Headlines News :
Home » » Sastra Islam Di Minangkabau (pengaruh prototype sastra arab islam)

Sastra Islam Di Minangkabau (pengaruh prototype sastra arab islam)

Written By Unknown on Jumat, 22 November 2013 | 15.00


Oleh Drs. Yulizal yunus

Staf pengajar sastra arab
Fakultas Adab IAIN “Imam Bonjol” Padang
 
Sastra Islam merupakan akar budaya minangkabau (sumbar). Artinya bu
daya minangkabau termasuk sastranya sarat dengan nilai warisan Islam. Bahkan dari pendekatan historis dan pilologis, hal yang ensesial akan terasa teras pengaruh sastara arab di samping pengaruh Islam.
Pengaruh satra arab dan Islam itu telah dimulai sejak abad ke-7 sampai pertengahan abad-20. Di antara masa-masa ini, dapat dikatakan bahwa, tiraz (prototype) sastra Islam telah menjadi aset besar dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra minangkabau.
Sekarang sebuah pertanyaan menggelintik batin kita, kenapa dan perihal apa yang menyebabkan adanya kecendrungan, ada mata rantai yang hilang?. Dalam fenomenal yang berorientasi masa depan, bagaiman kembali menyambung mata rantai yang terputus dan hilang itu, sehingga diharapkan, pertama kejayaan masa silam dapat di sambung di abad modern ini dan aset besar nafas seni islam tidak terkubur begitu saja, dan kedua bagaimana upaya melahirkan tradisi menulis dapat menjadikan seni sastra Islam itu sebagai post modern dalam perkembangan sastra minangkabau sebagai bagian integral sastra Indonesia,di masa datang?. Inilah yang hendak perlu dilakukan kajian.
Kajian terhadap sastra Islam di minangkabau mungkin telah banyak atau mungkin sebaliknya, kurang sekali. Tetapi terlepas dari itu yang jelas, kajian tentang sastra Islam di minangkabau tetap menjadi menarik dalam bidang studi sastra daerah sebagai  bagian sastra Indonesia.
Makalah ini akan melihat sastra minangkabau yang berakar pada sastra Islam sekaligus melihat wawasan dan fungsi sastra Islam itu. Untuk ini dilakukan pendekatan historis dan pilologis dengan melihat contoh teks dan fungsinya, sehingga dapat digambarkan bagaimana derasnya pengaruh sastra arab dan Islam di dalam sastra Islam di minangkabau ini.
Sastra Islam adalah dua kata yang kedua-duanya adalah konsep. Sastra sebagai konsep saqafi (kebudayaan) yang relative dipadati nilai-nilai sesuai dengan aliran-alirannya seperti fann li fann (lar’t for lar’t) atau fann li sya’bi (seni untuk rakyat) dll. Demikian Islam adalah konsep satu-satunya agama di sisi Yang Maha Mutlak (Allah swt) sarat dengan nilai-nilai yang mulia, secara sederhana dirumuskan : pertama aqidah Islamiyah, kedua syari’ah Islamiyah. Akidah merupakan merupakan hal yang fundamental sebagai pondasi, sedangkan Syari’ah (hukum) menyakut Islam adalah merupakan keseluruhan bangunan Islam yang berdiri kokoh di atas pondasinya, akidah Islamiyah itu.
Mengacu kata adab (Arab) yang diartikan sastra, pada awal mula diberi makna dengan nilai tata laku dalam pemenuhan undangan dalam acara resepsi perkawinan, kemudian dikristalisasikan dengan makna etik (akhlaq). Mengenai adab ini pernah say kembangkan dalam beberapa tulisan saya, di antaranya makalah yang di sajikan pada forum “temu kritikus sastrawan muda se-sumatera”di padang (1989) dengan topik : “perkembangan mutakhir penulisan puisi, piksi dan Naskah Drama Karya Sastrawan Muda Daerah” adab dengan makna etik itu, secara sempit banyak orang berpengang dengan makna itu. Sampai-sampai, Fakultas Adab IAIN, di terjemaahkan dengan Fakultas budi pekerti, yang saya piker, kalau hamya sekedar “budi pekerti” diartikan adab itu, buat apa betul ada fakultasnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, adab diluaskan maknanya, sehingga segala bentuk ilmu pengetahuan yang mengunakan teks bahasa saintifik dan teks bahasa kolokial, dapat membentuk tingkah laku yang boleh jadi menghiasi diri manusia, disebut dengan sastra. Dalam perkembangan berikutnya pengertian sastra dikhususkan dengan susastra, ialah komunikasi bahasa dalam bentuk puisi dan prosa. (Muhammad Syafiq Ghirbal 1960 : 68, banding Mangantar Simanjuntak 1977 :18 atau G. Balmer 1976, atau Steiner 1972).
Dari pendekatan historis, tanpak sekaligus aspek pilologis terutama sisi content (isi) sekaligus pula essensi dasar sastra soal etik dan segala bentuk ilmu yang mengunakan teks bahasa (saintifik dan kolokial), dapat membentuk prilaku dan menghiasi diri manusia. Dengan gambaran ini pula baik secara umum maupun secara khusus, mengidentifikasi tiraz (prototype) sastara Islam. Dalam kesempatan ini diambilkan pengertian khusus, yakni sastra Islam dimaksudkan merupakan komunikasi bahasa dalam bentuk puisi dan prosa yang sarat dengan nilai dan nafas Islam.
Sebuah gejala, sekarang prototype sastra Islam ini di gugat. Ironisnya trend ini terjadi di tengah-tengah issue booms seni dalam era globalisasi dunia pada millinium ke-3 (tahun 2000) seperti disebut John Naisbit dalam Megatren tahun 2000. Gejala itu berlanjut dalam kenyataan, bahwa ada sementara anggapan, menyembut sastar Islam itu kuno. Sedangkan yang dianggap modern, adalah seni inport barat. Bila suatu kali pertunjukan terlihatalah, bahwa sastra Islam seperti sair kasidah dengan musiknya rebana, tidak gairah, kurang mendapat tempat dan sambutan sepi sekalipun dibekali mewah, ketimbang pertunjukan seni sastra lagu-lagu modern dan barat yang hangat dengan iringan music modernnya yang menyentak-nyentak.
Seolah seni sastra Islam itu cocoknya dipertunjukan di pinggiran, masyarakat surau, orang tua kuno. Padahal sastra Islam ini adalah akar budaya, yang mesti dilestarikan dan menjadi kebanggaan untuk di kembangakan sebagai milik negeri sendiri. Memeng ada seruan seperti dalam lagu “buatan Indonesia” oleh Bimbo atau “saya cita buata Indonesia” yang di nyanyikan Titik Puspa. Ya, itu lagu, persoalanya sekarang : buatan Indonesia itu tidak di buat-buat lagi, lalu basi dan using kemudian terkubur. Kalau pun di muculkan juga, terasa asing di rumah sendiri. Karena milik sendiri kurang gairah, lebih senang inport dari barat. Beralasan apa yang di sebut Mursal Esten (1984 : 17) sebagai gejala mengidentifikasi sastra asing, dan membarat.
Ada gejala yang lebih hebat, ialah sebuah trend, bahwa seni Islam itu, dibilang tidak ada. Pernyataan itu, adalah gugutan dan satu-satunya pukulan hebat dalam pengembangan seni sastra Isalam. Di Indonesia termasuk minangkabau. Ya, kita tidak boleh pessimis, harus optimis. Oke, kita optimis, “mudah-mudahan berkembanglah”, kita ucapkan insya Allah. Kalau kenyataan berkembang kita ucapkan Alhamdulillah. Kalau tidak dan kita pessimis, baca jugalah “masya Allah”
Pasalnya, apkah kita akur saja atau memberikan antisipasi dengan upaya konstruktif. Kalau akur saja dengan peryataan itu, maka sia-sialah pembicaraan mengenai seni Islam di minangkabau dalam forum yang bergengsi ini. Pernah A.A Nasiv menawarkan ungkapan ini di fakultas adab IAIN Imam Bonjol Padang (1986) membuat kaget mahasiswa sastra arab fakultas adab (sastra) itu. Dalam persoalan ini saya menawarkan sebuah amanah, pernyataan itu sebetulnya cimeti. Unruk meneliti sastra Islam di negeri ini. Masalah ini pernah mekarkan dalam beberapa tulisan saya, di antaranya hasil penelitian “sastar islam di Indonesia, sebuah studi syair Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (1864-1923)”, tahun 1991 ini, “ nafas Islam dalam kebudayaan (1991)” dll. Besar kemungkinan yang di maksud pernyataan itu (seni Islam tidak ada) menghendaki pola seni sastra Islam itu. Islam memang tidak memberikan pola dalam berseni sastra, tetapi memberikan nilai dan nafas (jiwa) Islami. Seperti misalnya, Al-qur’an (36 : 69) menyebut asy-syi’I (sya’ir) yang membias adalah nilai, bukan pola, atau menyebut kata sya’ir (penyair) dalam QS 21 : 5, 27 : 36, 52 : 30, 69 : 41, atau asy-syu’ara (para penyair) dalam QS 26 : 224, tidak juga menunjukan pola, tetapi memberikan nilai, bahwa syair yang baik itu ialah diri penyair itu,tidak hanya kayalan semata, dan penyair itu memiliki kepribadian mukmin yang berbuat salihat (baik). Demikian pula di dalam sabda rasulullah saw. Terdapat pula kata  syi’ir (syair), juga memberikan kontibusi nilai sebagai kekuatan yakni power wiadom, seperti sabda Rasulullah : “inna min syi’ri hikmah..sebenarnya syair itu termasuk hikmah (wisdom)”. (yulizal Yunus 1977). Karena memang sya’ir-sya’ir Islami sejak awal mula pada Hassan binSabit hidap di zaman Nabi saw, wafat tahun 674 (Darulmasyriq 1973 : 233) syair Islam (Karel Brocleman dalam Nabiyah amin Faris dan Munir Alba’laba kiy 1974 : 64 ).
Jadi, prototype Islam dalam seni sastra adalah nilai, bukan pola. Kalau dilihat pola, sudahbarang tentu sastra Islam itu tidak ada, tetapi kalau disidik nilai, amatlah kaya sastra Islam itu.nilai itu tidak hanya estetik, eronik, tetapi juga etik seperti yang disebut Muhammad Syafiq Ghirbal (1960 : 68) tadi, atau juag disebut sidi Gazalba (1977).
Mengacu pendapat Bahaudin Alamiri (1980), dalam sastra Islam terutama dalam bentuk syair tidak hanya ada jamal (estetik) tetapi juga ada alhaq akan lahir erotic dan etik. Mengacu teori “tungku tigo sajarangan” minangkabau, atau “tali tigo sapilin”, maka tungku atau tali yang tiga : estetik, etik dan erotic itu tidak dapat dipisahkan dalam adagium : “ yang kuriak ialah kundi, yang merah ialah sago, yang baik ialah budi, yang indah ialah baso”.dalam sastra Islam estetik dan erotic dikontrol oleh etik, diantaranya akan memantulkan nilai, bahwa “yang indah dan mengerahkan itu bukanlah hanya fornografi, tetapi dari yang relative itu dikembalikan kepada Yang Maha Mutlak (Allah swt), bahwa yang maha indah itu Allah swt.”.ini di lukiskan dalam nash “ innallaha jamil, yuhibbul jamal/ Allah itu maha indah dan suka kepada yang indah”. Berangkat dari teori mimesis Plato (428-348 SM) dan muridnya Aristoteles (384-322 SM), bahwa keindahan seni termasuk seni sastra sebagai aspek kebudayaan adalah relative, karena merupakan realita tiruan dari keindahan yang maha mutlak dan keindahan ciptaan yang maha mutlak. Yang maha mutlak ini di dalam Islam sudah barang tentu Allah swt. Pendapat ini bertemu dalam Muhammad Quthub (1973 : 6), bahwa di dalam seni Islam itu mengkristal dalam suatu titk temu yang utuh antara aljamal (estetik) dan Ai haq. Aljamal (estetik-keindahan). Puncak pertemuan keduanya (aljamal dan alhaq) secara substansial berada dalam segala hakikat wujud.
Karena itu Muhammad Quthub menggariskan, meskipun hubungan Islam dan seni tanpak sebagai nufur (tidak akrab) dan khisham (controversial),maka seni islam itu sudah merupakan kombinasi nilai hikam (wisdom-power magic), mau’zah (advice) dan irsyadah (guidance).

Akar sastra minangkabau
Sastra Islam, nilai demikian substansi, karena itu tidak ada pilihan lain, kalau nilai seni sastra Islam ini telah demikian mencekam dan merupakan prototype sastra minangkabau yang bernafas Islam, maka sastra Islam di minangkabau harus di teruskan, dengan pelestarian dan pengembangannya, sebagai salah satu aset besar dan post modern pengembangan cipta seni modern di Indonesia. Dalam hal ini beralasan apa yang dilansir Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono 1983 : VIII), bahwa nafas Islam dalam seni merupakan lapisan kebudayaan Indonesia yang patut di kembangakan.
Dalam kaitannya dengan pewarisan pemikiran minangkabau terutama yang bersumber dari : “adat bersabdi syarak syarak basandi kitabullah,” maka sastra Islam di daerah ini tidak boleh terkubur begitu saja. Janganlah sastra Islam, secara umunnya saja, Robson (1979) melukiskan,sastra dapat memelihara dan menurunkan pikiran suku yang bersangkutan dengan dicontohkannya dengan pemikiran agama yang dianut suku itu, di samping sejarah dan adat istiadatnya. Tidak harus pasif tetapi harus aktif. Memang ada pepatah kita, ibarat roda pidati, tunggu saja giliran di atas, dia akan berputar.pasalnya sekarang, “roda pidati itu yang tidak berputar”. Satu yang mengharuskan tidak boleh pasif, ialah meskipun ada seruan : “mari kita kembangkan kebudayaan nasiona dengan mengembangkan puncak-puncak kebudayaan daerah”. Itu, memang ada nilai kebersamaan, seperti dalam adagium : “tertelungkup sama makan abu, tertelantang sama makan embun”. Pasalnya sekarang kebudayaan termasuk sastra Islam minangkabau , misalnya sudah tertelungkup, apakah mesti di biarkan makan abu…?
Di tengah-tengah perubahan dunia kearah gelombang ketiga, era informasi dan komonikasi kata Alvin Toffler (1980), minangkabau sebagai bagian integral bahasa Indonesia, harus tetap mempertahankan pijakan budaya. Yang pasti budaya nafas Islam sebagai warisan sejarahnya yang sejak dahulu mempunyai filosofis orientasi kemasa depan. Salah satu dimensi filosofis orientasi ke masa depan ditunjukan dalam “ siti nurbaya”, atau “Sengsara Membawa Nikmat” yang kedua karya sastra cerkan-novel itu sudah berhasil dilayar perakan, dapat membangkitkan gairah ke minangakabau masyarakat sumbar. Misalnya dalam “Siti Nurbaya”, seperti telah meramalkan bahwa satu saat nanti akan muncul kekuatan baru, yang tidak lagi harus terikat dengan adat.sekarang ternyata kekuatan baru itu yang cukup penomenal ialah kekuatan ekonomi. Dalam masa millinium ke-3 ini bahkan akan terjadi booms ekonomi. Kenyataannya apapun srategi barat misalnya soal demokrasi seperti glasnoust dan perestroika bekas Uni Sovietnya Gorbachev, pastilah berdampak ekonomi. Justru demokrasi barat itu sedang digugat, karena percaturanekonomi. Nah, kekuatan baru ini, sudah di gambarkan sastrawan minangkabau penulis siti nurbaya (1992) yakni Marah Rusli (1898-1968). Ialah dilambangkan dengan Datuk Maringgih. Tokoh Datuk Maringgih yang masyarakat minangkabau terutama yang muda-muda terundang benci kepadanya, menggunakan kekuatan ekonomi, untuk meraih keinginannya. Ia tidak mempunyai keturunan ningrat datuk-datuk, dan membeli pakaian datuk dan selalu memakai pakaian datuk karena duitnya banyak, sedangkan datuk yang sesungguhnya tidak banyak memakai pakaian datuk,..kan..?. tetapi Maringgih salah sangka dikira semua bisa dibeli dengan duit, ternyata cinta dan kasih saying tidak dapat di belinya, dan itu pulalah yang membuat kawin paksanya menikahi Siti Nurbaya, tidak pernah berjumpa apa yang bernama cinta dan kasih saying itu, bahkan sebaliknya menimbulkan kebencian istrinya sendiri bahkan sampai kepada kenyataan pelakon Maringgih pun bisa-bisa diludahi si tukang sayur : puih….ini si kaparat itu, artinya yang tak berhutang saja yang membayar..
Nafas Islam dan kearifan filosofis orientasi masa depan ini sudah begitu lama mengakar di minangkabau. Dari sudut historis, bersamaan masuk pengaruh Islam itu, masuk pula pengaruh arab. Dari pengamatan pengaruh itu telah di mulai sejak abad ke-7, awal mula masuknya Islam ke Indonesia. Pada abad ke-7 itu Islam tidah hanya masuk di barus (aceh) tetapi juga di minangkabau, lebih jauh pernah saya gambarkan dalam tulisan saya “Islam di gerbang selatan Sumetera Barat (1991)”.
Islam di minangkabau, diawali datangnya ekspedisi 28 kapal dari daulat Mu’awiyah yang khalifahnya ketika itu Mu’awiyah bin Abi Syofyan. Ekspedisi itu melalui Tiongkok Selatan, kemudian tahun 669 sampai di kerajaan melay minangkabau timur di muara sabak. A.Kiram dkk (1978 : 5-6) bersandar kepada universitas cordova, menyembutkan, ekspedisi tadi di terima baik oleh raja Sri Maharaja Lokita Warman, sekaligus ia masuk islam.ketika itulah ekspedisi mu’awiyah bersam Sri Maharaja Lokita warman mengadakan gerakan, pembahasan masyarakat minangkabau dari buta tulisan baca huruf arab (melayu) yang sampai sekarang tulisan bahasa arab melayu itu kita kenal dengan “tulisan arab melayu”. Berarti sejak itulah telah di mulai dunia sastra, meskipun secara oral, kalau mengacu pada pendapat, bahwa yang sastra itu adalah komunikasi bahasa yang mengunakan teks saintifik dan teks bahasa kolokial, seperti disebutkan Mangantar Simanjuntak (1979 :4).
Pada penggalan zaman berikutnya dalam pertumbuhan Islam di minangkabau, tahun 969 datang pula ekspedisi daulat fatimiyah, yang sudah barang tentu membawa pengaruh syai’ah. Tahun 1050 masuk pula seorang sayid (said-yang tentu sebelum basidinya pariaman) dari hadramaut. Sayid ini di artikan sebagai wali Allah karena dianggap suci, terpuji, pintar menebak pikiran orang dan selama hidupnya dianggap ahli I-kasyfi atau orang yang selalu waspada (BERG 1989 : 61-62). Sayid yang mulia itu salah seorang hadir di minangkabau timur dalam kerajaan Kuntu (Riau-sekarang), bernama Badaruddin. Sayid dan ulama besar Hadramaut ini memulai tradisi menulis sastra, dengan kitabnya dikenal dengan nama “badrulhikam (purnama hikmah)”. Di samping mendirikan sekolahan dengan nama yang sama. Kemudian sayid badaruddin dilanjutkan dengan syeikh Burhanudin Alkamil di Kuntu itu sampai abad ke-13. Berarti, sastra minangkabau seperti dalam “Badrul Hakim” Badaruddin ini, lebih tua dari teks syair yang dianggap tertua seperti yang terdapat di batu nisan tua di Minye Tujoh (Aceh) tahun 1380. Syair di batu nisan ini ditulis dalam bahasa Sumatera kuno dengan huruf arab, pernah dicatat DR.W.F.Stuterheim dan DR.C.Hooykaas (1951) sebagai syair yang pernah nafas Islam, yang bercerita tentang wafatnya Ratu Iman Werda yang mempunyai kekuasaan di Pasai dan Kedah.
Pada abad ke-7, pada masa Iskandar Muda (1606-1636) lahir pula bentuk syair sufi, yang dipelopori oleh Hamzah Fansuri. Syair-syair Hamzah Fansuri jauh berbeda dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri yang dapat dipahami semua lapisan termasuk raja. Tetapi sebaliknya Hamzah Fansuri karena menganut sufistik di pengaruhi AL Halaj, Jalaluddin Rumi, Syamsu Tabriz, Ibnu A’rabi dll, tak semua penikmat memahami termasuk raja. Karna itu karya Hamzah yang berbau wujudiyah dan neo-Platonisme itu mendapat tantangan, dan mendapat nasib sial, banyak karyanya yang di bakar.
  Di minangkabau, abad ke-7 itu mendapat banyak pengaruh Aceh, karena itu pula tidak pula terlepas dari pengaruh Hamzah Fansuri. Pengaruh itu dirasakan, sejak kembalinya 6 tokoh, yakni Syeikh Muhammad Nasir (ahli tafsir) di koto tangah padang, syeikh Burhanuddin Ulakan pariaman, Syeikh supayang di solok, Buyung Muda di Pulut-pulut baying (pesisir selatan), syeikh Padang Ganting di Tanah Datar dan Khaladin Lubuk Ipuh Kerinci. Enam ornag tokoh ini kembali dari Aceh setelah belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel (Imam Maulana Abd. Munaf Al Amin : 322). Enam tokoh inilah kemudian mengembangkan Islam di minangkabau, dengan berbasis disuraunya masing-masing sebagai sentra pengembangan Islam itu. Tidak hanya di Minangkabau, tetapi muridnya meneruskan sampai ke Indonesia bagian timur, seperti di kenal Datok Ribandang, Datok Ritiro dan Datok Ritimang, bahkan sampai pula ke Serawak (Malaysia) dan Mindano (Pilipina).
Khusus di Minangkabau, generasi berikutnya lahir pula ulama-ulama besar, terutama sekali abad-19-20 sebagai penyambung mata rantai gerakan pembaharuan Islam, di mulai dari Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawiy (1852-1970), Syeikh Muhammad Thaher Jalaluddin Al Fakali (1869-1956), Syeikh Jamil Jambek Al Falaki (1862-1947), Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (1871-1970), Syeikh Ahmad Khatib Al padani (1874-1920), Syeikh Muhammad Dalil, DR. Abdullah Ahmad (1878-1933), DR. Abdul Karim Amarullah (1879-1949), H. Kasim Bakri (1907-1964), Syeikh Muhammad Jamil Alkhalidiy (1258-1346 H), H.Harun El-Rasyidi (1885-1960) dll.
Sejak dasawarsa ke-2 abad ke-19 sampai dasawarsa ke-5 abad ke-20, dipeloporo para intelektual ulama Minangkabau ini, tidak sedikit melahirkan karya tulis, baik dalam bentuk komunikasi bahasa prosa dan puisi, maupun teks bahasa saintifik. Ini disamping mengantisipasi masalah-masalah dakwah, dan pendidikan pengajaran Islam di zaman penjajah secara eksternal, juga dirangsang adanya polemik-polemik secara internal ulama intelek terutama sekali mengenai masalah-masalah khilafiyah. Mengenai bentuk masalah yang di polemikan itu, di antaranya dapat dipadatkan sekitar baik antar ulam teriqat terutama naqsyabandi yang bendera pertamanya dibawa oleh Syeikh Ismail Simabur mendapat tantangan dan terjadi rapat besar dengan tokoh Satariyah di Padang Panjang tahun 1850, maupun antara pemikiran tarikat dengan pembaharu pemikir Islam, yang lebih terasa sejak Syeikh Ahnad Khatib Al Minangkabawiy mengajar di Mesjidil Haram dan banyak murid pulang ke Indonesia. Ini, pihak kaum pembaharu (modernis) yang disebut kaum muda dipimpin DR. Karim Amrullah, DR. Abdullah Ahmad, Syeikh Jamil Jambek, Syeikh Thaib Umar : sedangkan kaum tradisional disebut ulama kaum tua dipimpin oleh Syeikh Khatib Ali (agak radikal) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (moderat). Hal yang sama pernah saya kembangkan dalam tulisan saya diantaranya, Syeikh Muhammad Khatib Ali (1981) dan Syeikh Bayang (1982). Banding juga HW Muhd. Shaghir Abdullah (1985).
Karena polemic inilah banyak lahir buku-buku, termasuk sastra yang terlepas dari bentuk polemik dan juga ada yang polemis. Yang agak polemis sifatnya misalnya “I’lan” dalam Burhanulhaq-nya Syeikh Khatib Ali, tahun 1337 H. isinya menyerang kaum modernis, lihatlah bait berikut :
….sunat melafazkan ushalli
Kata kaum baru tersalah Iman Nabawi
Dibetulkan perkataan Wahabi
Keterangan ada pada risalah ini
                                                            (Syeikh Khatib Ali 1337 :8)
Syair ini merupakan pengantar dari Burhanulhaq, menaruh/merupakan risalah masalah delapan.
Demikian pula polemic dalam syair “muhallil” Syeikh DR. Karim Amrullah (Ayah HAMKA), yang isinya mencela orang yang melakukan dan merestui kawin cino buto (rujuk setelah talak tiga, dengan memakai perantara seorang lelaki dikawinkan dengan seorang janda yang akan dirujuki, dengan persyaratan, perkawinanlelaki itu tidak boleh lama, harus di jatuhkan talak paksa dalam satu atau dua hari setelah perkawinan). (HAKA : 1).
 Ulama-ulama yang menulis karya satra non polemis, tetapi dapat didentifikasi merupakan upaya mengantisipasi masalah-masalah keagamaan dengan mengkomunikasikan pengajaran dan nilai pribadi muslim di antaranya : Syeikh Muhammad Dalil dengan Syairnya “talapus saleh”, “Darul Mau’izah” dan “Rasul 25”. Syeikh Sulaiman Arrasuli dengan Syairnya “Dawa-ulqulub” dua jilid. Syeikh Thaib Umar dengan syairnya “tradisi minta beras mengaji”, dll. Banyak lagi ulama yang menulis karya sastra Islam yang belum ditemuakanseperti Syeikh Taher Jalaluddin yang karyanya numpuk di arsip Negara Kuala Lumpur dan Singapura. Sampai pula ke zaman baru, Hamka dengan novel-novel H. Kasim Bahri dengan “katak dalam  tempurung” nya yang bikin rebut belanda. Amura dengan “irsyadiyah” nya yang membangkit gairah membangun sekolah Islam ynag ideal. Riva’I Ali dengan syair “iradah ilahi”nya. Banyak lagi, yang rasaknya cukup waktu menuliskannya dalam waktu ini, dan memang perlu penelitian selanjutnya. Upaya penelitian selanjutnya diperlukan, memang disadari seperti amanah Robson (1979), sastra dalam bentuk ini dapat mewariskan pemikiran agama, sejarah, adat istiadat, daerah ini yang memang kaya dengan nilai dan pribadi serta luhur.
Pengaruh Arab Islam
            Secara historis telah terlihat pengaruh Arab dan Islam beras dalam sastra Islam di Minangkabau (SIM) ini. Dimulai sejak pembahasan masyarakat Minangkabau dari but abaca tulis Arab Melayu tahun 669. Sampai penulisan buku-buku bersamaan dengan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Minangkabau abad ke-20
            Hal yang substansial, secara pilologis, melihat pengaruh Arab Islam dalam SIM (Sastra Islam di Minangkabau) perlu dilakukan, meskipun diskriktif singkat. Philology, menurut Munir Alba’labakiy (1979:681) menyangkut fiqhulluqhqh (linguistic) sejarah, perbandingan dan studi bahasa, secara khusus memberikan criteria dan sifat appresiasi sastra serta lahan pembahasan warna sejarah kebudayaan. Tetapi setalah dikhususkan, pilologi dapat diartikan sebagai studi teks naskah lama, yang menurut Panuti Sudjiman, ed. (1986 : 29) menyakut di antaranya makna isi naskah di samping untuk menetapkan keaslian naskah (banding juga Jamaris 1977). Dalam hal ini, studi dalam SIM menentukan pengaruh Arab Islam secara pilologis, diambil mengenai gaya bahasa dan isi naskah.

Diksi dan Isi Naskah
            Karena banyaknya naskah yang mendapat pengaruh sastra Arab dan Islam, terutama dalam SIM ini, maka saya memilih secara acak, naskah yang say kenal.
a.       Nazam Thalabus Shalah (NTS). Dan Nazam Darul Mawa’izah (NDM).
NTS, ini besar pengaruh Arab. Dari namanya saja, selengkapnya Nazam Thalabus Shalah, jelas berakar dari diski Arab, berarti Nazam tuntutan shalat. Isi naskah, deras pengaruh Islam, karena memang mengajarkan Islam soal beribadat. Misinya disamping upaya mengantisipasi masalah-masalah Islam dan mendialogkan pengajaran Islam, menekankan dan melukiskan, bagaimana akibat orang yang meningalkan shalat, sehingga bembuat orang takut meningalkan dan melalaikannya meskipun agak sesa’at setelah waktu masuk. Terasa betul seperti sabda Nabi saw, bahwa shalat itu tiang agama, dan mengerjakan yang paling baik di awal waktu. Syair ini di tulis Syeikh Muhammad Dalil di terbitkan bersama dengan bukunya “targhub” di cetak berulang-ulang, yang oleh BJO Schrieke dimasukan sebagai buku kepustakaan penjuang yang penuh moral abad ke-20.
Demian Nazam Darul Mawa’izah (NDM). Diskusinya juga berakar dari Arab, yang berarti Nazam pengajar yang Indah. NDM ini menurut BJO Schrieke, disebutnya sebagai syair apologetic pembela tariqat Naqayabandiyah. Misi isinya, membina kepribadian muslim melalui tariqat Naqayabandiyah. NDM mirim seloka dalam sastra Indonesia.
b.      Syair Nahu (SN)
Naskah SN ini termasuk naskah melayu, terdaftar dalam koleksi Museum Nasional, dan pernah didaftar Van Ronkel dalam katalognya (1909). Isi SN deras pengaruh Arab Islam. Nahu artinya ilmu sintaksis, sebuah ilmu bahasa yang mempelajari tata bangunan dan perubahan bangunan kalimat Arab. Naskah SN ini khusus memaparka pelajaran bahasa Arab tentang bangunan kalimat dengan memakai kata ganti nama dan kata ganti orang.
c.       Riwayat Kota Pariaman (PKP)
RKP ditulis bagindo Said Zakaria. Naskah setebal 110 halaman itu juga menunjukan ada pengaruh Arab dan Islam. Riwayat itu adalah diksi Arab, yang berarti story. Riwayat di dalam sastra Arab termasuk jenis nasar (prosa). Yang dominan di dalamnya adalah unsure opini (fikiran), ketimbang athifah (perasaan). Isinya, yang menunjukan aspek Islam ialah kehadiran seorang tokoh ulama intelektual Pariaman dan tentang bagunan mesjidnya. Ulama itu Syeikh Muhammad Djamil Al Khalidi (1258-1346 H). ujung namanya Al Khalidiyah itu menunjukan bahwa tokoh ini adalah penganut tariqat Naqsyabandinyah. Dengan demikian, merubah jalan pikiran kita tentang Pariaman, yang selama ini dikenal sebagai setra satariayah (ulakan), rupanya juga menjadi sentra Naqsyabandiyah sekitar pasar Pariaman sekarang. Makam tokoh ini terdapat di mesjid Raya Syeikh Muhammad Jamil Pariaman itu. Dahulu dicatat Syeikh Khatib Ali (1337 : 6) termasuk ulama Syafi’iyah atas fatwa Imam Nawami dan ulama tradisional ikut dalam debat dengan ulam modernis, di Minangkabau desawarsa ke-2 abad ke-20 itu.
d.      Hikayat Hasan Husain (H3) dan Muhammad Ali Hanafiyah (MAH)
Hikayat Hasan Husain (H3) ini terdiri dari dua jilid kecil. Hasan  Husein adalah cucu Nabi saw, dicerita sebagai seorang tokoh yang keras melawan raja Yazid. Sedangkan Yasid bersemangat hendak membunuh cucu Nabi saw atau anak dari Ali a.s. Berarti ini merupakan sejarah Islam, menunjukan kepada kita bahwa pengruh syi’ah dan besar di daerah ini, yang dipekirakan telah masuk sejak ekspedisi 4 kapal Fatimiyah ke Minangkabau tahun 969. Kemudian di perkuat pula oleh Tarikat Satari, dan juga pengaruh Aceh yang sampai di minang terbagi menjadi dua yakni ada wihdatul wujud dan ada wihdatus syuhud (yulizal yunus 1990 : 9-13). Wihdatul wujud (pantaisme) sentranya di ulakan Pariaman, dan wihdatus syuhud punya setral di cangking, dipimpin oleh Tuanku Muhammad. Khusus tuanku Muhammad ini, waktu kecil bergelar Fakih Saghir (fakih kecil) kemudian tuanku sami’ dan terakir dikenal dengan Jalaluddin  Ahmad (perjalanan hidupnya dalam Hikayat Syeikh Jalaluddin). Putranya, Syeikh Muhammad Thahar Jalaluddin, kemudian menjadi tokoh pembaharu pemikiran Islam dan ahli ilmu falak, tinggal dan meninggal di Malaysia (Hamdan Hassan 1973. Banding Mohd. Sarim Mestajab 1977, atau Raja Mohd. Affandi 1977 atau TYT Tun Dato’ seri (DR) H. Hamdan bin Syeikh Taher Jalaluddin 1991 atau Cendra mata Majelis Memperingati Tokoh/ ulama Islam Silam 1976/ 1977). Syeikh Thaher Jalaluddin berhasil melanjukan cita-cita ayahnya mencadi pembaharu dan menentang paham pantaisme yang mulai mengancam Minangkabau ketika itu. Sekarang di Malaysia namanya pun menjadi besar, diperingati hari wafatnya dibuatkan momental sesuai dengan keahliannya yakni “pusat falak Syeikh Tahir” di pantai Aceh (pulau pinang), diresmikan 9 oktober 1991 (universitas sain Malaysia 1991 : 7-26). Sungguh pun demikian, gencarnya gerakan pembaharuan Islam, sisa-sisa Syi’ah masih tak terelakan, paling tidak dalam kebudayaan termasuk dalam aspek sastra, seperti tertulis dalam Hikayat Hasan Husain ini. Abstraknya terdapat dalam bertabut Pariaman.

Kemudian dalam MAH (Muhammad Ali Hanafiyah), di kisahkan putra Ali yakni MAH ini, sewaktu kecil.Waktu kecil MAH kakeknya Syair Alam.Kisah ini terburu berakhir, sebelum sampai menuntut balasan kematian Hasan Husein yang terbunuh di padang karbela, yakni saudaranya yang tercinta. Banyak lagi cerita yang bernafaskan Islam di Minang Kabau, seperti : Hikayat Putih Balukih yang menceritakan Nabi Sulaiman bernama putrid Bulkis, Hikayat Nasuhah yang menceritakan seorang pencuri yang bertaubat tidak seperti taubat samba lado, etapi benar-benar bertaubat, Hikayat Neraka yang menceritakan Nabi saw yang melihat neraka dan perihal azab untuk orang kaparat. Hikayat Neraka ini mirip cerita Nazam Kanak-kanak (Syair karya labai Si Rajo Sungai Puar). Ceritanya mengisahkan perihal dunia akhirat dengan menggambarkan gemerlap syurga, berpasir emas, berair yang mengalir seperti susu, di teduhi daun tobhi yang daun dan rantingnya di tiup angin mengeluarkan sura yang lebih syahdu dari music. Di taman akhirat yang ini kanak-kanak bermain, tetapi sekali waktu risau karena teringat orang tua masuk neraka. Neraka di banyangkan betapa dasyatnya siksaan, Kanak-kanak takut kalau tidak bertemu dengan orang tua yang dinanti, karena menyimpang ke neraka karena amalan kurang. Demikian pula dengan Hikayat kiamat yang menceritakan tentang hari kiamat. orang berdosa masuk neraka, seperti tergambar dalam hikayat neraka dan Nazam kanak-kanak. Orang berpahala masuk surga seperti juga nazam kanak-kanak.
            Dari naskah bernafasan Islam (SIM) pada umumnya memakai ejaan Arab melayu, yang tadi kita sebut telah di mulai tahun 669, baik karya yang anonym maupun yang menyebugt pengarang secara jelas. Karena itu pula, hampir rata-rata naskah lama Minangkabau terutama SIM, tidak dapat mengelakkan diri dari diksi (kata pilihan) Arab, seperti yang terdapat pada karya sastra yang kita sebut tadi. Diksi itu tidak hanya di pakai dalam peristilahan dalam komunikasi bahasa dalam garapan prosa dan puisi atau dipakai dalam bahasa saintifik, tetapi juga dipakai adanya pengaruh besar satra Arab di dalam sastra Minang Kabau khususnya dan mekar menjadi sastara Indonesia pada umunya. Dalam bentuk prosa dan puisi dapat di lihat dalam istilah berikut:
1.      Prosa
Cukup banyak terdapat jenis nashar (prosa) Arab di dalam sastra Indonesia, ada yang     bermakna bulat, ada yang bergeser bentuk dan bergeser makna. Ini pernah saya jelaskan dalam  tesis saya “Qasasul Islamiah” (1983)
a.       Riwayat (termasuk prosa Arab) berarti story. Di Indonesia menjadi prosa Islam, khusus di Minang Kabau, seperti tedapat riwayat kota Pariaman, riwayat hidup 20 Ulama Minang Kabau dsb. Berarti pula Biorafi.
b.      Hikayat (prosa Arab) berate tale atau kisah sejarah, narrative, atau sejenis cerkan tentang keagungan atau keheroikan, mirip biorafi pahlawan. Dalam sastra di Indonesia khusus dalam SIM terdapat jenis ini yang sedikit bergeser makna diantaranya: Hikayat Raja Pagaruyung, Hikayat Hasan Husein, Hikayat putrid Balukih, Hikayat Nasuhah, Hikayat Neraka, Hikayat Hari Kiamat, Hikayat Hang Tuah.
c.       Kaba (kabar),dal;am sastra Minang, merupakan jenis prosa yang beirama yang dapat di dendangkan, misalnya kaba Malin Deman, kaba Si Tungga dsb. Cara berkaba, banyak di gunakan misalnya dalam rabab pasisir selatan.
d.      Risalah (prosaArab) sama artinya dengan massage dan dalam dunia ilmiah berarti tesis,skripsi dan sebagainya. Dan dalam komunikasi berarti surat.Dalam sastra islam Minang kabau terdapat jenis syair seperti syair delapan masalah karya Syekh Khatib Muhamad Ali Al Padani (1337H).
e.       kisah (Prosa Arab) berarti tale atau story. Jenis ini terdapat di Indonesia dengan narasi (Kisah), ialah sebuah wacana yang sifatnya berdasarkan rekaan ada pula berdasarkan pengamatan, jenis ada kisah berjalan dan kisah pertualangan (Panuti Sudjiman, ed. 1986: 40-41)
f.       Tarekh (jenis prosa Arab) berarti sejarah, Dalam dunia ilmiah berarti sejarah yang berdasrkan penelitian, dalam dunia sastra dapat pula kisah sejarah yang berfungsi sebagia teladan dan semangat heroic seperti biografi tokoh.


g.      Khotbah (prosa Arab khitabah) sejenis pidato. Jenis ini mempunyai gaya bahasa yang retorik dan bangunan kaliat yang berbunga-bunga dan menggoda. Khotbah di Indonesia banayak di kenal sebagai oral, seperti khotbah jum’at, khotbah hari raya, khotbah nikah.
h.      Salawat (jamak dari kata shalat). Tetapi dalam dunia sastra cendrung lisan, merupakan sebuah petunjukan syair-syair adakalanya prosa untuk memujiNabi SAW. Tetapi dalam perkembangannya seperti salawat talam dan salawat dulang di Minang Kabau, cendrung petujukan yang di iringi talam atau dulang, di samping isi Islami juga pembangunan. Dalam kontek pembangunan jenis seni ini di sebut harmoko (1985: 88), sarana komunikasi sambung rasa.
i.        Dikie (zikir). Dikie ini terdiri dari berbagai macam tema taetapi mengajak untuk mengingat Allah. Indang kalau di iidentifikasikan pada awalnya termasuk dikie yang mentradisi di Minang Kabau. Syair dan lagu yang di gunakan sekarang sudah berpariasi dan berorientasi pembangunan, demikian pula dalam indang. Selain ini juga terdapat kata asal usul, adat istiadat dsb. Menunjuk satu wacana.


2.      Puisi
Jenis puisi arab banyak sekali terdapat di Indonesia, diantaranya ada 3 jenis yang saya catat sebagai berikut:

a.       Syair (Puisi Arab). Ada perbedaan menulis, syair itu dalam Arab berate penyair, yang syair (Indonesia) disebut syi’ar. Di Indonesia syair kini merupakan jenis puisi lama, berlarik rima aa dengan bait 4, isi menaruh mitos, sejarah, filsafat dan Agama.Di Minang Kabau terdapat syair Nahu, kisahan, kanak-kanak, gema, awarima, awamatra, kogret, main-main, sajak prosa, sajak ratap (elegy, Arab, rasa), sajak ringan, sindiran, sajak suku kata dsb.
b.      Sajak (puisi Arab). Di Indonesia banyak terdapat sajak seperti sajak bebas, kisahan, kanak-kanak, gema, awarima, awamatra, peristiwea, kongret, main-main,  sajak prosa, sajak ratap (elegy,Arab, rasa), sajak ringan, sindiran, sajak suku kata dsb.
c.       Nazam (Arab-Puisi). Bersajak rima dua-dua, larik 12. Terkadang rima 4, dengan larik banyak. Isi tentang dedikasi seorang hamba yang baik. Dalam SIM terdapat nazam kanan-kanan, darul mawa’izah dsb.
d.      Masnawi (Arab-Parsi). Berisi pujaan (madahan) dengan larik dua-dua dan rima sama.
e.       Ruba’I (Arab-Parsi) atau rubayat, adalah merupakan kuatren lama. Isinya biasanya mirip epigram (isi pujian melukis kekayaan gagasan pikiran), dengan larik empat-empat, dengan rima aa aa, terkadang aa ab.
f.       Kasidah (Lagu Arab) biasanya dalam lagu Islam di Indonesia, diiringi dengan rabana, pada hal kasidah itu di Arab hanya syair panjang.
g.      Madahan (Arab : madah, lagu pujian), tidak jauh bergeser, karena madahan merupakan syair dan lagu madahan atau pujian juga.
h.      Albarzanji (sebuah syair karangan Albarzanji) yang berisi keanggungan Nabi saw. Di Minangkabau dibaca setiap memperingati mauled dan isra’ dan mi’raj.
i.        Alburdah (sebuah kasidah yang di tulis oleh Albusiri-mesir) juga berisi dan ditradisikan sama dengan Albarzanji di negeri ini.
j.        Syaraful Anam (jenis syair mauled nabi saw) dibaca dan ditradisikan sama dengan Albarzanji.
k.      Al Diba’iy (jenis syair mauled nabi saw juga) dibaca dan ditradisikan sama dengan Albarzanji.
l.        Bidal. Saya masih mencari apakah asalnya dari badal. Melihat isi bidal itu ada kemiripan, ialah sejenis masal (pribahasa) atau pepatah yang mengandung advis, sindiran, peringatan dsb. Badal dalam ilmu bahasa Arab termasuk istilah sintaksis (Nahu), yang membentuk bangunan kalimat pengganti. Contoh, khasafal I-qamaru, juz-uhu (bulan itu gerhana, sebahagiannya). “juz’uhu (sebahagiannya)” itulah yang badal (hifni Bek Nashif dkk : 79). Contoh bidal dalam bentuk tamsil : “keras kerak, bila disiram lunak”, dalam bentuk pepatah, “besar pasak dari pada tiang”.

Kalau diteliti mungkin banyak lagi yang berbau sastra Arab, seperti mungkin sejenis ibarat, tamsil, talibun dsb. Mengenai entry dari diksi sastra (prosa dan puisi) berbau Arab ini sedang coba menelitinya.
Tidak saja pengaruh sastra Arab itu dalam diksi SIM, tetapi juga dilihat dalam bangunan sintaksis, morfologi, sisile atau majaz dsb. Dimana pengaruh terakhir ini tidak di bicarakan, cukup sementara gambaran isi dan diksi yang mendapat pengaruh Arab dan Islam.
Saya piker, kenapa demikian besar pengaruh Arab dan Islam itu..?. Alternatif jawaban pertama, karena orang Arab itu nyaris disebut manusia sastra. Penyanyi Abul Farj Al-ashfahaniy pernah membuat listrik :
Tidaklah yang bernama orang Arab
Andai tidak bisa bertutur syair
Padanya banyak bisa bersyair
Sedikit banyak bisa bersyair
                                    (Terj.pen.dari DR.Yusuf Novel 1980 : 76)
Kedua, karena bersyair sudah tabi’at orang Arab itu, di mana berada mereka bersyair. Sampai di Indonesia yang sudah barang tentu sejak tahun 669 mereka telah mulai tradisi bersyair, sehingga sampai kini pengaruh Arab dan Islam itu manusia sastra, kenapa mereka terlambat mendapatkan penghargaan/ hadiah nobel bidang sastra, baru pertama kali di raih Najib Mahfus beberapa tahun lalu yang cerbungnya “pencarian” dimuat Skh. Pelita mulai 3 febuari 1992 lalu..?. tentulah persoalan akan jadi lain, sebab nilai sastra bukan tergantung dari penghargaan berupa hadiah, tetapi adalah legitimasi penikmatnya. Ketiga, setelah Islam masuk, mereka (Arab) mendapat nilai, bahwa yang maha indah itu Allah, dia menyukai yang indah. Karena itu setiap ahli metafisik Islam dan para ulama mencari allah melalui pendekatan keindahan, karena itu pulajarang di antara ulam itu yang tidak pandai membuat syair dan membuat cerita, untuk mencapai keindahan yang relative, yakni keindahan dalam seni sebagai aspek kebudayaan, dan keindahan yang mutlak yakni Allah dan Ciptaannya, yang selalu memikat makluk yang berbudaya ini untuk menirunya. Dengan demikian nilai dan nafas Islam selalu hidap di dalam sastra, termasuk di dalam SIM, karena sudah sejak lama dimulai dan di akrabi para tokoh agama Ialam baik yang dating dari Arab maupun yang lahir di negeri ini.

Fungsi sastra Islam di Minangkabau (SIM)
Bahkan kalau secara jelimet di lihat SIM itu, tidak saja pengaruh Arab Islam, bahkan materi SIM itu langsung merupakan ajaran Islam dan mensosialisasikan nilai-nilai islam, dan di pakai sebagai pengajaran bahasa arab, seperti Syair Nahu.
Para ulama dalam mencapai keindahan yang maha mutlak (Allah swt) dekat dengan seni termasuk sastra terutama syair. Karena itu pula tradisi bersyair sudah menjadi tabi’at pula bagi ulama dan guru agama Islam dahulu dalam mengajar Islam kepada murid-muridnya. Di surau atau tempat mengaji lainnya, guru mengajar bahasa dengan syair, mengajar tauhid seperti sifat 20 (sifat Allah yang 20) memakai syair, mengajar fikih seperti rukun sembayang (rukun 13) dengan cara bersyair,mengajar rasul yang 25 dengan mu’jizat serta keteladanannya di ajarkan dengan cara bersyair. Saya pernah berdialog dengan seorang tua, dilidahnya hafal betul Rasul 25 dengan mu’jizat serta keteladanannya, dalam bentuk bersyair itu yakni Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi di kampungnya panjung taba, baying pesisir selatan. Saya pikir, begitu tahan hafalannya selama 60 tahun. Rahasianya dahulu mereka duduk melingkar (system halaqah) belajar secara lisan (oral) dengan cara bersyair ini. Sehingga kemudian mensosialisasi dalam kepribadiannya.
Ternyata cara bersyair ini mengajar Islam sangat efektif. Komunikasi keindahan, membuat sentuhan rasa, terjadi komunikasi sambung rasa. Hal yang komunikatif begini, informasinya akan bertahan lama. Kalau ajaran dalam infomasi itu bertahan lama, maka tidak khayal akan mensosialisasi. Ialah akan terjadi proses penyerapan individu tadi terhadap nilai social, lalu menjadi bagian dari kelompok social di mana ia berada. Itu dimulai dari individu tadi belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan yang berlaku dalam kelompoknya. Bentuk yang efektif ini terlihat pula dalam pengajaran sifat 20 dan rukun 13, ternyata dengan cara bersyair dulu smapai 70 han tahun kemudian masih bertahan dalam hafalan. Orang dulu kita lihat, dengan cara bermaramulo. “baramulo rukun sembayang itu, 13 parakaro/ bermula rukun sembayang itu,13 perkara”. Sekarang, “baramulo” itu tidak ada lagi, yang tinggal hanya “perkara” saja, lihatlah perkara tanah, perkaran ini dan itu dsb. Repot sekali, yang pada gilirannya hafalan agama berantakan.
Dari kenyataan besarnya pengaruh nafas Islam, bahkan dengan cara bersyair mengajarkan dan mensosialisasikan Islam, beralasan kalau dikatakan Sastra Islam Minangkabau (SIM) dapat menularkan pikiran Islam, mengjarkan Islam dan mensosialisasikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat pendukungnya. Karena itu pula, di samping nilainya telah menjadi akar dan selanjutnya akan mengakar, optimis akan menjadi post modern dalam gerakan perkembangan sastra di nusantara. Analognya, bagaiman pun Islam yang di wahyukan kepada Nabi saw, dan di ajarkan kepada manusia, akan tetap bertahan, dan akan tetap mempunyai powar magic. Sastra Islam sarat dengan nilai itu, bahkan iqbal berpendapat, seniman sastrawan akan tetap menyebarluaskan ajaran Nabi-nabi secara hakiki, sehingga akan tetap hidup. (Yulizal Yunus 1992).
Akhirnya, tidak ada jalan lain, kita harus menyambung mata rantai yang hilang dan terputus dalam pewarisan Sastra Islam Minangkabau (SIM). Selanjutnya mencoba SIM, post modern dalam gerakan sastra kita. Karena memang SIM, sudah merupakan lapisan kebudayaan daerah ini yang patut di pertimbangkan.

Padang, 11 Febuari 1992

Rujukan
            Al Qur-nulkarim
            Ali, Syeikh Khatib, Burhanulhaq, 1337
            Amron Parkamin, Sasrta Indonesia, Kesusasteraan Indonesia Klasik-2 (pengantar), Bandung, CV sulita, 1973
            A.Kiram, dan Idris Tamin, Kepingan Sejarah Islam Minangkabau, cet .I padang, Madrasyah Alhidayah, 1978.
            Berg, Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, Jakarta, INIS, 1989.
            Darulmasyriq, Almunjil fi Al-lughah wa I-a’lam, Bairut, Darulmasyriq,1975.
            Edi Sedyawati dkk, ed, Seni Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai, Jakarta, gramedia, 1983.
            Faisal, Majallatus Saqafiyah syahriyah,Riyadh, Darul Faisal, Sep-Okt 1980.
            Gazalba, Sidi, Pandangan Islam tentang Kesenian, Jakarta, Bulan, Bintang, 1977.
            Hamdan Hassan, Sheikh Tahir Jalaluddin, Pelopor Pembaharuan Pemikiran Islam Di Malaysia, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa, 1973, 405-419.
            Harmoko, Komunikasi Sambung Rasa, Jakarta, Sinar Harapan, 1986.
            Hifnibek Nashif, Qawa’idul Lughatil Arabiyah, Wuzarah Alma’arif Al’umumiyah.
            HW. Muhd. Shaghir Abdullah, Syeikh Ismail Alminangkabawiy Penyiar Thariqat Naqayabandiyah Khalidayah, solo, Ramadhani, 1985.
            Ballmer, Thomas T, Macrostructures In Dijk, Teun A.van. Ed. 1-22. Imam Maulana Abdul Manaf Alamin, Muballighul Islam, padang.
            Jalaluddin, Syeikh, Hikayat Syeikh Jalaluddin, leiden,E.J. Brill,1857.
            Karel Brouclemen, Tarekh Al-Syu’ub Al-Islamiyah (Naqqalahu Ila Al-Arabiyah Murni Alba’labakiy dkk), cet.VI, Bairyt, Darul ‘Ilmi Lilmalayin, 1974.
            Mangantar Simanjuntak, Neuro-and Psycholinguistic Aspects of Teaching Staff Training in the National Language… “Toward a Powerful Languange Teaching Technology”, Paper Presented at the Fourth Conference of Asian Association on National Languange, 25 tahun- 30 April 1977, Kuala Lumpur, Universitas Malaysia, 1977.
            Mohd. Affandi, Sheikh Tahir Al-Azhari, pemimpin Reformasi Islam, Kuala Lumpur, Dewan Masyarakat, Jan 1977, 35-37.
            Modh.Sarim Mustajab, Sheikh Muhammad Tahir Jalaluddin Al-Falaki : Pelopor Gerakan Islah Islamiyyah di Tanah Melayu, Kuala Lumpur, Malaysia in History Vol. 20, no.2 Des 1977, 1-11.
            Muhammad Quthub, Manhaj Alfann Al-Islamiy, Bairut, darus Syuruq, 1973.
            Muhammad Syafiq Ghirbal, Almausu’ah Al-‘Arabiyah Almuyassarah, new York, 1960.
            Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, Padang, Angkasa Raya, 1984.
            Munir Alba’labakiy, Almaurid, Bairut, Darul Almalayin, 1979.
            Panuti Sudjiman,Ed, Kamus Istilah Sastra, Jakarta, Gramedia,1986.
Robson,S.O.,Filologi dan Sastra-Sastra Klasik Indonesia, Jakarta, proyek Penelitian Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1978.
Steiner, George, Extra Territorial, London, 1972.
University Sains Malaysia, Pusat Falak Sheikh Tahir, Pantai Aceh, Pulau Pinang, 1991.
Yusuf Novel, DR dkk, Asy-Syi’rul ‘Arabiy fi I-mizan, Riyadh, darul faisal, faisal,32,1980.
Yulizal Yunus, Islam Di Gerbang Selatan Sumatera Barat, Balai Selasa, STIT, 1991.
-----------, Perkembangan Mutakhir Penulisan Puisi, Piksi Dan Naskah Drama Karya Sastra Sastrawan Muda Daerah, Makalah Temu Kritikus Sastra Muda Se Sumatera, Padang 1989.
-----------, Pewarisan Sikan Profetik, Al-Turas, Padang IAIN Imam Bonjol Pres 1991.
-----------, Pewarisan Nafas Islam Dalam Budaya, Al-Turas, Padang IAIN Imam Bonjol Pres 1991.
-----------, Sastra Islam Di Indonesia, Studi Syair Syeikh Muhammad Dalil Bin Muhammad Fatawi, Padang, Balai Penelitian IAIN Imam Bonjol 1991.





Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger