Oleh Yulizal Yunus
Cukup banyak pilar-pilar sukses Wali Kota Padang Panjang dr. dr. H.
Suir Syam, M.Kes, MMR membangun. Non pisik bidang budaya dan pendidikan,
berhasil memfasilitasi penggalian adat budaya yang tumbuh, kembang dan
dipakai di salingka 3 nagari Padang Panjang yakni Gunung, Lareh Nan
Panjang dan Bukit Surungan, saya satu di antara penulisnya bersama
Armen, diterbitkan dalam 6 jilid buku ajar muatan lokal BAM SD-SMP sejak
tahun 2004. Plus memfasilitasi penulisan 6 jilid buku Budi Pekerti dan
12 jilid buku bahasa arab yang menceritakan lokal Padang Panjang
diajarkan di Pendidikan Dasar dan Menengah. Bidang pisik tercover
kecendekiaan Wako bersama masyarakat adat dipimpin penghulu (angku
Datuk) diperkuat unsure progresif (stakeholders kebijakan) dan aliansi
strategis lainnya (seperti peneliti perguruan tinggi terutama STSI dan
aktor pembangunan lainnya) menjadikan pusako tinggi sebagai investasi
mendukung pembangunan berbagai sarana dan prasarana yang monumental di
Padang Panjang terakhir setelah Rumah Sakit megah menyusul Kebun Raya.
Tulisan ini memaparkan isu sukses Wako Padang Panjang dengan asset
pusako tinggi. Banyak keluhan di beberapa wilayah Kabupaten dan Kota di
Sumbar bahkan menjadi isu publik yang amat merugikan masuknya investor,
yakni faktor tanah pusako tinggi di Minang (Sumbar) menghambat
pembangunan. Ternyata karena kepiawaian Wako Padang Panjang meng-awai,
justru tanah pusako tinggi menjadi faktor terkuat pendorong pembangunan.
Rasa terima kasih masyarakat justeru mendahului terima kasih Wako
kepada masyarakat adapt dipimpin Datuknya. Karena tanah pusako tinggi
yang diinvestasikan untuk pembangunan Padang Panjang, justru daya
gunanya berlipat ganda dan membangkik batang tarandam dalam kaum adat,
seperti banyak swah lading yang tergadai pada masa dahulu, kini dengan
hasil menginvestasikan ulayat mereka itu dapat menebus tanah basah dan
kering yang tergadai itu.
Taufik Dt. Mangkuto Rajo, tokoh adat terkemuka di Padang Panjang
sering bercerita kepada saya (penulis) ketika meneliti Budaya Padang
Panjang dalam rangka penulisan BAM, Budi Pekerti dan Bahasa Arab untuk
pendidikan dasar dan Mengah Padang Panjang. Wako dekat dengan para Ninik
Mamak. Karenanya wako dianjung tinggi ninik mamak dalam masyarakat adat
sebagai payung panji, tempat bernaung.
Karena Wako dekat dengan masyarakat adat dan pimpinan penghulu adat
(datuk), kapas saja saatnya Wako membutuhkan lahan untuk pembangunan
hamper tidak mendapat halangan yang berarti. Coba bayangkan Padang
Panjang, kalau salah-salah awai, setampok (selebar tapak tangan) saja
sulit mendapatkan tanah di Padang Panjang, apapun alasannya. Tapi karena
sudah bersama rakyat dan dirasakan rakyat sebagai kepentingan bersama,
apapun hambatan dapat ditembus.
Tanah pusako tinggi sama pemahamannya di seluruh wilayah Minang.
Ibarat batang kayu berbuah manis, buah manisnya boleh dimakan batangnya
tidak boleh dijual, apalagi tanah tempat tumbuhnya. Artinya tanah pusako
“tak boleh dijual” (dalam dua tanda petik). Di sini sering salah
mengerti stakeholders kebijakan publik, ketika investor datang, tanah
itu semua mau dikuasai investor, disertikat dan jadi modal investor,
bias memudahkan perbankan mengucurkan modal kerja. Artinya tanah pusako
tinggi sebagai hak komunal (milik kaum pada satu suku atau milik nagari)
menjadi hak privat (investor). Pemilik komunal (masyarakat adat dan
penghulu/ datuknya dan anggota ninik mamak) merasa kehilangan dan bisa
gigit jari, lalu muncul aksi, tidak mau menjual, saat ini investor dan
stakeholder kebijakan publik (pembuat kebijakan dan pengguna kebijakan):
berteriak, tanah pusako dan ninik mamak penghalang masuknya investor
dan pengahalang pembangunan. Teriakan ini salah sebenarnya, berakar dari
ketidakpahaman terhadap pusako tinggi dan tidak paham adat. Fenomena
ini sangat distorsi (pemutarbalikan fakta), justru tanah pusako tinggi
itu pendorong kuat pembangunan, dan investor dan stakeholders yang tidak
paham, akibat mengalihkan pusako tinggi sebagai hak komunil ini kepada
privat (pribadi/ perusahaan/ atau stakeholders kebijakan lainnya) justru
sebuah proses pemiskinan rakyat.
Bagaimana di Pandang Panjang? Tadinya tanah pusako “tidak boleh
dijual” (dalam tanda dua peting). Ya, visi dan persepsi masyarakat sama,
tidak boleh dijual. Kalau dijual ada faktor lainnya, dalam perspektif
local genius (kecerdasan lokal) Minang, yakni ada makna nilai tambah.
Satu dijual, satu hilang dua tiga pengganti datang. Dalam prakteknya
menjual pusako tinggi di Minang dengan makna nilai tambah itu tergambar
dalam 3 syarat menjual, karena: (1) rumah gadang ketirisan (bocor), (2)
mayat terbujur dalam rumah, (3) gadih gadang tak balaki (gadis tua tidak
dapat suami).
Rumah gadang simbol dari aset besar orang Minang. Kalau terancam
kerobohannya dibolehkan menjual pusaka untuk menyelamatkannya. Mayat
terbujur dalam rumah, simbol terhentinya semua perjuangan hidup dan
meninggalkan bengkalai, boleh menjual pusaka untuk melanjutkan
perjuangan dan meneruskan bengkalai bagi keberlanjutan hidup (survival)
Minang. Gadih gadang tak balaki simbol rasa malu tidak bisa meneroka
potensi besar bagi peningkatan produksi, boleh menjual pusaka bagi
kebahagiaannya.
Kata Taufik Dt. Mangkuto Rajo, lahan pusako yang diberikan ke Pemko
di Padang Padang menjadi faktor kuat pendorong pembangunan sarana
prasarana Kota Padang Panjang itu, disosialisasikan terlebih dahulu
kepada masyarakat supaya dimaknai nilai tambah. Hasilnya oleh masyarakat
digunakan untuk menebus sawah ladang yang tergadai sejak lama dan
membahagiakan mereka, di samping bisa menyejahterakan kaum ( memperkuat
dan menambah aset dan memperjuangkan kelangsung hidup kaumnya). Melihat
fenomena pertambahan nilai itu, malah banyak masyarakat yang menawarkan,
kenapa tanahnya juga tak diambil Pemko. Hanya saja disarankan, Pemko
terus memperkuat komitmen, menyediakan satu tempat (misal tempat dagang)
yang strategi di dekat lokasi lahan (yang diberikan itu) untuk kaum
yang punya tanah pusako sebagai aset ekonomi bagi kesejahteraan kaum
itu. ***
Padang Panjang, 22 Mei 2008
Posting Komentar