Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
(
Makalah
disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se
Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November
2012.)
Kekuatan
budaya Minang merujuk nilai nan ampek yakni sopan, santun. budi baik, baso
indah. Dalam implemetasinya tercermin dalam tiga prilaku,
yakni tuntas dalam substantif, tuntas dalam artikulasi, dan inklusifisme. Impactnya
terlihat dalampelaksanaan jalan nan
ampek pula secara ideal yakni, pemimpin (nan gadang) dihormati, kamanakan (nan
ketek - rakyat) disantuni, sesama pemimpin (samo gadang) lawan baiyo, dan nan
gadang dan nan ketek serta nan samo gadangdiakomodasikan dalam kato melereng. Semua nilai ini diperkuat sinergitas sistem nilai
tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan yakni anggo tanggo (dipegang
fungsionaris tuangku ulama), raso pareso (dipegang ninik mamak) dan alua jo
patuik (dipegang cadiak pandai sebagai peneliti dan penyidik).
A.
Budaya dan Adat Minangkabau
Budaya
Minangkabau menjadi prilaku dalam mekanisme masyarakat. Prilaku itu diatur dalam sistem adat Minangkabau. Artinya
orang Minangkabau berprilaku (berbudaya) diatur oleh adatnya.
1.
Adat Minang
Adat Minangkabau, justru amat kaya dengan nilai luhur
banyak direkrut Pancasila sebagai identitas bangsa. Sebagai subkultur
(kebudayaan) bangsa, ada budaya punya filosofi dan ditetapkan dalam konsesus
Minang (Perrjanjian Marapalam) yakni ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’
Basandi Kitabullah), dioperasionalkan SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Memakai)
dan ATJG (Alam Terkembang Jadi Guru). Artinya adat Minang adalah pelaksanaan
agama (syara’). Dalam melaksanakan syara’ yang bersumber al-Qur’an
(Kitabullah) plus Hadis Nabi saw, dibumikan dengan kepintaran membaca kearifan
alam. Adat Minang juga merupakan pagar yang kuat melindungi agama (Islam). Kata
petatah Minang:
Di dalam nan duo
kalarasan
Adat manjadi darah
daging
Syara’ nan lazim ka
imanan
Adat nan kawi nan
mandinding
Tidak adat
Minang namanya kalau bertentangan dengan norm yang bersumber dari agama, dan
tidak orang Minang namanya kalau tidak pandai membaca tanda kearifan alam
sesuai dengan ATJG tadi sebagai sunnatullah/ kitab Allah yang tidak tertulis.
Keterpaduan adat, agama dan alam ini dituangkan dalam petata di antaranya:
Simuncak mati
tarambau
Ka ladang mambao
ladiang
Adat jo syara’
Minangkabau
Umpamo awua dengan
tabing
Sanda manyanda
kaduonyo.
Adat dalam perspektif subkultur Minangkabau merupakan sistem
nilai yang mengatur prilaku terumus dalam petata petiti. Agama
adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan rumah Minang, bukan
sendi – atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya (sandi)
Kitabullah (al-Qur’an) dan alam sunnatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya
merupakan prilaku mengacu norm agama dan adat. Lalu Kebudayaan
dalam perspektif adat Minangkabau inheren dengan adat itu sendiri,
karena kebudayaan itu sudah menjadi sistem lagi yang berfungsi mengatur semua
sistem prilaku (intangible lainnya) dan mengartur semua hasil cipta, rasa dan
karsa (tangible lainnya).
2.
Sistem dan nilai Budaya Minang
Defenisi
kebudayaan banyak sekali dalam berbagai perspektif. Namun dari sekian banyak
defenisi kebudayaan, setidaknya pada kebudayaan itu terdapat 7 sistem yakni:
(1) sistem sosial, (2) sistem ekonomi (termasuk sistem prilaku pertanian,
kehutanan, kelautan, perdagangan, moneter, pariwisata sering ditafsirkan
devisa/ padahal pariwisata itu juga sistem kebudayaan dsb), (3) sistem politik
, (4) sistem ilmu pengetahuan (termasuk pendidikan), (5) sistem filsafat, (6)
sistem seni, (7) sistem religi (sistem prilaku beragama, bukan kitab suci dalam
pengertian yang sakral dan transedental). Semua sistem ini dan pengaturannya
terdapat dalam fungsi adat di Minangkabau. Karenya kebudayaan itu adalah adat
itu sendiri di Minangkabau.
Pemahaman
tentang kebudayaan dalam perspektif berbagai suku bangsa di Indonesia penting
dibakukan. Sebab memahami adat saja dalam kontek kebudayaan secara nasional,
sering sekali adat itu ditulis dan diucapkan dengan adat istiadat, padahal adat
istiadat itu satu di antara pembagian dari 4 pembagian adat dalam perspektif
subkultur Minangkabau. Pemahaman seperti ini sedang dicari dan dibutuhkan untuk
merumuskan frem of thinking dalam RUU Kebudayaan di Indonesia
dewasa ini. Sementara pemahaman
kebudayaan inheren dengan adat di Minangkabau ini sudah saya tegaskan di
Gubernuran Sumatera Barat, 16 Juni 201
dalam Pertemuan dengan Tim Panja DPRRI
Komisi X dengan Gubernur, dihadiri pula Pimpinan Lembaga Adat, Budayawan, Tokoh
Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Kebudayaan di Sumbar. Saya memberikan
koreksi RUU Kebudayaan yang masih prematur itu, yakni pemakaian/ penulisan kata
adat istiadat itu dikoreksi, cukup ditulis adat
saja, karena di Minang, adat istiadat itu sudah termsuk dalam kata adat.
Justru adat
istiadat itu di Minang merupakan salah satu dari adat yang empat (adat nan
sabana adat, adat teradatkan, adat nan diadatkan dan adat istiadat). Makanya
pendefenisian kebudayaan dalam perspektif Minang inheren dengan adat, karena
cakupan sistem adat itu luas seperti luasnya cakupan sistem kebudayaan meliputi
semua sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk semua
sistem yang menjadi nomenklatur kementerian di Negara Republik Indonesia.
Karenanya,
pemberian pengertian umum tentang kebudayaan dalam RUU semestinya diberi
batasan dan identitas mana yang dilestarikan, diatur dan diselenggarakan Negara. Dalam prakteknya
selama ini yang diselenggarakan program kebudayaan meliputi seni dan olahraga
saja, padahal semua sistem. Karenanya diusulkan RUU Kebudayaan itu meliputi
seluruh sistem kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena
pembangunan ekonomi misalnya kalau tidak diberi pondasi dan tidak didukung
iklim budaya dan prilaku yang sehat, dipastikan akan menuai kegagalan. Jadi
ekonomi diselenggarakan kementerian ekonomi, dan sistem budayanya diatur oleh
kementerian kebudyaaan.
Dalam budaya Minangkabau sesuai dengan konsesus atau
Perjanjian Bukit Marapalam yang menjadi filosofi masyarakat adat Minangkabau
yakni ABS – SBK, adat itu sudah menyatu dengan agama. Adat itu adalah
pelaksanaan agama (syara’/ Islam). Orang yang berprilaku sesuai dengan agama
tercermin dalam pelaksanaan adatnya, disebut sudah berbudaya Minang. Artinya
tidak orang Minang namanya kalau tidak beragama Islam, atau tidak adat Minang
namanya kalau tak berakidah dan berpegang dengan Tuahn sesuai agamanya (syara’/
Islam). Bagi orang Minang, adatnya tak boleh lepas dari Tuhan, bila tinggal
Tuhan dunia hangus dan akhirat lepas. Hal ini diingatkan petatah:
Nan mancancang nan
mamapeh
Nan bahutang nan
mambayia
Tali jo Tuhan kalau
lapeh
Dunia anguih
akhirat cayaia
Artinya adat yang secara substansial mempunyai bersumber dari 4
nilai karakter (kepribadian) yakni sopan - santun dan budi – baso,
tidak saja mengatur prilaku dunia tetapi juga ada tujuan akhirat. Orang Minang
berprilaku akhlak mulia dan bermartabat, tidak saja mulia di dunia, tapi juga
menjadi jembatan emas ke akhirat, pernah saya tulis di SKU. Haluan, Juli 2011
sebagai bagian materi ceramah saya pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 24-26 Juni 2011, dalam
program menggiatkan Forum Anak Sumatera Barat. Karena
itu pemimpin yang dipangku ninik mamak dalam masyarakat Minang tidak saja punya
tanggung jawab di dunia (dalam kaumnya) tetapi juga punya tanggung jawab
ukhrawi memelihara anak kamanakan.
B.
Kepemimpinan Ninik Mamak
Tidak ringam
tugas pemimpin (ninik mamak) di Minangkabau. Dari sumpahnya saja di waktu
melewakan penghulu dan atau datuk betapa berat tanggaung jawab sosialnya: yang
diselenggarakan tanpa pamrih, secara kekeluargaan dan semangat gotong royong.
Banyak
kalangan terutama dari pihak luar, memandang sumpah penghulu saat pelewaan di
Ranah Minang sebagai sumpah yang melewati batas manusiawi. Terkesan sumpah tersebut
sangat paradoksal dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi
kitabullah. Tentang ini saya sebagai pemuka adat pernah dimintai keterangan
oleh wartawan (publikasi Singgalang, senen 11 April), saya katakan secara
kategoris (sepintas) dalam ukuran sekarang melewati batas nilai manusiawi. Sumpah,
dengan kalimat: kaateh ndak bapucuk kabawah ndak baurek, tangah-tangah
dilariak kumbang, sepintas satu bentuk kalimat sumpah yang melewati batas
humanis itu, seolah tidak sesuai lagi dengan filosofi orang Minang dalam kontek
sekarang dalam keadaan prilaku orang Minang sudah berubah, seperti mau
mencederai hak dan batas-batas kemampuan seorang manusia. Namun kalau kita
pahami secara mendalam sumpah itu berarti menunjukan komitmen kuat penghulu
memelihara anak kamanakannya, yang tidak saja di dunia tapi juga tanggung jawab
ukhrawi.
1.
Seni Kepemimpinan
Ninik Mamak
Ninik mamak
ialah semua laki-laki dewasa (sudah kawin). Ninik mamak dipimpin oleh penghulu
dan atau datuksebagai ketua. Pemangku adat, top leadernya adalah penghulu dan
atau datuk. Justru, penghulu itu
berpangkal dari akar kata hulu (berarti ketua) dalam kaum suku di nagari. Hulu
pada sungai, pangkal dari semua air yang mengalir dan pada penghulu adalah hulu
penyelesai semua persolan yang terjadi dalam kaum. Penghulu sebagai ketua ninik
mamak pada sebuah lembaga adat (limbago paruik, limbago jurai, limbago suku/
kampung dan limbago nagari). Di satu nagari adakalanya penghulu sama dengan datuk, namun di satu nagari lain, penghulu
tidak sama dengan datuk. Corak seperti itu menunjukkan fenomena “adat
salingka nagari”.
Penghulu
diperkuat perangkatnya disebut urang nan ampek jinih, ialah Penghulu/ datuk,
manti, malim dan dubalang. Mereka disebut dengan pemangku adat. Pemangku adat
ini sesungguhnya adalah leader dalam masyarakat adat. Dari perspeltif
menejerial, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan seni seorang leader
(pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok dalam
melaksanakan tupoksi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan
bersama.
Seperti itu pula
seni kepemimpinan ninik mamak pemangku adat dalam memotivasi masyarakat
adat (anak kamanakan) dalam mencapai tujuan bersama. Mereka punya daya tarik,
menarik dan kokoh dalam menaungi dan menahan kritik. Kekokohan fungsi
kepemimpinan pemangku adat itu diposisikan sebagai leader “kayu gadang di
tangah koto”. Kayu besar dan kokoh menaungi serta kuat menahan kritik
sekalipun ia disakiti. Tidakkah orang yang duduk di bawah kayu gadang itu hadir
dengan bermacam parangai, ada yang istirahat menikmati keteduhan rindang dedaun
kayu gadang dan ada pula dengan budaya usil, duduk bersila sambil tangan usil “manokok-nokok”
bahkan “mamaghuak-maghuak jo ladiang” sehingga berkelukaranlah “urek
kayu gadang tampek baselo” itu, tetapi kayu gadang justru punya karakter
mulia, di tempat yang luka itu justru ditumbuhkannya tuneh (tunas muda),
sebagai generasi baru, yang bakal menggantikannya (proses regenerasi) andaikan
kayu gadang “tampek basanda” ini roboh dan mati.
Seperti tadi
disebutkan, tugas penghulu luas dan besar sekali, meliputi segala persoalan dan
masalah yang terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya. Penghulu dan atau datuk
itu sebagai ketua Ninik Mamak, dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh
beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat itu, yakni manti, malim
dan dubalang di samping wakilnya langsung disebut panungkek atau mangku
(wakil datuk/ penghulu dan atau rajo).
Kepada pemangku
adat itu, tertumpu harapan besar berperan lebih besar, tidak saja dalam
pembinaan dan pelestarian adat dan budaya alam Minangkabau dalam kaumnya dan di
nagari seperti diamanahkan Perda 2/2007 fs.36, tetapi juga perannya sebagai
mitra dalam mendorong pembangunan ke arah yang lebih maju dan bermartabat.
Siapapun dalam
melakukan peran tak kecuali penghulu, ada syarat utama berperan dalam perspektif
sosiologis, setidaknya ada tiga hal yang harus ditunjukan. Pertama “ada
aktifitas yang jelas dan aktif”, kedua “ada status yang jelas dan kuat”
tentunya sebagai pemangku adat, dan yang ketiga “punya kharisma dan
nyata-nyata disegani”. Jika ketiga hal ini dimiliki pemangku adat dimungkinkan
akan dapat berperan dengan baik dan diakui.
2.
Nilai
kepemimpinan ninik mamak
Kepemimpinan ninik mamak, memperlihatkan integitas kuat
antara satu unsur dengan unsur yang lain. Pemimpin tidak jalan
sendiri-sendiri. Kuat nilai sinergisitas, terutama dalam sistem tali tiga
sepilin.Tali tiga sepilin simbol pengikat yang kuat. Demikian pula tungku itu
tigo sajarangan merupakan sandi yang kokoh dalam kehidupan Minang, yang juga
tidak lepas dari tiga sumber nilai: adat, syara’ dan Kitabullah.
Tungku sebagai sandi yang kokoh dan
tali pengikat yang kuat itu secara operasional di Minang dalam melaksanakan
syara’, dipandu petunjuk kuat. Panduan ini pernah panjang lebar dijelaskan
dalam buku saya (dkk. 2011) diterbitkan Museum Adityawarman, tentang ABS-SBK,
dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin. Pertama anggo tanggo fungsinya ibarat organisasi merupakan
anggaran dasar/ anggaran rumah tangga, kedua alua jo patuik berfungsi sebagai Undang
Undang, ketiga raso – pareso (rasa – periksa) berfungsi sebagai
Hukum dalam tatanan kehidupan Minang. Dalam mamang orang tua:
Badasar ka anggo tanggo
Baundang ka alua jo patuik
Bahukum ka raso jo pareso
Raso Tumbuah di dado
Pareso tumbuah di kapalo
Sistem nilai inilah yang disebut
dengan sistem tungku tigo sajarangan, sedangkan fungsionarisnya tigo tuanku
yakni ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) ketiga fungsionaris adat itu adalah: (1) alim ulama pada fungsi mengeluarkan fatwa, (2) ninik mamak pada fungsi memerintahkan (anak kemanakan) untuk
melaksanakan fatwa itu, dan (3) cadiak
pandai pada
fungsi teliti untuk meneliti (memeriksa) aapakah fatwa yang dijalankan itu
menguntungkan atau merugikan masyarakat (anak kamanakan). Tegasnya tupoksi
ketiga fungsionaris tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu
diamanatkan dalam petata: fatwa pada ulama, parentah pada ninik mamak dan
teliti pada cadiak pandai. Dalam pelaksanaan tupoksi itu didistribusikan
dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu yakni (1)
anggo tanggo, (2) alua jo patuik, dan (3) raso jo pareso, dijelaskan sbb.:
a. Dasar: Anggo Tanggo
Anggo Tanggo dalam sistem tungku tigo
sajarangan dalam adat limbago Minang merupakan pedoman dasar. Pedoman dasar ini dalam organisasi (limbago) merupakan AD/
ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga). Artinya
Anggo Tanggo merupakan paradigma adat yang merupakan landasan dan pedoman dasar
dalam kehidupan Minang.
Kalau alim
ulama berdiri pada pintu agama dengan fatwa yang bersumber dasar yang
amat kuat yakni Kitabullah sebagai sandi syara’ (Islam), maka pemegang kendali
utama anggo tanggo ini adalah tuanku ke-2 yakni alim ulama tempat bermufti (minta fatwa) para masyarakat adat yang
dipimpin penghulu.
b.
Undang: Alua jo Patuik
Alua jo patuik (bukan patuik
dialua) dalam sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin
merupakan hal penting dalam pengambilan keputusan adat. Alua jo patuik
sebagai nilai penim-bang keseimbangan dalam pengambilan kebijakan (politik
dalam pengertian luas) lebih tepat disebut sebagai peraturan perundang-
undangan dalam masyarakat adat Minang.
Kalau
ninik mamak tagak di pintu adat, dengan memegang kendali parentah
(perintah/ amar) aturan dan undang yang kuat dalam pengambilan keputusan
termasuk dalam penyelesaian sengketa adat,
adalah alua jo patuik, maka pemegang kendali alua jo patuik
itu adalah tuanku ke-1 ialah ninik mamak.
c. Hukum: Raso
jo Pareso
Raso jo pareso keseimbangan antara perasaan
dengan rasional (pikiran). Dalam tatanan
adat raso pareso ini didayagunakan untuk pengambilan keputusan hukum. Karena itu raso jo pareso berfungsi
sebagai Hukum dalam kehidupan Minang.
Kalau fungsi cadiak pandai tagak di
pintu teliti/ penyidik/ periksa maka pemegang pilar raso pareso ini adalah tuanku ke- 3 yakni cadiak pandai.
3.
Revitalisasi dan
Pelatihan Pemangkua Adat
Tak heran
misalnya pemangku adat yang baru diangkat, jika terksean belum berdaya dan
lemah dalam memiliki tiga persyaratan berperan tadi secara sosiologis. Mereka
(1) masih canggung dan di mana harus memulai untuk aktif melakukan kegiatan di
kaumnya dan berinteraksi dengan kaum yang lain dan pemerintah karena belum
banyak tahu bagaimana kebijakan pemerintah di Sumatera Barat amat peduli dengan
pembangunan “terpadu adat dan agama” dalam kerangka penerapan nilia-nilai
filosofi “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK)
dengan strategi dan Syara’ Mangato – Adat Mamakai (SM-AM) dan Alam
Takambang Jadi Guru (ATJG) ke arah pembentukan karakter yang beradat dan
agamis; (2) status yang dimilikinya
sebagai pemangku adat adalah baru, sudah barang tentu perlu penguatan dan
pemberdayaan, dan (3) pembangku adat yang baru dimungkinkan juga belum punya
kharisma dan masih perlu bersosialisasi
dan berinteraksi dengan fungsionaris tali tigo sapilin, dengan kaum-kaum yang
lain dan pemerintah mulai dari nagari sampai ke tingkat provinsi bahkan
nasional, yang sudah barang tentu berkaitan dengan eksistensinya dalam kaum dan
nagarinya.
Karenanya
sebagai sebuah solusi, perlu kebijakan program kegiatan pelatihan peguatan
peran pemangku adat ini, secara terus menerus dilakukkan lembaga adat seperti
LKAAM dan KAN sebagai urat tunggangnya, didukung oleh didukung pemkab/ kota dan
Pemprov Sumatera Barat dengan pendanaan APBD dioperasionalakan melalui Kantor
Kesatuan Bangsa, Politik dan Masyarakat – Kesbangpolmas. Ini, sebagai
upaya penguatan dan pemberdayaan dan merevitalisai peranan pamangku adat terutama
yang baru diangkat itu untuk berperan optimal di kaumnya, di nagari dan bersama
pemerintah sebagai mitra pembangunan daerah.***
[1]Yulizal
Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM Sumatera Barat, Ketua Dewan Adat dan
Syara’ nagari Taluk Batangkapas, Pesisir Selatan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya –
Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Makalah
disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se
Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November
2012.
Posting Komentar