Headlines News :
Home » » Masjid sebagai Basis Akidah dan Ideologi

Masjid sebagai Basis Akidah dan Ideologi

Written By Unknown on Selasa, 22 Oktober 2013 | 22.44

Oleh Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo 
 
Eksistensi masjid dipan­dang sebagai basis akidah, dibenarkan karena tempat bersujud/beribadat kepada Allah SWT. Tetapi masjid juga dipandang sebagai basis ideo­logi, dibetulkan pula, karena efektif difungsikan masyarakat menjadi pusat kebudayaan. Namun secara fenomenalogis, terdapat pe­rilaku, menjadikan masjid basis radikalis, bagai­mana pula kedudukannya itu? Se­pertinya ada jawaban dalam sambutan Wakil Presiden Boediono saat membuka Muk­tamar VI Dewan Masjid Indo­nesia (DMI) dihadiri 1000 peserta DMI se-Indonesia, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, 27 April 2012 lalu.

Wapres, mematri fungsi masjid dari pespektif akidah disebutnya sebagai basis spiritual umat Islam, terkandung maksud sebagai pusat ibadah. Dari perspektif ideologi, disebutnya masjid sebagai institusi sentral dalam per­adaban Islam dan wahana untuk memfasilitasi berbagai pemberdayaan dan penguatan kapasitas umat. Justru yang menarik dan me­n­jadi icon pemberitaan nasional adalah harapannya masjid harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan radikalis yang me­nye­barkan per­mu­suhan.

Kalimat “masjid jangan jatuh ke tangan radikalis”, meng­ingatkan bangsa kepada bebe­rapa peristiwa, di an­taranya peristiwa naas yang terjadi di sebuah masjid kawasan Cirebon, Jawa Barat. Masjid yang berada di areal Markas Kepolisian Resor Cirebon itu, secara ideal berada di bawah pengawasan ketat dan aman, justru di situ meledak bom, saat “Allahu Akbar” ber­gema memulai rakaat pertama ibadat shalat Jumat, 15 April 2011 lalu. Banyak jemaah terluka, bah­kan Kapolres Cirebon sendiri turut menjadi korban. Ini satu fenomena radikalis yang teroris dilansir media massa secara luas yang membuat pembaca berucap “masya Allah”.

Dalam perspektif akidah yang santun di dalam mem­fungsikan masjid, dimung­kinkan fenomenanya seperti ungkapan Ketua Umum Pe­ngurus Pusat DMI Goodwill Zubir, masjid harus berfungsi sebagaimana mestinya, sesuai ajaran agama. Namun se­baliknya di pihak aliran keras tadi, apakah fenomena pele­dakan ini, termasuk akidah dan ideology juga? Banyak komentar, itu satu bentuk paham, yang prilakunya ra­dikal dan tindakannya mem­perlihatkan fenomena te­rorisme.

Masjid sebagai basis akidah dan ideologi masya­rakat banyak ditentukan paham keagamaan yang di­anut. Paham itu sub­stansinya adalah pemikiran mendasar yang dipegang. Justru ideologi merupakan pemikiran paling mendasar. Pemikiran itu ada di dalam hubungan dengan kehidupan, manusia dan alam, dan tidak dibangun dari pe­mikiran pemilik paham lain, selain dalam basis kelompok sendiri. Dalam aspek lain disebut juga ideologi itu dengan akidah rasional (‘aqidah ‘aq­liyah). Sedangkan aqidah juga pemikiran men­dasar, lahir dari sebuah proses berpikir, namun di dalam Islam, aqidah mem­berikan pemahaman bahwa di balik semuanya ini (kehi­dupan , manusia dan alam) ada wujud Allah swt. Allah tempat kembali semua urusan sebagai tindakan tawakkal (penyerahan total) sesudah ada upaya manusia.

Radikal

Secara sederhana, sikap radikalis di masjid, secara sederahana sering merona, saat pembicaraan dan pema­haman agama lepas dari praktek kendali iman yang santun dan damai. Baru mulai berbicara nada keras, dari awal sudah memasang kuda-kuda, siapkan peluru kendali untuk membidik dan menembak jitu kiri kanan. Jamaah akhirnya sakit kepala. Apalagi dalam khotbah, tak dapat bertanya. Tepaksa diam tapi di dada berkata-kata. Kalau berlebihan sakit kepala, adakalanya sembahyang Jum­atnya diulang dengan salat Zuhor, lantaran kutbah pan­jang, komentar lepas dan nada keras, tak nyaman seba­gai bagian dari ibadat salat Jumat.

Sesungguhnya yang dapat menyulut paham radikal, secara tersembunyi (ada yang menyebut syirik khafi), se­muanya harus diselesaikan manusia. Ada pendapat, sikap itu secara sadar tidak meya­kini wujud Allah di balik semuanya itu, dan tidak meyakini Allah sebagai tem­pat kembali semua urusan, setelah habis upaya. Karena itu dapat dicatat faktor pe­nyulut paham radikalisme agama setidaknya: Pertama, faktor paham keagamaan. Ada aspek pemikiran dalam pa­ham ini, “senantiasa berpikir agama saja, umat Islam akan mundur”. “Kalau ingin maju, unggul dan punya daya saing, keluar dari ikatan agama”. Paham ini akan melahirkan paham sekularisme, me­misahkan agama dari seluruh aspek kehidupan. Sebaliknya ada paham, kalau ingin maju harus serba agama, siapa yang longgar memegang agama apa­lagi melanggar dibabat saja. Pemikiran ini me­lahir­kan sikap fun­da­mentalisme. Kedua paham ini (sekularisme dan fun­damen­talisme) bila subur dalam masyarakat dapat memu­nculkan sikap keras dan budaya fasad (kon­tra produktif).

Kedua faktor pendidikan. Biasanya akibat dari pen­didikan tidak dapat mela­hirkan karakter yang santun. Pendidikan agama dan penge­tahuan kenegaraan (Pancasila dan UUD-45) atau sekarang 4 pilar kehidupan berbangsa, belum membentuk karakter. Ketiga faktor politik kotor. Fenomena politik sekarang, apakah pilcaleg, pilpres, pilkada atau pertarungan partai politik di pemerintahan, bukan membela yang benar, tetapi membela beruang. Hukum berpihak kepada yang bermodal, demokrasi corak kekuatan-kekuatan asing. Isu HAM dan lingkungan dan politik pembodohan rakyat berjadi-jadi. Fenomena ini membuat masyarakat skeptik. Semakin terjepit, akan mela­hirkan sikap radikal.

Keempat faktor ekonomi. Sisi kecenderungan praktek leiberalisme ekonomi, modal dan investasi berputar pada kelompok kaya. Owner basis ekonomi itu pun tidak pula pemiliknya anak bangsa, tetapi kekuatan asing yang bekolaborasi dengan oknum orang di politik dan peme­rintah. Rakyat kehilangan kesempatan, hak sharing modal dan keuntungan ber­bagi, baik dalam bentuk uang maupun lahan (Minang: tanah ulayat). Kelima faktor sosial. Masyarakat di mana pun pasti ada konflik. Konflik terjadi karena ada tabrakan kepentingan pribadi atau kelompok sosial di satu pintu. Mungkin juga karena pendis­tribusian hak tidak seimbang dengan kewajiban sosial.

Keenam faktor psikologis. Timbul gejala kejiwaan pri­badi atau kelompok, seder­hanya saja karena gagal mendapat kepentingan. Orang atau kelompok orang yang gagal dalam hidup dan kehi­dupannya, lalu sempat ditarik dan mendapat tunggangan kuda tarik politik berhaluan keras, akan mudah terhasut.

Keenam faktor yang menye­babkan lahirnya paham radi­kalis yang berpotensi mela­hirkan teror tak kecuali di masjid, semestinya mendapat perhatian dalam pem­ber­dayaan masya­rakat. Masjid dapat difungsikan sebagai basis “penjernihan akidah” (di samping pusat ibadah) dan “penyehatan mental ideologi” (di samping pusat kebudayaan dan peradaban). Upaya ini, melahirkan kehidupan ber­bangsa dan beragama mem­perlihatkan suasana santuan dan damai.

Santun dan Damai

Islam itu substansinya damai. Prioritas Nabi Saw, diutus untuk menyempur­nakan akhlak mulia (dalam esensi adat: sopan- santun, berbudi baik dan berbaso indah) adalah untuk keda­maian umat dan rahmatan lil’alamin. Masjid didirikan pertama dalam hijrah­nya Nabi SAW, sebagai basis akidah dan pusat per­adaban (bagian dari ideologi). Kare­nanya kembali kepada sam­butan Wapres dalam Muk­tamar VI DMI tadi, semakin menarik. Ia juga mengharap: “kita berke­pentingan mesjid terpelihara, dan dalam pemak­murannya (ta’mir al-masjid) terus dijaga jangan jatuh kepada penyebar gagasan yang tidak Islami seperti radika­lisme, fanatisme dan sectarian yang sesukanya menghem­buskan permusuhan dalam intern paham keagamaan dan antar paham umat yang punya kepercayaan berbeda, juga sering memicu kegiatan provo­katif yang bisa berujung pada tindak radikal dan berbuat teror serta fasad.

Islam mengajarakan keru­kunan dan sangat toleran. Sebaliknya dari masjid di Indonesia hampir mencapai satu juta teramasuk mushal­la, masyarakat Islam ditan­tang memperlihatkan Islam dengan karakter damai serta penuh rahmat Allah berasis di masjid. Karena dulu dalam kejayaan peradaban misalnya di Minangkabau, surau (mas­jid–mushalla) efektif menjadi simbol budi luhur, diprakarsai ninik mamak dan ulama serta dikontrol cadiak pandai.

Namun Indonesia yang sangat majemuk: banyak agama, suku dan etnik bahkan banyak paham Islam sendiri, menafsirkan Islam dengan karakter damai itu pun ber­beda seperti berbedanya me­man­dang sikap radikal dan moderat termasuk pemaknaan jihad tanpa memanggul sen­jata dan atau langsung meng­usung dan membidik senjata. Dalam mengungkap pan­dangan itu, melahirkan komen­tar-komentar/pendapat ber­beda. Di antaranya, lahir pandangan seperti dari pa­ham penegak khilafat, mema­n­dang anjuran seperti tadi sebagai fenomena sikap Islam phobia. Dapat dituduh keras pula menyingkirkan yang dipandang keras. Mereka khawatir pemimpin tidak memahami dalam tanda dua petik “berjihad”, dan dipo­sisikan sebagai radikal dan terrorism, yang menurut pa­ham ini tak harus dia­lamat­kan kepada kelompoknya. Justru sebaliknya memahami “jihad” mulai dari gerakan sederhana, misalnya dalam ta’mir masjid, di sampang dulu sebagai basis perjuangan menumpas penjajah, juga dimulai dari merendahkan suara dan pengeras suara dalam mengumandangkan ceramah, khotbah, dzikir, bacaan Alquran anak TPA, doa dan sebagainya, agar tetangga yang non muslim dan atau muslim dengan paham agama yang berbeda tenteram pula di rumahnya.

Itu satu di antara karakter Islam santun dan damai. Suara seperti ini dalam Muk­tamar DMI pun Wapres menuai protes dari organisasi Islam, DPR, organisasi pemu­da dan sebagainya (Haluan, 28 April 2012). Ini sebenarnya juga berakar dari ideologi dan akidah yang santun dan damai dikumandangkan dari masjid. Tentu saja semua harapan dan gerakan ini di garda terdepan adalah Dewan Mas­jid Indonesia. Semoga Allah bersama kita.*** 
 
(Pengajar di IAIN-IB dan Mantan Pengurus DMI Sumbar)
Dimuat Harian Haluan,Jumat, 04 May 2012
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger