Headlines News :
Home » » Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol Dan Masa Depan ABS – SBK di Minangkabau

Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol Dan Masa Depan ABS – SBK di Minangkabau

Written By Unknown on Jumat, 22 November 2013 | 15.05



Oleh Yulizal Yunus[1]
(Yulizal Yunus, Dosen Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol. Makalah Presentasi Seminar Fakultas Ilmu Budaya - Adab IAIN Imam Bonjol, 13 Desember 2012.)


Boleh dikatakan hamper kami (saya dan pak nursyirwan, karena kepepet waktu penyelenggaraan yang berakibat tergesa menulis kertas kerja) menafsirkan sendiri-sendiri ttg topic ini. Karena saya sebelum menulis kertas kerja ini, belum membaca makalah pak nursyirwan yang harus saya apresiasi (merespon dan menanggapi). Karenanya saya menafsirkan sendiri terhadap kemungkinan yang akan dikatakan (dimakalahkan) pak Nursyirwan.

Kedua dari pengamatan saya pembicaraa purifikasi Islam di Indonesia tidaklah topic baru dan actual, tetapi menjadi menarik (actual dan kreatif), ketika dikaitkan dengan nasib ABS-SBK yang menjadi consensus dan filosofi masyarakat subkultur Minangkabau. Karena orang Minangkabau sendiri juga sudah punya komitmen dan strategi melaksanakan janji itu dengan SM-AM (Syara’ Mangato - Adat Mamakai) dan ATJG (Alam Takambang Jadi Guru). Justru baik oleh actor pembangunan: pemerintah daerah maupum lembaga masyarakat, untuk saat ini sedang getol mencari indicator pembangunan terpadu agama dan adat dalam upaya melaksanakan janji (konsesus) orang Minang ini. Mencari indicator ini pak Gubernur sendiri menyebut sulit, disbanding mencari indicator pembangunan agama dan atau pembangunan adat saja yang tak terlalu sulit.



     Tuanku Imam Bonjol, sebuah nama Besar, pahlawan Nasional yang berjasa merintis perjuangan kemerdekaan dengan memimpin Perang Paderi pada dasawarsa ke-3 dan ke-4 abad ke-19 untuk melawan kolonialisme Belanda. Status kepahlawananya dikukuhkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 087/TK/ 1973, Tanggal 6 Nopember 1973. Sudah banyak para penulis menulis sejarah kebesarannya, namun Tuangku Imam Bonjol sebagai Imam dan Ulama masih belum banyak mengemuka.
Kebesaran nama besar Tuanku Imam ini, sudah dipakai IAIN Padang ini sejak awal berdirinya bahkan sejak yayasan perintis yang dipimpin Azhari yakni Yayasan Imam Bonjol. Penggunaan nama besar pahlawan ini terkandung maksud supaya dapat mengindentifikasi semangat juang, semangat kepahlawan Tuanku Imam Bonjol. Setidaknya menjadikan menumental peri­ngatan bagi setiap insane akademisi Institut Agama Islam ini, agar mampu menjadi imam masyarakat Sumatera Barat dan di Nasional umumnya, di samping dapat mengingat jasa besar pahlawan bangsa kelahiran daerah sendiri dan menghayati nilai perjuangannya, sikap keimanannya, dan yang lebih penting lagi profil seorang Imam Masyarakat, Pahlawan di Medan Juang dalam menegakkan kebenaran Islam dan memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia pada dasawarsa ke-3 dan ke-4 abad ke-19 itu.
Tentang kepahlawanan dan lokasi makam Tuanku Imam Bonjol, akhir­-akhir ini menjadi polemik yang cenderung meragukan. Kalaulah generasi kita ragu tentang kebesaran Pahlawan Bangsa yang bernama Imam Bonjol ini, alangkah risihnya perasaan kita dan tentu kita sendiri akan bertanya: "Apakah kita terlanjur punya nama besar itu?".
Namun kita tidak berprasangka seburuk itu, agaknya kecenderungan meragukan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan wafat tanggal 8 Nopember dan berkubur di Lotak-Menado itu, merupakan pancingan supaya kita lebih giat menggali nilai-nilai ke-imam-annya di dalam masyarakat, dan nilai perjuangannya sebagai pahlawan bangsa dan dapat dihayati dan diteruskan sebagai upaya pengisian generasi muda yang diharapkan lahir sebagai generasi pembangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Tak kalah pen­tingnya mengajar generasi muda jeli terhadap permasalahan sejarah.
Drama kolosal Sejarah Imam Bonjol karya Wisran Hadi di Teater Bumi misalnya yang pernah dipentaskan di Taman Budaya, di Don Bosko dan di Jakarta, tak kurang "besar pancingannya" agar generasi muda terpancing kembali bagaimana yang sebetulnya Tuanku Imam Bonjol itu, dan menghayati nilai perjuangannya, di mana Drama Klosal itu mengkritik habis-habisan mempreteli ketokohan dan kepahlawan serta keimanan Tuanku Imam Bonjol alias Peto Syarif alias Muhammad Sahab yang lahir tahun 1772 di Tanjung Bungo - Bonjol, Pasaman itu.
Tuanku Imam Bonjol dalam drama kolosal itu dilukiskan tidak sebagai seorang Pimpinan Perang Paderi (1821-1837), tetapi lebih buruk dari itu digambarkan sebagai manusia biasa yang kadang juga memperlihatkan berpendirian lemah, ragu-ragu, kaku dan tidak mempunyai kebijaksanaan. Ini dimungkinkan, karena Wisran Hadi menampilkan Imam Bonjol sebagai seorang manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam sebuah fenomena sejarah (Yulizal Yunus, 1983). Bahkan mementaskan kekonyolan Tuanku Imam Bonjol serta kekalalannya di Medan Juang, malah sebagai seorang Imam dilukiskan sebagai seorang suami di mana membiarkan isterinya terlibat takhayul, bida’ah dan ch(kh)urafat (TBC).
Yang ditampilkan sebagai pahlawan dalam. drama itu ialah seorang tokoh lagendaris "Tuangku Nan Rencelr" seorang murid radikal dari Tuanku Nan Tuo itu.
Benar saja. pancingan drama kolosal sejarah tuanku Imam Bonjol karya Wisran Hadi itu berhasil, sehingga terjadi polemik nasional yang nyaris kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol itu menjadi masalah dan kontroversial.
Pertama kali muncul beberapa tanggapan terhadap drama kolosal itu di Surat Kabar daerah. Surat Kabar Harian Umum Semangat memakai seluruh lembaran Seni Budayanya menanggapi drama itu dengan munculnya slogan di atas beberapa artikel tanggapan: "Dimana "Tuanku Imam Bonjol?" Dus Skh. Indenpenden Singgalang menurunkan para wartawannya menapaki jejak per­juangan Tuangku Imam Bonjol. lalu di antaranya bertubi-tubinya repostase. Skh. Singgalang, muncul Surat Nasionalnya harian Kompas Jakarta, di sam­ping dimuat koran Daerah Sumatera Barat.
Sesudah Surat Nasional itu, polemik semakin berjadi-jadi, dan Skh. Singgalang terus melacak jejak Tuanku, Skh. Semangat menurunkan polemik Zaidin Bakri dengan Yusuf Abdullah Puar, demikian pula majalah Selecta di Jakarta menurunkan pula artikel bersambung dalam tiga nomor: 1105, 1106 dan 1107 dan sampai pula turun tanggan tokoh Rusli Amran penulis gemilang yang berhasil menulis Sejarah Sumatera Barat hingga Pelakat Panjang.
Generasi muda. Pemuda pelajar putra Minangkabau, di Jakarta buru-buru menemui Adam Malik dan Emil Salim untuk menanyakan permasala­han Tuanku Imam Bonjol. Kepada mereka diharapkan supaya menghimpun data domestik lebih banyak, kalau masih belum memadai cari ke negeri Belan­da.
Lalu permasalahan itu pernah muncul di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sumatera Barat disuarakan oleh seorang anggota Dewan Akmal Sidik kepada eksekutif dan eksekutif menjawab: "Masalahnya akan diteliti".
Narnun bagi kita, tetap ada perinsip dan yakin: "Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan". Lalu soal di mana ia berkubur di Lotak atau di Bonjol sendiri, yang penting tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan. Kalau di Lotak itu yang terkubur wakil utama Tuanku Imam Bonjol bernama Tuanku Syahbuddin, mari keduanya kita catat sebagai pahlawan. Nah kalau di Lotak kuburan pahlawan itu dipanggar, maka di Bonjol perlu pula seperti demikian. Dan syukurlah prinsip itu sudah mendapat perhatian para ahli sejarah. Yusuf Abdullah Puar menulis buku Sejarah Tuanku Imam Bonjol, yang lebih permanent.­
Lalu bagaimana usaha kita sekarang sehingga nilai-nilai perjuangan pahlawan Tuanku Imam Bonjol lestari dihati generasi muda kita. Tidaklah ingat. bahwa beliau pernah jadi guru Agama di Tanjung Bungo bukan?
Hutang IAIN yang memakai nama Imam Bonjol bekerjasama dengan Pemkab Pasaman untuk meneliti penelitian secara ilmiah, di samping nilai kepahlawanannya, juga ke-Imam-annya, diterbitkan menjadi hand-book yang dapat diwariskan dari satu generasi ke genarasi berikutnya.Kalau sejarah yang saat ini beredar  melihat tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan tegasnya nilai perjuangan kemerdekaan yang muncul dari tokoh pemimpin perang Paderi (Perang Hitam Putih) ini, perlu dicatat, di samping mewariskan karakter pribadi besar itu sebagai seorang Imam dan ulama terkemuka abad ke 19 itu.
Upaya ini memang perlu. Penulisan ilmiah mengenai ini langka sekali. Bahkan boleh dikatakan belum ada yang menulis bahwa Tuanku Imam Bonjol itu sebagai seorang Ulama dan Imam Kharismatik. Pernah IAIN Imam Bonjol meneliti tetapi belum terpokus kepada pembicaraan Imam Bonjol sebagai pahlawan yang ulama.



Purifikasi (pemurnian) Islam
Penelitian ini mengungkap hubungan sosial gerakan purifikasi Islam dengan tradisi masyarakat. Adapun tujuan penelitiannya adalah untuk membuktikan tesis Geertz (1960) yang menyebutkan agama sebagai sistem kebudayaan tidak hanya memainkan peranan yang itegratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, akan tetapi juga berperanan memecah belah.
Penelitian  ini dilakukan di wilayah pedesaan Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Waktu untuk melakukan studi lapangan dimulai bulan Maret  hingga Oktober  2006. Sebagai subjek penelitian terdiri dari dua kelompok sosial, yaitu: (1) kelompok gerakan purifikasi Islam adalah dai, guru, dan pimpinan Muhammadiyah cabang Kecamatan Trucuk, dan (2) kelompok tradisi masyarakat adalah jurukunci, modin, kyai, dalang, dan pengrawit. Metode pengumpalan data yang paling utama adalah observasi berpartsipasi (participant observer), dan sesudahnya menggunakan  wawancara mendalam serta studi pustaka/dokumentasi. Dalam penelitian ini mempergunakan pendekatan etnografi.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa bentuk gerakan purifikasi Islam sesuai dengan ideologi dan ekspresi identitasnya berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan purifikasi Islam dilaksanakan melalui: (1) Pengajian Ahad Pagi, (2) Gerakan Tarjih, (3) Pembinaan Masyarakat. Tradisi masyarakat juga masih semarak, antara lain: (1) tradisi ziarah, (2) tradisi alam, dan (3) tradisi siklus hidup manusia. Gerakan purifikasi Islam merupakan bentuk penetrasi terhadap tradisi masyarakat. Proses penetrasi itu mendapat reaksi dari masyarakat tradisi, sehingga terjadi benturan nilai-nilai. Kehadiran seni wayang sadat yang dikendalikan oleh penciptanya sekaligus dalangnya, Ki Suryadi yang juga anggota gerakan purifikasi Islam memberikan kesejukan bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Perannya di masyarakat adalah mampu mendudukkan persoalan yang menjadi benturan nilai-nilai antara budaya yang dibawa oleh gerakan purifikasi Islam dengan tradisi masyarakat. Dengan demikian tesis Geertz (1960) yang menyebutkan agama sebagai sistem kebudayaan tidak hanya memainkan peranan yang itegratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, akan tetapi juga berperanan memecah belah terbukti.
***

Gerakan Wahabbi ( Purifikasi Islam ? ) menyusup ke seluruh Indonesia dengan dukungan dana yang besar dari Arab Saudi   Leave a comment

http://ridwanmustofa.wordpress.com/2010
KECURIGAAN banyak orang terhadap ideologi wahabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik.
Gerakan wahabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ”perantara positif” sekaligus ”hikmah”. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ”keras” dan ”ekstrem”.
Beberapa hasil penelitian menemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup ke sekolah umum, yaitu SMU. Siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan yang diincar oleh pendukung ideology radikalisme. Targetnya bahkan menguasai organisasi siswa intra sekolah (OSIS), paling tidak bagian rohani Islam (ROHIS).
Tampaknya jaringan ini telah mengakar dan menyebar di berbagai sekolah, sehingga perlu dikaji dan diresponi secara serius, baik oleh pihak sekolah, pemerintah dan orangtua. Kita tentu senang anak-anak itu belajar agama. Tetapi yang mesti diwaspadai adalah ketika ada penyebar ideology radikal yang kemudian memanfaatkan symbol, sentimen dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash) pada mereka yang masih pemula belajar agama untuk tujuan yang justeru merusak agama dan menimbulkan konflik.
Ada beberapa ciri dari gerakan ini yang perlu diperhatikan oleh guru dan orangtua.
Pertama, para tutor penyebar ideologi kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan. Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemeritahan taghut, syaitan, karena tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai dasarnya. Pemerintahan manapun dan siapapun yang tidak berpegang pada Al-Qur’an berarti melawan Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan.
Kedua, para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera. Kalaupun melakukan, itu semata hanya untuk mencari selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya dan etika berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama.
Ketiga, ikatan emosional pada ustadz, senior dan kelompoknya lebih kuat dari ikatan keluarga dan almamaternya. Keempat, kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat tertutup dengan menggunakan lorong dan sudut-sudut sekolah sehingga terkesan sedang studi kelompok. Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat.
Kelima, bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah dikenakan membayar uang sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lalukan. Jika merasa besar dosanya, maka semakin besar pula uang penebusannya.
Keenam, ada di antara mereka yang mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai dengan ajaran Islam serta bersikap sinis terhadap yang lain.
Ke tujuh, umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasiq dan kafir sebelum melakukan hjrah bergabung dengan mereka.
Ke delapan, mereka enggan dan menolak mendengarkan ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an masih dangkal, namun mereka merasa paling benar keyakinan agamanya sehingga meremehkan dan bahkan membenci ustad di luar kelompoknya.
Kesembilan, di antara mereka itu ada yang kemudian keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustadz dan intelektual di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi.
JUGA MENYUSUP KE KAMPUS-KAMPUS
Mengingat jaringan Islam yang tergolong garis keras (hardliners) menyebar di berbagai SMU di kota-kota Indonesia, maka sangat logis kalau pada urutannya mereka juga masuk ke ranah perguruan tinggi. Bahkan, menurut beberapa sumber, alumni yang sudah duduk sebagai mahasiswa selalu aktif berkunjung ke almamaternya untuk membina adik-adiknya yang masih di SMU. Ketika adik-adiknya masuk ke Perguruan Tinggi, para seniornya inilah yang membantu beradabtasi di kampus sambil memperluas jaringannya.
Beberapa sumber menyebutkan, kampus adalah tempat yang strategis dan leluasa untuk menyebarkan gagasan radikalisme ini dengan alasan di kampuslah kebebasan berpendapat, berdiskusi dan berkelompok dijamin. Kalau di tingkat SMU pihak sekolah dan guru sesungguhnya masih mudah intervensi, tidaklah demikian halnya di kampus. Mahasiswa memiliki kebebasan karena jauh dari orangtua dan dosen pun tidak akan mencampuri urusan pribadinya.
Namun karena interaksi intelektual berlangsung intensif, deradikalisasi di kampus lebih mudah dilakukan dengan menerapkan materi dan metode yang tepat. Penguatan mata kuliah Civic Education dan Pengantar Studi Islam secara konprehensif dan kritis oleh Professor ahli mestinya dapat mencairkan faham keislaman yang ekslusif dan sempit serta merasa paling benar.
Sejauh ini kelompok-kelompok radikal mengindikasikan adanya hubungan famili dan persahabatan yang terbina di luar wilayah sekolah dan kampus. Yang patut diselidiki juga menyangkut dana. Para aktivis radikalis itu tidak saja bersedia mengurbankan tenaga dan pikiran, namun rela tanpa di bayar untuk memberikan ceramah keliling. Lalu kalau berbagai kegiatan itu memerlukan dana, diri mana sumbernya? Ini juga suatu teka-teki.
Disinyalir memang ada beberapa organisasi keagamaan yang secara aspiratif dekat atau memiliki titik singgung dengan gerakan garis keras ini. Mereka bertemu dalam hal tidak setia membela NKRI dan Pancasila sebagai ideologi serta pemersatu bangsa. Mereka tidak bisa menghayati dan menghargai bahwa Islam memiliki surplus kemerdekaan dan kebebasan di negeri ini. Di Indonesia ini ada Parpol Islam, Bank Syariah, UU Zakat dan Haji dan sekian fasilitas yang diberikan pemerintah untuk pengembangan agama. Kalau pun umat Islam tidak maju atau merasa kalah, lakukanlah kritik diri, tetapi jangan rumah bangsa ini dimusuhi dan dihancurkan karena penghuni terbanyak yang akan merugi juga umat Islam.
Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.
Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.
Kita berharap baik Mendiknas maupun Menag menaruh perhaian serius terhadap gerakan radikalisasi keagamaan di kalangan pelajar.
di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalaf yang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi’in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.
Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.


Posted on November 26, 2007 by Alumni Sejarah http://alumnisejarahunand.wordpress.com/
Kontroversi pahlawan nasional yang akhir-akhir ini mengemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, semestinya dilihat dari berbagai aspek, jangan hanya dilihat dari sisi ideologis. Masalah itu semestinya juga ditempatkan secara metodologis. Pandangan ideologis adalah pandangan sektarian yang jauh dari kaedah-kaedah ilmiah dan bisa menimbulkan perpecahan. Untuk itu semestinya segala masalah sejarah dilihat secara metodologis dan historis dengan menempatkannya dalam iklim sosial-politik yang berkembang pada masa tersebut.Konsep
Pahlawan Nasional
Bagi sejarawan konsep Pahlawan Nasional memang dalam kondisi “dilematis”, masalahnya pengangkatan seorang tokoh menjadi Pahlawan nasional tergantung pada seklompok orang yang dikukuhkan dengan SK Presiden. Akhirnya banyak tokoh yang sangat pantas menjadi Pahlawan nasional dan diakui di tengah masyarakat namun tidak diakui secara formal oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Seperti Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam yang berjuang sejak zaman pergerakan, pernah menduduki Menteri Penerangan, dikagumi Soekarno, tokoh politik yang memberik corak dalam peta politik bangsa tidak diakui pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Pada hal Sejarawan sekaliber Prof.. Taufik Abdullah, Dr . Anhar Gonggong, Dr. Mestika Zed dan Dr. Gusti Asnan dan lain-lain, sudah merekomendasikan dan mendukung agar pemerintah mengukuhkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Tragisnya, sejarah dipegang penguasa, Natsir ditolak sebagai Pahlawan nasional. Nasib M. Natsir bukan sendiri, Bung Tomo, Sutan Takdir Alisjahbana yang memperjuangkan kebudayaan sejak pergerakan, Hamka, dll masih belum diakui sebagai Pahlawan nasional. Anehnya, banyak tokoh-tokoh lokal yang tidak dikenal sejarah nasional justru dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional.
Tampaknya pemerintah melihat pengangkatan seseorang jadi pahlawan nasional sangat kental aspek politiknya. Seperti Natsir, ia mempunyai banyak pengikut di Indonesia bahkan intenasional, namun karena politik pemerintah tidak sesuai dengan aliran politiknya pemerintah enggan untuk mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.
Sestinya pemerintah menetapkan kriteria yang jelas dalam mengangkat seseorang sebagai Pahlawab Nasional serta mengikutkan dan mendengarkan para sejarawan. Kasus pengangkatan M. natsir tampaknya pemerintah tidak mendengarkan para sejarawan.
Jika konsep Pahlawan Nasional saat ini rancu, mungkin perlu dimunculkan konsep lain, seperti Pahlawan Nasional Pra Indoinesia. Sebab secara aklamasi Indonesia baru muncul tahun 1928, dan secara spirit mulai muncul pada awal abad ke-20. Sebelumnya Indonesia disebuat oleh kolonial Belanda Nedherland Indie atau ada juga yang menyebut Moei Indie. Ternyata, kalau para Pahlawan Nasional kita yang di SK-kan pemerintah itu belum mengenal Indonesia. Banyak diantara mereka hidup di lingkungan budaya mereka.
Namun perubahan cara pandang terhadap Pahlawan nasional tidak bisa dilakukan secara ideologis dan etnis, sebab ini sangat berbahaya untuk kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Perubahan apapun dalam penulisan sejarah mesti dilakukan secara metodologis, mencakup sumber, konsep, metode dan pisau analisis. Karena itu gugatan terhadap Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, dalam hemat saya adalah gugatan yang sektarian dan tidak fair secara hisstoriografi.
Gerakan Paderi dan Kebijakan Kolonial
Gerakan paderi mestinya tidak dilihat hanya dalam kontek lokal di lingkaran Paderi, sebab ia juga berhubungan dengan kebijakan kolonial Belanda. Kolonial Belanda dalam kebijakannya mengadakan politik diskriminatif dan politik adu domba. Berhubungan dengan itu Belanda menganut polilik naturalisasi. Artinya mendukung berkembangnya budaya lokal dan menekan perkembangan Islam. Sebab Islam dalam masa penjajahan termasuk progresif dalam menentang kolonilaisme. Selain itu juga menopang sepenuh penyebaran agama kristen sebagai lawan Islam. Artinya pribumi diadu dengan pribumi. Penasehat kebijakan politik ini adalah Snouck Hougronje, ia selalu menekan Islam yang integratif dan mendukung Islam secara budaya. Dalam kontek itu budaya lokal didukung dan orang-orangnya dirangkul ke pihak kolonial. Namun guru-guru mengaji, kaum pemikir dan pergerakan Islam ditindas dan disisihkan. Bahkan pada awal pasca awal abad ke-20, pemegang kekuasaan lokal seperti kaum adat dan raja-raja kecil banyak yang terjebak ke pangkuan kolonial Belanda. Pemegang otoritas lokal tersebut digaji dan anak-anak mereka disekolahkan di sekolah kolonial pada masa berikutnya. Jadi kolonial Belanda sengaja menciptakan gap yang besar dan rasa sakit hati yang dalam di lingkungan pribumi. Karena itu dalam kontek ini terjadi benturan antara kaum adat dan Islam serta kristen dengan wasitnya kolonial Belanda.
Di Minangkabau sendiri kaum adat terangan-terangan mendukung kolonial Belanda yang di mata kaum paderi adalah “kafir”. Jadi radikalisme itu sesunggunya disulut juga oleh model kebijakan kolonial Belanda yang pro adat dan diskriminatif.
Mengenai ekspansi Paderi ke Tanah Batak, ini juga dilihat secara hati-hati. Apakah ini penyerangan tanpa ada sebab atau bagaimana? Di bahagian utara mesti diketahui, Belanda sedang mendukung perkembangan agama kristen yang nanti bisa dibenturkan dengan penyebaran Islam yang semarak di bahagian selatan. Sejauh yang diamati mengenai kebijakan Tuanku Imam Bonjol bahwa ia adalah tokoh yang moderat, yang bisa berdampingan dengan kaum adat. Justru adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah, besar kemungkinan muncul dari Tuanku Imam Bonjol. Dalam Keterangan Hamka (Dari Penbendaharaan Lama, Terbit Pertama 1963) disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol(TIB) adalah orang yang tidak menyukai kekerasan. Sikap itu terlihat dari sikap TIB dalam menyusun persatuan antara ulama dan kaum adat di Bonjol. Menurut Hamka sikap Tuanku Nan Renceh yang membunuh eteknya dan Tuanku Lintau yang membunuh keluarga Pagaruyung tidak didukung oleh Tuanku Imam Bonjol. Pertentangan kekerasan itu juga terjadi dalam gerakan Padri lainnya (Lihat Naskah Faqih Saghir).
Momen gugatan terhadap Imam Bonjol semestinya menjadi titik balik bagi pemerintah Repubik Indonesia untuk memperhatikan penulisan sejarah dan budaya secara sunggguhh-sungguh. Karena itu sudah semestinya pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pariwisata, Seni dan Budayan beserta lembaga-lembaga terkait seperti Museum dan Lembaga Arsip untuk untuk memperhatikan secara serius mengenai arsip-arsip sejarah, termasuk arsip sejarah daerah. Selama ini bagi pemerintah, lembaga Arsip dan Museum seakan-akan lembaga sempalan dan tempat pegawai-pegawai yang tidak produktif. Sementara saat sejarah Indonesia dipertanyakan semua orang, termasuk pemerintah kewalahan dalam menjawabnya.
Sesuai dengan perkembangan demokrasi, maka pada masa yang akan datang gugatan-gugatan sejarah akan makin sering dilakukan. Kalau ini tidak disalurkan dan diberikan jawaban maka juga bisa mengancam integrasi bangsa. Karena itu, sepantasnya pemerintah mendukung dan mewujudkan Komisi Pelurusan Sejarah Indonesia, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Komisi ini bersama-sama dengan lembaga terkait menyusun strategi untuk mengembalikan arsip-arsip sejarah yang ada di luar negeri, terutama yang ada di negeri Belanda. Selain itu Komisi Pelurusan sejarah juga menyusun strategi untuk mengumpulkan arsip-arsip sejarah yang masih ada di dalam negeri. Hal ini diharapkan memberikan jalan atau solusi dalam berbagai kontroversial sejarah pada masa yang akan datang.
*Wannofri Samry, Dosen Jurusan Sejarah Unand dan Direktur Pusat Studi Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan Universitas Andalas.
Rujukan:
1.      Sutiyono Tradisi  Masyarakat dan Gerakan Purifikasi Islam  
di Trucuk,  Klaten,  Jawa Tengah http://senisosiologi.wordpress.com/2010/

2.Gerakan Wahabbi ( Purifikasi Islam ? ) Menyusup ke Seluruh Indonesia dengan Dukungan Dana yang Besar dari Arab Saudi   Leave a comment, http://ridwanmustofa.wordpress.com/2010

Persis dan Pemurnian Islam (1)

Jumat, 24 Agustus 2012, 13:58 WIB
islamedia.web.id
REPUBLIKA.CO.ID, Keberadaan penjajah Belanda di Indonesia telah melahirkan semangat persatuan dan keberagamaan umat Islam.

Sebab, kedatangan penjajah ke bumi Nusantara telah membawa sejumlah peradaban baru yang sebagian di antaranya tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sementara itu, tingkat keberagamaan umat Islam juga mulai bercampur dengan kebiasaan dan tradisi yang menurut beberapa tokoh tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.

Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi Nusantara. Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis).

Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdid) Islam. Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.

Sebagaimana diketahui, gerakan pembaruan Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1802 atau bersamaan dengan kembalinya sejumlah ulama Indonesia dari Tanah Suci Makkah. Para ulama ini melihat secara langsung gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arab.

Mereka kemudian mengembangkan gerakan tajdid. Melalui gerakan tersebut, para ulama ini berupaya meluruskan semua praktik ibadah di kalangan masyarakat Muslim yang masih bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Praktik ibadah seperti itu dipandang tidak sesuai dengan Alquran dan sunah.

Semangat dan isi gerakan pembaruan Islam ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Mereka yang mendukung gerakan ini menamakan diri sebagai kelompok modernis Islam.

####
Gerakan Pemikiran Muhammadiyah: Antara Purifikasi dan Modernisasi http://www.uin-malang.ac.id
PDF
Cetak
E-mail

Ditulis oleh Mujtahid   
Senin, 15 Agustus 2011 10:55
BANYAK Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang menyatakan bahwa abad XX merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah "bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana."[i] Hanya dengan Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai abad XX, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam). Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama'.[ii] Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain.
Dari sekian banyak gerakan tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah memberikan andil besar terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.

A. Setting Historis
Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan "eksperimen sejarah" yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia. Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma'ruf nahi mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni pencampuradukan  dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah ibadah atau yang disebut bid'ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada dasarnya yang jelas baik dari al-qur'an maupun as- sunnah. Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong  oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[iii] Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 M.[iv]
Menurut Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia agak menyepelekan "faktor misi Kristen" ini. Alasan pertama adalah keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini menjadi penting khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8 persen, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada tahun 1990. Peningkatan jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade 1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.

B.     Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa Arab disebut ‘tajdid', dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. [v] Cita-cita dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.[vi]
Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid'ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.
Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan "pemurnian" (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[vii] Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula bermacam-macam ajian, petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do'a, dan zikir, akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.
Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ‘'sing mbau rekso" juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.[viii]
Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru-murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?
Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.[ix]
Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik  yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilai sosial-religius.
Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.[x]

C.    Modernisasi (Tajdid)
Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur'an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.[xi]
Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.[xii]
Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama, pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan  oleh para sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam menang perang.[xiii]
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid al syari'ah.

Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.

Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.
Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan antara dimensi "normativitas" wahyu dengan "historisitas" pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad[xiv] berjalan sealur dan seirama.
Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.
Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks "normatifitas" dengan teks "historisitas". Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma'un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusaha concern terhadap problem sosial yang harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


[i] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
[ii] Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal. 55-58.
[iii] Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125.
[iv] Ibid., hal. 126.
[v] Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
[vi] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998, hal. 268.
[vii] Amin Abdullah, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
[viii] Kuntowijoyo, (1998), Loc Cit., hal. 268.
[ix] Ibid,  hal. 289.
[x] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000, hal. 147.
[xi] Amien Rais, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995,  hal vii. Lebih lanjut dapat dibaca dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M. Musawir), 1996.
[xii][xii] Ahmad Syafi'i Ma'arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995,  hal xi.
[xiii] Ibid, hal. xiii
[xiv] Amin Abdullah, (2000), Op Cit, hal. 150.


http://makalahmajannnaii.blogspot.com

Wahabi dan Paderi | Pembaharuan Dalam Pemikiran Islam



Istilah 'wahabi' sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Dan pengindentifikasian wahabi kepada sebagian umat Islam pun kurang objektif. Dan orang-orang yang dijuluki sebagai 'wahabi' juga menolak penamaan ini kepada diri mereka.   Gerakan paderi yang oleh ummat Islam dinilai sebagai salah satu gerakan anti kolonialisme ini dituduh terlibat dalam pembunuhan massal, pembantaian dan penjualan manusia. Lebih lanjut lagi, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai yang merupakan pemimpin Paderi diminta untuk dipertanyakan dan dicopot statusnya sebagai pahlawan nasional.

Saat Islam jatuh ke jurang keruntuhan (abad ke-18), kerusakan budi dan moral amat parah. Pendidikan terhenti, pemerintahan menjadi despotis, kadang terjadi anarki, agama membeku, ketauhidan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW telah diselubungi khurafat, mesjid-mesjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam, azimat dan penangkal penyakit merajalela sebagai “kepercayaan baru” umat, menziarahi kuburan “orang-orang keramat” mentradisi, pemujaan terhadap “orang-orang suci” yang dijadikan sebagai “perantara” komunikasi dengan tuhan, menggejala. Minum arak dan mengisap candu jadi hal biasa, pelacuran merajalela, dan akhlak merosot serta kehormatan diri rusak.

Dunia Islam diliputi kegelapan. Tapi tiba-tiba, bergemalah seruan dari padang pasir yang luas – tempat lahir Islam di tanah Arab – memanggil Umat Islam kembali ke jalan yang benar. Adalah Muhammad bin Abdul Wahab yang menggemakan seruan itu. Ia menggerakkan Umat Islam untuk memperbaiki jiwa dan membangkitkan kemegahan dan kebesaran Islam.

Abdul Wahab adalah sosok pembaharu yang cukup berpengaruh sekaligus berhasil menggedor mata hati umat. Ia melancarkan gerakan pembaharuannya berdasarkan ide-ide Ibnu Taimiyah. Gerakannya ini dikenal dengan Wahabiyah atau Wahabisme, suatu gerakan pemurnian ajaran Islam yang berkembang menjadi gerakan pembaharuan pemikiran umat Islam.

Muhammad bin Abdul Wahab lahir di desa Ainiyah Nejed pada tahun 1703M/1115H. Ia lahir di tengah lingkungan masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang sederhana dan asli, sesuai dengan watak Arabnya.

Semenjak kecil Abdul Wahab amat tertarik mendalami agama. Pada tahap awal, ia belajar agama pada ayahnya sendiri, yaitu Abdul Wahab, seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah. Pada usia remaja, seusai menunaikan ibadah haji, untuk kedua kalinya ia pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu dan tinggal di sana. Di Madinah ia berguru pada dua orang ulama bernama Sulaiman al Kurdi dan Muhammad Hajad al Sindi. Setelah itu, ia melanjutkan petualangannya ke Irak, tepatnya ke Basrah selama 4 tahun dan Baghdad 5 tahun.

Di Baghdad ia menikah dengan wanita kaya raya. Ketika istrinya meninggal, ia merantau lagi ke Kurdistan selama 1 tahun, dan selama beberapa tahun ke Hamadan dan Isfahan (Iran). Ia pun mendalami ilmu filsafat dan tasawuf selama di Iran. Akhirnya, ia kembali lagi ke Nejed.

Dalam perantauannya, Abdul Wahab menyaksikan berbagai bentuk praktek agama yang – menurutnya – jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Ia melihat maraknya pemujaan terhadap wali, kuburan, dan lain-lain. Salah satu aspek yang cukup mendapat perhatian dari Abdul Wahab adalah masalah taklid (mengikuti pendapat/paham orang lain secara membabi buta) yang merupakan sumber kebekuan atau kejumudan pemikiran Umat Islam sendiri. Padahal untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits, orang harus berijtihad. Karena itu, pintu ijtihad tidak perlu ditutup.

Ketika kembali ke Nejed Abdul Wahab bertekad untuk menyebarkan reformasi dan pemurnian Islam, menggedor pintu hati dan pikiran umat. Pada tahun 1714 M, di usia yang masih muda, ia memulai gerakan pembaharuannya berdasarkan ide-ide pembaharuan Islam Ibnu Taimiyah yang telah didalaminya melalui kitab-kitabnya. Lahirnya Wahabisme yang kata Rifyal Ka’bah dalam Islam dan Fundamentalisme (1984), menyalahkan pemujaan orang-orang shaleh dan menentang semua khurafat dan bid’ah. Wahabisme telah menjiwai gerakan untuk kembali pada monoteisme (tauhid) seperti yang ada di masyarakat Islam pada permulaan sejarah Islam.

Praktek-praktek bid’ah dan syirik dipandang Abdul Wahab sebagai situasi jahiliyah. Pokok pemikirannya lebih terarah pada “gerakan pemurnian ajaran tauhid” yang muncul sebagai reaksi atas paham ajaran tauhid yang berkembang (dan menyimpang).

Gerakan Wahabisme makin berkembang berkat dukungan seorang penguasa Nejed, yakni Muhammad Ibnu Saud. Lambat laun padang pasir Arab ditempa oleh “duet” Wahab – Saud dan menjadi kesatuan politik keagamaan, seperti yang diwujudkan Nabi Muhammad SAW. Muhammad Ibnu Saud memang menjadi pengikut Wahabisme fanatik pertama dan utama. Keturunannya pun hingga sekarang, yakni keluarga kerajaan Arab Saudi, menjadi pendukung utama Wahabisme.

Abdul Wahab wafat tahun 1787M/1206H. Awal abad XX Wahabisme bangkit kembali di bawah kepemimpinan putera Muhammad Ibnu Saud, yakni Abdul Aziz Ibnu Saud. Penguasa Nejed yang baru, berhasil menaklukan Makkah (1924), Madinah (1925), Jeddah, dan daerah sekitarnya. Pada tahun 1926 ia mengumumkan dirinya sebagai raja Hijaz. Tahun 1932 ia mendirikan kerajaan Arab Saudi. Secara turun temurun, keturunannya pun menjadi Raja Saudi, hingga Raja Fahd saat ini.[1]

b. Pengertian Wahabi dan Hubungannya dengan Mazhab Fiqh

Istilah 'wahabi' sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Dan pengindentifikasian wahabi kepada sebagian umat Islam pun kurang objektif. Dan orang-orang yang dijuluki sebagai 'wahabi' juga menolak penamaan ini kepada diri mereka. Meski mereka pendukung Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun mereka bilang bahwa yang ulama adalah Muhammad, bukan Abdul Wahhab. Abdul Wahhab adalah ayahnya.Tetapi untuk memudahkan menyebutannya, untuk sementara bolehlah kita gunakan istilah ini, meski kita letakkan di tengah tanda kutip.

Sebenarnya penyebutan `Wahabi` bila kita runut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M).Beliau lahir di Uyainah, salah satu wilayah di jazirah Arab. Sebenarnya secara fiqih, beliau lahir dan dibesarkan serta belajar Islam dalam mazhab Hanbali.

Dakwah beliau banyak disambut ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat sat yaitu amir (pangeran) Muhammad bin Su`ud, yang berkuasa 1139-1179 H. Oleh Amir Muhammad bin Su'ud, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.

Sebenarnya agak sulit juga untuk menjelaskan hubungan antara 'wahabi' dengan keempat mazhab fiqih. Sebab keduanya tidak saling terkait dan bukan dua hal yang bisa dibandingkan.

Kalau mazhab fiqih adalah gerakan ilmiyah dalam bidang ilmu fiqih, sehingga mampu membuat sistem dan metodologi ilmiyah dalam mengistimbath hukum dari dalil-dalil yang bertaburan baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, maka gerakan wahabi lebih merupakan gerakan dakwah memberantas syirik dan bid'ah, ketimbang aktifitas keilmuan.

Kalau para ahli fiqih empat mazhab adalah pelopor di bidang ijtihad dan mereka hidup di awal perkembangan Islam, sekitar abad pertama dan kedua hijriyah, maka sosok Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sosok yang hidup di akhir zaman, muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan berpikir pemikiran dunia Islam.Sekitar 2 abad yang lampau atau tepatnya pada abad ke-12 hijriyah. Intinya, apa yang beliau lakukan adalah menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan segala manifestasinya.

Fenomena umat yang dihadapi antara para imam mazhab dengan Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berbeda konteksnya. Di zaman para fuqaha mazhab, umat Islam sedang mengalami masa awal dari kejayaan, peradaban Islam sedang mengalami perluasan ke berbagai penjuru dunia. Sehingga dibutuhkan sistem hukum yang sistematis dan bisa menjawab problematika hukum dan fiqih.

Sementara fenomena sosial umat di zaman Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berbeda. Saat itu umat Islam sedang mengalami masa kemundurannya.Salah satu fenomenanya adalah munculnya banyak penyimpangan dalam praktek ibadah, bahkan menjurus kepada bentuk syirik dan bid'ah. Banyak dari umat Islam yang menjadikan kuburan sebagai tempat pemujaan dan meminta kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan takhayyul menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib seolah menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan umat Islam. Itulah fenomena kemunduran umat saat di mana Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidu saatitu. Maka beliaumengajak dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan aqidah ini.

Berbeda dengan para fuqaha fiqih di zaman awal yang mendirikan madrasah keilmuan sera melahirkan jutaan judul kitab fiqih dan literatur, Syeikh Muhammad bin Abdul WAhhab tidak pernah melahirkan buku berjilid-jilid, beliau hanya menulis beberapa risalah (makalah pendek) untuk menyadarkan masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah Kitab At-Tauhid yang hingga menjadi rujukan banyak ulama aqidah.

Dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dibantu oleh penguasa, kemudian melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang asli. Dalam prakteknya sehari-harinya, para pengikutnya lebih mengedepankan aspek pelarangan untuk membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang ber-tawassul dengan menyebut nama orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.

Dakwah beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah salafiyah. Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang aqidah yang telah lama jumud dan beku akibat kemunduran dunia Islam.

Sebenarnya kalau mau dirunut di atas, para pendukung gerakan wahab ini -suka atau tidak suka- tidak bisa lepas dari sebuah metode penyimpulan hukum tertentu. Dan secara umum, yang berkembang secara alamiyah di negeri mereka adalah mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Dan nama-nama tokokh ulama rujukan mereka, semuanya secara alamiyah bermazhab Hanbali.
  • · Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
  • · Ibnu Taimiyah (661-728 H)
  • · Muhammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (6691-751H)
  • · Muhammad bin Abdul Wahhab
Meski banyak dari pendukung wahabi ini mengaku tidak terikat dengan mazhab fiqih tertentu, namun tulisan, makalah, buku pelajaran serta fatwa-fatwa ulama mereka, nyaris tidak bisa dipisahkan dari mazhab Al-Hanabilah.

Memang ada sebagian dari pendukung atau sosok yang ditokohkan oleh para pendukung gerakanini yang secara tegas memisahkan diri dari mazhab mana pun. Katakanlah salah satunya, Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah. Beliau sejak muda telah mengobarkan semangat anti mazhab fiqih. Seolah mazhab-mazhab fiqih itu lebih merupakan sebuah masalah ketimbang solusi di mata beliau. Maka muncul perdebatan panjang antara beliau dengan para ulama fiqih mazhab. Salah satunya perdebatan antara beliau dengan Syeikh Dr. Said Ramadhan Al-Buthy. Para ulama fiqih tentu tidak terima kalau dikatakan bahwa mazhab fiqih itu merupakan bentuk kebodohan, kejumudan, taqlid serta suatu kemungkaran yang harus diperangi.

Sayangnya, sebagian dari murid-murid beliau ikut-ikutan memerangi para ahli fiqih dengan berbagai literatur mazhabnya dan hasil-hasil ijtihad para fuqaha'.. Padahaldi sisi lain, pendapat-pendapat Syeikh Al-Albani pun tetap merupakan ijtihad dan tidak bisa lepas dari penafsiran dan pemahaman, meski tidak sampai berbentuk sebuah mazhab.Yang sering dijadikan bahan kritik adalah beliau melarang orang bertaqlid kepada suatu mazhab tertentu, namun beliau membiarkan ketika orang-orang bertaqlid kepadadirinya.

Awalnya, oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan lainnya di benua India. Namun para penerusnya kelihatan lebih mengkhususkan diri kepada bentuk penghancuran bid'ah-bid'ah yang ada di tengah umat Islam. Bahkan hal-hal yang masih dianggap khilaf, termasuk yang dianggap seolah sudah bid'ah yang harus diperangi. Mungkin memang sebagian umat Islam ada yang merasakan arogansi dari kalangan pendukung dakwah Wahabiyah ini. Hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa hal berikut:

1. Syeikh Abdul Wahhab dan Penguasa
Sebagaimana kita ketahui, di jazirah Arabia, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkolaborasi dengan penguasa. Maka lewat tangan penguasa, beliau melancarkan dakwahnya. Dan ciri khas penguasa, segala sesuatu ditegakkan dengan kekuasaan. Karena penguasa pegang harta, wewenang dan hukum, maka wajar bila pendekatannya lebih bersifat vonis dan punnishment. Inilah barangkali yang unik dari dakwah wahabi dibandingkan dengan dakwah lainnya yang justru biasanya ditindas oleh penguasa.

2. Fenomena Kultur Masyarakat
Barangkali gaya yang lugas, kalimat yang menukik, vonis dan kecaman kepada para penyeleweng memang tepat untuk kultur masyarakat tertentu. Misalnya kultur masyarakat padang pasir di jazirah arab yang memang keras.

Kalau dakwah hanya menghimbau dan merayu, mungkin dianggap kurang efektif dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Maka ketika pendekatan yang agak 'keras' dirasakan cukup efektif, jadilah pendekatan ini yang terbiasa dibawakan. Sayangnya, ketika masuk ke negeri lain yang kultur masyarakatnya tidak sejalan, metode pendekatan ini seringkali menimbulkan kesan 'arogan'. Dan rasanya, memang itulah yang selama ini terjadi.[2]



c. Wahabisme dan Gerakan Pemurnian Pemikiran Islam dan Streotip Negatif

III. Paderi

Pada diri anak-anak Indonesia sudah tertanam sejak sekolah dasar bahwa gerakan Padri adalah gerakan antikolonial. Dua tokohnya, Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, adalah pahlawan nasional. Gerakan Padri diketahui sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan syariat Islam. Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera Barat bersih dari unsur kultural.

Gerakan perang Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan Turki, 1802. Mereka tidak dihukum mati. Kompensasinya, mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. [6]

a. Asal-Usul Kelompok Paderi
Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan pada Kolonel Haji Piobang. Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud, cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak.

Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba. Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi memancung kepala Singamangaradja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibukota Dinasti Singamangaradja tahun 1819.

Pongkinangolngolan merupakan anak hasil perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak dari Singamangaradja X. Pongkinangilngolan seperti dituturkan Onggan Parlindungan dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga.

Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau dan bekerja pada Datuk Bandaharao Ganggo. Pada waktu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik tiga tokoh pembaharuan abad ke-19 baru kembali dari Mekah, mereka mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mashab Hambali ke Mandailing mendapat dukungan Tuanku Nan Renceh. karib Datu Bandaharao. Renceh terkesima dengan mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngloan. Pongkinangolngolan rupanya sangat baik digunakan dalam rangka merebut dan menduduki tanah Batak. Oleh Tuanku Nan Renceh, Pongkinangolngolan diberi nama Panglima Umar bin Katab. Sebagai perwira Paderi, Pongkinangolngolan diang\kat dengan gelar Tuanku Rao. [7]

b. Paderi dan Anarkhisme
Adalah merupakan kecenderungan umum, meski tentu saja tidak benar, bahwa gerakan pemurnian maupun fundamentalisme selalu dituduh merupakan bentuk lain dari anarkhisme. Baik Wahabisme di Arab maupun Paderi di Indonesia dituduh telah melakukan gerakan anarkhis.

Gerakan padri yang oleh ummat Islam dinilai sebagai salah satu gerakan anti kolonialisme ini dituduh terlibat dalam pembunuhan massal, pembantaian dan penjualan manusia. Lebih lanjut lagi, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai yang merupakan pemimpin Paderi diminta untuk dipertanyakan dan dicopot statusnya sebagai pahlawan nasional.

Alasan yang dikemukakan mengagetkan, sekaligus ironis. Imam Bonjol bertanggung jawab atas pembantaian lokal. Gerakan Padri diketahui sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan syariat Islam. Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera Barat bersih dari unsur kultural. Sayangnya, pemurnian memakan korban besar. Keluarga Istana Pagaruyung dijagal, di Tanah Batak terjadi pembunuhan massal. Dalam tragedi itu disebutkan banyak perempuan dirampas, diperjualbelikan. [8]

Tuanku Imam Bonjol dan Tambusai dianggap mengetahui segala kekerasan itu tapi tidak mencegahnya. Mereka yang berusaha memahami kedua tokoh itu beranggapan adab lokal yang melegalkan perbudakan membuat keduanya memaklumi penjualan gadis. Penyerbuan ke Pagaruyung dan Tanah Batak, di mata yang pro, seakan dibenarkan sebab dua daerah itu memihak kolonial.



[1]Yulizal Yunus, Dosen Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol. Makalah Presentasi Seminar Fakultas Ilmu Budaya - Adab IAIN Imam Bonjol, 13 Desember 2012.
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger