Oleh
Yulizal Yunus Dt. Rajo
Bagindo
Topik
seminar yang digelar hari ini Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol,
terasa menarik. Setidaknya bagi lembaga yang mengabadikan nama Tuangku Imam
Bonjol sebagai nomenklatur lembaganya. Kepepet-kepepet sedikit waktu dijelang
juga. Kami (setidaknya membawa pak Prof. Dr. Nursyirwan Effendi dalam
kebersamaan menjadi nara sumber) hampir saja tidak sempat menulis makalah,
karena kepepet waktu dalam memberi tahu penyelenggaraan juga hari ini ada
setidaknya dua event yang saya berpasangan dengan pak Prof. Dr. Nursyirwan,
yakni siang ini pada Seminar “Revitalisasi Nilai-nilai Adat dan Pemangku Adat
dan Agama dalam Penguatan Ketahanan Nasional di Sumatera Barat” kerjasama Korem
032/ Wirabraja – Majalah Minangkabau SAGA. Akibat kepepet waktu, berakibat tergesa
menulis kertas kerja, tidak sempat bertukar makalah sebagai adat tanggap
menanggap dan untuk saling memberi respon, karenanya izinkan kami menafsirkan
sendiri-sendiri tentang topik ini. Artinya saya mencoba meresek-resek membuka
sebuah keberanian akademisi untuk menafsirkan sendiri terhadap kemungkinan apa yang
akan dikatakan (dimakalahkan) pak Prof Dr. Nursyirwan. Perlu
purifikasi nawaitu penyelenggaraan seminar, sepeti juga proyek pemerintah akhir
tahun.
Dari
pengamatan saya, bahwa pembicaraan purifikasi Islam di Indonesia tidak lagi
topik baru, tetapi menjadi menarik (aktual dan kreatif), ketika dikaitkan
dengan nasib ABS-SBK. Justru ABS – SBK ini pun disebut banyak pendapat bagian
dari produk purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol (meski ada yang menyebut
sudah ada sebelum Paderi Tuanku Imam Bonjol), dalam bentuk consensus (janji), kemudian
menjadi filosofi masyarakat subkultur ini. Orang Minangkabau sendiri pun, juga
sudah punya komitmen melaksanakan janji itu dengan starategi operasional SM-AM (Syara’ Mangato -
Adat Mamakai) dan ATJG (Alam Takambang Jadi Guru). Justru baik oleh actor
pembangunan: pemerintah daerah maupum lembaga masyarakat, untuk saat ini sedang
getol mencari indikator pembangunan terpadu agama dan adat dalam upaya
melaksanakan janji (konsesus) orang Minang ini. Mencari indicator ini disebut
sulit oleh Gubernur dalam pembicaraan terbatas dengan tokoh masyarakat adat,
agama dan perguruan tinggi 22 September 2011 di Gubernuran, terutama kesulitan
dalam menentukan indicator pembangunan terpadu agama dan adat dalam tiga aspek
pembangunan kelembagaan adat, seni bangunan/ arsitektur adat dan prosesi
tradisi. Artinya tidak sesulit mencari indikator pembangunan agama saja dan
atau pembangunan adat saja tidak terlalu sulit dibanding indicator pembangunan
terpadu agama dan adat dalam kerangka masa depan pelaksanaan dan keberlanjutan ABS
– SBK.
Tuanku Imam Bonjol: Paderi, Purifikasi Islam dan ABS –
SBK
Tuanku Imam Bonjol nama
besar. Kebesaran namanya di antaranya dihargai dengan menjadikannya pahlawan
Nasional. Nama besar
pahlawan ini sedikit terusik. Dituduh melakukan kejahatan perang (isu ini menyebar di berbagai situs –
dunia maya di samping tulisan yang dihadirkan dalam berbagai forum kajian
sejarah seperti juga yang sebut di sini).
Tidak saja teusik, malah pernah dipreteli dalam drama kolosal Tuanku Imam
Bonjol karya Wisran Hadi di Teater Bumi misalnya yang pernah dipentaskan di Taman Budaya, di Don Bosko dan di
Jakarta. Dampaknya menggoyahkan
kepercayaan awam terhadap kebesaran Imam Bonjol itu. Orang tidak banyak membaca
drama klosal itu di balik pengungkapan perjalanan hidup Tuanku Imam Bonjol dan
paderi yang ia pimpin dengan sangat moderat. Drama Klosal itu seperti
mengkritik habis-habisan dan mempreteli ketokohan dan kepahlawan serta keimanan
Tuanku Imam Bonjol alias Peto Syarif alias Muhammad Sahab yang lahir tahun 1772
di Tanjung Bungo - Bonjol, Pasaman itu.
Tuanku Imam Bonjol dalam drama kolosal itu dilukiskan
tidak sebagai seorang Pimpinan Perang Paderi (1821-1837), tetapi lebih buruk
dari itu digambarkan sebagai manusia biasa yang kadang juga memperlihatkan
berpendirian lemah, ragu-ragu, kaku dan tidak mempunyai kebijaksanaan. Ini
dimungkinkan, karena Wisran Hadi menampilkan Imam Bonjol sebagai seorang
manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam sebuah fenomena sejarah
(Yulizal Yunus, 1983). Bahkan mementaskan kekonyolan Tuanku Imam Bonjol serta
kekalalannya di medan juang, malah sebagai seorang Imam dilukiskan sebagai
seorang suami di mana membiarkan isterinya terlibat takhayul, bida’ah dan
ch(kh)urafat (TBC) sekali lagi menandai ia sangat moderat dan tak menyukai
sikap radikal. Sepertinya yang ditampilkan sebagai pahlawan dalam drama itu
ialah seorang tokoh lagendaris "Tuangku Nan Renceh" seorang murid
Tuanku Nan Tuo itu, dikesankan keras, berani dan hebat.
Polemik tentang Tuanku Imam Bonjol menjadi terbuka di
media, muncul beberapa tanggapan terhadap drama kolosal itu di Surat Kabar
daerah. Surat Kabar Harian Umum Semangat yang pada satu edisi tahun 1983, memakai seluruh lembaran Seni Budayanya
menanggapi drama itu. Di antara tulisan memakai judul seperti slogan: (1) "Di mana "Tuanku Imam
Bonjol?" (2) Setelah Imam Bonjol Siapa Lagi Dipreteli Wisran. Demikian
pula Skh. Indenpenden Singgalang menurunkan para wartawannya menapaki jejak perjuangan
Tuangku Imam Bonjol. lalu di antaranya bertubi-tubinya repostase. Skh.
Singgalang, muncul Surat Nasionalnya harian Kompas Jakarta, di samping dimuat
koran Daerah Sumatera Barat. Benar saja. pancingan drama kolosal sejarah tuanku
Imam Bonjol karya Wisran Hadi itu berhasil, sehingga terjadi polemik nasional
yang nyaris kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol itu menjadi masalah.
Sesudah
Surat Nasional itu, polemik semakin berjadi-jadi, dan Skh. Singgalang terus
melacak jejak Tuanku, Skh. Semangat menurunkan polemik Zaidin Bakri dengan Yusuf
Abdullah Puar, demikian pula majalah Selecta di Jakarta menurunkan pula artikel
bersambung dalam tiga nomor: 1105, 1106 dan 1107 dan sampai pula turun tanggan
tokoh Rusli Amran penulis gemilang yang berhasil menulis Sejarah Sumatera Barat
hingga Pelakat Panjang.
Generasi muda. Pemuda pelajar
putra Minangkabau, di Jakarta buru-buru menemui Adam Malik dan Emil Salim untuk
menanyakan permasalahan Tuanku Imam Bonjol. Kepada mereka diharapkan supaya
menghimpun data domestik lebih banyak, kalau masih belum memadai cari ke negeri
Belanda. Lalu permasalahan itu pernah muncul di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat I Sumatera Barat disuarakan oleh seorang anggota Dewan Akmal Sidik
kepada eksekutif dan eksekutif menjawab: "Masalahnya akan diteliti".
Narnun bagi kita, tetap ada
perinsip dan yakin: "Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan". Lalu soal
di mana ia berkubur di Lotak atau di Bonjol sendiri, yang penting tuanku Imam
Bonjol adalah pahlawan. Kalau di Lotak itu yang terkubur wakil utama Tuanku
Imam Bonjol bernama Tuanku Syahbuddin, mari keduanya kita catat sebagai
pahlawan. Nah kalau di Lotak kuburan pahlawan itu dipanggar, maka di Bonjol
perlu pula seperti demikian. Dan syukurlah
prinsip itu sudah mendapat perhatian para ahli sejarah. Yusuf Abdullah Puar
menulis buku Sejarah Tuanku Imam Bonjol, yang lebih permanent.
Seyogyanyalah, polemic tentang tuanku Imam Bonjol
itu, tidak menelantarkan kita menerapkan nilai-nilai perjuangan pahlawan ini dan lestari dihati generasi muda,
bahwa Tuanku Imam Bonjol itu tidak saja pahlawan perintis kemerdekaan, tetapi
juga tidak sedikit jasanya melakukan pemurnian Islam tanpa dengan kekerasan,
meskipun tuduhan radicalism sering pula dialamatkan kepadanya. Diperlukan
penelitian tentang Tuanku Imam Bonjol sebagai penggerak purifikasi Islam di
samping melihatnya sebagai ulama dan intelektual Islam serta guru yang pernah mengajar agama
di Tanjung Bungo. Upaya ini sekali lagi bagian dari bayar hutang IAIN yang
memakai nama Imam Bonjol bekerjasama dengan Pemkab Pasaman dan atau lembaga
sejarah lainnya, dari melakukan kegiatan penelitian sampai menulis dan
menerbitkan hand-book tentang Imam Bonjol yang dapat diwariskan dari satu
generasi ke genarasi berikutnya. Kalau sejarah yang saat ini ada sisi
diskriminatif melihat Tuanku Imam Bonjol, mari dijelaskan lagi Imam Bonjol
sebagai ulama yang pahlawan dalam melawan Belanda dan pemurnian Islam dan menjelasakan
hal yang substansial tentang sejauh mana pengakuan terhadap ABS – SBK yang
dijadikan filosofi masyarakat Minang sebagai bagian dari produk konsesus
(janji) purifikasi Islam Paderi yang dipimpin Imam Bonjol.
a. Paderi,
Purifikasi Islam dan ABS – SBK
Perjuangan Imam
Bonjol melawan imperialism dan
colonialism Belanda sudah tak dapat dipungkiri. Ia melakukan gerakan memurnikan
Islam melawan penyakit paham keamaan yang terinfeksi “tbc” bersamaan dengan pelawanannya
terhadap Belanda dalam perjuangan yang dikenal dengan perang paderi. Justru
Imam Bonjol memahami Islam sebagai ideal, utuh dan tak mengingkari bersentuhannya
dengan cultural (lihat juga Sjafnir, 1988).
Yang menjadi
persoalan, di antaranya sering berkembang pendapat, sesungguhnya paderi tidak
melawan Belanda. Sesungguhnya paderi melawan “pengkhianatan yang berbaju hitam
– kaum adat dipimpin ninik mamak” seperti pernah disebut Wisran Hadi (Yulizal
Yunus, 2011). Ninik mamak dari kaum adat dituduh mendukung kolonial Belanda dan
dinyatakan dengan keras sebagai kafir oleh kaum paderi yang mencirikannya
sebagai radikal.
Ada analisa menarik,
disebut Tuanku Imam Bonjol tidak suka kekerasan dan ia moderat (baca juga
Perbendaharaan Lama, cet.II, Hamka, 1982). Diceritakan ia pernah marah kepada
Tuanku nan Renceh menghabisi saudara ibunya dan juga marah kepada Tuanku Lintau
menghabisi keluarga Pagaruyung, dengan alasan pemurnian agama.
Dari perbandingan
sikap Imam Bonjol yang moderat dan fenomena radicalism sebagian kaum paderi, tak
mungkin Imam Bonjol serta merta mencap orang adat dan ninik mamak kafir. Saya syak
(mudah-mudahan tak berdosa, sebab biasanya syak itu dosa), isu
radikalisme paderi itu tidak berdiri sendiri, apa tida ada udang di balik
batu.
Jangan-jangan orang
paderi dikorbankan, yakni bagian dari korban informasi yang diterima tidak
lengkap. Fenomena korban itu diperbesar dengan “suntikan anjing gila” dari “politik
adu domba” (pribumi diadu pribumi, diciptakan gap dan sakit hati antara sesama
pribumi). Demikian juga dimungkin bagian dari korban politik naturalisasi
Belanda serta disulut sikap diskriminatif kolonial ini yang menunjukkan sikap
menyahabati ninik mamak, merangkul raja-raja kecil, penghulu disertifikasi,
yang kurang berfungsi diganti dengan pranata social versi Belanda (Nasbahry,
2008) dan memfasilitasi otoritas lokal disertai dukungan terhadap perkembangan
adat dan budaya local Minang. Di sisi lain Belanda memusuhi ulama, menindas
pemikir dan penggerak Islam bahkan menyisihkan guru-guru mengaji meskipun di
surau ninik mamak apalagi di surau ulama disertai dengan menekan perkembangan
Islam dan gerakan pemurniannya, karena dipandang Islam di garda terdepan dan
progresif menentang segala bentuk penjajahan.
Sama halnya, saat ini
ada tuduhan dan harus hati-hati bahwa Imam Bonjol melakukan kejahatan
perang dalam ekspansi Paderi ke Tanah
Batak. Jangan-jangan ada perulangan sejarah, dilatari sesuatu yang sangat
substansial yakni benturan gerakan penyebaran Islam yang marak ketika itu
versus misi non Islam. Artinya dimungkin kaum paderi bagian dari korban curang
Belanda mewasiti permainan segitiga: kaum agama (Islam), adat dan Keristen.
Jangankan isu ke Tanah
Batak, perlakuan paderi terhadap surau ninik mamak saja ada yang senjang dan
tak enak didengar. Berawal dari gerakan surau yang juga sering terjebak dalam
konflik paham. Karena di dalam daily life surau juga terdapat social
movement yang menarik yang disebut berujung paderi itu. Cerita Azyumardi
(2010) ketika surau Tuangku Jalaluddin dekat dengan syari’ah, adat yang
bertentangan dengan agama ditinggalkan, soal pakai sutra, emas, pesis
wahabiyah, kemudian mucul konflik berujung paderi.
Surau adat (surau
kecil ninik mamak) yang diduga sentra praktek adat bertentangan dengan agama,
lalu dihancurkan. Tuanku Nan Renceh salah seorang pimpinan paderi terbilang
keras melakukan tajdid sebagai bagian bentuk purifikasi Islam, tidak
sedikit jumlah surau ninik mamak yang dihancurkan. Ini merupakan pukul pertama
terhebat terhadap surau dan membawa kemunduran surau ninik mamak. Fenomena ini sekaligus
membuktikan Paderi bukanlah perang antara warga dan Belanda, tetapi perang
hitam (ninik mamak yang berpakaian hitam) dan perang putih (ulama yang berjubah
putih), memperlihatkan kecenderungan gelombang pertama Islam, di mana surau
adat (ninik mamak/ surau kecil) menjadi target pertama pembaharuan wahabi yang
berbasis paderi itu.
Tekanan paham wahabiah
yang mengambil bentuk paderi, tidak dapat dilepaskan dengan gerakan social
surau di samping sejarah social dalam daily life surau. Gerakan itu
mencakup aspek penting dalam pendidikan tradisional masyarakat terkait dengan
dengan ekonomi dan politik dalam
penyelenggaraan pendidikan tradisional Islam bergerak ke modernis, yang tanpa
disadari menaruh dampak positif memperkuat gerakan tradisi rasional orang
Minang terhadap pemahaman agama dan masyarakat agama, namun tidak kurang pula
dampak negatifnya menjadi pukul hebat terhadap kemunduran surau. Setelah Padri
muncul lagi fenomenan pukul hebat terhadap surau dan membawa kemunduran surau,
yakni:
1)
Paderi
pukulan pertama terhadap surau. Pukulan kedua terhadap surau adalah kehadiran volck
schoolen Belanda dikembangkan. Tidak banyak orang pribumi dapat masuk,
karena peluang sempit. Orang Minang terbuka dan ingin masuk meskipun kritis
tidak seperti Jawa. Perinsif Jawa tertutup, involusi, yakni mereka menemia yang
baru tetapi dicampur dengan apa yang ada
pada mereka. Orang Minang banyak menerima dan masuk, karena orang Minang
responsive dan terbuka. Orang Minang (Azyumardi, 2010) cepat menerima dan
sialnya “yang ada pada mereka” dicampakkan. Volck schoolen mengadopsi kurikulum
Belanda sepenuhnya kemudian. Hasil adopsi volck schoolen orang Minang dianggap
lebih awal masuk ke sistim kolonial dan timbulkan kaum terpelajar di kalangan
Minang. Ini sebabnya Minang punya orang besar, tapi tanpa disadari “sudah
mengorbankan surau”, surau dalam periode ini mendapat pukulan hebat dan membawa
kepada kemunduran.
2)
Surau dengan gerakan modernis
Islam yang dipelopori ulama modernis yang cenderung menyelenggarakan pendidikan
formal Islam seperti Inyiak Rasul dan Dr. Abdullah Ahmad dipengaruhi Jamaluddin
al-Afghani, dkk. Menyusul memodernisasi Surau Jembatan Besi, lahir model Adabia
yang menghilangkan dikotomi pengajaran umum dan agama sebagai acuan model baru
persekolahan Islam. Menurut Azyumardi (2010) sejak itu bukan saja “jumlah surau
, menjadi kurang”, tetapi juga citra surau semakin lemah bahkan membentuk imej
(citra) bahwa surau itu terbelakang dan surau menjadi terbelakang. Inyiak Rasul
berbanding dalam perbandingan surau dan volck shoolen dicitrakan sebagai alam
kemajuan. Murid dan gurunya gagah pakai dasi dan sepatu. Surau pakai tengkelek
dan sarungan dsb. Keadaan material orang sukses, semakin meninggi. Akibatnya
hubungan orang Minang dengan Surau “terputus”. Artinya sejak muncul era sekolah
modern Islam kaum muda era volck schoolen, putus hubungan surau dengan
masyarakat Minang, masyarakat sudah kurang membantu bahkan tak membantu lagi
surau dan muncul “paqih saringgik”. Muncul gengsi yang sukses berduit, muncul era
sekuler dengan kesan ada kecenderungan pemisahan duniawi dan ukhrawi. Berdampak
pada pilihan menantu, karena dari perspektif materialisme, orang Minang
terlihat muncul fungsi materialis. Dokter dan kerja di bank rangking atas dalam
seleksi mencari mantu.
Pada
perinsipnya peruntuhan surau ninik mamak itu dalam gerakan purifikasi Islam
oleh paderi adalah gerakan tauhid. Secara substansial menghancurkan “tbc” yang
sangat dehumanistik berseberangan tauhid. Karenanya gerakan tauhid paderi
sesungguhnya mengembalikan manusia ke fitrahnya yang dilahirkan semula
bertauhid dan berharap mempunyai dampak perubahan masyarakat (umat) ke depan.
Artinya meminjam istilah “profetik” Kuntowijoyo, ingin mengkombinasikan dimensi
sosial humanisasi, liberasi dan transedental dalam melakukan perubahan dan
rekayasa menuju cita etika sosial. Cita profetik itu yang diderivasikan dari misi
historis setidaknya ke depan membawa
muatan pengamanahan “engkau umat terbaik yang diturunkan di
tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman
kepada Allah” (QS Ali
Imran:110).
Namun dari
perjalanan sejarah paderi dari sisi pemurnian Islam yang disebut diwarnai
wahabiyah tidak selalu meninggalkan kenangan manis yang kaya cita etika sosial,
kadang mengecewakan. Namun pertanyaan penting apakah memang murni gerakan itu
diwarnai wahabiyah, apa tidak salah satu
fenomena iklim budaya dan prilaku dana atau karakter individual dan kelompok, diperlukan
juga analisis mendalam. Faktanya justru wahabiyah tidak pernah bertahan di
daerah ini, dimungkinkan tidak cocok dengan karakter budaya daerah ini yang
menawarkan “kesantunan” seperti disebut syara’, bahwa peringkat intelektual
yang tertinggi ialah tertinggi pertama “halim (santun)” setelah
tertinggi kedua hukama (arif bijaksana) dan ketiga ulama.
Secara
kategoris dilihat dari perspektif karakter perjuangan keras paderi dalam
purifikasi Islam seperti tadi menghabisi surau ninik mamak, tidak dapat
dipungkiri sikap keras itu seperti mengidentifikasi watak wahabiyah. Justru ada sisi sejarah menyebut Kolonel
Haji Piobang dan tawanan raja Abdullah ibn Saud yang menumbuhkan cikal bakal
tentara wahabiyah Minangkabau. Wahabiyah (dari wahabi)' dalam literatur Islam
tidak idiom baku, karenanya pengindentifikasian wahabiyah kepada gerakan
sebagian umat Islam dalam melakukan tajdid dan purifikasi Islam itu pun kurang
objektif dan kurang pas. Orang Minangkabau pun hampir-hampir tidak menyukai
bahkan menolak penamaan aliran wahabiyah itu dialamatkan kepada gerakan seperti
paderi, dan karena itu pula kesan wahabiyah tidak ada di Minangkabau sampai
sekarang. Karena terhadap paham itu juga ada stigma, bahwa sikap keras tidak
sesuai dengan nilai adat Minang yang nilai dominannya: sopan, santun, budi
baik dan baso indah.
Sebaliknya
wahabiyah nyata-nyata bertentangan dengan nilai adat Minang itu. Diyakini
menyebarkan ideologi radikal dengan memanfaatkan simbol, sentimen dan baju
Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash). Sampai sekarang watak keras
itu merambah dunia kampus mempengaruhi siswa dan mahasiswa, yang menurut Ridwan
Mustofa (2010) menyebut 9 ciri yang mengesankan perinsip kekerasan dan
radikalis yang perlu diwaspadai:
1)
Para
tutor penyebar ideologi kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap
negara dan pemerintahan. Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemeritahan taghut,
syaitan, karena tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai dasarnya. Pemerintahan
manapun dan siapapun yang tidak berpegang pada Al-Qur’an berarti melawan Tuhan
dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan.
2)
Para
siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak menyanyikan lagu-lagu
kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera. Kalaupun melakukan, itu
semata hanya untuk mencari selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau
tahu bahwa sebagai warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya
dan etika berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama.
3)
Ikatan
emosional pada ustadz, senior dan kelompoknya lebih kuat dari ikatan keluarga
dan almamaternya.
4)
Kegiatan
yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat tertutup
dengan menggunakan lorong dan sudut-sudut sekolah sehingga terkesan sedang
studi kelompok. Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond
atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat.
5)
Bagi
mereka yang sudah masuk anggota jamaah dikenakan membayar uang sebagai
pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lalukan. Jika merasa besar dosanya, maka
semakin besar pula uang penebusannya.
6)
Ada di antara mereka yang
mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai dengan ajaran Islam serta
bersikap sinis terhadap yang lain.
7)
Umat Islam di luar kelompoknya
dianggap fasiq dan kafir sebelum melakukan hjrah bergabung dengan mereka.
8)
Mereka enggan dan menolak
mendengarkan ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka
tentang Al-Qur’an masih dangkal, namun mereka merasa paling benar keyakinan
agamanya sehingga meremehkan dan bahkan membenci ustad di luar kelompoknya.
9)
Di antara mereka itu ada yang
kemudian keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustadz dan
intelektual di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan
keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi.
Paham-paham keras
kelompok Islam seperti juga teridentifakasi dan mirip wahabiyah, berpotensi
memecah belah sesama Islam. Kekerasan dan perpecahan dari perinsip menjadikan
Islam sebagai selimt seperti berbanding lurus dengan tesis Geertz (1960) yang
melihat budaya pelaksanaan agama sebagai sistem kebudayaan, di samping memainkan
peranan itegratif serta dapat menciptakan keserasian sosial dalam masyarakat,
juga tak dapat dipungkiri ada kesan peran efektif yang menimbulkan perpecahan. Karenanya
banyak orang curiga bahwa ideologi wahabiyah
mempunyai andil dalam mendoktrinasi kelompok Islam tertentu dan menyuburkan
tindakan kekerasan, ekstrim dan teror yang mengatasnamakan agama dan sebab itu
pula gerakan wahabi sering dikaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang
mengatasnamakan agama seperti halnya tragedi 11 September 2001 di AS yang
melumatkan WTC. Karenanya untuk kasus paderi di Sumatera Barat yang melumatkan
surau ninik mamak, bagian dari kekerasan wahabiyah, yang sebenarnya juga
menyakitkan sebagian besar orang Minang. Sebab itu pula pahan ini seperti tadi
disebut terkikis di Minangkabau. Namun hikmah dari peristiwa pahit purifikasi
Islam paderi itu melahirkan hikmah “integrasi Islam dan Adat” yang dilegalisasi
konsesus (perjanjian) Marapalam dikenal dengan “ABS – SBK” dioperasionalkan
dengan strategi “SM-AM” dan “ATJG”. Sampai sekarang, ABS – SBK diyakini dan
dijadikan filosofi masyarakat subkultur Minang di Sumatera Barat, tanpa harus
memperdebatkannya, ini apa produk paderi atau “sebelum paderi” (Direkori
Minangkabau, 2012), karena dua pendapat itu saling menguat.
I.
ABS –
SBK: Implementasi dan Keberlanjutannya di Minangkabau
Sekarang bagiamana persoalan implementasi dan keberlanjutan ABS – SBK di
Minangkabau. Keterpaduan utuh menyeluruh (integral – holistic) adat dan Islam
itu seperti tadi disebut sudah merupakan konsesus (janji) dan menjadi filosofi adat Minangkabau yakni "Adat
Basandi Syara’ - Syara’ Basandi
Kitabullah (ABS-SBK), dilaksanakan dengan Syara’ Mengato - Adat Mamakai (SM
- AM) dan Alam Takambang Menjadi Guru (ATJG).
Asimilasi antara ajaran Islam dan adat Minangkabau dilakukan secara
bertahap sehingga mencapai kesempurnaan dan menjadi filosofi bagi orang
Minangkabau. Ini berarti bahwa ajaran Islam bersifat Rahmatan lil Alamin, tidak
merubah aturan adat lama tetapi rnemperkokoh tegaknya bangunan adat dengan cara
mengislamisasikan adat Minangkabau. Kesadaran seperti ini juga muncul di balik
gerakan paderi, yang semula seperti tidak rela pelaksanaan Islam menyentuh
kebudayaan masyarakat.
Pertautan antara adat dan syara’ di Minangkabau memberikan nuansan
menyegarkan bagi masyarakat Minangkabau dalam menata berbagai aspek termasuk
kehidupan adat, sehingga nilai-nilai Islam menjiwai tatanan adat yang harus
dilaksanakan dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat Minangkabau.
Masih banyak komponen meragukan, tentang implementasi ABS – SBK dan
keberlanjutannya, yang sesungguhnya sikap ini tidak perlu lagi ada. Sudah harus
kita kuatkan sebagai sebuah janji yang memiliki otoritas tinggi dan harus diisi.
Saya ingin mengatakan, bahwa kalau masih kuat komitmen dan akidah orang
Minang melaksanakan ajaran Islam, secara otomatis ABS – SBK dilaksanakan dan
akan berlanjut. Tetapi
bila Minang meninggalkan akidah Islamiyah, dipastikan ABS – SBK lenyap. Karena
komitmen sudah jelas, pelaksanaan ABS – SBK dengan strategi SM – AM (Syara’
mangato – Adat Mamakai), artinya bahwa adat itu melaksanakan syara’ (agama
Islam). Tidak adat Minang namanya kalau pelaksanaan adat bertentangan dengan
Islam. Namun kalau ada yang terlihat dan terkesan bertentangan, dipastikan itu
prilaku orang adat dan prilaku orang Islam, yang namanya adat dan syara’ tidak
berubah, yang berubah prilaku.
Sesungguhnya
ancaman yang sangat mendasar keberlanjutan ABS – SBK adalah perubahan prilaku
yang tak menganggapnya sebagai janji yang harus diisi dan filosofi yang harus
dikembangkan dalam masyarakat Minang.
Terlepas dari pro kontra
memaknai dan melaksanakan ABS-SBK ini, ada baiknya memperkuat sikap memaknainya
sebagai doktrin sosial orang Minangkabau. Ketika Nursyirwan (2012) menyebut
“nilai budaya adalah suatu gagasan yang dimiliki dan dibagi bersama oleh suatu
kominitas”, maka dalam tataran ini orang Minang masa lalu dengan ABS – SBK ini berarti
sudah merumuskan diri mereka sebagai kelompok masyarakat yang beradat dan
beragama. Keluar dari diktum ini berarti keluar dari ke-Minangkabauannya. Satu
hal yang menjadi pemikiran, kalau masih saja ABS – SBK tidak dimengerti dan
terjebak dalam perdebatan panjang, kapan lagi mau mensosialisasikannya, sebagai
sebuah janji oleh para pemuka adat dan Islam. Ini satu
di antara sikap yang dapat mengancam keberlanjutan ABS – SBK.
***
Sebagai
sebuah simpul kecil, ABS – SBK disetujui atau tidak sebagai sebuah
janji, produk purifikasi Islam dari gerakan paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol,
yang kemudian menjadi filosofi masyarakat adat Minang, tidak lagi mesti
diperdebatkan dan sudah seharusnya diisi. Upaya pengisiannya diimplementasikan
dalam pembangunan agama dan adat secara terpadu dengan indicator yang jelas
baik di bidang prosesi adat istiadat, arsitektur (termasuk budaya visual),
kelembagaan adat, kepemimpinan ninik mamak dengan tali tigo sapilin dan tungku
tigo sajarangan dsb.
Pembangunannya
menjadi tanggung jawab bersama semua actor pembangunan, namun sudah seharusnya
gong dibunyikan dari atas (para petinggi di pemerintahan dan actor pembangunan
lainnya) seperti masa khalifah dulu melakukan “tasji’ khulafa”,
menyemangati, mengayomi dan memfasilitasi gerakan pembangunan secara terpadu
adat dan agama itu. Yang lebih substansial, sudah seharusnya nilai ABS – SBK
itu diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa di daerah Sumatera Barat sebagai
bagian integral kehidupan bernegara dalam kesatuan NKRI.***
Rujukan:
Bundo
Kanduang, Butir-butir Implementasi Adat
Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. BKSB: Padang, 206
Kuntowijoyo,
Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung, 1998
M. Amin
Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman
Kontemporer. Mizan: Bandung, 2000
Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis). LPPI: Yogyakarta,
2000
Nasbahry Couto, Budaya Visual
Seni Tradisi Minangkabau, Visual Culture of Minangkabau Tradisiomal Art. Padang:
UNP Press, 2008
Nursyirwan, Effendi, Prof., Dr., Upaya
Meningkatkan Peranan Perantau dalam Pemberdayaan Masyarakat nagari: Pendekatan
partisipatif, Makalah Diskusi Pamong Senior Tahun 2012, 27 November. Padang:
Pemrov, 2012.
Sjafnir Aboe Nain, Tuangku
Imam Bonjol, Sejarah intelektual islam di Minangkabau 1784 – 1832. Padang:
Esa, 1988
Shihab, Alwi, Membendung
Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia. Mizan: Bandung, 1998
Taufik Adnan Amal, Islam dan
Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Mizan: Bandung,
1996
Yulizal
Yunus, Pelaksanaan Adat Istiadat dalam Konsesus Filosofi Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah ((Minangkabau dalam Era Otonomi Kembali ke
Nagari Berbasis Surau), Makalah Presentasi pada Pelatihan Adat Istiadat
Minangkabau. Painan: Pemkab Pessel, 6 Maret 2012.
____________,
Sistem Pendidikan Surau Analisis Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan
dari Perspektif Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Makalah. Balaiselasa:
STAI, 2009
____________,
Penguatan Peranan Pemangku Adat dan Pemuka Agama untuk Memperkokoh Ketahanan
Nasional di Sumatera Barat, Makalah Seminar Nasional. 13 Des 2012. Padang: Korem 032/WB, 2012
____________, Tuanku Imam Bonjol sebagai Ulama
Minangkabau (dalam 30 Tahun IAIN Imam Bonjol). Padang: IAIN-IB Press, 1996
____________ dkk., Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864)
(dalam Beberapa Ulama di Sumatera Barat). Padang:
Pemrov. Sumbar, 2008.
Posting Komentar