Yulizal Yunus
(Dosen Sastra Fakultas Adab –Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol,
sedang meneliti sastra ulama klasik Minang sampai abad ke-20).
(Dosen Sastra Fakultas Adab –Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol,
sedang meneliti sastra ulama klasik Minang sampai abad ke-20).
Skh. Haluan menurunkan novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” sebagai
cerbung setiap hari mulai selasa ini, patut diberi apresiasi.
Setidaknya ada tiga hal yang paling mendasar. Pertama penting bagi
penikmat sastra di kalangan muda. Fakta ilmiah, Tim Universitas Insaniah
Kedah kerjasama Puslit IAIN Imam Bonjol, meneliti Hamka 2010, ditemukan
anak muda Malaysia dan Indonesia nyaris tak kenal lagi Hamka sebagai
seorang sastrawan, karena di sekolah tidak muncul lagi ada kajian karya
sastranya, guru dan pelajaran bahasa Indonesia tidak berpihak lagi
kepada sastra lama, Bahasa Indonesia hanya untuk UN saja.
Kedua penting bagi sastrawan muda. Secara faktual dewasa ini, hampir
karya sastra termasuk yang disinetronkan di tv terkesan tidak at home di
negeri sendiri, konflik panjang-panjang menghilangkan kesan natural dan
tak berakar pada budaya sebagai roh dan identitas bangsa sendiri.
Ketiga, penting bagi ulama sekarang. Hamka sebagai seorang ulama
memandang sastra, sangat intens dan fenomenal. Beda dengan ulama
sekarang nyaris meninggalkan sastra dan dunia imajinasi, padahal sastra
tak lepas dari kehidupan umat dan sering menyulut akidah. Hamka seperti
juga ulama legendaries Minangkabau sampai abad ke-20, justru mereka
sudah menciptakan tradisi menulis sastra sekaligus menemukan sistem
sastra klasik meminjam istilah Braginsky (1998) sebagai sistem
antropomorfik untuk membentuk manusia menjadi makhluk rohani.
Hamka dengan novelnya ”Di Bawah Lindungan Ka’bah” mengesankan betapa
seorang ulama mentradisikan menulis sastra untuk mengikat kuat pertalian
imajinasi dengan akidah dan membuat orang punya nurani, halus dan
santun. Sepertinya tidak mau terulang fenomena Panjikusmin dalam
berimajinasi menyulut akidah dan membuat heboh umat. Hamka dalam novel
agungnya ini dan sudah difilmkam, mampu mempertautkan imajinasi dengan
basis akidah yang kuat, tanpa disadari novel ditulisnya untuk aghradh
(misi tema) meminjam istilah Emil Ya’qub (1987) sebagai al-adab
al-ta’limiy (sastra didaktik) mentransformasikan fakta pengetahuan
empiris dengan teknik bersastra dan ”ta’lim” (pengajaran) serta karakter
prilaku akhlak Islam yang kukuh akidah dan syari’ahnya.
Kepiawaian
Hamka dalam menjalin unsur sasta Islami: pengajaran yang indah, hikmah
dan irsyadah (panduan ke jalan yang benar) plus unsur estetika, erotika
yang tidak terlepas dari kontrol etika, tidak kurang membuat cerita dua
kekasih Hamid – Zainab ini dapat yuhadhid sami’ (membuai penikmat
sastra), terempati, hanyut berlinang air mata dalam alur cerita.
Pasalnya Hamka pandai benar menceritakan bagaimana Hamid – Zainab
terhalang menyatukan kasihnya bukan karena norm adat, tetapi terkekang
prilaku orang/ mamak minang dalam sistem penjodohan. Zainab
sakit-sakitan menahan rindu sampai mati dalam pingitan. Hamid sedih dan
sakit, karena sayup, kekasihnya duluan wafat, saat ia sudah bertekad
dari Mekah pulang menemui kekasihnya ini. Konvensasi Hamid teguh pada
sikap muslimnya menyempurnakan ibadah haji di Baitullah. Namun juga tak
tercapai oleh nafasnya, sehabis wuquf di Arafah besama temannya Saleh
suami dari Rosna teman akrab Zainab, menjelang ke Mina ia terjatuh,
digendong seorang Badui ke Ka’bah. Dalam lidahnya bermunajat kepada
Allah yang maha pengasih maha penyayang, suaranya tertelan, ia wafat
saat memegang kain kiswah penutup ka’bah. Novel ini imajinatif antara
dimensi cinta – prilaku tokoh adat – akidah, yang mengajarkan
berimajinasi perlu kuat akidah dalam prilaku.***
+ komentar + 1 komentar
Menilai dari kakan
Posting Komentar