Oleh Yulizal Yunus
/ L
ektor Kepala
1. Lokal Internasional di Fakultas, sebuah gagasan yang bagus.
Pertanyaan muncul, apakah gagasan ini sudah ada paradigmanya. Paradigama
yang dimaksud adalah Kebijakan Publik (public policies). Setidaknya
satu di antara struktur/ hirarchi kebijakan itu yang menjadi legal
standing, yakni UU, PP, Kepres, Inpres, Permenag/ Permendiknas, KMA/
Kepmendiknas, SE Depag RI/ Dirjen Dikti Depag/ Diknas atau Keputusan
Rektor, Keputusan Dekan atau serendahnya Keputusan Ketua Jurusan?. Apa
satu di antaranya sudah ada yang memerintahkan kita?.
2. Kebijakan yang ada local internasional di Indonsia adalah untuk
pendidikan dasar dan pendidikan menengah (TK-SD-SMP dan SMA sederajat),
dan memang tingkatan itu local, tergantung tempat dan lokasi berdiri.
Tapi untuk perguruan tinggi kebijakan yang ada (tapi saya tidak tahu
seberapa kuat) hanyalah local khusus seperti pengalaman Fakultas
Ushuluddin, itu tidak local internasional. Dari pengalaman ushuluddin,
sekarang terasa mana dananya dan bagaimana tempat belajarnya, dan belum
lagi pendanaan akademik (dosen dan biaya PBM), kalau tidak bermasalah
pasti menimbulkan konflik.
3. Pelaksanaan gagasan baru betapa pun bagusnya, tanpa ada dasar (idiil
dan operasional) dalam bentuk kebidjakan public tadi, dipaksakan
pelaksanaannya, maka akan membuat orang bingung, kalau tidak menjadi
tanda Tanya keheranan. Karena nanti akan berdampak dana. Dana pemerintah
sekarang berdasarkan performance plan (kinerja program) dan performance
result (kinerja hasil) dan performance process (kinerja proses).
Dikeluarkan dana, pertanyaan mana indicator kegiatannya (dalam program
apa, arah kebijakan apa, sasarannya apa dan tujuannya apa, visi-misi
local internasionalnya apa?). Kalau dibuat juga lembaganya (Lokal
Internasional) tanpa ada dasar legal standing yang kuat, secara
sosiologis akan menimbulkan “konflik gaya baru”. Di antaranya kean
ironis, nama local internasionalnya ada, dananya tidak ada, tempat
belajarnya tidak refresentatif dsb.
4. Setahu saya dalam perspektif regional/ sub sub nasional science,
perguruan tinggi itu sudah berstatus internasional. Perguruan tinggi
tidak ditentukan tempat dan lokasi berdirinya, meskipun berdirinya di
pedesaan seperti di Balaiselasa misal STAI juga FIB-Adab IAIN IB di
Lubuk Lintah, meski di desa wilayah perguruabn tinggi ini sudah
internasional. Buat apa lagi nama internasional. Tetapi kalau mau
kualitas internasional, ya kenapa tidak. Tidak internasional pada nama,
apalagi kita belum tahu paradigmanya. Karenanya tanyalah dulu, apa dasar
legal standing/ kebijakan publiknya?. Kalau hanya seruan pimpinan
secara oral itu belum menjadi legal standing, kecuali telah di-SKan oleh
pimpinan. Tapi diingatkan, sebuah kebijakan (pemaksaan gagasan baru
tanpa dasar, atau meniadakannya juga kebijakan) ujung-unjungnya adalah
menjaga jangan sampai masuk kancah blaming the victims, muaranya siapa
yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, sebuah peringatan jangan jadi
kelinci percobaan.
5. Saya kira local khusus sajalah. Tapi kalau memang sudah ada kebijakan
public sebagai legal standing untuk local internasional itu, ayo kita
tegakkan / kita dirikan!. Sebab pasti sudah ada indicator dan
kriterianya yan jelas sebagai local internasional dan berdasarkan itu
pasti Negara sudah menganggarkannya lewat Depag RI/ Diknas.
6. Saya merespon gagasan baru tapi kita juga harus disiplin dan berani
karena ada dasar yang kuat. Kalau tidak kuat, topan dan gelombang besar
menghadang kita, itu berbahaya. Jangan melawan arus!
7. Terima kasih.
Padang, 22 Mei 2008
Posting Komentar