Oleh Drs. Yulizal yunus
Staf pengajar sastra arab
Fakultas Adab IAIN “Imam Bonjol” Padang
Sastra Islam
merupakan akar budaya minangkabau (sumbar). Artinya bu
daya minangkabau termasuk
sastranya sarat dengan nilai warisan Islam. Bahkan dari pendekatan historis dan
pilologis, hal yang ensesial akan terasa teras pengaruh sastara arab di samping
pengaruh Islam.
Pengaruh satra
arab dan Islam itu telah dimulai sejak abad ke-7 sampai pertengahan abad-20. Di
antara masa-masa ini, dapat dikatakan bahwa, tiraz (prototype) sastra Islam
telah menjadi aset besar dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra minangkabau.
Sekarang sebuah
pertanyaan menggelintik batin kita, kenapa dan perihal apa yang menyebabkan
adanya kecendrungan, ada mata rantai yang hilang?. Dalam fenomenal yang
berorientasi masa depan, bagaiman kembali menyambung mata rantai yang terputus
dan hilang itu, sehingga diharapkan, pertama kejayaan masa silam dapat
di sambung di abad modern ini dan aset besar nafas seni islam tidak terkubur
begitu saja, dan kedua bagaimana upaya melahirkan tradisi menulis dapat
menjadikan seni sastra Islam itu sebagai post modern dalam perkembangan sastra
minangkabau sebagai bagian integral sastra Indonesia,di masa datang?. Inilah
yang hendak perlu dilakukan kajian.
Kajian terhadap
sastra Islam di minangkabau mungkin telah banyak atau mungkin sebaliknya,
kurang sekali. Tetapi terlepas dari itu yang jelas, kajian tentang sastra Islam
di minangkabau tetap menjadi menarik dalam bidang studi sastra daerah sebagai bagian sastra Indonesia.
Makalah ini akan
melihat sastra minangkabau yang berakar pada sastra Islam sekaligus melihat
wawasan dan fungsi sastra Islam itu. Untuk ini dilakukan pendekatan historis
dan pilologis dengan melihat contoh teks dan fungsinya, sehingga dapat digambarkan
bagaimana derasnya pengaruh sastra arab dan Islam di dalam sastra Islam di
minangkabau ini.
Sastra Islam
adalah dua kata yang kedua-duanya adalah konsep. Sastra sebagai konsep saqafi
(kebudayaan) yang relative dipadati nilai-nilai sesuai dengan aliran-alirannya
seperti fann li fann (lar’t for lar’t) atau fann li sya’bi (seni untuk rakyat)
dll. Demikian Islam adalah konsep satu-satunya agama di sisi Yang Maha Mutlak
(Allah swt) sarat dengan nilai-nilai yang mulia, secara sederhana dirumuskan : pertama
aqidah Islamiyah, kedua syari’ah Islamiyah. Akidah merupakan merupakan
hal yang fundamental sebagai pondasi, sedangkan Syari’ah (hukum) menyakut Islam
adalah merupakan keseluruhan bangunan Islam yang berdiri kokoh di atas
pondasinya, akidah Islamiyah itu.
Mengacu kata
adab (Arab) yang diartikan sastra, pada awal mula diberi makna dengan nilai
tata laku dalam pemenuhan undangan dalam acara resepsi perkawinan, kemudian
dikristalisasikan dengan makna etik (akhlaq). Mengenai adab ini pernah say
kembangkan dalam beberapa tulisan saya, di antaranya makalah yang di sajikan
pada forum “temu kritikus sastrawan muda se-sumatera”di padang (1989)
dengan topik : “perkembangan mutakhir penulisan puisi, piksi dan Naskah
Drama Karya Sastrawan Muda Daerah” adab dengan makna etik itu, secara
sempit banyak orang berpengang dengan makna itu. Sampai-sampai, Fakultas Adab
IAIN, di terjemaahkan dengan Fakultas budi pekerti, yang saya piker,
kalau hamya sekedar “budi pekerti” diartikan adab itu, buat apa betul
ada fakultasnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, adab diluaskan maknanya, sehingga segala bentuk ilmu
pengetahuan yang mengunakan teks bahasa saintifik dan teks bahasa kolokial,
dapat membentuk tingkah laku yang boleh jadi menghiasi diri manusia, disebut
dengan sastra. Dalam perkembangan berikutnya pengertian sastra dikhususkan
dengan susastra, ialah komunikasi bahasa dalam bentuk puisi dan prosa.
(Muhammad Syafiq Ghirbal 1960 : 68, banding Mangantar Simanjuntak 1977 :18 atau
G. Balmer 1976, atau Steiner 1972).
Dari pendekatan historis,
tanpak sekaligus aspek pilologis terutama sisi content (isi) sekaligus pula
essensi dasar sastra soal etik dan segala bentuk ilmu yang mengunakan teks
bahasa (saintifik dan kolokial), dapat membentuk prilaku dan menghiasi diri
manusia. Dengan gambaran ini pula baik secara umum maupun secara khusus,
mengidentifikasi tiraz (prototype) sastara Islam. Dalam kesempatan ini
diambilkan pengertian khusus, yakni sastra Islam dimaksudkan merupakan
komunikasi bahasa dalam bentuk puisi dan prosa yang sarat dengan nilai dan
nafas Islam.
Sebuah gejala,
sekarang prototype sastra Islam ini di gugat. Ironisnya trend ini terjadi di
tengah-tengah issue booms seni dalam era globalisasi dunia pada millinium ke-3
(tahun 2000) seperti disebut John Naisbit dalam Megatren tahun 2000. Gejala itu
berlanjut dalam kenyataan, bahwa ada sementara anggapan, menyembut sastar Islam
itu kuno. Sedangkan yang dianggap modern, adalah seni inport barat. Bila suatu
kali pertunjukan terlihatalah, bahwa sastra Islam seperti sair kasidah dengan
musiknya rebana, tidak gairah, kurang mendapat tempat dan sambutan sepi
sekalipun dibekali mewah, ketimbang pertunjukan seni sastra lagu-lagu modern
dan barat yang hangat dengan iringan music modernnya yang menyentak-nyentak.
Seolah seni
sastra Islam itu cocoknya dipertunjukan di pinggiran, masyarakat surau, orang
tua kuno. Padahal sastra Islam ini adalah akar budaya, yang mesti dilestarikan
dan menjadi kebanggaan untuk di kembangakan sebagai milik negeri sendiri.
Memeng ada seruan seperti dalam lagu “buatan Indonesia” oleh Bimbo atau
“saya cita buata Indonesia” yang di nyanyikan Titik Puspa. Ya, itu lagu,
persoalanya sekarang : buatan Indonesia itu tidak di buat-buat lagi, lalu basi
dan using kemudian terkubur. Kalau pun di muculkan juga, terasa asing di rumah
sendiri. Karena milik sendiri kurang gairah, lebih senang inport dari barat.
Beralasan apa yang di sebut Mursal Esten (1984 : 17) sebagai gejala
mengidentifikasi sastra asing, dan membarat.
Ada gejala yang
lebih hebat, ialah sebuah trend, bahwa seni Islam itu, dibilang tidak ada.
Pernyataan itu, adalah gugutan dan satu-satunya pukulan hebat dalam
pengembangan seni sastra Isalam. Di Indonesia termasuk minangkabau. Ya, kita
tidak boleh pessimis, harus optimis. Oke, kita optimis, “mudah-mudahan
berkembanglah”, kita ucapkan insya Allah. Kalau kenyataan berkembang kita
ucapkan Alhamdulillah. Kalau tidak dan kita pessimis, baca jugalah “masya
Allah”
Pasalnya, apkah
kita akur saja atau memberikan antisipasi dengan upaya konstruktif. Kalau akur
saja dengan peryataan itu, maka sia-sialah pembicaraan mengenai seni Islam di
minangkabau dalam forum yang bergengsi ini. Pernah A.A Nasiv menawarkan
ungkapan ini di fakultas adab IAIN Imam Bonjol Padang (1986) membuat kaget
mahasiswa sastra arab fakultas adab (sastra) itu. Dalam persoalan ini saya
menawarkan sebuah amanah, pernyataan itu sebetulnya cimeti. Unruk meneliti
sastra Islam di negeri ini. Masalah ini pernah mekarkan dalam beberapa tulisan
saya, di antaranya hasil penelitian “sastar islam di Indonesia,
sebuah studi syair Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (1864-1923)”, tahun 1991
ini, “ nafas Islam dalam kebudayaan (1991)” dll. Besar kemungkinan yang di
maksud pernyataan itu (seni Islam tidak ada) menghendaki pola seni sastra Islam
itu. Islam memang tidak memberikan pola dalam berseni sastra, tetapi memberikan
nilai dan nafas (jiwa) Islami. Seperti misalnya, Al-qur’an (36 : 69) menyebut
asy-syi’I (sya’ir) yang membias adalah nilai, bukan pola, atau menyebut kata
sya’ir (penyair) dalam QS 21 : 5, 27 : 36, 52 : 30, 69 : 41, atau asy-syu’ara
(para penyair) dalam QS 26 : 224, tidak juga menunjukan pola, tetapi memberikan
nilai, bahwa syair yang baik itu ialah diri penyair itu,tidak hanya kayalan
semata, dan penyair itu memiliki kepribadian mukmin yang berbuat salihat
(baik). Demikian pula di dalam sabda rasulullah saw. Terdapat pula kata syi’ir (syair), juga memberikan kontibusi
nilai sebagai kekuatan yakni power wiadom, seperti sabda Rasulullah : “inna
min syi’ri hikmah..sebenarnya syair itu termasuk hikmah (wisdom)”. (yulizal
Yunus 1977). Karena memang sya’ir-sya’ir Islami sejak awal mula pada Hassan
binSabit hidap di zaman Nabi saw, wafat tahun 674 (Darulmasyriq 1973 : 233)
syair Islam (Karel Brocleman dalam Nabiyah amin Faris dan Munir Alba’laba kiy
1974 : 64 ).
Jadi, prototype
Islam dalam seni sastra adalah nilai, bukan pola. Kalau dilihat pola,
sudahbarang tentu sastra Islam itu tidak ada, tetapi kalau disidik nilai,
amatlah kaya sastra Islam itu.nilai itu tidak hanya estetik, eronik, tetapi
juga etik seperti yang disebut Muhammad Syafiq Ghirbal (1960 : 68) tadi, atau
juag disebut sidi Gazalba (1977).
Mengacu pendapat
Bahaudin Alamiri (1980), dalam sastra Islam terutama dalam bentuk syair tidak
hanya ada jamal (estetik) tetapi juga ada alhaq akan lahir erotic dan etik.
Mengacu teori “tungku tigo sajarangan” minangkabau, atau “tali tigo
sapilin”, maka tungku atau tali yang tiga : estetik, etik dan erotic itu
tidak dapat dipisahkan dalam adagium : “ yang kuriak ialah kundi, yang merah
ialah sago, yang baik ialah budi, yang indah ialah baso”.dalam sastra Islam
estetik dan erotic dikontrol oleh etik, diantaranya akan memantulkan nilai,
bahwa “yang indah dan mengerahkan itu bukanlah hanya fornografi, tetapi dari
yang relative itu dikembalikan kepada Yang Maha Mutlak (Allah swt), bahwa yang
maha indah itu Allah swt.”.ini di lukiskan dalam nash “ innallaha jamil,
yuhibbul jamal/ Allah itu maha indah dan suka kepada yang indah”. Berangkat
dari teori mimesis Plato (428-348 SM) dan muridnya Aristoteles (384-322 SM),
bahwa keindahan seni termasuk seni sastra sebagai aspek kebudayaan adalah
relative, karena merupakan realita tiruan dari keindahan yang maha mutlak dan
keindahan ciptaan yang maha mutlak. Yang maha mutlak ini di dalam Islam sudah
barang tentu Allah swt. Pendapat ini bertemu dalam Muhammad Quthub (1973 : 6),
bahwa di dalam seni Islam itu mengkristal dalam suatu titk temu yang utuh
antara aljamal (estetik) dan Ai haq. Aljamal (estetik-keindahan). Puncak
pertemuan keduanya (aljamal dan alhaq) secara substansial berada dalam segala
hakikat wujud.
Karena itu
Muhammad Quthub menggariskan, meskipun hubungan Islam dan seni tanpak sebagai
nufur (tidak akrab) dan khisham (controversial),maka seni islam itu sudah
merupakan kombinasi nilai hikam (wisdom-power magic), mau’zah (advice) dan
irsyadah (guidance).
Akar sastra minangkabau
Sastra Islam,
nilai demikian substansi, karena itu tidak ada pilihan lain, kalau nilai seni
sastra Islam ini telah demikian mencekam dan merupakan prototype sastra
minangkabau yang bernafas Islam, maka sastra Islam di minangkabau harus di
teruskan, dengan pelestarian dan pengembangannya, sebagai salah satu aset besar
dan post modern pengembangan cipta seni modern di Indonesia. Dalam hal ini
beralasan apa yang dilansir Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono 1983 :
VIII), bahwa nafas Islam dalam seni merupakan lapisan kebudayaan Indonesia yang
patut di kembangakan.
Dalam kaitannya
dengan pewarisan pemikiran minangkabau terutama yang bersumber dari : “adat
bersabdi syarak syarak basandi kitabullah,” maka sastra Islam di daerah ini
tidak boleh terkubur begitu saja. Janganlah sastra Islam, secara umunnya saja,
Robson (1979) melukiskan,sastra dapat memelihara dan menurunkan pikiran suku
yang bersangkutan dengan dicontohkannya dengan pemikiran agama yang dianut suku
itu, di samping sejarah dan adat istiadatnya. Tidak harus pasif tetapi harus
aktif. Memang ada pepatah kita, ibarat roda pidati, tunggu saja giliran di
atas, dia akan berputar.pasalnya sekarang, “roda pidati itu yang tidak
berputar”. Satu yang mengharuskan tidak boleh pasif, ialah meskipun ada
seruan : “mari kita kembangkan kebudayaan nasiona dengan mengembangkan
puncak-puncak kebudayaan daerah”. Itu, memang ada nilai kebersamaan,
seperti dalam adagium : “tertelungkup sama makan abu, tertelantang sama makan
embun”. Pasalnya sekarang kebudayaan termasuk sastra Islam minangkabau ,
misalnya sudah tertelungkup, apakah mesti di biarkan makan abu…?
Di tengah-tengah
perubahan dunia kearah gelombang ketiga, era informasi dan komonikasi kata
Alvin Toffler (1980), minangkabau sebagai bagian integral bahasa Indonesia,
harus tetap mempertahankan pijakan budaya. Yang pasti budaya nafas Islam
sebagai warisan sejarahnya yang sejak dahulu mempunyai filosofis orientasi
kemasa depan. Salah satu dimensi filosofis orientasi ke masa depan ditunjukan
dalam “ siti nurbaya”, atau “Sengsara Membawa Nikmat” yang kedua karya sastra
cerkan-novel itu sudah berhasil dilayar perakan, dapat membangkitkan gairah ke
minangakabau masyarakat sumbar. Misalnya dalam “Siti Nurbaya”, seperti
telah meramalkan bahwa satu saat nanti akan muncul kekuatan baru, yang tidak
lagi harus terikat dengan adat.sekarang ternyata kekuatan baru itu yang cukup
penomenal ialah kekuatan ekonomi. Dalam masa millinium ke-3 ini bahkan akan
terjadi booms ekonomi. Kenyataannya apapun srategi barat misalnya soal
demokrasi seperti glasnoust dan perestroika bekas Uni Sovietnya Gorbachev,
pastilah berdampak ekonomi. Justru demokrasi barat itu sedang digugat, karena
percaturanekonomi. Nah, kekuatan baru ini, sudah di gambarkan sastrawan
minangkabau penulis siti nurbaya (1992) yakni Marah Rusli (1898-1968). Ialah
dilambangkan dengan Datuk Maringgih. Tokoh Datuk Maringgih yang masyarakat
minangkabau terutama yang muda-muda terundang benci kepadanya, menggunakan
kekuatan ekonomi, untuk meraih keinginannya. Ia tidak mempunyai keturunan
ningrat datuk-datuk, dan membeli pakaian datuk dan selalu memakai pakaian datuk
karena duitnya banyak, sedangkan datuk yang sesungguhnya tidak banyak memakai
pakaian datuk,..kan..?. tetapi Maringgih salah sangka dikira semua bisa dibeli
dengan duit, ternyata cinta dan kasih saying tidak dapat di belinya, dan itu
pulalah yang membuat kawin paksanya menikahi Siti Nurbaya, tidak pernah
berjumpa apa yang bernama cinta dan kasih saying itu, bahkan sebaliknya
menimbulkan kebencian istrinya sendiri bahkan sampai kepada kenyataan pelakon
Maringgih pun bisa-bisa diludahi si tukang sayur : puih….ini si kaparat itu,
artinya yang tak berhutang saja yang membayar..
Nafas Islam dan
kearifan filosofis orientasi masa depan ini sudah begitu lama mengakar di
minangkabau. Dari sudut historis, bersamaan masuk pengaruh Islam itu, masuk
pula pengaruh arab. Dari pengamatan pengaruh itu telah di mulai sejak abad
ke-7, awal mula masuknya Islam ke Indonesia. Pada abad ke-7 itu Islam tidah
hanya masuk di barus (aceh) tetapi juga di minangkabau, lebih jauh pernah saya
gambarkan dalam tulisan saya “Islam di gerbang selatan Sumetera Barat
(1991)”.
Islam di
minangkabau, diawali datangnya ekspedisi 28 kapal dari daulat Mu’awiyah yang
khalifahnya ketika itu Mu’awiyah bin Abi Syofyan. Ekspedisi itu melalui
Tiongkok Selatan, kemudian tahun 669 sampai di kerajaan melay minangkabau timur
di muara sabak. A.Kiram dkk (1978 : 5-6) bersandar kepada universitas cordova,
menyembutkan, ekspedisi tadi di terima baik oleh raja Sri Maharaja Lokita
Warman, sekaligus ia masuk islam.ketika itulah ekspedisi mu’awiyah bersam Sri
Maharaja Lokita warman mengadakan gerakan, pembahasan masyarakat minangkabau
dari buta tulisan baca huruf arab (melayu) yang sampai sekarang tulisan bahasa
arab melayu itu kita kenal dengan “tulisan arab melayu”. Berarti sejak
itulah telah di mulai dunia sastra, meskipun secara oral, kalau mengacu pada
pendapat, bahwa yang sastra itu adalah komunikasi bahasa yang mengunakan teks
saintifik dan teks bahasa kolokial, seperti disebutkan Mangantar Simanjuntak
(1979 :4).
Pada penggalan
zaman berikutnya dalam pertumbuhan Islam di minangkabau, tahun 969 datang pula
ekspedisi daulat fatimiyah, yang sudah barang tentu membawa pengaruh syai’ah.
Tahun 1050 masuk pula seorang sayid (said-yang tentu sebelum basidinya
pariaman) dari hadramaut. Sayid ini di artikan sebagai wali Allah karena
dianggap suci, terpuji, pintar menebak pikiran orang dan selama hidupnya
dianggap ahli I-kasyfi atau orang yang selalu waspada (BERG 1989 : 61-62).
Sayid yang mulia itu salah seorang hadir di minangkabau timur dalam kerajaan
Kuntu (Riau-sekarang), bernama Badaruddin. Sayid dan ulama besar Hadramaut ini
memulai tradisi menulis sastra, dengan kitabnya dikenal dengan nama “badrulhikam
(purnama hikmah)”. Di samping mendirikan sekolahan dengan nama yang sama.
Kemudian sayid badaruddin dilanjutkan dengan syeikh Burhanudin Alkamil di Kuntu
itu sampai abad ke-13. Berarti, sastra minangkabau seperti dalam “Badrul Hakim”
Badaruddin ini, lebih tua dari teks syair yang dianggap tertua seperti yang
terdapat di batu nisan tua di Minye Tujoh (Aceh) tahun 1380. Syair di batu
nisan ini ditulis dalam bahasa Sumatera kuno dengan huruf arab, pernah dicatat
DR.W.F.Stuterheim dan DR.C.Hooykaas (1951) sebagai syair yang pernah nafas
Islam, yang bercerita tentang wafatnya Ratu Iman Werda yang mempunyai kekuasaan
di Pasai dan Kedah.
Pada abad ke-7,
pada masa Iskandar Muda (1606-1636) lahir pula bentuk syair sufi, yang
dipelopori oleh Hamzah Fansuri. Syair-syair Hamzah Fansuri jauh berbeda dengan
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri yang dapat dipahami semua lapisan termasuk raja.
Tetapi sebaliknya Hamzah Fansuri karena menganut sufistik di pengaruhi AL
Halaj, Jalaluddin Rumi, Syamsu Tabriz, Ibnu A’rabi dll, tak semua penikmat
memahami termasuk raja. Karna itu karya Hamzah yang berbau wujudiyah dan
neo-Platonisme itu mendapat tantangan, dan mendapat nasib sial, banyak karyanya
yang di bakar.
Di minangkabau, abad ke-7 itu mendapat banyak
pengaruh Aceh, karena itu pula tidak pula terlepas dari pengaruh Hamzah
Fansuri. Pengaruh itu dirasakan, sejak kembalinya 6 tokoh, yakni Syeikh
Muhammad Nasir (ahli tafsir) di koto tangah padang, syeikh Burhanuddin Ulakan
pariaman, Syeikh supayang di solok, Buyung Muda di Pulut-pulut baying (pesisir
selatan), syeikh Padang Ganting di Tanah Datar dan Khaladin Lubuk Ipuh Kerinci.
Enam ornag tokoh ini kembali dari Aceh setelah belajar dengan Syeikh Abdul Rauf
Singkel (Imam Maulana Abd. Munaf Al Amin : 322). Enam tokoh inilah kemudian
mengembangkan Islam di minangkabau, dengan berbasis disuraunya masing-masing
sebagai sentra pengembangan Islam itu. Tidak hanya di Minangkabau, tetapi
muridnya meneruskan sampai ke Indonesia bagian timur, seperti di kenal Datok
Ribandang, Datok Ritiro dan Datok Ritimang, bahkan sampai pula ke Serawak
(Malaysia) dan Mindano (Pilipina).
Khusus di
Minangkabau, generasi berikutnya lahir pula ulama-ulama besar, terutama sekali
abad-19-20 sebagai penyambung mata rantai gerakan pembaharuan Islam, di mulai
dari Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawiy (1852-1970), Syeikh Muhammad Thaher
Jalaluddin Al Fakali (1869-1956), Syeikh Jamil Jambek Al Falaki (1862-1947),
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (1871-1970), Syeikh Ahmad Khatib Al padani
(1874-1920), Syeikh Muhammad Dalil, DR. Abdullah Ahmad (1878-1933), DR. Abdul
Karim Amarullah (1879-1949), H. Kasim Bakri (1907-1964), Syeikh Muhammad Jamil
Alkhalidiy (1258-1346 H), H.Harun El-Rasyidi (1885-1960) dll.
Sejak dasawarsa
ke-2 abad ke-19 sampai dasawarsa ke-5 abad ke-20, dipeloporo para intelektual
ulama Minangkabau ini, tidak sedikit melahirkan karya tulis, baik dalam bentuk
komunikasi bahasa prosa dan puisi, maupun teks bahasa saintifik. Ini disamping
mengantisipasi masalah-masalah dakwah, dan pendidikan pengajaran Islam di zaman
penjajah secara eksternal, juga dirangsang adanya polemik-polemik secara
internal ulama intelek terutama sekali mengenai masalah-masalah khilafiyah.
Mengenai bentuk masalah yang di polemikan itu, di antaranya dapat dipadatkan
sekitar baik antar ulam teriqat terutama naqsyabandi yang bendera pertamanya
dibawa oleh Syeikh Ismail Simabur mendapat tantangan dan terjadi rapat besar
dengan tokoh Satariyah di Padang Panjang tahun 1850, maupun antara pemikiran
tarikat dengan pembaharu pemikir Islam, yang lebih terasa sejak Syeikh Ahnad
Khatib Al Minangkabawiy mengajar di Mesjidil Haram dan banyak murid pulang ke
Indonesia. Ini, pihak kaum pembaharu (modernis) yang disebut kaum muda dipimpin
DR. Karim Amrullah, DR. Abdullah Ahmad, Syeikh Jamil Jambek, Syeikh Thaib Umar
: sedangkan kaum tradisional disebut ulama kaum tua dipimpin oleh Syeikh Khatib
Ali (agak radikal) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (moderat). Hal
yang sama pernah saya kembangkan dalam tulisan saya diantaranya, Syeikh
Muhammad Khatib Ali (1981) dan Syeikh Bayang (1982). Banding juga HW Muhd.
Shaghir Abdullah (1985).
Karena polemic
inilah banyak lahir buku-buku, termasuk sastra yang terlepas dari bentuk
polemik dan juga ada yang polemis. Yang agak polemis sifatnya misalnya “I’lan”
dalam Burhanulhaq-nya Syeikh Khatib Ali, tahun 1337 H. isinya menyerang kaum
modernis, lihatlah bait berikut :
….sunat
melafazkan ushalli
Kata
kaum baru tersalah Iman Nabawi
Dibetulkan
perkataan Wahabi
Keterangan
ada pada risalah ini
(Syeikh
Khatib Ali 1337 :8)
Syair ini merupakan pengantar dari
Burhanulhaq, menaruh/merupakan risalah masalah delapan.
Demikian pula
polemic dalam syair “muhallil” Syeikh DR. Karim Amrullah (Ayah HAMKA), yang
isinya mencela orang yang melakukan dan merestui kawin cino buto (rujuk
setelah talak tiga, dengan memakai perantara seorang lelaki dikawinkan dengan
seorang janda yang akan dirujuki, dengan persyaratan, perkawinanlelaki itu
tidak boleh lama, harus di jatuhkan talak paksa dalam satu atau dua hari
setelah perkawinan). (HAKA : 1).
Ulama-ulama yang menulis karya satra non
polemis, tetapi dapat didentifikasi merupakan upaya mengantisipasi
masalah-masalah keagamaan dengan mengkomunikasikan pengajaran dan nilai pribadi
muslim di antaranya : Syeikh Muhammad Dalil dengan Syairnya “talapus saleh”,
“Darul Mau’izah” dan “Rasul 25”. Syeikh Sulaiman Arrasuli dengan Syairnya
“Dawa-ulqulub” dua jilid. Syeikh Thaib Umar dengan syairnya “tradisi minta
beras mengaji”, dll. Banyak lagi ulama yang menulis karya sastra Islam yang
belum ditemuakanseperti Syeikh Taher Jalaluddin yang karyanya numpuk di arsip
Negara Kuala Lumpur dan Singapura. Sampai pula ke zaman baru, Hamka dengan
novel-novel H. Kasim Bahri dengan “katak dalam tempurung” nya yang bikin rebut belanda.
Amura dengan “irsyadiyah” nya yang membangkit gairah membangun sekolah
Islam ynag ideal. Riva’I Ali dengan syair “iradah ilahi”nya. Banyak
lagi, yang rasaknya cukup waktu menuliskannya dalam waktu ini, dan memang perlu
penelitian selanjutnya. Upaya penelitian selanjutnya diperlukan, memang
disadari seperti amanah Robson (1979), sastra dalam bentuk ini dapat mewariskan
pemikiran agama, sejarah, adat istiadat, daerah ini yang memang kaya dengan
nilai dan pribadi serta luhur.
Pengaruh Arab Islam
Secara historis telah
terlihat pengaruh Arab dan Islam beras dalam sastra Islam di Minangkabau (SIM)
ini. Dimulai sejak pembahasan masyarakat Minangkabau dari but abaca tulis Arab
Melayu tahun 669. Sampai penulisan buku-buku bersamaan dengan gerakan
pembaharuan pemikiran Islam di Minangkabau abad ke-20
Hal
yang substansial, secara pilologis, melihat pengaruh Arab Islam dalam SIM
(Sastra Islam di Minangkabau) perlu dilakukan, meskipun diskriktif singkat.
Philology, menurut Munir Alba’labakiy (1979:681) menyangkut fiqhulluqhqh
(linguistic) sejarah, perbandingan dan studi bahasa, secara khusus memberikan
criteria dan sifat appresiasi sastra serta lahan pembahasan warna sejarah
kebudayaan. Tetapi setalah dikhususkan, pilologi dapat diartikan sebagai studi
teks naskah lama, yang menurut Panuti Sudjiman, ed. (1986 : 29) menyakut di
antaranya makna isi naskah di samping untuk menetapkan keaslian naskah (banding
juga Jamaris 1977). Dalam hal ini, studi dalam SIM menentukan pengaruh Arab
Islam secara pilologis, diambil mengenai gaya bahasa dan isi naskah.
Diksi dan Isi Naskah
Karena
banyaknya naskah yang mendapat pengaruh sastra Arab dan Islam, terutama dalam
SIM ini, maka saya memilih secara acak, naskah yang say kenal.
a. Nazam Thalabus Shalah
(NTS). Dan Nazam Darul Mawa’izah (NDM).
NTS,
ini besar pengaruh Arab. Dari namanya saja, selengkapnya Nazam Thalabus Shalah,
jelas berakar dari diski Arab, berarti Nazam tuntutan shalat. Isi naskah, deras
pengaruh Islam, karena memang mengajarkan Islam soal beribadat. Misinya
disamping upaya mengantisipasi masalah-masalah Islam dan mendialogkan
pengajaran Islam, menekankan dan melukiskan, bagaimana akibat orang yang
meningalkan shalat, sehingga bembuat orang takut meningalkan dan melalaikannya
meskipun agak sesa’at setelah waktu masuk. Terasa betul seperti sabda Nabi saw,
bahwa shalat itu tiang agama, dan mengerjakan yang paling baik di awal waktu.
Syair ini di tulis Syeikh Muhammad Dalil di terbitkan bersama dengan bukunya
“targhub” di cetak berulang-ulang, yang oleh BJO Schrieke dimasukan sebagai
buku kepustakaan penjuang yang penuh moral abad ke-20.
Demian
Nazam Darul Mawa’izah (NDM). Diskusinya juga berakar dari Arab, yang berarti
Nazam pengajar yang Indah. NDM ini menurut BJO Schrieke, disebutnya sebagai
syair apologetic pembela tariqat Naqayabandiyah. Misi isinya, membina
kepribadian muslim melalui tariqat Naqayabandiyah. NDM mirim seloka dalam
sastra Indonesia.
b. Syair Nahu
(SN)
Naskah SN ini termasuk naskah melayu,
terdaftar dalam koleksi Museum Nasional, dan pernah didaftar Van Ronkel dalam
katalognya (1909). Isi SN deras pengaruh Arab Islam. Nahu artinya ilmu
sintaksis, sebuah ilmu bahasa yang mempelajari tata bangunan dan perubahan
bangunan kalimat Arab. Naskah SN ini khusus memaparka pelajaran bahasa Arab
tentang bangunan kalimat dengan memakai kata ganti nama dan kata ganti orang.
c. Riwayat Kota Pariaman
(PKP)
RKP ditulis bagindo Said Zakaria. Naskah
setebal 110 halaman itu juga menunjukan ada pengaruh Arab dan Islam. Riwayat
itu adalah diksi Arab, yang berarti story. Riwayat di dalam sastra Arab
termasuk jenis nasar (prosa). Yang dominan di dalamnya adalah unsure opini
(fikiran), ketimbang athifah (perasaan). Isinya, yang menunjukan aspek Islam
ialah kehadiran seorang tokoh ulama intelektual Pariaman dan tentang bagunan
mesjidnya. Ulama itu Syeikh Muhammad Djamil Al Khalidi (1258-1346 H). ujung
namanya Al Khalidiyah itu menunjukan bahwa tokoh ini adalah penganut
tariqat Naqsyabandinyah. Dengan demikian, merubah jalan pikiran kita tentang
Pariaman, yang selama ini dikenal sebagai setra satariayah (ulakan), rupanya
juga menjadi sentra Naqsyabandiyah sekitar pasar Pariaman sekarang. Makam tokoh
ini terdapat di mesjid Raya Syeikh Muhammad Jamil Pariaman itu. Dahulu dicatat
Syeikh Khatib Ali (1337 : 6) termasuk ulama Syafi’iyah atas fatwa Imam Nawami
dan ulama tradisional ikut dalam debat dengan ulam modernis, di Minangkabau
desawarsa ke-2 abad ke-20 itu.
d. Hikayat Hasan Husain
(H3) dan Muhammad Ali Hanafiyah (MAH)
Hikayat Hasan Husain (H3) ini terdiri
dari dua jilid kecil. Hasan Husein
adalah cucu Nabi saw, dicerita sebagai seorang tokoh yang keras melawan raja
Yazid. Sedangkan Yasid bersemangat hendak membunuh cucu Nabi saw atau anak dari
Ali a.s. Berarti ini merupakan sejarah Islam, menunjukan kepada kita bahwa
pengruh syi’ah dan besar di daerah ini, yang dipekirakan telah masuk sejak
ekspedisi 4 kapal Fatimiyah ke Minangkabau tahun 969. Kemudian di perkuat pula
oleh Tarikat Satari, dan juga pengaruh Aceh yang sampai di minang terbagi
menjadi dua yakni ada wihdatul wujud dan ada wihdatus syuhud (yulizal yunus
1990 : 9-13). Wihdatul wujud (pantaisme) sentranya di ulakan Pariaman, dan
wihdatus syuhud punya setral di cangking, dipimpin oleh Tuanku Muhammad. Khusus
tuanku Muhammad ini, waktu kecil bergelar Fakih Saghir (fakih kecil) kemudian
tuanku sami’ dan terakir dikenal dengan Jalaluddin Ahmad (perjalanan hidupnya dalam Hikayat
Syeikh Jalaluddin). Putranya, Syeikh Muhammad Thahar Jalaluddin, kemudian
menjadi tokoh pembaharu pemikiran Islam dan ahli ilmu falak, tinggal dan
meninggal di Malaysia (Hamdan Hassan 1973. Banding Mohd. Sarim Mestajab 1977,
atau Raja Mohd. Affandi 1977 atau TYT Tun Dato’ seri (DR) H. Hamdan bin Syeikh
Taher Jalaluddin 1991 atau Cendra mata Majelis Memperingati Tokoh/ ulama Islam
Silam 1976/ 1977). Syeikh Thaher Jalaluddin berhasil melanjukan cita-cita
ayahnya mencadi pembaharu dan menentang paham pantaisme yang mulai mengancam
Minangkabau ketika itu. Sekarang di Malaysia namanya pun menjadi besar,
diperingati hari wafatnya dibuatkan momental sesuai dengan keahliannya yakni “pusat
falak Syeikh Tahir” di pantai Aceh (pulau pinang), diresmikan 9 oktober
1991 (universitas sain Malaysia 1991 : 7-26). Sungguh pun demikian, gencarnya
gerakan pembaharuan Islam, sisa-sisa Syi’ah masih tak terelakan, paling tidak
dalam kebudayaan termasuk dalam aspek sastra, seperti tertulis dalam Hikayat
Hasan Husain ini. Abstraknya terdapat dalam bertabut Pariaman.
Kemudian dalam
MAH (Muhammad Ali Hanafiyah), di kisahkan putra Ali yakni MAH ini, sewaktu
kecil.Waktu kecil MAH kakeknya Syair Alam.Kisah ini terburu berakhir, sebelum
sampai menuntut balasan kematian Hasan Husein yang terbunuh di padang karbela,
yakni saudaranya yang tercinta. Banyak lagi cerita yang bernafaskan Islam di
Minang Kabau, seperti : Hikayat Putih Balukih yang menceritakan Nabi Sulaiman
bernama putrid Bulkis, Hikayat Nasuhah yang menceritakan seorang pencuri yang
bertaubat tidak seperti taubat samba lado, etapi benar-benar bertaubat, Hikayat
Neraka yang menceritakan Nabi saw yang melihat neraka dan perihal azab untuk
orang kaparat. Hikayat Neraka ini mirip cerita Nazam Kanak-kanak (Syair karya
labai Si Rajo Sungai Puar). Ceritanya mengisahkan perihal dunia akhirat dengan
menggambarkan gemerlap syurga, berpasir emas, berair yang mengalir seperti
susu, di teduhi daun tobhi yang daun dan rantingnya di tiup angin mengeluarkan
sura yang lebih syahdu dari music. Di taman akhirat yang ini kanak-kanak
bermain, tetapi sekali waktu risau karena teringat orang tua masuk neraka.
Neraka di banyangkan betapa dasyatnya siksaan, Kanak-kanak takut kalau tidak
bertemu dengan orang tua yang dinanti, karena menyimpang ke neraka karena
amalan kurang. Demikian pula dengan Hikayat kiamat yang menceritakan tentang
hari kiamat. orang berdosa masuk neraka, seperti tergambar dalam hikayat neraka
dan Nazam kanak-kanak. Orang berpahala masuk surga seperti juga nazam
kanak-kanak.
Dari
naskah bernafasan Islam (SIM) pada umumnya memakai ejaan Arab melayu, yang tadi
kita sebut telah di mulai tahun 669, baik karya yang anonym maupun yang
menyebugt pengarang secara jelas. Karena itu pula, hampir rata-rata naskah lama
Minangkabau terutama SIM, tidak dapat mengelakkan diri dari diksi (kata
pilihan) Arab, seperti yang terdapat pada karya sastra yang kita sebut tadi.
Diksi itu tidak hanya di pakai dalam peristilahan dalam komunikasi bahasa dalam
garapan prosa dan puisi atau dipakai dalam bahasa saintifik, tetapi juga
dipakai adanya pengaruh besar satra Arab di dalam sastra Minang Kabau khususnya
dan mekar menjadi sastara Indonesia pada umunya. Dalam bentuk prosa dan puisi
dapat di lihat dalam istilah berikut:
1. Prosa
Cukup banyak terdapat jenis nashar
(prosa) Arab di dalam sastra Indonesia, ada yang bermakna bulat, ada yang bergeser bentuk
dan bergeser makna. Ini pernah saya jelaskan dalam tesis saya “Qasasul Islamiah” (1983)
a. Riwayat
(termasuk prosa Arab) berarti story. Di Indonesia menjadi prosa Islam, khusus
di Minang Kabau, seperti tedapat riwayat kota Pariaman, riwayat hidup 20 Ulama
Minang Kabau dsb. Berarti pula Biorafi.
b. Hikayat (prosa
Arab) berate tale atau kisah sejarah, narrative, atau sejenis cerkan tentang
keagungan atau keheroikan, mirip biorafi pahlawan. Dalam sastra di Indonesia
khusus dalam SIM terdapat jenis ini yang sedikit bergeser makna diantaranya:
Hikayat Raja Pagaruyung, Hikayat Hasan Husein, Hikayat putrid Balukih, Hikayat
Nasuhah, Hikayat Neraka, Hikayat Hari Kiamat, Hikayat Hang Tuah.
c. Kaba
(kabar),dal;am sastra Minang, merupakan jenis prosa yang beirama yang dapat di
dendangkan, misalnya kaba Malin Deman, kaba Si Tungga dsb. Cara berkaba, banyak
di gunakan misalnya dalam rabab pasisir selatan.
d. Risalah
(prosaArab) sama artinya dengan massage dan dalam dunia ilmiah berarti
tesis,skripsi dan sebagainya. Dan dalam komunikasi berarti surat.Dalam sastra
islam Minang kabau terdapat jenis syair seperti syair delapan masalah karya
Syekh Khatib Muhamad Ali Al Padani (1337H).
e. kisah
(Prosa Arab) berarti tale atau story. Jenis ini terdapat di Indonesia dengan
narasi (Kisah), ialah sebuah wacana yang sifatnya berdasarkan rekaan ada pula
berdasarkan pengamatan, jenis ada kisah berjalan dan kisah pertualangan (Panuti
Sudjiman, ed. 1986: 40-41)
f. Tarekh
(jenis prosa Arab) berarti sejarah, Dalam dunia ilmiah berarti sejarah yang
berdasrkan penelitian, dalam dunia sastra dapat pula kisah sejarah yang
berfungsi sebagia teladan dan semangat heroic seperti biografi tokoh.
g. Khotbah
(prosa Arab khitabah) sejenis pidato. Jenis ini mempunyai gaya bahasa yang
retorik dan bangunan kaliat yang berbunga-bunga dan menggoda. Khotbah di
Indonesia banayak di kenal sebagai oral, seperti khotbah jum’at, khotbah hari
raya, khotbah nikah.
h. Salawat
(jamak dari kata shalat). Tetapi dalam dunia sastra cendrung lisan, merupakan
sebuah petunjukan syair-syair adakalanya prosa untuk memujiNabi SAW. Tetapi
dalam perkembangannya seperti salawat talam dan salawat dulang di Minang Kabau,
cendrung petujukan yang di iringi talam atau dulang, di samping isi Islami juga
pembangunan. Dalam kontek pembangunan jenis seni ini di sebut harmoko (1985:
88), sarana komunikasi sambung rasa.
i.
Dikie
(zikir). Dikie ini terdiri dari berbagai macam tema taetapi mengajak untuk
mengingat Allah. Indang kalau di iidentifikasikan pada awalnya termasuk dikie
yang mentradisi di Minang Kabau. Syair dan lagu yang di gunakan sekarang sudah
berpariasi dan berorientasi pembangunan, demikian pula dalam indang. Selain ini
juga terdapat kata asal usul, adat istiadat dsb. Menunjuk satu wacana.
2. Puisi
Jenis puisi arab banyak
sekali terdapat di Indonesia, diantaranya ada 3 jenis yang saya catat sebagai
berikut:
a. Syair (Puisi
Arab). Ada perbedaan menulis, syair itu dalam Arab berate penyair, yang syair
(Indonesia) disebut syi’ar. Di Indonesia syair kini merupakan jenis puisi lama,
berlarik rima aa dengan bait 4, isi menaruh mitos, sejarah, filsafat dan
Agama.Di Minang Kabau terdapat syair Nahu, kisahan, kanak-kanak, gema, awarima,
awamatra, kogret, main-main, sajak prosa, sajak ratap (elegy, Arab, rasa),
sajak ringan, sindiran, sajak suku kata dsb.
b. Sajak
(puisi Arab). Di Indonesia banyak terdapat sajak seperti sajak bebas, kisahan,
kanak-kanak, gema, awarima, awamatra, peristiwea, kongret, main-main, sajak prosa, sajak ratap (elegy,Arab, rasa),
sajak ringan, sindiran, sajak suku kata dsb.
c. Nazam
(Arab-Puisi). Bersajak rima dua-dua, larik 12. Terkadang rima 4, dengan larik
banyak. Isi tentang dedikasi seorang hamba yang baik. Dalam SIM terdapat nazam
kanan-kanan, darul mawa’izah dsb.
d. Masnawi
(Arab-Parsi). Berisi pujaan (madahan) dengan larik dua-dua dan rima sama.
e. Ruba’I (Arab-Parsi)
atau rubayat, adalah merupakan kuatren lama. Isinya biasanya mirip epigram (isi
pujian melukis kekayaan gagasan pikiran), dengan larik empat-empat, dengan rima
aa aa, terkadang aa ab.
f. Kasidah
(Lagu Arab) biasanya dalam lagu Islam di Indonesia, diiringi dengan rabana,
pada hal kasidah itu di Arab hanya syair panjang.
g. Madahan
(Arab : madah, lagu pujian), tidak jauh bergeser, karena madahan merupakan
syair dan lagu madahan atau pujian juga.
h. Albarzanji
(sebuah syair karangan Albarzanji) yang berisi keanggungan Nabi saw. Di
Minangkabau dibaca setiap memperingati mauled dan isra’ dan mi’raj.
i.
Alburdah
(sebuah kasidah yang di tulis oleh Albusiri-mesir) juga berisi dan ditradisikan
sama dengan Albarzanji di negeri ini.
j.
Syaraful
Anam (jenis syair mauled nabi saw) dibaca
dan ditradisikan sama dengan Albarzanji.
k. Al Diba’iy
(jenis syair mauled nabi saw juga) dibaca dan ditradisikan sama dengan
Albarzanji.
l.
Bidal.
Saya masih mencari apakah asalnya dari badal. Melihat isi bidal itu ada
kemiripan, ialah sejenis masal (pribahasa) atau pepatah yang mengandung advis,
sindiran, peringatan dsb. Badal dalam ilmu bahasa Arab termasuk istilah
sintaksis (Nahu), yang membentuk bangunan kalimat pengganti. Contoh, khasafal
I-qamaru, juz-uhu (bulan itu gerhana, sebahagiannya). “juz’uhu
(sebahagiannya)” itulah yang badal (hifni Bek Nashif dkk : 79). Contoh
bidal dalam bentuk tamsil : “keras kerak, bila disiram lunak”, dalam
bentuk pepatah, “besar pasak dari pada tiang”.
Kalau diteliti
mungkin banyak lagi yang berbau sastra Arab, seperti mungkin sejenis ibarat,
tamsil, talibun dsb. Mengenai entry dari diksi sastra (prosa dan puisi) berbau
Arab ini sedang coba menelitinya.
Tidak saja
pengaruh sastra Arab itu dalam diksi SIM, tetapi juga dilihat dalam bangunan
sintaksis, morfologi, sisile atau majaz dsb. Dimana pengaruh terakhir ini tidak
di bicarakan, cukup sementara gambaran isi dan diksi yang mendapat pengaruh
Arab dan Islam.
Saya piker,
kenapa demikian besar pengaruh Arab dan Islam itu..?. Alternatif jawaban pertama,
karena orang Arab itu nyaris disebut manusia sastra. Penyanyi Abul Farj
Al-ashfahaniy pernah membuat listrik :
Tidaklah yang bernama orang Arab
Andai tidak bisa bertutur syair
Padanya banyak bisa bersyair
Sedikit banyak bisa bersyair
(Terj.pen.dari
DR.Yusuf Novel 1980 : 76)
Kedua, karena
bersyair sudah tabi’at orang Arab itu, di mana berada mereka bersyair. Sampai
di Indonesia yang sudah barang tentu sejak tahun 669 mereka telah mulai tradisi
bersyair, sehingga sampai kini pengaruh Arab dan Islam itu manusia sastra,
kenapa mereka terlambat mendapatkan penghargaan/ hadiah nobel bidang sastra,
baru pertama kali di raih Najib Mahfus beberapa tahun lalu yang cerbungnya “pencarian”
dimuat Skh. Pelita mulai 3 febuari 1992 lalu..?. tentulah persoalan akan jadi
lain, sebab nilai sastra bukan tergantung dari penghargaan berupa hadiah,
tetapi adalah legitimasi penikmatnya. Ketiga, setelah Islam masuk,
mereka (Arab) mendapat nilai, bahwa yang maha indah itu Allah, dia menyukai
yang indah. Karena itu setiap ahli metafisik Islam dan para ulama mencari allah
melalui pendekatan keindahan, karena itu pulajarang di antara ulam itu yang
tidak pandai membuat syair dan membuat cerita, untuk mencapai keindahan yang
relative, yakni keindahan dalam seni sebagai aspek kebudayaan, dan keindahan
yang mutlak yakni Allah dan Ciptaannya, yang selalu memikat makluk yang
berbudaya ini untuk menirunya. Dengan demikian nilai dan nafas Islam selalu
hidap di dalam sastra, termasuk di dalam SIM, karena sudah sejak lama dimulai
dan di akrabi para tokoh agama Ialam baik yang dating dari Arab maupun yang
lahir di negeri ini.
Fungsi sastra Islam di
Minangkabau (SIM)
Bahkan kalau
secara jelimet di lihat SIM itu, tidak saja pengaruh Arab Islam, bahkan materi
SIM itu langsung merupakan ajaran Islam dan mensosialisasikan nilai-nilai
islam, dan di pakai sebagai pengajaran bahasa arab, seperti Syair Nahu.
Para ulama dalam
mencapai keindahan yang maha mutlak (Allah swt) dekat dengan seni termasuk
sastra terutama syair. Karena itu pula tradisi bersyair sudah menjadi tabi’at
pula bagi ulama dan guru agama Islam dahulu dalam mengajar Islam kepada
murid-muridnya. Di surau atau tempat mengaji lainnya, guru mengajar bahasa
dengan syair, mengajar tauhid seperti sifat 20 (sifat Allah yang 20) memakai
syair, mengajar fikih seperti rukun sembayang (rukun 13) dengan cara
bersyair,mengajar rasul yang 25 dengan mu’jizat serta keteladanannya di ajarkan
dengan cara bersyair. Saya pernah berdialog dengan seorang tua, dilidahnya
hafal betul Rasul 25 dengan mu’jizat serta keteladanannya, dalam bentuk
bersyair itu yakni Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi di kampungnya
panjung taba, baying pesisir selatan. Saya pikir, begitu tahan hafalannya
selama 60 tahun. Rahasianya dahulu mereka duduk melingkar (system halaqah)
belajar secara lisan (oral) dengan cara bersyair ini. Sehingga kemudian
mensosialisasi dalam kepribadiannya.
Ternyata cara
bersyair ini mengajar Islam sangat efektif. Komunikasi keindahan, membuat
sentuhan rasa, terjadi komunikasi sambung rasa. Hal yang komunikatif begini,
informasinya akan bertahan lama. Kalau ajaran dalam infomasi itu bertahan lama,
maka tidak khayal akan mensosialisasi. Ialah akan terjadi proses penyerapan
individu tadi terhadap nilai social, lalu menjadi bagian dari kelompok social
di mana ia berada. Itu dimulai dari individu tadi belajar untuk bertingkah laku
sesuai dengan yang berlaku dalam kelompoknya. Bentuk yang efektif ini terlihat
pula dalam pengajaran sifat 20 dan rukun 13, ternyata dengan cara bersyair dulu
smapai 70 han tahun kemudian masih bertahan dalam hafalan. Orang dulu kita
lihat, dengan cara bermaramulo. “baramulo rukun sembayang itu, 13 parakaro/
bermula rukun sembayang itu,13 perkara”. Sekarang, “baramulo” itu tidak ada
lagi, yang tinggal hanya “perkara” saja, lihatlah perkara tanah, perkaran ini
dan itu dsb. Repot sekali, yang pada gilirannya hafalan agama berantakan.
Dari kenyataan besarnya
pengaruh nafas Islam, bahkan dengan cara bersyair mengajarkan dan
mensosialisasikan Islam, beralasan kalau dikatakan Sastra Islam Minangkabau
(SIM) dapat menularkan pikiran Islam, mengjarkan Islam dan mensosialisasikan
nilai-nilai Islam kepada masyarakat pendukungnya. Karena itu pula, di samping
nilainya telah menjadi akar dan selanjutnya akan mengakar, optimis akan menjadi
post modern dalam gerakan perkembangan sastra di nusantara. Analognya, bagaiman
pun Islam yang di wahyukan kepada Nabi saw, dan di ajarkan kepada manusia, akan
tetap bertahan, dan akan tetap mempunyai powar magic. Sastra Islam sarat dengan
nilai itu, bahkan iqbal berpendapat, seniman sastrawan akan tetap
menyebarluaskan ajaran Nabi-nabi secara hakiki, sehingga akan tetap hidup. (Yulizal
Yunus 1992).
Akhirnya, tidak
ada jalan lain, kita harus menyambung mata rantai yang hilang dan terputus
dalam pewarisan Sastra Islam Minangkabau (SIM). Selanjutnya mencoba SIM, post
modern dalam gerakan sastra kita. Karena memang SIM, sudah merupakan lapisan
kebudayaan daerah ini yang patut di pertimbangkan.
Padang,
11 Febuari 1992
Rujukan
Al
Qur-nulkarim
Ali,
Syeikh Khatib, Burhanulhaq, 1337
Amron
Parkamin, Sasrta Indonesia, Kesusasteraan Indonesia Klasik-2 (pengantar), Bandung, CV sulita, 1973
A.Kiram,
dan Idris Tamin, Kepingan Sejarah Islam Minangkabau, cet .I padang, Madrasyah
Alhidayah, 1978.
Berg,
Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, Jakarta, INIS, 1989.
Darulmasyriq,
Almunjil fi Al-lughah wa I-a’lam, Bairut, Darulmasyriq,1975.
Edi
Sedyawati dkk, ed, Seni Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai, Jakarta, gramedia, 1983.
Faisal,
Majallatus Saqafiyah syahriyah,Riyadh,
Darul Faisal, Sep-Okt 1980.
Gazalba,
Sidi, Pandangan Islam tentang Kesenian, Jakarta, Bulan, Bintang, 1977.
Hamdan
Hassan, Sheikh Tahir Jalaluddin, Pelopor Pembaharuan Pemikiran Islam Di
Malaysia, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa, 1973, 405-419.
Harmoko,
Komunikasi Sambung Rasa, Jakarta,
Sinar Harapan, 1986.
Hifnibek
Nashif, Qawa’idul Lughatil Arabiyah, Wuzarah Alma’arif Al’umumiyah.
HW.
Muhd. Shaghir Abdullah, Syeikh Ismail Alminangkabawiy Penyiar Thariqat
Naqayabandiyah Khalidayah, solo, Ramadhani, 1985.
Ballmer,
Thomas T, Macrostructures In Dijk, Teun A.van. Ed. 1-22. Imam
Maulana Abdul Manaf Alamin, Muballighul Islam, padang.
Jalaluddin,
Syeikh, Hikayat Syeikh Jalaluddin, leiden,E.J. Brill,1857.
Karel
Brouclemen, Tarekh Al-Syu’ub Al-Islamiyah (Naqqalahu Ila
Al-Arabiyah Murni Alba’labakiy dkk), cet.VI, Bairyt, Darul ‘Ilmi Lilmalayin,
1974.
Mangantar
Simanjuntak, Neuro-and Psycholinguistic Aspects of Teaching Staff
Training in the National Language… “Toward a Powerful Languange Teaching
Technology”, Paper Presented at the Fourth Conference of Asian
Association on National Languange, 25 tahun- 30 April 1977, Kuala Lumpur, Universitas
Malaysia, 1977.
Mohd.
Affandi, Sheikh Tahir Al-Azhari, pemimpin Reformasi Islam, Kuala
Lumpur, Dewan Masyarakat, Jan 1977, 35-37.
Modh.Sarim
Mustajab, Sheikh Muhammad Tahir Jalaluddin Al-Falaki : Pelopor Gerakan
Islah Islamiyyah di Tanah Melayu, Kuala Lumpur, Malaysia in History
Vol. 20, no.2 Des 1977, 1-11.
Muhammad
Quthub, Manhaj Alfann Al-Islamiy, Bairut, darus Syuruq, 1973.
Muhammad
Syafiq Ghirbal, Almausu’ah Al-‘Arabiyah Almuyassarah, new York,
1960.
Mursal
Esten, Kritik Sastra Indonesia, Padang, Angkasa Raya, 1984.
Munir
Alba’labakiy, Almaurid, Bairut, Darul Almalayin, 1979.
Panuti
Sudjiman,Ed, Kamus Istilah Sastra, Jakarta, Gramedia,1986.
Robson,S.O.,Filologi
dan Sastra-Sastra Klasik Indonesia, Jakarta, proyek Penelitian Bahasa
Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1978.
Steiner, George,
Extra Territorial, London, 1972.
University Sains
Malaysia, Pusat Falak Sheikh Tahir, Pantai Aceh, Pulau Pinang,
1991.
Yusuf Novel, DR
dkk, Asy-Syi’rul ‘Arabiy fi I-mizan, Riyadh, darul faisal,
faisal,32,1980.
Yulizal Yunus, Islam
Di Gerbang Selatan Sumatera Barat, Balai Selasa, STIT, 1991.
-----------, Perkembangan
Mutakhir Penulisan Puisi, Piksi Dan Naskah Drama Karya Sastra Sastrawan Muda
Daerah, Makalah Temu Kritikus Sastra Muda Se Sumatera, Padang 1989.
-----------, Pewarisan
Sikan Profetik, Al-Turas, Padang
IAIN Imam Bonjol Pres 1991.
-----------,
Pewarisan Nafas Islam Dalam Budaya, Al-Turas, Padang IAIN Imam Bonjol Pres 1991.
-----------, Sastra
Islam Di Indonesia, Studi Syair Syeikh Muhammad Dalil Bin Muhammad Fatawi,
Padang, Balai Penelitian IAIN Imam Bonjol 1991.
Posting Komentar