Headlines News :
Home » » Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol dan Masa Depan ABS-SBK di Minangkabau

Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol dan Masa Depan ABS-SBK di Minangkabau

Written By Unknown on Jumat, 22 November 2013 | 14.56



Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo


Topik seminar yang digelar hari ini Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol, terasa menarik. Setidaknya bagi lembaga yang mengabadikan nama Tuangku Imam Bonjol sebagai nomenklatur lembaganya. Kepepet-kepepet sedikit waktu dijelang juga. Kami (setidaknya membawa pak Prof. Dr. Nursyirwan Effendi dalam kebersamaan menjadi nara sumber) hampir saja tidak sempat menulis makalah, karena kepepet waktu dalam memberi tahu penyelenggaraan juga hari ini ada setidaknya dua event yang saya berpasangan dengan pak Prof. Dr. Nursyirwan, yakni siang ini pada Seminar “Revitalisasi Nilai-nilai Adat dan Pemangku Adat dan Agama dalam Penguatan Ketahanan Nasional di Sumatera Barat” kerjasama Korem 032/ Wirabraja – Majalah Minangkabau SAGA.  Akibat kepepet waktu, berakibat tergesa menulis kertas kerja, tidak sempat bertukar makalah sebagai adat tanggap menanggap dan untuk saling memberi respon, karenanya izinkan kami menafsirkan sendiri-sendiri tentang topik ini. Artinya saya mencoba meresek-resek membuka sebuah keberanian akademisi untuk menafsirkan sendiri terhadap kemungkinan apa yang akan dikatakan (dimakalahkan) pak Prof Dr. Nursyirwan. Perlu purifikasi nawaitu penyelenggaraan seminar, sepeti juga proyek pemerintah akhir tahun.
Dari pengamatan saya, bahwa pembicaraan purifikasi Islam di Indonesia tidak lagi topik baru, tetapi menjadi menarik (aktual dan kreatif), ketika dikaitkan dengan nasib ABS-SBK. Justru ABS – SBK ini pun disebut banyak pendapat bagian dari produk purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol (meski ada yang menyebut sudah ada sebelum Paderi Tuanku Imam Bonjol), dalam bentuk consensus (janji), kemudian menjadi filosofi masyarakat subkultur ini. Orang Minangkabau sendiri pun, juga sudah punya komitmen melaksanakan janji itu dengan  starategi operasional SM-AM (Syara’ Mangato - Adat Mamakai) dan ATJG (Alam Takambang Jadi Guru). Justru baik oleh actor pembangunan: pemerintah daerah maupum lembaga masyarakat, untuk saat ini sedang getol mencari indikator pembangunan terpadu agama dan adat dalam upaya melaksanakan janji (konsesus) orang Minang ini. Mencari indicator ini disebut sulit oleh Gubernur dalam pembicaraan terbatas dengan tokoh masyarakat adat, agama dan perguruan tinggi 22 September 2011 di Gubernuran, terutama kesulitan dalam menentukan indicator pembangunan terpadu agama dan adat dalam tiga aspek pembangunan kelembagaan adat, seni bangunan/ arsitektur adat dan prosesi tradisi. Artinya tidak sesulit mencari indikator pembangunan agama saja dan atau pembangunan adat saja tidak terlalu sulit dibanding indicator pembangunan terpadu agama dan adat dalam kerangka masa depan pelaksanaan dan keberlanjutan ABS – SBK.

Tuanku Imam Bonjol: Paderi, Purifikasi Islam dan ABS – SBK
Tuanku Imam Bonjol nama besar. Kebesaran namanya di antaranya dihargai dengan menjadikannya pahlawan Nasional. Nama besar pahlawan ini sedikit terusik. Dituduh melakukan kejahatan perang (isu ini menyebar di berbagai situs – dunia maya di samping tulisan yang dihadirkan dalam berbagai forum kajian sejarah seperti juga yang sebut di sini).
Tidak saja teusik, malah pernah dipreteli dalam drama kolosal Tuanku Imam Bonjol karya Wisran Hadi di Teater Bumi misalnya yang pernah dipentaskan di Taman Budaya, di Don Bosko dan di Jakarta. Dampaknya menggoyahkan kepercayaan awam terhadap kebesaran Imam Bonjol itu. Orang tidak banyak membaca drama klosal itu di balik pengungkapan perjalanan hidup Tuanku Imam Bonjol dan paderi yang ia pimpin dengan sangat moderat. Drama Klosal itu seperti mengkritik habis-habisan dan mempreteli ketokohan dan kepahlawan serta keimanan Tuanku Imam Bonjol alias Peto Syarif alias Muhammad Sahab yang lahir tahun 1772 di Tanjung Bungo - Bonjol, Pasaman itu.
Tuanku Imam Bonjol dalam drama kolosal itu dilukiskan tidak sebagai seorang Pimpinan Perang Paderi (1821-1837), tetapi lebih buruk dari itu digambarkan sebagai manusia biasa yang kadang juga memperlihatkan berpendirian lemah, ragu-ragu, kaku dan tidak mempunyai kebijaksanaan. Ini dimungkinkan, karena Wisran Hadi menampilkan Imam Bonjol sebagai seorang manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam sebuah fenomena sejarah (Yulizal Yunus, 1983). Bahkan mementaskan kekonyolan Tuanku Imam Bonjol serta kekalalannya di medan juang, malah sebagai seorang Imam dilukiskan sebagai seorang suami di mana membiarkan isterinya terlibat takhayul, bida’ah dan ch(kh)urafat (TBC) sekali lagi menandai ia sangat moderat dan tak menyukai sikap radikal. Sepertinya yang ditampilkan sebagai pahlawan dalam drama itu ialah seorang tokoh lagendaris "Tuangku Nan Renceh" seorang murid Tuanku Nan Tuo itu, dikesankan keras, berani dan hebat.
Polemik tentang Tuanku Imam Bonjol menjadi terbuka di media, muncul beberapa tanggapan terhadap drama kolosal itu di Surat Kabar daerah. Surat Kabar Harian Umum Semangat yang pada satu edisi tahun 1983,  memakai seluruh lembaran Seni Budayanya menanggapi drama itu. Di antara tulisan memakai judul seperti slogan:  (1) "Di mana "Tuanku Imam Bonjol?" (2) Setelah Imam Bonjol Siapa Lagi Dipreteli Wisran. Demikian pula Skh. Indenpenden Singgalang menurunkan para wartawannya menapaki jejak per­juangan Tuangku Imam Bonjol. lalu di antaranya bertubi-tubinya repostase. Skh. Singgalang, muncul Surat Nasionalnya harian Kompas Jakarta, di sam­ping dimuat koran Daerah Sumatera Barat. Benar saja. pancingan drama kolosal sejarah tuanku Imam Bonjol karya Wisran Hadi itu berhasil, sehingga terjadi polemik nasional yang nyaris kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol itu menjadi masalah.
Sesudah Surat Nasional itu, polemik semakin berjadi-jadi, dan Skh. Singgalang terus melacak jejak Tuanku, Skh. Semangat menurunkan polemik Zaidin Bakri dengan Yusuf Abdullah Puar, demikian pula majalah Selecta di Jakarta menurunkan pula artikel bersambung dalam tiga nomor: 1105, 1106 dan 1107 dan sampai pula turun tanggan tokoh Rusli Amran penulis gemilang yang berhasil menulis Sejarah Sumatera Barat hingga Pelakat Panjang.
Generasi muda. Pemuda pelajar putra Minangkabau, di Jakarta buru-buru menemui Adam Malik dan Emil Salim untuk menanyakan permasala­han Tuanku Imam Bonjol. Kepada mereka diharapkan supaya menghimpun data domestik lebih banyak, kalau masih belum memadai cari ke negeri Belan­da. Lalu permasalahan itu pernah muncul di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sumatera Barat disuarakan oleh seorang anggota Dewan Akmal Sidik kepada eksekutif dan eksekutif menjawab: "Masalahnya akan diteliti".
Narnun bagi kita, tetap ada perinsip dan yakin: "Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan". Lalu soal di mana ia berkubur di Lotak atau di Bonjol sendiri, yang penting tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan. Kalau di Lotak itu yang terkubur wakil utama Tuanku Imam Bonjol bernama Tuanku Syahbuddin, mari keduanya kita catat sebagai pahlawan. Nah kalau di Lotak kuburan pahlawan itu dipanggar, maka di Bonjol perlu pula seperti demikian. Dan syukurlah prinsip itu sudah mendapat perhatian para ahli sejarah. Yusuf Abdullah Puar menulis buku Sejarah Tuanku Imam Bonjol, yang lebih permanent.­
Seyogyanyalah, polemic tentang tuanku Imam Bonjol itu, tidak menelantarkan kita menerapkan nilai-nilai perjuangan pahlawan ini dan lestari dihati generasi muda, bahwa Tuanku Imam Bonjol itu tidak saja pahlawan perintis kemerdekaan, tetapi juga tidak sedikit jasanya melakukan pemurnian Islam tanpa dengan kekerasan, meskipun tuduhan radicalism sering pula dialamatkan kepadanya. Diperlukan penelitian tentang Tuanku Imam Bonjol sebagai penggerak purifikasi Islam di samping melihatnya sebagai ulama dan intelektual Islam serta guru yang pernah mengajar agama di Tanjung Bungo. Upaya ini sekali lagi bagian dari bayar hutang IAIN yang memakai nama Imam Bonjol bekerjasama dengan Pemkab Pasaman dan atau lembaga sejarah lainnya, dari melakukan kegiatan penelitian sampai menulis dan menerbitkan hand-book tentang Imam Bonjol yang dapat diwariskan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Kalau sejarah yang saat ini ada sisi diskriminatif melihat Tuanku Imam Bonjol, mari dijelaskan lagi Imam Bonjol sebagai ulama yang pahlawan dalam melawan Belanda dan pemurnian Islam dan menjelasakan hal yang substansial tentang sejauh mana pengakuan terhadap ABS – SBK yang dijadikan filosofi masyarakat Minang sebagai bagian dari produk konsesus (janji) purifikasi Islam Paderi yang dipimpin Imam Bonjol.

a.      Paderi, Purifikasi Islam dan ABS – SBK
Perjuangan Imam Bonjol  melawan imperialism dan colonialism Belanda sudah tak dapat dipungkiri. Ia melakukan gerakan memurnikan Islam melawan penyakit paham keamaan yang terinfeksi “tbc” bersamaan dengan pelawanannya terhadap Belanda dalam perjuangan yang dikenal dengan perang paderi. Justru Imam Bonjol memahami Islam sebagai ideal, utuh dan tak mengingkari bersentuhannya dengan cultural (lihat juga Sjafnir, 1988).
Yang menjadi persoalan, di antaranya sering berkembang pendapat, sesungguhnya paderi tidak melawan Belanda. Sesungguhnya paderi melawan “pengkhianatan yang berbaju hitam – kaum adat dipimpin ninik mamak” seperti pernah disebut Wisran Hadi (Yulizal Yunus, 2011). Ninik mamak dari kaum adat dituduh mendukung kolonial Belanda dan dinyatakan dengan keras sebagai kafir oleh kaum paderi yang mencirikannya sebagai radikal.
Ada analisa menarik, disebut Tuanku Imam Bonjol tidak suka kekerasan dan ia moderat (baca juga Perbendaharaan Lama, cet.II, Hamka, 1982). Diceritakan ia pernah marah kepada Tuanku nan Renceh menghabisi saudara ibunya dan juga marah kepada Tuanku Lintau menghabisi keluarga Pagaruyung, dengan alasan pemurnian agama.
Dari perbandingan sikap Imam Bonjol yang moderat dan fenomena radicalism sebagian kaum paderi, tak mungkin Imam Bonjol serta merta mencap orang adat dan ninik mamak kafir. Saya syak (mudah-mudahan tak berdosa, sebab biasanya syak itu dosa), isu radikalisme paderi itu tidak berdiri sendiri, apa tida ada udang di balik batu.
Jangan-jangan orang paderi dikorbankan, yakni bagian dari korban informasi yang diterima tidak lengkap. Fenomena korban itu diperbesar dengan “suntikan anjing gila” dari “politik adu domba” (pribumi diadu pribumi, diciptakan gap dan sakit hati antara sesama pribumi). Demikian juga dimungkin bagian dari korban politik naturalisasi Belanda serta disulut sikap diskriminatif kolonial ini yang menunjukkan sikap menyahabati ninik mamak, merangkul raja-raja kecil, penghulu disertifikasi, yang kurang berfungsi diganti dengan pranata social versi Belanda (Nasbahry, 2008) dan memfasilitasi otoritas lokal disertai dukungan terhadap perkembangan adat dan budaya local Minang. Di sisi lain Belanda memusuhi ulama, menindas pemikir dan penggerak Islam bahkan menyisihkan guru-guru mengaji meskipun di surau ninik mamak apalagi di surau ulama disertai dengan menekan perkembangan Islam dan gerakan pemurniannya, karena dipandang Islam di garda terdepan dan progresif menentang segala bentuk penjajahan.
Sama halnya, saat ini ada tuduhan dan harus hati-hati bahwa Imam Bonjol melakukan kejahatan perang  dalam ekspansi Paderi ke Tanah Batak. Jangan-jangan ada perulangan sejarah, dilatari sesuatu yang sangat substansial yakni benturan gerakan penyebaran Islam yang marak ketika itu versus misi non Islam. Artinya dimungkin kaum paderi bagian dari korban curang Belanda mewasiti permainan segitiga: kaum agama (Islam), adat dan Keristen.
Jangankan isu ke Tanah Batak, perlakuan paderi terhadap surau ninik mamak saja ada yang senjang dan tak enak didengar. Berawal dari gerakan surau yang juga sering terjebak dalam konflik paham. Karena di dalam daily life surau juga terdapat social movement yang menarik yang disebut berujung paderi itu. Cerita Azyumardi (2010) ketika surau Tuangku Jalaluddin dekat dengan syari’ah, adat yang bertentangan dengan agama ditinggalkan, soal pakai sutra, emas, pesis wahabiyah, kemudian mucul konflik berujung paderi.
Surau adat (surau kecil ninik mamak) yang diduga sentra praktek adat bertentangan dengan agama, lalu dihancurkan. Tuanku Nan Renceh salah seorang pimpinan paderi terbilang keras melakukan tajdid sebagai bagian bentuk purifikasi Islam, tidak sedikit jumlah surau ninik mamak yang dihancurkan. Ini merupakan pukul pertama terhebat terhadap surau dan membawa kemunduran surau ninik mamak. Fenomena ini sekaligus membuktikan Paderi bukanlah perang antara warga dan Belanda, tetapi perang hitam (ninik mamak yang berpakaian hitam) dan perang putih (ulama yang berjubah putih), memperlihatkan kecenderungan gelombang pertama Islam, di mana surau adat (ninik mamak/ surau kecil) menjadi target pertama pembaharuan wahabi yang berbasis paderi itu.
Tekanan paham wahabiah yang mengambil bentuk paderi, tidak dapat dilepaskan dengan gerakan social surau di samping sejarah social dalam daily life surau. Gerakan itu mencakup aspek penting dalam pendidikan tradisional masyarakat terkait dengan dengan ekonomi dan  politik dalam penyelenggaraan pendidikan tradisional Islam bergerak ke modernis, yang tanpa disadari menaruh dampak positif memperkuat gerakan tradisi rasional orang Minang terhadap pemahaman agama dan masyarakat agama, namun tidak kurang pula dampak negatifnya menjadi pukul hebat terhadap kemunduran surau. Setelah Padri muncul lagi fenomenan pukul hebat terhadap surau dan membawa kemunduran surau, yakni:
1)        Paderi pukulan pertama terhadap surau. Pukulan kedua terhadap surau adalah kehadiran volck schoolen Belanda dikembangkan. Tidak banyak orang pribumi dapat masuk, karena peluang sempit. Orang Minang terbuka dan ingin masuk meskipun kritis tidak seperti Jawa. Perinsif Jawa tertutup, involusi, yakni mereka menemia yang baru tetapi dicampur dengan  apa yang ada pada mereka. Orang Minang banyak menerima dan masuk, karena orang Minang responsive dan terbuka. Orang Minang (Azyumardi, 2010) cepat menerima dan sialnya “yang ada pada mereka” dicampakkan. Volck schoolen mengadopsi kurikulum Belanda sepenuhnya kemudian. Hasil adopsi volck schoolen orang Minang dianggap lebih awal masuk ke sistim kolonial dan timbulkan kaum terpelajar di kalangan Minang. Ini sebabnya Minang punya orang besar, tapi tanpa disadari “sudah mengorbankan surau”, surau dalam periode ini mendapat pukulan hebat dan membawa kepada kemunduran.
2)        Surau dengan gerakan modernis Islam yang dipelopori ulama modernis yang cenderung menyelenggarakan pendidikan formal Islam seperti Inyiak Rasul dan Dr. Abdullah Ahmad dipengaruhi Jamaluddin al-Afghani, dkk. Menyusul memodernisasi Surau Jembatan Besi, lahir model Adabia yang menghilangkan dikotomi pengajaran umum dan agama sebagai acuan model baru persekolahan Islam. Menurut Azyumardi (2010) sejak itu bukan saja “jumlah surau , menjadi kurang”, tetapi juga citra surau semakin lemah bahkan membentuk imej (citra) bahwa surau itu terbelakang dan surau menjadi terbelakang. Inyiak Rasul berbanding dalam perbandingan surau dan volck shoolen dicitrakan sebagai alam kemajuan. Murid dan gurunya gagah pakai dasi dan sepatu. Surau pakai tengkelek dan sarungan dsb. Keadaan material orang sukses, semakin meninggi. Akibatnya hubungan orang Minang dengan Surau “terputus”. Artinya sejak muncul era sekolah modern Islam kaum muda era volck schoolen, putus hubungan surau dengan masyarakat Minang, masyarakat sudah kurang membantu bahkan tak membantu lagi surau dan muncul “paqih saringgik”. Muncul gengsi yang sukses berduit, muncul era sekuler dengan kesan ada kecenderungan pemisahan duniawi dan ukhrawi. Berdampak pada pilihan menantu, karena dari perspektif materialisme, orang Minang terlihat muncul fungsi materialis. Dokter dan kerja di bank rangking atas dalam seleksi mencari mantu.

Pada perinsipnya peruntuhan surau ninik mamak itu dalam gerakan purifikasi Islam oleh paderi adalah gerakan tauhid. Secara substansial menghancurkan “tbc” yang sangat dehumanistik berseberangan tauhid. Karenanya gerakan tauhid paderi sesungguhnya mengembalikan manusia ke fitrahnya yang dilahirkan semula bertauhid dan berharap mempunyai dampak perubahan masyarakat (umat) ke depan. Artinya meminjam istilah “profetik” Kuntowijoyo, ingin mengkombinasikan dimensi sosial humanisasi, liberasi dan transedental dalam melakukan perubahan dan rekayasa menuju cita etika sosial. Cita profetik itu yang diderivasikan dari misi historis setidaknya ke depan membawa muatan pengamanahan “engkau umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah” (QS Ali Imran:110).
Namun dari perjalanan sejarah paderi dari sisi pemurnian Islam yang disebut diwarnai wahabiyah tidak selalu meninggalkan kenangan manis yang kaya cita etika sosial, kadang mengecewakan. Namun pertanyaan penting apakah memang murni gerakan itu diwarnai wahabiyah, apa tidak  salah satu fenomena iklim budaya dan prilaku dana atau karakter individual dan kelompok, diperlukan juga analisis mendalam. Faktanya justru wahabiyah tidak pernah bertahan di daerah ini, dimungkinkan tidak cocok dengan karakter budaya daerah ini yang menawarkan “kesantunan” seperti disebut syara’, bahwa peringkat intelektual yang tertinggi ialah tertinggi pertama “halim (santun)” setelah tertinggi kedua hukama (arif bijaksana) dan ketiga ulama.
Secara kategoris dilihat dari perspektif karakter perjuangan keras paderi dalam purifikasi Islam seperti tadi menghabisi surau ninik mamak, tidak dapat dipungkiri sikap keras itu seperti mengidentifikasi watak  wahabiyah. Justru ada sisi sejarah menyebut Kolonel Haji Piobang dan tawanan raja Abdullah ibn Saud yang menumbuhkan cikal bakal tentara wahabiyah Minangkabau. Wahabiyah (dari wahabi)' dalam literatur Islam tidak idiom baku, karenanya pengindentifikasian wahabiyah kepada gerakan sebagian umat Islam dalam melakukan tajdid dan purifikasi Islam itu pun kurang objektif dan kurang pas. Orang Minangkabau pun hampir-hampir tidak menyukai bahkan menolak penamaan aliran wahabiyah itu dialamatkan kepada gerakan seperti paderi, dan karena itu pula kesan wahabiyah tidak ada di Minangkabau sampai sekarang. Karena terhadap paham itu juga ada stigma, bahwa sikap keras tidak sesuai dengan nilai adat Minang yang nilai dominannya: sopan, santun, budi baik dan baso indah.
Sebaliknya wahabiyah nyata-nyata bertentangan dengan nilai adat Minang itu. Diyakini menyebarkan ideologi radikal dengan memanfaatkan simbol, sentimen dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash). Sampai sekarang watak keras itu merambah dunia kampus mempengaruhi siswa dan mahasiswa, yang menurut Ridwan Mustofa (2010) menyebut 9 ciri yang mengesankan perinsip kekerasan dan radikalis yang perlu diwaspadai:
1)        Para tutor penyebar ideologi kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan. Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemeritahan taghut, syaitan, karena tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai dasarnya. Pemerintahan manapun dan siapapun yang tidak berpegang pada Al-Qur’an berarti melawan Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan.
2)        Para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera. Kalaupun melakukan, itu semata hanya untuk mencari selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya dan etika berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama.
3)        Ikatan emosional pada ustadz, senior dan kelompoknya lebih kuat dari ikatan keluarga dan almamaternya.
4)        Kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat tertutup dengan menggunakan lorong dan sudut-sudut sekolah sehingga terkesan sedang studi kelompok. Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat.
5)        Bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah dikenakan membayar uang sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lalukan. Jika merasa besar dosanya, maka semakin besar pula uang penebusannya.
6)        Ada di antara mereka yang mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai dengan ajaran Islam serta bersikap sinis terhadap yang lain.
7)        Umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasiq dan kafir sebelum melakukan hjrah bergabung dengan mereka.
8)        Mereka enggan dan menolak mendengarkan ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an masih dangkal, namun mereka merasa paling benar keyakinan agamanya sehingga meremehkan dan bahkan membenci ustad di luar kelompoknya.
9)        Di antara mereka itu ada yang kemudian keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustadz dan intelektual di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi.
Paham-paham keras kelompok Islam seperti juga teridentifakasi dan mirip wahabiyah, berpotensi memecah belah sesama Islam. Kekerasan dan perpecahan dari perinsip menjadikan Islam sebagai selimt seperti berbanding lurus dengan tesis Geertz (1960) yang melihat budaya pelaksanaan agama sebagai sistem kebudayaan, di samping memainkan peranan itegratif serta dapat menciptakan keserasian sosial dalam masyarakat, juga tak dapat dipungkiri ada kesan peran efektif yang menimbulkan perpecahan. Karenanya banyak  orang curiga bahwa ideologi wahabiyah mempunyai andil dalam mendoktrinasi kelompok Islam tertentu dan menyuburkan tindakan kekerasan, ekstrim dan teror yang mengatasnamakan agama dan sebab itu pula gerakan wahabi sering dikaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama seperti halnya tragedi 11 September 2001 di AS yang melumatkan WTC. Karenanya untuk kasus paderi di Sumatera Barat yang melumatkan surau ninik mamak, bagian dari kekerasan wahabiyah, yang sebenarnya juga menyakitkan sebagian besar orang Minang. Sebab itu pula pahan ini seperti tadi disebut terkikis di Minangkabau. Namun hikmah dari peristiwa pahit purifikasi Islam paderi itu melahirkan hikmah “integrasi Islam dan Adat” yang dilegalisasi konsesus (perjanjian) Marapalam dikenal dengan “ABS – SBK” dioperasionalkan dengan strategi “SM-AM” dan “ATJG”. Sampai sekarang, ABS – SBK diyakini dan dijadikan filosofi masyarakat subkultur Minang di Sumatera Barat, tanpa harus memperdebatkannya, ini apa produk paderi atau “sebelum paderi” (Direkori Minangkabau, 2012), karena dua pendapat itu saling menguat.

I.         ABS – SBK: Implementasi dan Keberlanjutannya di Minangkabau
Sekarang bagiamana persoalan implementasi dan keberlanjutan ABS – SBK di Minangkabau. Keterpaduan utuh menyeluruh (integral – holistic) adat dan Islam itu seperti tadi disebut sudah merupakan konsesus (janji) dan menjadi filosofi adat Minangkabau yakni "Adat Basandi Syara’ - Syara’  Basandi Kitabullah (ABS-SBK), dilaksanakan dengan Syara’ Mengato - Adat Mamakai (SM­ - AM) dan Alam Takambang Menjadi Guru (ATJG).
Asimilasi antara ajaran Islam dan adat Minangkabau dilakukan secara bertahap sehingga mencapai kesempurnaan dan menjadi filosofi bagi orang Minangkabau. Ini berarti bahwa ajaran Islam bersifat Rahmatan lil Alamin, tidak merubah aturan adat lama tetapi rnemperkokoh tegaknya bangunan adat dengan cara mengislamisasikan adat Minangkabau. Kesadaran seperti ini juga muncul di balik gerakan paderi, yang semula seperti tidak rela pelaksanaan Islam menyentuh kebudayaan masyarakat.
Pertautan antara adat dan syara’ di Minangkabau memberikan nuansan menyegarkan bagi masyarakat Minangkabau dalam menata berbagai aspek termasuk kehidupan adat, sehingga nilai-nilai Islam menjiwai tatanan adat yang harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat Minangkabau.
Masih banyak komponen meragukan, tentang implementasi ABS – SBK dan keberlanjutannya, yang sesungguhnya sikap ini tidak perlu lagi ada. Sudah harus kita kuatkan sebagai sebuah janji yang memiliki otoritas tinggi dan harus diisi.
Saya ingin mengatakan, bahwa kalau masih kuat komitmen dan akidah orang Minang melaksanakan ajaran Islam, secara otomatis ABS – SBK dilaksanakan dan akan berlanjut. Tetapi bila Minang meninggalkan akidah Islamiyah, dipastikan ABS – SBK lenyap. Karena komitmen sudah jelas, pelaksanaan ABS – SBK dengan strategi SM – AM (Syara’ mangato – Adat Mamakai), artinya bahwa adat itu melaksanakan syara’ (agama Islam). Tidak adat Minang namanya kalau pelaksanaan adat bertentangan dengan Islam. Namun kalau ada yang terlihat dan terkesan bertentangan, dipastikan itu prilaku orang adat dan prilaku orang Islam, yang namanya adat dan syara’ tidak berubah, yang berubah prilaku.
Sesungguhnya ancaman yang sangat mendasar keberlanjutan ABS – SBK adalah perubahan prilaku yang tak menganggapnya sebagai janji yang harus diisi dan filosofi yang harus dikembangkan dalam masyarakat Minang.
Terlepas dari pro kontra memaknai dan melaksanakan ABS-SBK ini, ada baiknya memperkuat sikap memaknainya sebagai doktrin sosial orang Minangkabau. Ketika Nursyirwan (2012) menyebut “nilai budaya adalah suatu gagasan yang dimiliki dan dibagi bersama oleh suatu kominitas”, maka dalam tataran ini orang Minang masa lalu dengan ABS – SBK ini berarti sudah merumuskan diri mereka sebagai kelompok masyarakat yang beradat dan beragama. Keluar dari diktum ini berarti keluar dari ke-Minangkabauannya. Satu hal yang menjadi pemikiran, kalau masih saja ABS – SBK tidak dimengerti dan terjebak dalam perdebatan panjang, kapan lagi mau mensosialisasikannya, sebagai sebuah janji oleh para pemuka adat dan Islam. Ini satu di antara sikap yang dapat mengancam keberlanjutan ABS – SBK.

***

Sebagai sebuah simpul kecil, ABS – SBK disetujui atau tidak sebagai sebuah janji, produk purifikasi Islam dari gerakan paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol, yang kemudian menjadi filosofi masyarakat adat Minang, tidak lagi mesti diperdebatkan dan sudah seharusnya diisi. Upaya pengisiannya diimplementasikan dalam pembangunan agama dan adat secara terpadu dengan indicator yang jelas baik di bidang prosesi adat istiadat, arsitektur (termasuk budaya visual), kelembagaan adat, kepemimpinan ninik mamak dengan tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan dsb.
Pembangunannya menjadi tanggung jawab bersama semua actor pembangunan, namun sudah seharusnya gong dibunyikan dari atas (para petinggi di pemerintahan dan actor pembangunan lainnya) seperti masa khalifah dulu melakukan “tasji’ khulafa”, menyemangati, mengayomi dan memfasilitasi gerakan pembangunan secara terpadu adat dan agama itu. Yang lebih substansial, sudah seharusnya nilai ABS – SBK itu diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa di daerah Sumatera Barat sebagai bagian integral kehidupan bernegara dalam kesatuan NKRI.***

Rujukan:
Bundo Kanduang, Butir-butir Implementasi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. BKSB: Padang, 206
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung, 1998
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer. Mizan: Bandung, 2000
Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis). LPPI: Yogyakarta, 2000
Nasbahry Couto, Budaya Visual Seni Tradisi Minangkabau, Visual Culture of Minangkabau Tradisiomal Art. Padang: UNP Press, 2008
Nursyirwan, Effendi, Prof., Dr., Upaya Meningkatkan Peranan Perantau dalam Pemberdayaan Masyarakat nagari: Pendekatan partisipatif, Makalah Diskusi Pamong Senior Tahun 2012, 27 November. Padang: Pemrov, 2012.
Sjafnir Aboe Nain, Tuangku Imam Bonjol, Sejarah intelektual islam di Minangkabau 1784 – 1832. Padang: Esa, 1988
Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Mizan: Bandung, 1998
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Mizan: Bandung, 1996
Yulizal Yunus, Pelaksanaan Adat Istiadat dalam Konsesus Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah ((Minangkabau dalam Era Otonomi Kembali ke Nagari Berbasis Surau), Makalah Presentasi pada Pelatihan Adat Istiadat Minangkabau. Painan: Pemkab Pessel, 6 Maret 2012.
____________, Sistem Pendidikan Surau Analisis Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan dari Perspektif Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Makalah. Balaiselasa: STAI, 2009
____________, Penguatan Peranan Pemangku Adat dan Pemuka Agama untuk Memperkokoh Ketahanan Nasional di Sumatera Barat, Makalah Seminar Nasional. 13 Des 2012. Padang: Korem 032/WB, 2012
____________, Tuanku Imam Bonjol sebagai Ulama Minangkabau (dalam 30 Tahun IAIN Imam Bonjol). Padang: IAIN-IB Press, 1996
____________ dkk., Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864) (dalam Beberapa Ulama di Sumatera Barat). Padang: Pemrov. Sumbar, 2008.




Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger