan lebaran.
Jadi kalau ada pertanyaan begini: kenapa kita tidak sama saja puasa dan shalat Idul Fitri. Pertanyaan itu juga tidak benar.
Jadi kalau ada pertanyaan begini: kenapa kita tidak sama saja puasa dan shalat Idul Fitri. Pertanyaan itu juga tidak benar.
Sebab penentuan awal berpuasa dan Idul Fitri menyangkut paham keagamaan.
Paham tidak dapat dirubah dengan kekuatan apa pun, termasuk kekuatan
pemerintah.
Mungkin itu penyebabnya, pendahulu negara ini tidak mau mencampuri
urusan paham/ akidah sebuah agama. Artinya Negara memberi kebebasan bagi
pemeluknya untuk beribadah sesuai dengan akidahnya.
Prinsip ini dituangkan dalam UUD 1945. Sebenarnya siapa dan unsur
manapun yang mengusik sisi paham ini dan memaksa termasuk pemerintah
adalah melanggar UUD 1945. Untuk itu tidak perlu gelisah, dengan rukyat.
Tidak gerlisah itu juga telah berarti menahan diri yang perlu dilatih
dan melatih diri agar punya daya tahan menghadapi Ramadhan. (*)
Posting Komentar