Oleh Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
Eksistensi masjid dipandang sebagai basis akidah, dibenarkan karena
tempat bersujud/beribadat kepada Allah SWT. Tetapi masjid juga dipandang
sebagai basis ideologi, dibetulkan pula, karena efektif difungsikan
masyarakat menjadi pusat kebudayaan. Namun secara fenomenalogis,
terdapat perilaku, menjadikan masjid basis radikalis, bagaimana pula
kedudukannya itu? Sepertinya ada jawaban dalam sambutan Wakil Presiden
Boediono saat membuka Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI)
dihadiri 1000 peserta DMI se-Indonesia, di Asrama Haji Pondok Gede,
Jakarta Timur, 27 April 2012 lalu.
Wapres, mematri fungsi masjid dari pespektif akidah disebutnya sebagai basis spiritual umat Islam,
terkandung maksud sebagai pusat ibadah. Dari perspektif ideologi,
disebutnya masjid sebagai institusi sentral dalam peradaban Islam dan
wahana untuk memfasilitasi berbagai pemberdayaan dan penguatan kapasitas
umat. Justru yang menarik dan menjadi icon pemberitaan nasional
adalah harapannya masjid harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan
radikalis yang menyebarkan permusuhan.
Kalimat “masjid jangan jatuh ke tangan radikalis”, mengingatkan
bangsa kepada beberapa peristiwa, di antaranya peristiwa naas yang
terjadi di sebuah masjid kawasan Cirebon, Jawa Barat. Masjid yang berada
di areal Markas Kepolisian Resor Cirebon itu, secara ideal berada di
bawah pengawasan ketat dan aman, justru di situ meledak bom, saat
“Allahu Akbar” bergema memulai rakaat pertama ibadat shalat Jumat, 15
April 2011 lalu. Banyak jemaah terluka, bahkan Kapolres Cirebon sendiri
turut menjadi korban. Ini satu fenomena radikalis yang teroris dilansir
media massa secara luas yang membuat pembaca berucap “masya Allah”.
Dalam perspektif akidah yang santun di dalam memfungsikan masjid,
dimungkinkan fenomenanya seperti ungkapan Ketua Umum Pengurus Pusat
DMI Goodwill Zubir, masjid harus berfungsi sebagaimana mestinya, sesuai
ajaran agama. Namun sebaliknya di pihak aliran keras tadi, apakah
fenomena peledakan ini, termasuk akidah dan ideology juga? Banyak
komentar, itu satu bentuk paham, yang prilakunya radikal dan
tindakannya memperlihatkan fenomena terorisme.
Masjid sebagai basis akidah dan ideologi masyarakat banyak
ditentukan paham keagamaan yang dianut. Paham itu substansinya adalah
pemikiran mendasar yang dipegang. Justru ideologi merupakan pemikiran
paling mendasar. Pemikiran itu ada di dalam hubungan dengan kehidupan,
manusia dan alam, dan tidak dibangun dari pemikiran pemilik paham lain,
selain dalam basis kelompok sendiri. Dalam aspek lain disebut juga
ideologi itu dengan akidah rasional (‘aqidah ‘aqliyah). Sedangkan
aqidah juga pemikiran mendasar, lahir dari sebuah proses berpikir,
namun di dalam Islam, aqidah memberikan pemahaman bahwa di balik
semuanya ini (kehidupan , manusia dan alam) ada wujud Allah swt. Allah
tempat kembali semua urusan sebagai tindakan tawakkal (penyerahan total)
sesudah ada upaya manusia.
Radikal
Secara sederhana, sikap radikalis di masjid, secara sederahana sering
merona, saat pembicaraan dan pemahaman agama lepas dari praktek
kendali iman yang santun dan damai. Baru mulai berbicara nada keras,
dari awal sudah memasang kuda-kuda, siapkan peluru kendali untuk
membidik dan menembak jitu kiri kanan. Jamaah akhirnya sakit kepala.
Apalagi dalam khotbah, tak dapat bertanya. Tepaksa diam tapi di dada
berkata-kata. Kalau berlebihan sakit kepala, adakalanya sembahyang
Jumatnya diulang dengan salat Zuhor, lantaran kutbah panjang, komentar
lepas dan nada keras, tak nyaman sebagai bagian dari ibadat salat
Jumat.
Sesungguhnya yang dapat menyulut paham radikal, secara tersembunyi
(ada yang menyebut syirik khafi), semuanya harus diselesaikan manusia.
Ada pendapat, sikap itu secara sadar tidak meyakini wujud Allah di
balik semuanya itu, dan tidak meyakini Allah sebagai tempat kembali
semua urusan, setelah habis upaya. Karena itu dapat dicatat faktor
penyulut paham radikalisme agama setidaknya: Pertama, faktor paham
keagamaan. Ada aspek pemikiran dalam paham ini, “senantiasa berpikir
agama saja, umat Islam akan mundur”. “Kalau ingin maju, unggul dan punya
daya saing, keluar dari ikatan agama”. Paham ini akan melahirkan paham
sekularisme, memisahkan agama dari seluruh aspek kehidupan. Sebaliknya
ada paham, kalau ingin maju harus serba agama, siapa yang longgar
memegang agama apalagi melanggar dibabat saja. Pemikiran ini
melahirkan sikap fundamentalisme. Kedua paham ini (sekularisme dan
fundamentalisme) bila subur dalam masyarakat dapat memunculkan sikap
keras dan budaya fasad (kontra produktif).
Kedua faktor pendidikan. Biasanya akibat dari pendidikan tidak dapat
melahirkan karakter yang santun. Pendidikan agama dan pengetahuan
kenegaraan (Pancasila dan UUD-45) atau sekarang 4 pilar kehidupan
berbangsa, belum membentuk karakter. Ketiga faktor politik kotor.
Fenomena politik sekarang, apakah pilcaleg, pilpres, pilkada atau
pertarungan partai politik di pemerintahan, bukan membela yang benar,
tetapi membela beruang. Hukum berpihak kepada yang bermodal, demokrasi
corak kekuatan-kekuatan asing. Isu HAM dan lingkungan dan politik
pembodohan rakyat berjadi-jadi. Fenomena ini membuat masyarakat skeptik.
Semakin terjepit, akan melahirkan sikap radikal.
Keempat faktor ekonomi. Sisi kecenderungan praktek leiberalisme
ekonomi, modal dan investasi berputar pada kelompok kaya. Owner basis
ekonomi itu pun tidak pula pemiliknya anak bangsa, tetapi kekuatan asing
yang bekolaborasi dengan oknum orang di politik dan pemerintah. Rakyat
kehilangan kesempatan, hak sharing modal dan keuntungan berbagi, baik
dalam bentuk uang maupun lahan (Minang: tanah ulayat). Kelima faktor
sosial. Masyarakat di mana pun pasti ada konflik. Konflik terjadi karena
ada tabrakan kepentingan pribadi atau kelompok sosial di satu pintu.
Mungkin juga karena pendistribusian hak tidak seimbang dengan kewajiban
sosial.
Keenam faktor psikologis. Timbul gejala kejiwaan pribadi atau
kelompok, sederhanya saja karena gagal mendapat kepentingan. Orang atau
kelompok orang yang gagal dalam hidup dan kehidupannya, lalu sempat
ditarik dan mendapat tunggangan kuda tarik politik berhaluan keras, akan
mudah terhasut.
Keenam faktor yang menyebabkan lahirnya paham radikalis yang
berpotensi melahirkan teror tak kecuali di masjid, semestinya mendapat
perhatian dalam pemberdayaan masyarakat. Masjid dapat difungsikan
sebagai basis “penjernihan akidah” (di samping pusat ibadah) dan
“penyehatan mental ideologi” (di samping pusat kebudayaan dan
peradaban). Upaya ini, melahirkan kehidupan berbangsa dan beragama
memperlihatkan suasana santuan dan damai.
Santun dan Damai
Islam itu substansinya damai. Prioritas Nabi Saw, diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulia (dalam esensi adat: sopan- santun, berbudi
baik dan berbaso indah) adalah untuk kedamaian umat dan rahmatan
lil’alamin. Masjid didirikan pertama dalam hijrahnya Nabi SAW, sebagai
basis akidah dan pusat peradaban (bagian dari ideologi). Karenanya
kembali kepada sambutan Wapres dalam Muktamar VI DMI tadi, semakin
menarik. Ia juga mengharap: “kita berkepentingan mesjid terpelihara,
dan dalam pemakmurannya (ta’mir al-masjid) terus dijaga jangan jatuh
kepada penyebar gagasan yang tidak Islami seperti radikalisme,
fanatisme dan sectarian yang sesukanya menghembuskan permusuhan dalam
intern paham keagamaan dan antar paham umat yang punya kepercayaan
berbeda, juga sering memicu kegiatan provokatif yang bisa berujung pada
tindak radikal dan berbuat teror serta fasad.
Islam mengajarakan kerukunan dan sangat toleran. Sebaliknya dari
masjid di Indonesia hampir mencapai satu juta teramasuk mushalla,
masyarakat Islam ditantang memperlihatkan Islam dengan karakter damai
serta penuh rahmat Allah berasis di masjid. Karena dulu dalam kejayaan
peradaban misalnya di Minangkabau, surau (masjid–mushalla) efektif
menjadi simbol budi luhur, diprakarsai ninik mamak dan ulama serta
dikontrol cadiak pandai.
Namun Indonesia yang sangat majemuk: banyak agama, suku dan etnik
bahkan banyak paham Islam sendiri, menafsirkan Islam dengan karakter
damai itu pun berbeda seperti berbedanya memandang sikap radikal dan
moderat termasuk pemaknaan jihad tanpa memanggul senjata dan atau
langsung mengusung dan membidik senjata. Dalam mengungkap pandangan
itu, melahirkan komentar-komentar/pendapat berbeda. Di antaranya,
lahir pandangan seperti dari paham penegak khilafat, memandang
anjuran seperti tadi sebagai fenomena sikap Islam phobia. Dapat dituduh
keras pula menyingkirkan yang dipandang keras. Mereka khawatir pemimpin
tidak memahami dalam tanda dua petik “berjihad”, dan diposisikan
sebagai radikal dan terrorism, yang menurut paham ini tak harus
dialamatkan kepada kelompoknya. Justru sebaliknya memahami “jihad”
mulai dari gerakan sederhana, misalnya dalam ta’mir masjid, di sampang
dulu sebagai basis perjuangan menumpas penjajah, juga dimulai dari
merendahkan suara dan pengeras suara dalam mengumandangkan ceramah,
khotbah, dzikir, bacaan Alquran anak TPA, doa dan sebagainya, agar
tetangga yang non muslim dan atau muslim dengan paham agama yang berbeda
tenteram pula di rumahnya.
Itu satu di antara karakter Islam santun dan damai. Suara seperti ini
dalam Muktamar DMI pun Wapres menuai protes dari organisasi Islam,
DPR, organisasi pemuda dan sebagainya (Haluan, 28 April 2012). Ini
sebenarnya juga berakar dari ideologi dan akidah yang santun dan damai
dikumandangkan dari masjid. Tentu saja semua harapan dan gerakan ini di
garda terdepan adalah Dewan Masjid Indonesia. Semoga Allah bersama
kita.***
(Pengajar di IAIN-IB dan Mantan Pengurus DMI Sumbar)
Dimuat Harian Haluan,Jumat, 04 May 2012
Dimuat Harian Haluan,Jumat, 04 May 2012
Posting Komentar