Headlines News :
Home » » Budaya Minangkabau dan Nilai Kepemimpinan Ninik Mamak

Budaya Minangkabau dan Nilai Kepemimpinan Ninik Mamak

Written By Unknown on Senin, 25 November 2013 | 04.18


Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
(
Makalah disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November 2012.)




Kekuatan budaya Minang merujuk nilai nan ampek yakni sopan, santun. budi baik, baso indah. Dalam implemetasinya tercermin dalam tiga prilaku, yakni tuntas dalam substantif, tuntas dalam artikulasi, dan inklusifisme. Impactnya terlihat dalampelaksanaan  jalan nan ampek pula secara ideal yakni, pemimpin (nan gadang) dihormati, kamanakan (nan ketek - rakyat) disantuni, sesama pemimpin (samo gadang) lawan baiyo, dan nan gadang dan nan ketek serta nan samo gadangdiakomodasikan dalam kato melereng. Semua nilai ini diperkuat sinergitas sistem nilai tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan yakni anggo tanggo (dipegang fungsionaris tuangku ulama), raso pareso (dipegang ninik mamak) dan alua jo patuik (dipegang cadiak pandai sebagai peneliti dan penyidik).


A.      Budaya dan Adat  Minangkabau
Budaya Minangkabau menjadi prilaku dalam mekanisme masyarakat. Prilaku itu diatur dalam sistem adat Minangkabau. Artinya orang Minangkabau berprilaku (berbudaya) diatur oleh adatnya.
1.        Adat Minang
Adat Minangkabau, justru amat kaya dengan nilai luhur banyak direkrut Pancasila sebagai identitas bangsa. Sebagai subkultur (kebudayaan) bangsa, ada budaya punya filosofi dan ditetapkan dalam konsesus Minang (Perrjanjian Marapalam) yakni ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah), dioperasionalkan SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Memakai) dan ATJG (Alam Terkembang Jadi Guru). Artinya adat Minang adalah pelaksanaan agama (syara’). Dalam melaksanakan syara’ yang bersumber al-Qur’an (Kitabullah) plus Hadis Nabi saw, dibumikan dengan kepintaran membaca kearifan alam. Adat Minang juga merupakan pagar yang kuat melindungi agama (Islam). Kata petatah Minang:
Di dalam nan duo kalarasan
Adat manjadi darah daging
Syara’ nan lazim ka imanan
Adat nan kawi nan mandinding

Tidak adat Minang namanya kalau bertentangan dengan norm yang bersumber dari agama, dan tidak orang Minang namanya kalau tidak pandai membaca tanda kearifan alam sesuai dengan ATJG tadi sebagai sunnatullah/ kitab Allah yang tidak tertulis. Keterpaduan adat, agama dan alam ini dituangkan dalam petata di antaranya:

Simuncak mati tarambau
Ka ladang mambao ladiang
Adat jo syara’ Minangkabau
Umpamo awua dengan tabing
Sanda manyanda kaduonyo.

Adat dalam perspektif subkultur Minangkabau merupakan sistem nilai yang mengatur prilaku terumus dalam petata petiti. Agama adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan rumah Minang, bukan sendi – atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya (sandi) Kitabullah (al-Qur’an) dan alam sunnatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya merupakan prilaku mengacu norm agama dan adat. Lalu Kebudayaan dalam perspektif adat Minangkabau inheren dengan adat itu sendiri, karena kebudayaan itu sudah menjadi sistem lagi yang berfungsi mengatur semua sistem prilaku (intangible lainnya) dan mengartur semua hasil cipta, rasa dan karsa (tangible lainnya).

2.        Sistem dan nilai Budaya Minang
Defenisi kebudayaan banyak sekali dalam berbagai perspektif. Namun dari sekian banyak defenisi kebudayaan, setidaknya pada kebudayaan itu terdapat 7 sistem yakni: (1) sistem sosial, (2) sistem ekonomi (termasuk sistem prilaku pertanian, kehutanan, kelautan, perdagangan, moneter, pariwisata sering ditafsirkan devisa/ padahal pariwisata itu juga sistem kebudayaan dsb), (3) sistem politik , (4) sistem ilmu pengetahuan (termasuk pendidikan), (5) sistem filsafat, (6) sistem seni, (7) sistem religi (sistem prilaku beragama, bukan kitab suci dalam pengertian yang sakral dan transedental). Semua sistem ini dan pengaturannya terdapat dalam fungsi adat di Minangkabau. Karenya kebudayaan itu adalah adat itu sendiri di Minangkabau.
Pemahaman tentang kebudayaan dalam perspektif berbagai suku bangsa di Indonesia penting dibakukan. Sebab memahami adat saja dalam kontek kebudayaan secara nasional, sering sekali adat itu ditulis dan diucapkan dengan adat istiadat, padahal adat istiadat itu satu di antara pembagian dari 4 pembagian adat dalam perspektif subkultur Minangkabau. Pemahaman seperti ini sedang dicari dan dibutuhkan untuk merumuskan frem of thinking dalam RUU Kebudayaan di Indonesia dewasa ini.  Sementara pemahaman kebudayaan inheren dengan adat di Minangkabau ini sudah saya tegaskan di Gubernuran Sumatera Barat,  16 Juni 201 dalam Pertemuan dengan Tim Panja  DPRRI Komisi X dengan Gubernur, dihadiri pula Pimpinan Lembaga Adat, Budayawan, Tokoh Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Kebudayaan di Sumbar. Saya memberikan koreksi RUU Kebudayaan yang masih prematur itu, yakni pemakaian/ penulisan kata adat istiadat itu dikoreksi, cukup ditulis adat saja, karena di Minang, adat istiadat itu sudah termsuk dalam kata adat.
Justru adat istiadat itu di Minang merupakan salah satu dari adat yang empat (adat nan sabana adat, adat teradatkan, adat nan diadatkan dan adat istiadat). Makanya pendefenisian kebudayaan dalam perspektif Minang inheren dengan adat, karena cakupan sistem adat itu luas seperti luasnya cakupan sistem kebudayaan meliputi semua sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk semua sistem yang menjadi nomenklatur kementerian di Negara Republik Indonesia.
Karenanya, pemberian pengertian umum tentang kebudayaan dalam RUU semestinya diberi batasan dan identitas mana yang dilestarikan, diatur dan  diselenggarakan Negara. Dalam prakteknya selama ini yang diselenggarakan program kebudayaan meliputi seni dan olahraga saja, padahal semua sistem. Karenanya diusulkan RUU Kebudayaan itu meliputi seluruh sistem kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena pembangunan ekonomi misalnya kalau tidak diberi pondasi dan tidak didukung iklim budaya dan prilaku yang sehat, dipastikan akan menuai kegagalan. Jadi ekonomi diselenggarakan kementerian ekonomi, dan sistem budayanya diatur oleh kementerian kebudyaaan.
Dalam budaya Minangkabau sesuai dengan konsesus atau Perjanjian Bukit Marapalam yang menjadi filosofi masyarakat adat Minangkabau yakni ABS – SBK, adat itu sudah menyatu dengan agama. Adat itu adalah pelaksanaan agama (syara’/ Islam). Orang yang berprilaku sesuai dengan agama tercermin dalam pelaksanaan adatnya, disebut sudah berbudaya Minang. Artinya tidak orang Minang namanya kalau tidak beragama Islam, atau tidak adat Minang namanya kalau tak berakidah dan berpegang dengan Tuahn sesuai agamanya (syara’/ Islam). Bagi orang Minang, adatnya tak boleh lepas dari Tuhan, bila tinggal Tuhan dunia hangus dan akhirat lepas. Hal ini diingatkan petatah:

Nan mancancang nan mamapeh
Nan bahutang nan mambayia
Tali jo Tuhan kalau lapeh
Dunia anguih akhirat cayaia

Artinya adat yang secara substansial mempunyai bersumber dari 4 nilai karakter (kepribadian) yakni sopan - santun dan budi – baso, tidak saja mengatur prilaku dunia tetapi juga ada tujuan akhirat. Orang Minang berprilaku akhlak mulia dan bermartabat, tidak saja mulia di dunia, tapi juga menjadi jembatan emas ke akhirat, pernah saya tulis di SKU. Haluan, Juli 2011 sebagai bagian materi ceramah saya pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 24-26 Juni 2011, dalam program menggiatkan Forum Anak Sumatera Barat. Karena itu pemimpin yang dipangku ninik mamak dalam masyarakat Minang tidak saja punya tanggung jawab di dunia (dalam kaumnya) tetapi juga punya tanggung jawab ukhrawi memelihara anak kamanakan. 

B.       Kepemimpinan Ninik Mamak
Tidak ringam tugas pemimpin (ninik mamak) di Minangkabau. Dari sumpahnya saja di waktu melewakan penghulu dan atau datuk betapa berat tanggaung jawab sosialnya: yang diselenggarakan tanpa pamrih, secara kekeluargaan dan semangat gotong royong.
Banyak kalangan terutama dari pihak luar, memandang sumpah penghulu saat pelewaan di Ranah Minang sebagai sumpah yang melewati batas manusiawi. Terkesan sumpah tersebut sangat paradoksal dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi kitabullah. Tentang ini saya sebagai pemuka adat pernah dimintai keterangan oleh wartawan (publikasi Singgalang, senen 11 April), saya katakan secara kategoris (sepintas) dalam ukuran sekarang melewati batas nilai manusiawi. Sumpah, dengan kalimat: kaateh ndak bapucuk kabawah ndak baurek, tangah-tangah dilariak kumbang, sepintas satu bentuk kalimat sumpah yang melewati batas humanis itu, seolah tidak sesuai lagi dengan filosofi orang Minang dalam kontek sekarang dalam keadaan prilaku orang Minang sudah berubah, seperti mau mencederai hak dan batas-batas kemampuan seorang manusia. Namun kalau kita pahami secara mendalam sumpah itu berarti menunjukan komitmen kuat penghulu memelihara anak kamanakannya, yang tidak saja di dunia tapi juga tanggung jawab ukhrawi.

1.        Seni Kepemimpinan Ninik Mamak
Ninik mamak ialah semua laki-laki dewasa (sudah kawin). Ninik mamak dipimpin oleh penghulu dan atau datuksebagai ketua. Pemangku adat, top leadernya adalah penghulu dan atau datuk.  Justru, penghulu itu berpangkal dari akar kata hulu (berarti ketua) dalam kaum suku di nagari. Hulu pada sungai, pangkal dari semua air yang mengalir dan pada penghulu adalah hulu penyelesai semua persolan yang terjadi dalam kaum. Penghulu sebagai ketua ninik mamak pada sebuah lembaga adat (limbago paruik, limbago jurai, limbago suku/ kampung dan limbago nagari). Di satu nagari adakalanya penghulu sama dengan datuk,  namun di satu nagari lain, penghulu tidak sama dengan datuk. Corak seperti itu menunjukkan fenomena “adat salingka nagari”.
Penghulu diperkuat perangkatnya disebut urang nan ampek jinih, ialah Penghulu/ datuk, manti, malim dan dubalang. Mereka disebut dengan pemangku adat. Pemangku adat ini sesungguhnya adalah leader dalam masyarakat adat. Dari perspeltif menejerial, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan seni seorang leader (pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok dalam melaksanakan tupoksi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama.
Seperti itu pula seni kepemimpinan ninik mamak pemangku adat dalam memotivasi masyarakat adat (anak kamanakan) dalam mencapai tujuan bersama. Mereka punya daya tarik, menarik dan kokoh dalam menaungi dan menahan kritik. Kekokohan fungsi kepemimpinan pemangku adat itu diposisikan sebagai leader “kayu gadang di tangah koto”. Kayu besar dan kokoh menaungi serta kuat menahan kritik sekalipun ia disakiti. Tidakkah orang yang duduk di bawah kayu gadang itu hadir dengan bermacam parangai, ada yang istirahat menikmati keteduhan rindang dedaun kayu gadang dan ada pula dengan budaya usil, duduk bersila sambil tangan usil “manokok-nokok” bahkan “mamaghuak-maghuak jo ladiang” sehingga berkelukaranlah “urek kayu gadang tampek baselo” itu, tetapi kayu gadang justru punya karakter mulia, di tempat yang luka itu justru ditumbuhkannya tuneh (tunas muda), sebagai generasi baru, yang bakal menggantikannya (proses regenerasi) andaikan kayu gadang “tampek basanda” ini roboh dan mati.
Seperti tadi disebutkan, tugas penghulu luas dan besar sekali, meliputi segala persoalan dan masalah yang terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya. Penghulu dan atau datuk itu sebagai ketua Ninik Mamak, dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat itu, yakni manti, malim dan dubalang di samping wakilnya langsung disebut panungkek atau mangku (wakil datuk/ penghulu dan atau rajo).
Kepada pemangku adat itu, tertumpu harapan besar berperan lebih besar, tidak saja dalam pembinaan dan pelestarian adat dan budaya alam Minangkabau dalam kaumnya dan di nagari seperti diamanahkan Perda 2/2007 fs.36, tetapi juga perannya sebagai mitra dalam mendorong pembangunan ke arah yang lebih maju dan bermartabat.
Siapapun dalam melakukan peran tak kecuali penghulu, ada syarat utama berperan dalam perspektif sosiologis, setidaknya ada tiga hal yang harus ditunjukan. Pertama “ada aktifitas yang jelas dan aktif”, kedua “ada status yang jelas dan kuat” tentunya sebagai pemangku adat, dan yang ketiga “punya kharisma dan nyata-nyata disegani”. Jika ketiga hal ini dimiliki pemangku adat dimungkinkan akan dapat berperan dengan baik dan diakui.

2.    Nilai kepemimpinan ninik mamak
Kepemimpinan ninik mamak, memperlihatkan integitas kuat antara satu unsur dengan unsur yang lain. Pemimpin tidak jalan sendiri-sendiri. Kuat nilai sinergisitas, terutama dalam sistem tali tiga sepilin.Tali tiga sepilin simbol pengikat yang kuat. Demikian pula tungku itu tigo sajarangan merupakan sandi yang kokoh dalam kehidupan Minang, yang juga tidak lepas dari tiga sumber nilai: adat, syara’ dan Kitabullah.
Tungku sebagai sandi yang kokoh dan tali pengikat yang kuat itu secara operasional di Minang dalam melaksanakan syara’, dipandu petunjuk kuat. Panduan ini pernah panjang lebar dijelaskan dalam buku saya (dkk. 2011) diterbitkan Museum Adityawarman, tentang ABS-SBK, dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin. Pertama anggo tanggo fungsinya ibarat organisasi merupakan anggaran dasar/ anggaran rumah tangga, kedua alua jo patuik berfungsi sebagai Undang Undang,  ketiga raso – pareso (rasa – periksa) berfungsi sebagai Hukum dalam tatanan kehidupan Minang. Dalam mamang orang tua:

Badasar ka anggo tanggo
Baundang ka alua jo patuik
Bahukum ka raso jo pareso
Raso Tumbuah di dado
Pareso tumbuah di kapalo

Sistem nilai inilah yang disebut dengan sistem tungku tigo sajarangan, sedangkan fungsionarisnya tigo tuanku yakni ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) ketiga fungsionaris adat itu adalah: (1) alim ulama pada fungsi mengeluarkan fatwa, (2) ninik mamak pada fungsi memerintahkan (anak kemanakan) untuk melaksanakan fatwa itu, dan (3) cadiak pandai pada fungsi teliti untuk meneliti (memeriksa) aapakah fatwa yang dijalankan itu menguntungkan atau merugikan masyarakat (anak kamanakan). Tegasnya tupoksi ketiga fungsionaris tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu diamanatkan dalam petata: fatwa pada ulama, parentah pada ninik mamak dan teliti pada cadiak pandai. Dalam pelaksanaan tupoksi itu didistribusikan dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu yakni (1) anggo tanggo, (2) alua jo patuik, dan (3) raso jo pareso, dijelaskan sbb.:
a. Dasar: Anggo Tanggo
            Anggo Tanggo dalam sistem tungku tigo sajarangan dalam adat limbago Minang merupakan pedoman dasar. Pedoman dasar ini dalam organisasi (limbago) merupakan AD/ ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga).          Artinya Anggo Tanggo merupakan paradigma adat yang merupakan landasan dan pedoman dasar dalam kehidupan Minang.
            Kalau alim ulama berdiri pada pintu agama dengan fatwa yang bersumber dasar yang amat kuat yakni Kitabullah sebagai sandi syara’ (Islam), maka pemegang kendali utama anggo tanggo ini adalah tuanku ke-2 yakni alim ulama tempat bermufti (minta fatwa) para masyarakat adat yang dipimpin penghulu.
b. Undang: Alua jo Patuik
            Alua jo patuik (bukan patuik dialua) dalam sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin merupakan hal penting dalam pengambilan keputusan adat. Alua jo patuik sebagai nilai penim-bang keseimbangan dalam pengambilan kebijakan (politik dalam pengertian luas) lebih tepat disebut sebagai peraturan perundang- undangan dalam masyarakat adat Minang.
            Kalau ninik mamak tagak di pintu adat, dengan memegang kendali parentah (perintah/ amar) aturan dan undang yang kuat dalam pengambilan keputusan termasuk dalam penyelesaian sengketa adat,  adalah alua jo patuik, maka pemegang kendali alua jo patuik itu adalah tuanku ke-1 ialah ninik mamak.
c.  Hukum: Raso jo Pareso
            Raso jo pareso keseimbangan antara perasaan dengan rasional (pikiran). Dalam tatanan adat raso pareso ini didayagunakan untuk pengambilan keputusan hukum. Karena itu raso jo pareso berfungsi sebagai Hukum dalam kehidupan Minang.
Kalau fungsi cadiak pandai tagak di pintu teliti/ penyidik/ periksa maka pemegang pilar raso pareso ini adalah tuanku ke- 3 yakni cadiak pandai.

3.        Revitalisasi dan Pelatihan Pemangkua Adat
Tak heran misalnya pemangku adat yang baru diangkat, jika terksean belum berdaya dan lemah dalam memiliki tiga persyaratan berperan tadi secara sosiologis. Mereka (1) masih canggung dan di mana harus memulai untuk aktif melakukan kegiatan di kaumnya dan berinteraksi dengan kaum yang lain dan pemerintah karena belum banyak tahu bagaimana kebijakan pemerintah di Sumatera Barat amat peduli dengan pembangunan “terpadu adat dan agama” dalam kerangka penerapan nilia-nilai filosofi “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dengan strategi dan Syara’ Mangato – Adat Mamakai (SM-AM) dan Alam Takambang Jadi Guru (ATJG) ke arah pembentukan karakter yang beradat dan agamis;  (2) status yang dimilikinya sebagai pemangku adat adalah baru, sudah barang tentu perlu penguatan dan pemberdayaan, dan (3) pembangku adat yang baru dimungkinkan juga belum punya kharisma dan  masih perlu bersosialisasi dan berinteraksi dengan fungsionaris tali tigo sapilin, dengan kaum-kaum yang lain dan pemerintah mulai dari nagari sampai ke tingkat provinsi bahkan nasional, yang sudah barang tentu berkaitan dengan eksistensinya dalam kaum dan nagarinya.
Karenanya sebagai sebuah solusi, perlu kebijakan program kegiatan pelatihan peguatan peran pemangku adat ini, secara terus menerus dilakukkan lembaga adat seperti LKAAM dan KAN sebagai urat tunggangnya, didukung oleh didukung pemkab/ kota dan Pemprov Sumatera Barat dengan pendanaan APBD dioperasionalakan melalui Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Masyarakat – Kesbangpolmas. Ini, sebagai upaya penguatan dan pemberdayaan dan merevitalisai peranan pamangku adat terutama yang baru diangkat itu untuk berperan optimal di kaumnya, di nagari dan bersama pemerintah sebagai mitra pembangunan daerah.***



[1]Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM Sumatera Barat, Ketua Dewan Adat dan Syara’ nagari Taluk Batangkapas, Pesisir Selatan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Makalah disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November 2012.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger