Oleh Yulizal Yunus[1]
(Yulizal Yunus, Dosen Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol.
Makalah Presentasi Seminar Fakultas Ilmu Budaya - Adab IAIN Imam Bonjol, 13
Desember 2012.)
Boleh dikatakan hamper kami (saya dan pak nursyirwan,
karena kepepet waktu penyelenggaraan yang berakibat tergesa menulis kertas
kerja) menafsirkan sendiri-sendiri ttg topic ini. Karena saya sebelum menulis
kertas kerja ini, belum membaca makalah pak nursyirwan yang harus saya
apresiasi (merespon dan menanggapi). Karenanya saya menafsirkan sendiri terhadap
kemungkinan yang akan dikatakan (dimakalahkan) pak Nursyirwan.
Kedua dari pengamatan saya pembicaraa purifikasi
Islam di Indonesia tidaklah topic baru dan actual, tetapi menjadi menarik
(actual dan kreatif), ketika dikaitkan dengan nasib ABS-SBK yang menjadi
consensus dan filosofi masyarakat subkultur Minangkabau. Karena orang
Minangkabau sendiri juga sudah punya komitmen dan strategi melaksanakan janji
itu dengan SM-AM (Syara’ Mangato - Adat Mamakai) dan ATJG (Alam Takambang Jadi
Guru). Justru baik oleh actor pembangunan: pemerintah daerah maupum lembaga
masyarakat, untuk saat ini sedang getol mencari indicator pembangunan terpadu
agama dan adat dalam upaya melaksanakan janji (konsesus) orang Minang ini.
Mencari indicator ini pak Gubernur sendiri menyebut sulit, disbanding mencari
indicator pembangunan agama dan atau pembangunan adat saja yang tak terlalu
sulit.
Tuanku Imam Bonjol, sebuah nama Besar,
pahlawan Nasional yang berjasa merintis perjuangan kemerdekaan dengan memimpin
Perang Paderi pada dasawarsa ke-3 dan ke-4 abad ke-19 untuk melawan
kolonialisme Belanda. Status kepahlawananya dikukuhkan dengan Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 087/TK/ 1973, Tanggal 6 Nopember 1973. Sudah
banyak para penulis menulis sejarah kebesarannya, namun Tuangku Imam Bonjol
sebagai Imam dan Ulama masih belum banyak mengemuka.
Kebesaran nama besar Tuanku
Imam ini, sudah dipakai IAIN Padang ini sejak awal berdirinya bahkan sejak
yayasan perintis yang dipimpin Azhari yakni Yayasan Imam Bonjol. Penggunaan
nama besar pahlawan ini terkandung maksud supaya dapat mengindentifikasi
semangat juang, semangat kepahlawan Tuanku Imam Bonjol. Setidaknya menjadikan
menumental peringatan bagi setiap insane akademisi Institut Agama Islam ini,
agar mampu menjadi imam masyarakat Sumatera Barat dan di Nasional umumnya, di
samping dapat mengingat jasa besar pahlawan bangsa kelahiran daerah sendiri dan
menghayati nilai perjuangannya, sikap keimanannya, dan yang lebih penting lagi
profil seorang Imam Masyarakat, Pahlawan di Medan Juang dalam menegakkan
kebenaran Islam dan memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia pada
dasawarsa ke-3 dan ke-4 abad ke-19 itu.
Tentang kepahlawanan dan
lokasi makam Tuanku Imam Bonjol, akhir-akhir ini menjadi polemik yang
cenderung meragukan. Kalaulah generasi kita ragu tentang kebesaran Pahlawan
Bangsa yang bernama Imam Bonjol ini, alangkah risihnya perasaan kita dan tentu
kita sendiri akan bertanya: "Apakah kita terlanjur punya nama besar
itu?".
Namun kita tidak
berprasangka seburuk itu, agaknya kecenderungan meragukan Tuanku Imam Bonjol
sebagai pahlawan wafat tanggal 8 Nopember dan berkubur di Lotak-Menado itu,
merupakan pancingan supaya kita lebih giat menggali nilai-nilai ke-imam-annya
di dalam masyarakat, dan nilai perjuangannya sebagai pahlawan bangsa dan dapat
dihayati dan diteruskan sebagai upaya pengisian generasi muda yang diharapkan
lahir sebagai generasi pembangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya.
Tak kalah pentingnya mengajar
generasi muda jeli terhadap permasalahan sejarah.
Drama kolosal Sejarah Imam
Bonjol karya Wisran Hadi di Teater Bumi misalnya yang pernah dipentaskan di Taman Budaya, di Don Bosko
dan di Jakarta, tak kurang "besar pancingannya" agar generasi muda
terpancing kembali bagaimana yang sebetulnya Tuanku Imam Bonjol itu, dan
menghayati nilai perjuangannya, di mana Drama Klosal itu mengkritik
habis-habisan mempreteli ketokohan dan kepahlawan serta keimanan Tuanku Imam
Bonjol alias Peto Syarif alias Muhammad Sahab yang lahir tahun 1772 di Tanjung
Bungo - Bonjol, Pasaman itu.
Tuanku Imam Bonjol dalam drama kolosal itu dilukiskan
tidak sebagai seorang Pimpinan Perang Paderi (1821-1837), tetapi lebih buruk
dari itu digambarkan sebagai manusia biasa yang kadang juga memperlihatkan
berpendirian lemah, ragu-ragu, kaku dan tidak mempunyai kebijaksanaan. Ini
dimungkinkan, karena Wisran Hadi menampilkan Imam Bonjol sebagai seorang
manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam sebuah fenomena sejarah
(Yulizal Yunus, 1983). Bahkan mementaskan kekonyolan Tuanku Imam Bonjol serta
kekalalannya di Medan Juang, malah sebagai seorang Imam dilukiskan sebagai
seorang suami di mana membiarkan isterinya terlibat takhayul, bida’ah dan
ch(kh)urafat (TBC).
Yang ditampilkan sebagai pahlawan dalam. drama itu
ialah seorang tokoh lagendaris "Tuangku Nan Rencelr" seorang murid
radikal dari Tuanku Nan Tuo itu.
Benar
saja. pancingan drama kolosal sejarah tuanku Imam Bonjol karya Wisran Hadi itu
berhasil, sehingga terjadi polemik nasional yang nyaris kepahlawanan Tuanku
Imam Bonjol itu menjadi masalah dan kontroversial.
Pertama kali muncul beberapa tanggapan terhadap drama
kolosal itu di Surat Kabar daerah. Surat Kabar Harian Umum Semangat memakai
seluruh lembaran Seni Budayanya menanggapi drama itu dengan munculnya slogan di
atas beberapa artikel tanggapan: "Dimana "Tuanku Imam Bonjol?"
Dus Skh. Indenpenden Singgalang menurunkan para wartawannya menapaki jejak perjuangan
Tuangku Imam Bonjol. lalu di antaranya bertubi-tubinya repostase. Skh.
Singgalang, muncul Surat Nasionalnya harian Kompas Jakarta, di samping dimuat
koran Daerah Sumatera Barat.
Sesudah Surat Nasional itu, polemik semakin
berjadi-jadi, dan Skh. Singgalang terus melacak jejak Tuanku, Skh. Semangat
menurunkan polemik Zaidin Bakri dengan Yusuf Abdullah Puar, demikian
pula majalah Selecta di Jakarta menurunkan pula artikel bersambung dalam tiga
nomor: 1105, 1106 dan 1107 dan sampai pula turun tanggan tokoh Rusli Amran
penulis gemilang yang berhasil menulis Sejarah Sumatera Barat hingga Pelakat
Panjang.
Generasi muda. Pemuda pelajar
putra Minangkabau, di Jakarta buru-buru menemui Adam Malik dan Emil Salim untuk
menanyakan permasalahan Tuanku Imam Bonjol. Kepada mereka diharapkan supaya
menghimpun data domestik lebih banyak, kalau masih belum memadai cari ke negeri
Belanda.
Lalu permasalahan itu pernah muncul
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sumatera Barat disuarakan oleh
seorang anggota Dewan Akmal Sidik kepada eksekutif dan eksekutif menjawab:
"Masalahnya akan diteliti".
Narnun bagi kita, tetap ada
perinsip dan yakin: "Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan". Lalu soal
di mana ia berkubur di Lotak atau di Bonjol sendiri, yang penting tuanku Imam
Bonjol adalah pahlawan. Kalau di Lotak itu yang terkubur wakil utama Tuanku
Imam Bonjol bernama Tuanku Syahbuddin, mari keduanya kita catat sebagai pahlawan.
Nah kalau di Lotak kuburan pahlawan itu dipanggar, maka di Bonjol perlu pula
seperti demikian. Dan syukurlah prinsip itu sudah mendapat perhatian para ahli
sejarah. Yusuf Abdullah Puar menulis buku Sejarah Tuanku Imam Bonjol, yang
lebih permanent.
Lalu bagaimana usaha kita sekarang
sehingga nilai-nilai perjuangan pahlawan Tuanku Imam Bonjol lestari dihati
generasi muda kita. Tidaklah ingat. bahwa beliau
pernah jadi guru Agama di Tanjung Bungo bukan?
Hutang IAIN yang memakai nama Imam
Bonjol bekerjasama dengan Pemkab Pasaman untuk meneliti penelitian secara
ilmiah, di samping nilai kepahlawanannya, juga ke-Imam-annya, diterbitkan
menjadi hand-book yang dapat diwariskan dari satu generasi ke genarasi
berikutnya.Kalau sejarah yang saat ini beredar
melihat tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan tegasnya nilai perjuangan
kemerdekaan yang muncul dari tokoh pemimpin perang Paderi (Perang Hitam Putih)
ini, perlu dicatat, di
samping mewariskan karakter pribadi besar itu sebagai seorang Imam dan ulama
terkemuka abad ke 19 itu.
Upaya ini memang perlu.
Penulisan ilmiah mengenai ini langka sekali. Bahkan boleh dikatakan belum ada
yang menulis bahwa Tuanku Imam Bonjol itu sebagai seorang Ulama dan Imam
Kharismatik. Pernah IAIN Imam Bonjol meneliti tetapi belum terpokus kepada
pembicaraan Imam Bonjol sebagai pahlawan yang ulama.
Purifikasi (pemurnian) Islam
Penelitian ini mengungkap hubungan sosial gerakan purifikasi Islam
dengan tradisi masyarakat. Adapun tujuan penelitiannya adalah untuk membuktikan
tesis Geertz (1960) yang menyebutkan agama sebagai sistem kebudayaan tidak
hanya memainkan peranan yang itegratif dan menciptakan harmoni sosial dalam
masyarakat, akan tetapi juga berperanan memecah belah.
Penelitian ini dilakukan di wilayah pedesaan Kecamatan Trucuk,
Klaten, Jawa Tengah. Waktu untuk melakukan studi lapangan dimulai bulan Maret
hingga Oktober 2006. Sebagai subjek penelitian terdiri dari dua
kelompok sosial, yaitu: (1) kelompok gerakan purifikasi Islam adalah dai, guru,
dan pimpinan Muhammadiyah cabang Kecamatan Trucuk, dan (2) kelompok tradisi
masyarakat adalah jurukunci, modin, kyai, dalang, dan pengrawit. Metode
pengumpalan data yang paling utama adalah observasi berpartsipasi (participant
observer), dan sesudahnya menggunakan wawancara mendalam serta studi
pustaka/dokumentasi. Dalam penelitian ini mempergunakan pendekatan etnografi.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa bentuk gerakan purifikasi
Islam sesuai dengan ideologi dan ekspresi identitasnya berusaha untuk
mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan
purifikasi Islam dilaksanakan melalui: (1) Pengajian Ahad Pagi, (2) Gerakan
Tarjih, (3) Pembinaan Masyarakat. Tradisi masyarakat juga masih semarak, antara
lain: (1) tradisi ziarah, (2) tradisi alam, dan (3) tradisi siklus hidup
manusia. Gerakan purifikasi Islam merupakan bentuk penetrasi terhadap tradisi
masyarakat. Proses penetrasi itu mendapat reaksi dari masyarakat tradisi,
sehingga terjadi benturan nilai-nilai. Kehadiran seni wayang sadat yang
dikendalikan oleh penciptanya sekaligus dalangnya, Ki Suryadi yang juga anggota
gerakan purifikasi Islam memberikan kesejukan bagi kehidupan masyarakat
pedesaan. Perannya di masyarakat adalah mampu mendudukkan persoalan yang
menjadi benturan nilai-nilai antara budaya yang dibawa oleh gerakan purifikasi
Islam dengan tradisi masyarakat. Dengan demikian tesis Geertz (1960) yang
menyebutkan agama sebagai sistem kebudayaan tidak hanya memainkan peranan yang
itegratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, akan tetapi juga
berperanan memecah belah terbukti.
***
Gerakan Wahabbi ( Purifikasi Islam ? ) menyusup ke seluruh Indonesia dengan dukungan dana yang besar dari Arab Saudi Leave a comment
http://ridwanmustofa.wordpress.com/2010KECURIGAAN banyak orang terhadap ideologi wahabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik.
Gerakan wahabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ”perantara positif” sekaligus ”hikmah”. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ”keras” dan ”ekstrem”.
Beberapa hasil penelitian menemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup ke sekolah umum, yaitu SMU. Siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan yang diincar oleh pendukung ideology radikalisme. Targetnya bahkan menguasai organisasi siswa intra sekolah (OSIS), paling tidak bagian rohani Islam (ROHIS).
Tampaknya jaringan ini telah mengakar dan menyebar di berbagai sekolah, sehingga perlu dikaji dan diresponi secara serius, baik oleh pihak sekolah, pemerintah dan orangtua. Kita tentu senang anak-anak itu belajar agama. Tetapi yang mesti diwaspadai adalah ketika ada penyebar ideology radikal yang kemudian memanfaatkan symbol, sentimen dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash) pada mereka yang masih pemula belajar agama untuk tujuan yang justeru merusak agama dan menimbulkan konflik.
Ada beberapa ciri dari gerakan ini yang perlu diperhatikan oleh guru dan orangtua.
Pertama, para tutor penyebar ideologi kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan. Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemeritahan taghut, syaitan, karena tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai dasarnya. Pemerintahan manapun dan siapapun yang tidak berpegang pada Al-Qur’an berarti melawan Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan.
Kedua, para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera. Kalaupun melakukan, itu semata hanya untuk mencari selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya dan etika berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama.
Ketiga, ikatan emosional pada ustadz, senior dan kelompoknya lebih kuat dari ikatan keluarga dan almamaternya. Keempat, kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat tertutup dengan menggunakan lorong dan sudut-sudut sekolah sehingga terkesan sedang studi kelompok. Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat.
Kelima, bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah dikenakan membayar uang sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lalukan. Jika merasa besar dosanya, maka semakin besar pula uang penebusannya.
Keenam, ada di antara mereka yang mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai dengan ajaran Islam serta bersikap sinis terhadap yang lain.
Ke tujuh, umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasiq dan kafir sebelum melakukan hjrah bergabung dengan mereka.
Ke delapan, mereka enggan dan menolak mendengarkan ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an masih dangkal, namun mereka merasa paling benar keyakinan agamanya sehingga meremehkan dan bahkan membenci ustad di luar kelompoknya.
Kesembilan, di antara mereka itu ada yang kemudian keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustadz dan intelektual di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi.
JUGA MENYUSUP KE KAMPUS-KAMPUS
Mengingat jaringan Islam yang tergolong garis keras (hardliners) menyebar di berbagai SMU di kota-kota Indonesia, maka sangat logis kalau pada urutannya mereka juga masuk ke ranah perguruan tinggi. Bahkan, menurut beberapa sumber, alumni yang sudah duduk sebagai mahasiswa selalu aktif berkunjung ke almamaternya untuk membina adik-adiknya yang masih di SMU. Ketika adik-adiknya masuk ke Perguruan Tinggi, para seniornya inilah yang membantu beradabtasi di kampus sambil memperluas jaringannya.
Beberapa sumber menyebutkan, kampus adalah tempat yang strategis dan leluasa untuk menyebarkan gagasan radikalisme ini dengan alasan di kampuslah kebebasan berpendapat, berdiskusi dan berkelompok dijamin. Kalau di tingkat SMU pihak sekolah dan guru sesungguhnya masih mudah intervensi, tidaklah demikian halnya di kampus. Mahasiswa memiliki kebebasan karena jauh dari orangtua dan dosen pun tidak akan mencampuri urusan pribadinya.
Namun karena interaksi intelektual berlangsung intensif, deradikalisasi di kampus lebih mudah dilakukan dengan menerapkan materi dan metode yang tepat. Penguatan mata kuliah Civic Education dan Pengantar Studi Islam secara konprehensif dan kritis oleh Professor ahli mestinya dapat mencairkan faham keislaman yang ekslusif dan sempit serta merasa paling benar.
Sejauh ini kelompok-kelompok radikal mengindikasikan adanya hubungan famili dan persahabatan yang terbina di luar wilayah sekolah dan kampus. Yang patut diselidiki juga menyangkut dana. Para aktivis radikalis itu tidak saja bersedia mengurbankan tenaga dan pikiran, namun rela tanpa di bayar untuk memberikan ceramah keliling. Lalu kalau berbagai kegiatan itu memerlukan dana, diri mana sumbernya? Ini juga suatu teka-teki.
Disinyalir memang ada beberapa organisasi keagamaan yang secara aspiratif dekat atau memiliki titik singgung dengan gerakan garis keras ini. Mereka bertemu dalam hal tidak setia membela NKRI dan Pancasila sebagai ideologi serta pemersatu bangsa. Mereka tidak bisa menghayati dan menghargai bahwa Islam memiliki surplus kemerdekaan dan kebebasan di negeri ini. Di Indonesia ini ada Parpol Islam, Bank Syariah, UU Zakat dan Haji dan sekian fasilitas yang diberikan pemerintah untuk pengembangan agama. Kalau pun umat Islam tidak maju atau merasa kalah, lakukanlah kritik diri, tetapi jangan rumah bangsa ini dimusuhi dan dihancurkan karena penghuni terbanyak yang akan merugi juga umat Islam.
Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.
Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.
Kita berharap baik Mendiknas maupun Menag menaruh perhaian serius terhadap gerakan radikalisasi keagamaan di kalangan pelajar.
di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalaf yang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi’in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.
Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.
Posted on November 26, 2007 by Alumni
Sejarah http://alumnisejarahunand.wordpress.com/
http://alumnisejarahunand.files.wordpress.com/2007/11/pak-wann.jpgOleh
Wannofri Samry
Kontroversi pahlawan nasional yang
akhir-akhir ini mengemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai,
semestinya dilihat dari berbagai aspek, jangan hanya dilihat dari sisi
ideologis. Masalah itu semestinya juga ditempatkan secara metodologis.
Pandangan ideologis adalah pandangan sektarian yang jauh dari kaedah-kaedah
ilmiah dan bisa menimbulkan perpecahan. Untuk itu semestinya segala masalah
sejarah dilihat secara metodologis dan historis dengan menempatkannya dalam
iklim sosial-politik yang berkembang pada masa tersebut.Konsep
Pahlawan Nasional
Bagi sejarawan konsep Pahlawan Nasional memang dalam kondisi “dilematis”, masalahnya pengangkatan seorang tokoh menjadi Pahlawan nasional tergantung pada seklompok orang yang dikukuhkan dengan SK Presiden. Akhirnya banyak tokoh yang sangat pantas menjadi Pahlawan nasional dan diakui di tengah masyarakat namun tidak diakui secara formal oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Seperti Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam yang berjuang sejak zaman pergerakan, pernah menduduki Menteri Penerangan, dikagumi Soekarno, tokoh politik yang memberik corak dalam peta politik bangsa tidak diakui pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Pada hal Sejarawan sekaliber Prof.. Taufik Abdullah, Dr . Anhar Gonggong, Dr. Mestika Zed dan Dr. Gusti Asnan dan lain-lain, sudah merekomendasikan dan mendukung agar pemerintah mengukuhkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Tragisnya, sejarah dipegang penguasa, Natsir ditolak sebagai Pahlawan nasional. Nasib M. Natsir bukan sendiri, Bung Tomo, Sutan Takdir Alisjahbana yang memperjuangkan kebudayaan sejak pergerakan, Hamka, dll masih belum diakui sebagai Pahlawan nasional. Anehnya, banyak tokoh-tokoh lokal yang tidak dikenal sejarah nasional justru dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional.
Bagi sejarawan konsep Pahlawan Nasional memang dalam kondisi “dilematis”, masalahnya pengangkatan seorang tokoh menjadi Pahlawan nasional tergantung pada seklompok orang yang dikukuhkan dengan SK Presiden. Akhirnya banyak tokoh yang sangat pantas menjadi Pahlawan nasional dan diakui di tengah masyarakat namun tidak diakui secara formal oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Seperti Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam yang berjuang sejak zaman pergerakan, pernah menduduki Menteri Penerangan, dikagumi Soekarno, tokoh politik yang memberik corak dalam peta politik bangsa tidak diakui pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Pada hal Sejarawan sekaliber Prof.. Taufik Abdullah, Dr . Anhar Gonggong, Dr. Mestika Zed dan Dr. Gusti Asnan dan lain-lain, sudah merekomendasikan dan mendukung agar pemerintah mengukuhkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Tragisnya, sejarah dipegang penguasa, Natsir ditolak sebagai Pahlawan nasional. Nasib M. Natsir bukan sendiri, Bung Tomo, Sutan Takdir Alisjahbana yang memperjuangkan kebudayaan sejak pergerakan, Hamka, dll masih belum diakui sebagai Pahlawan nasional. Anehnya, banyak tokoh-tokoh lokal yang tidak dikenal sejarah nasional justru dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional.
Tampaknya pemerintah melihat pengangkatan seseorang jadi pahlawan
nasional sangat kental aspek politiknya. Seperti Natsir, ia mempunyai banyak
pengikut di Indonesia bahkan intenasional, namun karena politik pemerintah
tidak sesuai dengan aliran politiknya pemerintah enggan untuk mengangkatnya
sebagai Pahlawan Nasional.
Sestinya pemerintah menetapkan kriteria yang jelas dalam mengangkat
seseorang sebagai Pahlawab Nasional serta mengikutkan dan mendengarkan para
sejarawan. Kasus pengangkatan M. natsir tampaknya pemerintah tidak mendengarkan
para sejarawan.
Jika konsep Pahlawan Nasional saat ini rancu, mungkin perlu
dimunculkan konsep lain, seperti Pahlawan Nasional Pra Indoinesia. Sebab secara
aklamasi Indonesia baru muncul tahun 1928, dan secara spirit mulai muncul pada
awal abad ke-20. Sebelumnya Indonesia disebuat oleh kolonial Belanda Nedherland
Indie atau ada juga yang menyebut Moei Indie. Ternyata, kalau para Pahlawan
Nasional kita yang di SK-kan pemerintah itu belum mengenal Indonesia. Banyak
diantara mereka hidup di lingkungan budaya mereka.
Namun perubahan cara pandang terhadap Pahlawan nasional tidak bisa
dilakukan secara ideologis dan etnis, sebab ini sangat berbahaya untuk kesatuan
dan persatuan bangsa Indonesia. Perubahan apapun dalam penulisan sejarah mesti
dilakukan secara metodologis, mencakup sumber, konsep, metode dan pisau
analisis. Karena itu gugatan terhadap Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, dalam
hemat saya adalah gugatan yang sektarian dan tidak fair secara hisstoriografi.
Gerakan Paderi dan Kebijakan Kolonial
Gerakan paderi mestinya tidak dilihat hanya dalam kontek lokal di
lingkaran Paderi, sebab ia juga berhubungan dengan kebijakan kolonial Belanda.
Kolonial Belanda dalam kebijakannya mengadakan politik diskriminatif dan
politik adu domba. Berhubungan dengan itu Belanda menganut polilik
naturalisasi. Artinya mendukung berkembangnya budaya lokal dan menekan
perkembangan Islam. Sebab Islam dalam masa penjajahan termasuk progresif dalam
menentang kolonilaisme. Selain itu juga menopang sepenuh penyebaran agama
kristen sebagai lawan Islam. Artinya pribumi diadu dengan pribumi. Penasehat
kebijakan politik ini adalah Snouck Hougronje, ia selalu menekan Islam yang
integratif dan mendukung Islam secara budaya. Dalam kontek itu budaya lokal
didukung dan orang-orangnya dirangkul ke pihak kolonial. Namun guru-guru
mengaji, kaum pemikir dan pergerakan Islam ditindas dan disisihkan. Bahkan pada
awal pasca awal abad ke-20, pemegang kekuasaan lokal seperti kaum adat dan
raja-raja kecil banyak yang terjebak ke pangkuan kolonial Belanda. Pemegang
otoritas lokal tersebut digaji dan anak-anak mereka disekolahkan di sekolah
kolonial pada masa berikutnya. Jadi kolonial Belanda sengaja menciptakan gap
yang besar dan rasa sakit hati yang dalam di lingkungan pribumi. Karena itu
dalam kontek ini terjadi benturan antara kaum adat dan Islam serta kristen
dengan wasitnya kolonial Belanda.
Di Minangkabau sendiri kaum adat terangan-terangan mendukung
kolonial Belanda yang di mata kaum paderi adalah “kafir”. Jadi radikalisme itu
sesunggunya disulut juga oleh model kebijakan kolonial Belanda yang pro adat
dan diskriminatif.
Mengenai ekspansi Paderi ke Tanah Batak, ini juga dilihat secara
hati-hati. Apakah ini penyerangan tanpa ada sebab atau bagaimana? Di bahagian
utara mesti diketahui, Belanda sedang mendukung perkembangan agama kristen yang
nanti bisa dibenturkan dengan penyebaran Islam yang semarak di bahagian
selatan. Sejauh yang diamati mengenai kebijakan Tuanku Imam Bonjol bahwa ia
adalah tokoh yang moderat, yang bisa berdampingan dengan kaum adat. Justru adat
basandi syarak dan syarak basandi kitabullah, besar kemungkinan muncul dari
Tuanku Imam Bonjol. Dalam Keterangan Hamka (Dari Penbendaharaan Lama, Terbit
Pertama 1963) disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol(TIB) adalah orang yang tidak
menyukai kekerasan. Sikap itu terlihat dari sikap TIB dalam menyusun persatuan
antara ulama dan kaum adat di Bonjol. Menurut Hamka sikap Tuanku Nan Renceh
yang membunuh eteknya dan Tuanku Lintau yang membunuh keluarga Pagaruyung tidak
didukung oleh Tuanku Imam Bonjol. Pertentangan kekerasan itu juga terjadi dalam
gerakan Padri lainnya (Lihat Naskah Faqih Saghir).
Momen gugatan terhadap Imam Bonjol semestinya menjadi titik balik
bagi pemerintah Repubik Indonesia untuk memperhatikan penulisan sejarah dan
budaya secara sunggguhh-sungguh. Karena itu sudah semestinya pemerintah melalui
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pariwisata, Seni dan Budayan beserta
lembaga-lembaga terkait seperti Museum dan Lembaga Arsip untuk untuk
memperhatikan secara serius mengenai arsip-arsip sejarah, termasuk arsip
sejarah daerah. Selama ini bagi pemerintah, lembaga Arsip dan Museum
seakan-akan lembaga sempalan dan tempat pegawai-pegawai yang tidak produktif.
Sementara saat sejarah Indonesia dipertanyakan semua orang, termasuk pemerintah
kewalahan dalam menjawabnya.
Sesuai dengan perkembangan demokrasi, maka pada masa yang akan
datang gugatan-gugatan sejarah akan makin sering dilakukan. Kalau ini tidak
disalurkan dan diberikan jawaban maka juga bisa mengancam integrasi bangsa.
Karena itu, sepantasnya pemerintah mendukung dan mewujudkan Komisi Pelurusan
Sejarah Indonesia, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh sejarawan Asvi
Warman Adam. Komisi ini bersama-sama dengan lembaga terkait menyusun strategi
untuk mengembalikan arsip-arsip sejarah yang ada di luar negeri, terutama yang
ada di negeri Belanda. Selain itu Komisi Pelurusan sejarah juga menyusun
strategi untuk mengumpulkan arsip-arsip sejarah yang masih ada di dalam negeri.
Hal ini diharapkan memberikan jalan atau solusi dalam berbagai kontroversial
sejarah pada masa yang akan datang.
*Wannofri Samry, Dosen Jurusan Sejarah Unand dan Direktur Pusat
Studi Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan Universitas Andalas.
Rujukan:
1. Sutiyono Tradisi Masyarakat dan
Gerakan Purifikasi Islam
di Trucuk, Klaten, Jawa Tengah http://senisosiologi.wordpress.com/2010/
2.Gerakan Wahabbi ( Purifikasi Islam ? ) Menyusup ke Seluruh Indonesia dengan Dukungan Dana yang Besar dari Arab Saudi Leave a comment, http://ridwanmustofa.wordpress.com/2010
Persis dan Pemurnian Islam (1)
Jumat, 24 Agustus 2012, 13:58 WIB
islamedia.web.id
REPUBLIKA.CO.ID, Keberadaan penjajah Belanda di Indonesia
telah melahirkan semangat persatuan dan keberagamaan umat Islam. Sebab, kedatangan penjajah ke bumi Nusantara telah membawa sejumlah peradaban baru yang sebagian di antaranya tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sementara itu, tingkat keberagamaan umat Islam juga mulai bercampur dengan kebiasaan dan tradisi yang menurut beberapa tokoh tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.
Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi Nusantara. Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis).
Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdid) Islam. Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Sebagaimana diketahui, gerakan pembaruan Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1802 atau bersamaan dengan kembalinya sejumlah ulama Indonesia dari Tanah Suci Makkah. Para ulama ini melihat secara langsung gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arab.
Mereka kemudian mengembangkan gerakan tajdid. Melalui gerakan tersebut, para ulama ini berupaya meluruskan semua praktik ibadah di kalangan masyarakat Muslim yang masih bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Praktik ibadah seperti itu dipandang tidak sesuai dengan Alquran dan sunah.
Semangat dan isi gerakan pembaruan Islam ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Mereka yang mendukung gerakan ini menamakan diri sebagai kelompok modernis Islam.
####
Gerakan Pemikiran Muhammadiyah: Antara
Purifikasi dan Modernisasi http://www.uin-malang.ac.id
|
Ditulis oleh Mujtahid
|
||
Senin, 15 Agustus 2011 10:55
|
||
BANYAK Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang menyatakan
bahwa abad XX merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur.
Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa
kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada
negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah
"bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam
yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana."[i]
Hanya dengan Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan
berkembang dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang
menyamai kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai abad XX, kebangkitan
Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat spektakuler dengan
ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam). Organisasi keagamaan ini lahir
dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut
diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah
dan Nahdhatul Ulama'.[ii]
Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark
dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain.
Dari sekian banyak gerakan
tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang paling
diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh
Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan akademis. Tidak diragukan
lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul banyak dari kalangan
Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah memberikan andil besar
terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.
A. Setting Historis
Lahirnya gerakan keagamaan ala
Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di
Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa
sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan "eksperimen
sejarah" yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan yang dihadapi
Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan ideologi luar yang
sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia. Tantangan yang tumbuh
dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya
dalam menderukan gerakan amar ma'ruf nahi mungkar, sedangkan
tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah
pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang turut
melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek. Sedikitnya
ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah.
Pertama,
faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap
tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam
masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis
dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah
warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa,
khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni
pencampuradukan dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada
sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul
dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan
supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi
dalam masalah ibadah atau yang disebut bid'ah, yakni praktek keagamaan yang
tidak ada dasarnya yang jelas baik dari al-qur'an maupun as- sunnah.
Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan
pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang
sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa
kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya pembaharuan Timur
Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[iii]
Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat
Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad
19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad
13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak
dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai
abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan
dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua
gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum
ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah
Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain
yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung kelahiran
Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para sarjana, yaitu
penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh besar yang telah
ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak penting, harus
tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor
yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada
tahun 1912 M.[iv]
Menurut Alwi Shihab ada dua
alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia agak menyepelekan
"faktor misi Kristen" ini. Alasan pertama adalah keengganan mereka
untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan pertentangan tersembunyi antara
kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang
berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan pemerintah yang berlebihan yang
menyangkut berbagai isu yang berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan
antargolongan). Hal ini menjadi penting khusunya ketika isu tersebut
dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk
memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam
oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah
munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat
beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu
ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya
pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa
Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan Muslim-Kristen
yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai upaya menjaga
keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan yang sangat
signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini bisa kita tilik
bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian bertambah besar, sementara
umat Islam tidak terlalu signifikan dalam mengimbangi proses pertumbuhan itu.
Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8
persen, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada
tahun 1990. Peningkatan jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa
dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik
keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade
1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.
B. Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)
Salah satu ciri yang cukup
menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Purifikasi
(pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa
Arab disebut ‘tajdid',
dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan
yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya
memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada mulanya, Muhammadiyah
dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan
ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid'ah dan
Khurafat. [v]
Cita-cita dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri
sebenarnya menghadapi konteks kehidupan keagamaan yang bercorak ganda;
sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan berdiri
ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi
Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan
golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi
Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.[vi]
Dalam Muhammadiyah, purifikasi
adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk
yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan
dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat
industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari
segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru
dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya
Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya
Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya
adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap
dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam
dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid'ah dan khurafat, merupakan
bukti yang menjelaskan itu.
Muhammadiyah berusaha
mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan
menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan "pemurnian"
(purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-sumber budaya lama
untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi lama dengan etos yang
baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya
pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi terlebih
dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri
yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga
sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi
memang lebih terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[vii]
Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat)
merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap
menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses Islamisasi yang
dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah.
Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk
rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan
masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan.
Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada
makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk
jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat
Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung,
sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut
penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga
percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih
(berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula
bermacam-macam ajian, petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan
perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan
irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi al-quran, yaitu makhluk
yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan
bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang
mekanistis. Dan kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat,
do'a, dan zikir, akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris.
Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah
rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga
melakukan demistifikasi.
Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat
Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme
menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif.
Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid)
adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu juga
Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang
dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz
sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang
agraris (deso)
menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah
menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal
sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala
perkotaaan.
Gerakan pemurnian agama oleh
Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural. Keutuhan
masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini
terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri
dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan
puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang
berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ‘'sing
mbau rekso" juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa
karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat
berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan
kesejahteraan desa.[viii]
Lebih lanjut, Kuntowijoyo
menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah membawa
resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk
budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam
kesatuankesatuan masyarakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi,
pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial
masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi
dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi
ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu.
Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke
desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga menimbulkan
keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah
laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara
guru-murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah,
seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan hubungan berdasarkan kontrak
daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren,
hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat.
Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam
tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam
konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan
hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah Muhammadiyah
masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus
global yang mengelilinginya?
Gerakan purifikasi
Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran
terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah
penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas
sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan
mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris.
Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan
elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat
menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata
pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah
memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid
yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha
memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi,
tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu
didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi
historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau
adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan
kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga
muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial
profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi.
Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita
sosial-etiknya di masa depan.[ix]
Masih menurut Kuntowijoyo,
bahwa humanisasi
adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak
mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan
kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi
di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi
juga berkecenderungan reduksionistik yang melihat manusia secara
parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari
kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita
menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran
teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita
ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri.
Adapun tujuan transendensi adalah
menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah
arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu
harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi
transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan di atas jelas
nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam mengahadapi
tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu
dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi
sekarang adalah memperkuat basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilai sosial-religius.
Salah satu tantangan global
adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan. Untuk
itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana
sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat
purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi
Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos
keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat
diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental
dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan
bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.[x]
C. Modernisasi (Tajdid)
Model gerakan Muhammadiyah
yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah
pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah
gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas
berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur'an dan As-
Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi
pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.[xi]
Secara etimologi, tajdid
berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan
sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika
dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah
usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi
pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan
perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis
dalam membumikan konteks waktu dan ruang.[xii]
Gerakan tajdid dalam
Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama, pemahaman
atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai
mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini
berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri Rasulullah.
Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri
Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan
statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan
otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini
ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan
bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang
dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk
menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral
yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam
ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam
pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan oleh para sahabat,
terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang
persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam
menang perang.[xiii]
Muhammadiyah sebagai gerakan
tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu
berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara
konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu,
Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu
berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya
perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa
genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh
Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat
dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid
al syari'ah.
Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.
Tuntutan masyarakat agraris
jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada
masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat
industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini
akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih dengan Pengembangan
Pemikiran Islam.
Semula yang hanya mengurusi
masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang
menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama,
gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang.
Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin meluas jangkauannya. Sehingga
yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan antara dimensi
"normativitas" wahyu dengan "historisitas" pemahaman
wahyu. Jadi wilayah al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah, dan Tajdid
atau Ijtihad[xiv] berjalan sealur dan
seirama.
Muhammadiyah dengan tajdidnya
akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan bergulir. Tajdid
bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi
kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana
yang benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan dan meremajakan problema
meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan
kehilangan elan
vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat
terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti
mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.
Dinamisasi yang ada pada tubuh
Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks "normatifitas"
dengan teks "historisitas".
Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan
bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma'un
kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak
hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusaha concern
terhadap problem sosial yang harus memperoleh perhatian serius.
Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat
mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit),
Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.
*)
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
[i] Taufik Adnan Amal, Islam
dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan,
Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata
pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
[ii] Mustafa Kamal dan
Ahmad Adaby, Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis),
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal. 55-58.
[iii] Shihab, Alwi, Membendung
Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125.
[v] Tobroni, dan Syamsul
Arifin, Islam
Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam
Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
[vii] Amin Abdullah,
Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah,
No 08/TH, ke 83. April 1998.
[x] M. Amin Abdullah, Dinamika
Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan,
Bandung, 2000, hal. 147.
[xi] Amien Rais, dalam
bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos
Publishing House, Jakarta, 1995, hal vii. Lebih lanjut dapat dibaca
dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, diterbitkan
oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M.
Musawir), 1996.
[xii][xii] Ahmad Syafi'i
Ma'arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis
Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995,
hal xi.
|
||
Wahabi dan Paderi | Pembaharuan Dalam Pemikiran Islam
Istilah 'wahabi'
sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Dan pengindentifikasian
wahabi kepada sebagian umat Islam pun kurang objektif. Dan orang-orang yang
dijuluki sebagai 'wahabi' juga menolak penamaan ini kepada diri mereka.
Gerakan paderi yang oleh ummat Islam dinilai sebagai salah satu
gerakan anti kolonialisme ini dituduh terlibat dalam pembunuhan massal,
pembantaian dan penjualan manusia. Lebih lanjut lagi, Tuanku Imam Bonjol dan
Tuanku Tambusai yang merupakan pemimpin Paderi diminta untuk dipertanyakan
dan dicopot statusnya sebagai pahlawan nasional.
Saat Islam jatuh ke jurang keruntuhan (abad ke-18),
kerusakan budi dan moral amat parah. Pendidikan terhenti, pemerintahan
menjadi despotis, kadang terjadi anarki, agama membeku, ketauhidan yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW telah diselubungi khurafat, mesjid-mesjid
ditinggalkan oleh golongan besar yang awam, azimat dan penangkal penyakit
merajalela sebagai “kepercayaan baru” umat, menziarahi kuburan “orang-orang
keramat” mentradisi, pemujaan terhadap “orang-orang suci” yang dijadikan
sebagai “perantara” komunikasi dengan tuhan, menggejala. Minum arak dan
mengisap candu jadi hal biasa, pelacuran merajalela, dan akhlak merosot serta
kehormatan diri rusak.
Dunia Islam diliputi kegelapan. Tapi tiba-tiba,
bergemalah seruan dari padang pasir yang luas – tempat lahir Islam di tanah
Arab – memanggil Umat Islam kembali ke jalan yang benar. Adalah Muhammad bin
Abdul Wahab yang menggemakan seruan itu. Ia menggerakkan Umat Islam untuk
memperbaiki jiwa dan membangkitkan kemegahan dan kebesaran Islam.
Abdul Wahab adalah sosok pembaharu yang cukup berpengaruh
sekaligus berhasil menggedor mata hati umat. Ia melancarkan gerakan
pembaharuannya berdasarkan ide-ide Ibnu Taimiyah. Gerakannya ini dikenal
dengan Wahabiyah atau Wahabisme, suatu gerakan pemurnian ajaran Islam yang
berkembang menjadi gerakan pembaharuan pemikiran umat Islam.
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di desa Ainiyah Nejed pada
tahun 1703M/1115H. Ia lahir di tengah lingkungan masyarakat yang berpegang
teguh pada ajaran Islam yang sederhana dan asli, sesuai dengan watak Arabnya.
Semenjak kecil Abdul Wahab amat tertarik mendalami agama.
Pada tahap awal, ia belajar agama pada ayahnya sendiri, yaitu Abdul Wahab,
seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah. Pada usia remaja, seusai menunaikan
ibadah haji, untuk kedua kalinya ia pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu dan
tinggal di sana. Di Madinah ia berguru pada dua orang ulama bernama Sulaiman
al Kurdi dan Muhammad Hajad al Sindi. Setelah itu, ia melanjutkan
petualangannya ke Irak, tepatnya ke Basrah selama 4 tahun dan Baghdad 5
tahun.
Di Baghdad ia menikah dengan wanita kaya raya. Ketika
istrinya meninggal, ia merantau lagi ke Kurdistan selama 1 tahun, dan selama
beberapa tahun ke Hamadan dan Isfahan (Iran). Ia pun mendalami ilmu filsafat
dan tasawuf selama di Iran. Akhirnya, ia kembali lagi ke Nejed.
Dalam perantauannya, Abdul Wahab menyaksikan berbagai
bentuk praktek agama yang – menurutnya – jauh menyimpang dari ajaran Islam
yang murni. Ia melihat maraknya pemujaan terhadap wali, kuburan, dan
lain-lain. Salah satu aspek yang cukup mendapat perhatian dari Abdul Wahab
adalah masalah taklid (mengikuti pendapat/paham orang lain secara membabi
buta) yang merupakan sumber kebekuan atau kejumudan pemikiran Umat Islam
sendiri. Padahal untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an dan
Hadits, orang harus berijtihad. Karena itu, pintu ijtihad tidak perlu
ditutup.
Ketika kembali ke Nejed Abdul Wahab bertekad untuk
menyebarkan reformasi dan pemurnian Islam, menggedor pintu hati dan pikiran
umat. Pada tahun 1714 M, di usia yang masih muda, ia memulai gerakan
pembaharuannya berdasarkan ide-ide pembaharuan Islam Ibnu Taimiyah yang telah
didalaminya melalui kitab-kitabnya. Lahirnya Wahabisme yang kata Rifyal
Ka’bah dalam Islam dan Fundamentalisme (1984), menyalahkan pemujaan
orang-orang shaleh dan menentang semua khurafat dan bid’ah. Wahabisme telah
menjiwai gerakan untuk kembali pada monoteisme (tauhid) seperti yang ada di
masyarakat Islam pada permulaan sejarah Islam.
Praktek-praktek bid’ah dan syirik dipandang Abdul Wahab
sebagai situasi jahiliyah. Pokok pemikirannya lebih terarah pada “gerakan
pemurnian ajaran tauhid” yang muncul sebagai reaksi atas paham ajaran tauhid
yang berkembang (dan menyimpang).
Gerakan Wahabisme makin berkembang berkat dukungan
seorang penguasa Nejed, yakni Muhammad Ibnu Saud. Lambat laun padang pasir
Arab ditempa oleh “duet” Wahab – Saud dan menjadi kesatuan politik keagamaan,
seperti yang diwujudkan Nabi Muhammad SAW. Muhammad Ibnu Saud memang menjadi
pengikut Wahabisme fanatik pertama dan utama. Keturunannya pun hingga
sekarang, yakni keluarga kerajaan Arab Saudi, menjadi pendukung utama
Wahabisme.
Abdul Wahab wafat tahun 1787M/1206H. Awal abad XX
Wahabisme bangkit kembali di bawah kepemimpinan putera Muhammad Ibnu Saud,
yakni Abdul Aziz Ibnu Saud. Penguasa Nejed yang baru, berhasil menaklukan
Makkah (1924), Madinah (1925), Jeddah, dan daerah sekitarnya. Pada tahun 1926
ia mengumumkan dirinya sebagai raja Hijaz. Tahun 1932 ia mendirikan kerajaan
Arab Saudi. Secara turun temurun, keturunannya pun menjadi Raja Saudi, hingga
Raja Fahd saat ini.[1]
b. Pengertian Wahabi dan Hubungannya
dengan Mazhab Fiqh
Istilah 'wahabi' sebenarnya bukan istilah baku dalam
literatur Islam. Dan pengindentifikasian wahabi kepada sebagian umat Islam
pun kurang objektif. Dan orang-orang yang dijuluki sebagai 'wahabi' juga
menolak penamaan ini kepada diri mereka. Meski mereka pendukung Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, namun mereka bilang bahwa yang ulama adalah
Muhammad, bukan Abdul Wahhab. Abdul Wahhab adalah ayahnya.Tetapi untuk memudahkan
menyebutannya, untuk sementara bolehlah kita gunakan istilah ini, meski kita
letakkan di tengah tanda kutip.
Sebenarnya penyebutan `Wahabi` bila kita runut dari asal
katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap
Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau
1703-1791 M).Beliau lahir di Uyainah, salah satu wilayah di jazirah Arab.
Sebenarnya secara fiqih, beliau lahir dan dibesarkan serta belajar Islam
dalam mazhab Hanbali.
Dakwah beliau banyak disambut ketika beliau datang di
Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat
sat yaitu amir (pangeran) Muhammad bin Su`ud, yang berkuasa 1139-1179 H. Oleh
Amir Muhammad bin Su'ud, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam
gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Sebenarnya agak sulit juga untuk menjelaskan hubungan
antara 'wahabi' dengan keempat mazhab fiqih. Sebab keduanya tidak saling
terkait dan bukan dua hal yang bisa dibandingkan.
Kalau mazhab fiqih adalah gerakan ilmiyah dalam bidang
ilmu fiqih, sehingga mampu membuat sistem dan metodologi ilmiyah dalam
mengistimbath hukum dari dalil-dalil yang bertaburan baik dalam Al-Quran
maupun As-Sunnah, maka gerakan wahabi lebih merupakan gerakan dakwah
memberantas syirik dan bid'ah, ketimbang aktifitas keilmuan.
Kalau para ahli fiqih empat mazhab adalah pelopor di
bidang ijtihad dan mereka hidup di awal perkembangan Islam, sekitar abad
pertama dan kedua hijriyah, maka sosok Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sosok
yang hidup di akhir zaman, muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan
berpikir pemikiran dunia Islam.Sekitar 2 abad yang lampau atau tepatnya pada
abad ke-12 hijriyah. Intinya, apa yang beliau lakukan adalah menyerukan agar
aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan
segala manifestasinya.
Fenomena umat yang dihadapi antara para imam mazhab
dengan Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berbeda konteksnya. Di zaman para
fuqaha mazhab, umat Islam sedang mengalami masa awal dari kejayaan, peradaban
Islam sedang mengalami perluasan ke berbagai penjuru dunia. Sehingga
dibutuhkan sistem hukum yang sistematis dan bisa menjawab problematika hukum
dan fiqih.
Sementara fenomena sosial umat di zaman Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahhab sangat berbeda. Saat itu umat Islam sedang mengalami masa
kemundurannya.Salah satu fenomenanya adalah munculnya banyak penyimpangan
dalam praktek ibadah, bahkan menjurus kepada bentuk syirik dan bid'ah. Banyak
dari umat Islam yang menjadikan kuburan sebagai tempat pemujaan dan meminta
kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan takhayyul
menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib seolah menjadi
alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan umat Islam.
Itulah fenomena kemunduran umat saat di mana Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab
hidu saatitu. Maka beliaumengajak dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan
aqidah ini.
Berbeda dengan para fuqaha fiqih di zaman awal yang
mendirikan madrasah keilmuan sera melahirkan jutaan judul kitab fiqih dan
literatur, Syeikh Muhammad bin Abdul WAhhab tidak pernah melahirkan buku
berjilid-jilid, beliau hanya menulis beberapa risalah (makalah pendek) untuk
menyadarkan masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah Kitab
At-Tauhid yang hingga menjadi rujukan banyak ulama aqidah.
Dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dibantu oleh
penguasa, kemudian melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk
khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam
yang asli. Dalam prakteknya sehari-harinya, para pengikutnya lebih
mengedepankan aspek pelarangan untuk membangun bangunan di atas kuburan,
menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang
meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir
dan tukang teluh. Mereka juga melarang ber-tawassul dengan menyebut nama
orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan
fulan.
Dakwah beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah
salafiyah. Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang aqidah yang telah
lama jumud dan beku akibat kemunduran dunia Islam.
Sebenarnya kalau mau dirunut di atas, para pendukung
gerakan wahab ini -suka atau tidak suka- tidak bisa lepas dari sebuah metode
penyimpulan hukum tertentu. Dan secara umum, yang berkembang secara alamiyah
di negeri mereka adalah mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Dan nama-nama tokokh
ulama rujukan mereka, semuanya secara alamiyah bermazhab Hanbali.
Meski banyak dari pendukung wahabi ini mengaku tidak
terikat dengan mazhab fiqih tertentu, namun tulisan, makalah, buku pelajaran
serta fatwa-fatwa ulama mereka, nyaris tidak bisa dipisahkan dari mazhab
Al-Hanabilah.
Memang ada sebagian dari pendukung atau sosok yang
ditokohkan oleh para pendukung gerakanini yang secara tegas memisahkan diri
dari mazhab mana pun. Katakanlah salah satunya, Syeikh Nasiruddin Al-Albani
rahimahullah. Beliau sejak muda telah mengobarkan semangat anti mazhab fiqih.
Seolah mazhab-mazhab fiqih itu lebih merupakan sebuah masalah ketimbang
solusi di mata beliau. Maka muncul perdebatan panjang antara beliau dengan
para ulama fiqih mazhab. Salah satunya perdebatan antara beliau dengan Syeikh
Dr. Said Ramadhan Al-Buthy. Para ulama fiqih tentu tidak terima kalau
dikatakan bahwa mazhab fiqih itu merupakan bentuk kebodohan, kejumudan,
taqlid serta suatu kemungkaran yang harus diperangi.
Sayangnya, sebagian dari murid-murid beliau ikut-ikutan
memerangi para ahli fiqih dengan berbagai literatur mazhabnya dan hasil-hasil
ijtihad para fuqaha'.. Padahaldi sisi lain, pendapat-pendapat Syeikh
Al-Albani pun tetap merupakan ijtihad dan tidak bisa lepas dari penafsiran
dan pemahaman, meski tidak sampai berbentuk sebuah mazhab.Yang sering
dijadikan bahan kritik adalah beliau melarang orang bertaqlid kepada suatu
mazhab tertentu, namun beliau membiarkan ketika orang-orang bertaqlid
kepadadirinya.
Awalnya, oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap
sebagai pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan
Mahdiyah, Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh
di Mesir dan gerakan lainnya di benua India. Namun para penerusnya kelihatan
lebih mengkhususkan diri kepada bentuk penghancuran bid'ah-bid'ah yang ada di
tengah umat Islam. Bahkan hal-hal yang masih dianggap khilaf, termasuk yang
dianggap seolah sudah bid'ah yang harus diperangi. Mungkin memang sebagian
umat Islam ada yang merasakan arogansi dari kalangan pendukung dakwah
Wahabiyah ini. Hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Syeikh Abdul Wahhab dan Penguasa
Sebagaimana kita ketahui, di jazirah Arabia, Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahhab berkolaborasi dengan penguasa. Maka lewat tangan
penguasa, beliau melancarkan dakwahnya. Dan ciri khas penguasa, segala
sesuatu ditegakkan dengan kekuasaan. Karena penguasa pegang harta, wewenang
dan hukum, maka wajar bila pendekatannya lebih bersifat vonis dan
punnishment. Inilah barangkali yang unik dari dakwah wahabi dibandingkan
dengan dakwah lainnya yang justru biasanya ditindas oleh penguasa.
2. Fenomena Kultur Masyarakat
Barangkali gaya yang lugas, kalimat yang menukik, vonis
dan kecaman kepada para penyeleweng memang tepat untuk kultur masyarakat
tertentu. Misalnya kultur masyarakat padang pasir di jazirah arab yang memang
keras.
Kalau dakwah hanya menghimbau dan merayu, mungkin
dianggap kurang efektif dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Maka
ketika pendekatan yang agak 'keras' dirasakan cukup efektif, jadilah
pendekatan ini yang terbiasa dibawakan. Sayangnya, ketika masuk ke negeri
lain yang kultur masyarakatnya tidak sejalan, metode pendekatan ini
seringkali menimbulkan kesan 'arogan'. Dan rasanya, memang itulah yang selama
ini terjadi.[2]
|
||
c. Wahabisme dan Gerakan Pemurnian
Pemikiran Islam dan Streotip Negatif
III. Paderi
Pada diri anak-anak Indonesia sudah tertanam sejak
sekolah dasar bahwa gerakan Padri adalah gerakan antikolonial. Dua tokohnya,
Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, adalah pahlawan nasional. Gerakan Padri
diketahui sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan
syariat Islam. Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera
Barat bersih dari unsur kultural.
Gerakan perang Paderi dilatarbelakangi perintah langsung
Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa
Minangkabau Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik dan Haji Miskin. Mereka
bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan Turki, 1802.
Mereka tidak dihukum mati. Kompensasinya, mereka harus membuka cabang Gerakan
Wahabi sesampai di kampung halaman. [6]
a. Asal-Usul Kelompok Paderi
Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan pada
Kolonel Haji Piobang. Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja
Abdullah Ibn Saud, cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku
Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak.
Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan
mengobrak abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan
dan lembah Danau Toba. Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi
memancung kepala Singamangaradja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibukota
Dinasti Singamangaradja tahun 1819.
Pongkinangolngolan merupakan anak hasil perkawinan
sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya Pangeran Gindoporang
Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak dari Singamangaradja X.
Pongkinangilngolan seperti dituturkan Onggan Parlindungan dibuang karena
dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga.
Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau dan bekerja
pada Datuk Bandaharao Ganggo. Pada waktu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji
Sumanik tiga tokoh pembaharuan abad ke-19 baru kembali dari Mekah, mereka
mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mashab Hambali ke Mandailing
mendapat dukungan Tuanku Nan Renceh. karib Datu Bandaharao. Renceh terkesima
dengan mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngloan. Pongkinangolngolan
rupanya sangat baik digunakan dalam rangka merebut dan menduduki tanah Batak.
Oleh Tuanku Nan Renceh, Pongkinangolngolan diberi nama Panglima Umar bin
Katab. Sebagai perwira Paderi, Pongkinangolngolan diang\kat dengan gelar
Tuanku Rao. [7]
b. Paderi dan Anarkhisme
Adalah merupakan kecenderungan umum, meski tentu saja
tidak benar, bahwa gerakan pemurnian maupun fundamentalisme selalu dituduh
merupakan bentuk lain dari anarkhisme. Baik Wahabisme di Arab maupun Paderi
di Indonesia dituduh telah melakukan gerakan anarkhis.
Gerakan padri yang oleh ummat Islam dinilai sebagai salah
satu gerakan anti kolonialisme ini dituduh terlibat dalam pembunuhan massal,
pembantaian dan penjualan manusia. Lebih lanjut lagi, Tuanku Imam Bonjol dan
Tuanku Tambusai yang merupakan pemimpin Paderi diminta untuk dipertanyakan
dan dicopot statusnya sebagai pahlawan nasional.
Alasan yang dikemukakan mengagetkan, sekaligus ironis.
Imam Bonjol bertanggung jawab atas pembantaian lokal. Gerakan Padri diketahui
sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan syariat Islam.
Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera Barat bersih dari
unsur kultural. Sayangnya, pemurnian memakan korban besar. Keluarga Istana
Pagaruyung dijagal, di Tanah Batak terjadi pembunuhan massal. Dalam tragedi
itu disebutkan banyak perempuan dirampas, diperjualbelikan. [8]
Tuanku Imam Bonjol dan Tambusai dianggap mengetahui
segala kekerasan itu tapi tidak mencegahnya. Mereka yang berusaha memahami
kedua tokoh itu beranggapan adab lokal yang melegalkan perbudakan membuat
keduanya memaklumi penjualan gadis. Penyerbuan ke Pagaruyung dan Tanah Batak,
di mata yang pro, seakan dibenarkan sebab dua daerah itu memihak kolonial.
|
[1]Yulizal Yunus, Dosen Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol.
Makalah Presentasi Seminar Fakultas Ilmu Budaya - Adab IAIN Imam Bonjol, 13
Desember 2012.
Posting Komentar