Oleh Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo[1]
Nagari
ketika berubah menjadi Desa, otomatis janji orang Minang jadi usang
malah lupa. Janji itu “syarak mangato adat mamakai” implementasi
falasafah “Adat Basandi Syarak Basandi Kitabullah” (ABS-SBK). Tak cukup
Perda Sumatera Barat No.13/1983 menguatkan apalagi memenuhinya. Apakah
otonomi daerah di Sumatera Barat sekarang dengan sistim “kembali ke
Nagari berbasis Surau” sebagai implementasi UU No.22/ 1999 dan Perda
Sumatera Barat No.9/ 2000 mampu mengisi janji itu?.
ABS-SBK dari catatan Mestika Zed (2002:4) sering muncul dalam perbagai istilah yang bergonta ganti: sebagai falsafah atau pandangan hidup sebagai kebudayaan, tradisi, visi, identitas atau adat itu sendiri dll. Sejauh diikutinya tidak satupun yang membahasnya dalam pespektif perbandingan istilah (cross terminology), meski
pun sudah cukup banyak lembaga yang menyeminarkannya dan dicatatnya.
Pada bagian lain Mestika Zed (2002:6) mencoba menyimpulkan gagasan
ABS-SBK dari pendapat berkembang, pertama doktorin sosial orang Minangkabau, kedua mempunyai fungsi patokan value (nilai), ketiga sebagai
doktorin sosial tidak statis. Ia juga menjebut sebagai efistomologi
pemikiran Minangkabau yang sarat dengan cara pandang filosofis.
Pemikiran ini mengajak berfikir lebih dalam lagi mendekati adat Minang
dalam kaitan dengan Islam. Sebab satu sisi adat lebih banyak mengambil
contah pada alam dibanding kepada Islam, meskipun Islam sejak awal
turunnya menawarkan perintah iqra’ yang dapat dimaknai sebuah perintah membaca alam.
Terlepas
dari pro kontra memaknai ABS-SBK ini, ada baiknya menetapkan sikap
menyebutnya sebagai doktrin sosial orang Minangkabau, yang dalam tataran
ini orang Minang masa lalu merumuskan dirinya sebagai kelompok
masyarakat beradat, keluar dari diktum ini seperti yang disebut Mestika
Zed mengutip Taufik Abdullah berarti keluar dari ke-Minangkabauannya.
Satu hal yang menjadi pemikiran, kalau istilah masih tidak dimengerti
dan terjebak dalam perdebatan panjang, kapan lagi mau
mensosialisasikannya, sebagai sebuah janji (di Bukit Marapalam) oleh
para pemuka adat dan Islam.
Pengkhianatan (meminjam istilah Wisran Hadi) sudah
banyak terjadi terhadap janji ABS-SBK ini. Latar Perang Paderi (1821
–1837) satu di antaranya, sehingga mengakibatkan terdepaknya
kepemimpinan agama oleh adat yang ditopang Belanda. Menyusul nagari
berubah jadi desa tahun 1982 sebagai implementasi UU No.5 Tahun 1979.
Serta merta fenomena itu mengaburkan doktorin sosial Minang ini, bahkan
nyaris lenyap andai tidak ditopang Perda Sumbar No. 13/ 1983.
Nilai
dasar ABS-SBK dalam tataran identitas masyarakat Minang sebagai
kelompok masyarakat adat dan Islam, mengacu dr. Alis Marajo (2002:2) ada
4 nilai yakni budi, akal, ilmu, mungkin – patut. Disebut
Alis Marajo, setelah evolusi agama Majusi, Hindu, Budha (dan agama lain
disebut Mukhtar Naim Palbegu), maka Islamlah yang paling cocok dalam
memperkuat nilai-nilai dasar Minang. Tertuanglah dalam mamang adat : ka hakikat landasan budi/ ka tarekat landasan aka/ ka ma`rifat landasan mungkin dan patuik/ ka syari’at landasan ilmu.Berarti
nilai dasar Islam adalah (1) hakikat, (2) tarekat, (3) ma`rifat dan (4)
syari’at. Empat nilai dasar Islam ini digunakan sebagai pengayaan adat
dalam mengatur tertib sosial dalam bentuk norma disebut undang adat.
***
Nilai-nilai dasar adat itu disosialisasikan di lembaga-lembaga yang menjadi persyaratan berdirinya nagari, yakni (1) budi di surau (juga di gobah, palanta), (2) akal dibentuk di Balai, (3) Ilmu diuji di Gelanggang, dan (4) mungkin dan patut disosialisasikan di tepian tempat mandi.
Surau
sebagai simbol budi yang dalam pembinaannya adalah otoritas sosial
masyarakat penghulu, peranan itu nyaris tidak ada lagi. Peluang
sebenarnya dalam era otonomi ada UU 22/ 1999 dan Perda Sumbar No. 9/
2000, sebagai dasar pencanangan
sistem “kembali ke nagari” basisnya surau. Kembali ke nagari yang
dimaksudkan kembali membangun kehidupan bernagari yang ideal dan
penghulu kembali mempunyai surau untuk membuat kemenakannya berbudi
(berakhlak). Dalam prakteknya kembali membangun kehidupan bernagari
sejalan dengan perkembangan masyarakat modern Minang, ada hal yang
relistik dan optimis bisa dilaksanakan, namun ada pula aspek-aspek yang utopis
(angan-angan) dan pesimis dapat dilaksanakan. Pengembalian fungsi surau
termasuk di antaranya angan-angan, kecuali mungkin dalam format baru
surau basis, namun rumusannya meskipun alternatif pun belum ada.
Angan itu semakin diyakinkan dengan nostalgia dan apologetik membela pengalaman nagari masa lalu. Dipertebal pula sikap political euphoria dalam proses era perwujudan masyarakat madani (civil society) yang menekankan prakarsa peran serta (participation) masyarakat nagari dibanding prakarsa dan partisipasi negara dalam pembentukan subjek politik (social and political) baik infrastruktur politik yang terdiri dari political party, movement group (kelompok penggerak) dan pressure group (kelompok penekan), maupun suprastruktur terdiri dari NGO (Non Government Organization) atau LSM (Lembaga Sosial Masyarakat).
Aspek yang menjadi angan itu dalam kembali kepada kehidupan bernagari
secara ideal, sebenarnya cukup besar. Di antaranya yang sangat
fenomenal banyak dibahas Hasrifendi dan Lindo Karsya dalam bukunya Utopia Nagari Minangkabau (2003) yang saya siasati dalam sebuah pengantar saya dengan topik Pasang Surut Pemikiran Orang Minang. Ada beberapa kasus misalnya, (1) “Pengembalian Peranan Ninik Mamak”, di tengah-tengah terjadi kemerosotan charisma
dan krisis kepercayaan terhadap ninik mamak. Kerisis kepercayaan itu
disebabkan (a) fenomena menciutnya harta pusaka tinggi satu bentuk
materi hukum adat yang selama ini digunakan ninik mamak menegakkan
kharismanya dalam kaum, (b) semakin besarnya peranan ayah dalam bidang
materi serta perhatian terhadap anak dan kaburnya peranannya sebagai urang sumando
di kaum anaknya pada satu sisi dan di sisi lain ia seperti tidak merasa
sebagai mamak di kaumnya sendiri. Fenomena sikap lelaki dewasa Minang
itu pada gilirannya mengaburkan hubungan anak kepenakan, bagi seorang
ayah ialah anak dan bagi mamak ialah kepenakan; (2) mewujudkan surau basis
kehidupan bernagari di tengah-tengah surau tidak ada lagi, sebagian
sudah roboh dan sebagian telah menjadi masjid raya yang fungsi juga
tidak jelas. Dahulu musajik berfungsi sebagai tempat sosialisasi
tarekat, sekarang mengalami disintegrasi fungsi sosial
(meninggalkan nilai lama yang telah mapan dan menganut nilai baru yang
sepenuhnya belum dimengerti). Masjid sekarang kalau disebut pusat ibadah
tanggung, disebut fungsi pusat kebudayaan pun tak memiliki kapasitas
untuk itu. Lalu fungsi surau, dulu tempat menempa budi pekerti anak kemenakan, memungkinkan, dulu mereka tidur di sana dan arsitekturnya sehat surau bambu, sekarang surau batu,
orang tua khawatir anaknya bakal sakit tidur di sana. Dengan sikap
masyarakat terhadap surau sekarang pasca beralihnya pendidikan Islam
dari surau ke madrasah dan diperparah dengan langkanya surau yang
menjadi basis kehidupan bernagari, jangankan nilai dasar Minangkabau
tadi yang bisa tersosialisasi, bahkan memformat surau yang berpotensi
sebagai basis kehidupan nagari saja pun sulit.
Di
tengah problematika mencari surau basis di samping segudang masalah dan
angan kembali kenagari itu, ABS-SBK harus disosialisasikan, karena
janji telah dibuat lagi membangun kehidupan bernagari berbasis surau
demi keselamatan masa depan masyarakat modern Minangkabau dalam perspektif. Bagaimana caranya?.
***
Tidak ada cara lain selain harus memulai menjadikan ABS-SBK sebagai fiqh al-bathin (kode prilaku) dalam kehidupan Minang. Tindakan ini sebagai cara lain dari
berterima kasih, meminjam ungkapan Mestika Zed (2002:13) berbahagialah
masyarakat Minang yang mewarisi tradisi dan nilai kearifan nenek moyang
yang mempertautkan nilai-nilai adat dan nilai-nilai Islam sebagai suatu
kesatuan yang harmonis lewat khasanah pemikiran ABS-SBK ini.
Proses
sosialisasi ABS-SBK ini diperlukan kerja sungguh-sungguh dan sistemik.
Memperhatikan kondisi objektif nagari seperti tadi dengan melihat
potensi dan kelemahannya, menyidik pengaruh lingkungan strategis dengan
melihat secara jernih peluang
dan tantangan, bekerja dengan memperhatikan paradigma nasional daerah
dan sosial kemasyarakatan nagari. Kemudian menentukan subject (yang
punya otoritas sebagai pelaksana) yang bertanggung jawab, menetapkan
berapa aspek arah kebijakan yang akan dirumuskan ke dalam sebuah
program, kegiatan dan upaya dan dilakukan dengan metode strategis. Arah
sosialisasi ABS-SBK jelas mewujudkan kehidupan bernagari yang ideal atau
yang diharapkan, setidaknya: nagari aman, padi menjadi dan rakyat senang.
Kondisi
objektif nagari tadi dari awal sudah dicover sedimikian rupa, potensi
dan kelemahannya yang memang berada pada kondisi memerlukan pengisian
janji syarak mangato adat mamakai dalam ABS-SBK.
Dari fenomena lingkungan strategi baik lingkungan Internasional yang
arus transformasinya amat deras, kecenderungan pengaruh regional yang
menantang posisi tawar dan arah kebijakan nasional dalam otonomi daerah
serta Sumatera Barat yang memusatkan perhatian kembali ke nagari
berbasis surau, menantang nagari mengambil peluang menjadi nilai ABS-SBK
sebagai prilaku kehidupan masyarakat modern Minang dalam perspektif ke depan. Siapa yang berada di garda terdepan ?
Dilihat
dari stratifikasi sosial masyarakat Minang, maka kelompok sosial yang
paling punya otoritas sosial dan bertanggung jawab sebagai subject ada
tiga unsur besar. Pertama Persandingan Pemerintahan Nagari, DPN diperkuat BMAS, kedua unsur KAN dengan urang nan-4 jinih (penghulu[2], manti[3], dubalang[4], malin[5]) ditambah dengan urang jinih nan-4 (imam, katik, bila dan kadhi) dan ketiga unsur stake holder (komponen ninik mamak, alim ulama, Bundo Kandung, cadik pandai, pemuda) diperkuat pihak swasta.
Otoritas
sosial tiga unsure subject tadi, misalnya khusus komponen urang nan-4
jinih dan jinih nan-4 tadi, pendistribusian tugas/ kewajibannnya
terlihat dalam mamang adat (Alis Marajo, 2002:4): nan babudi penghulu/ nan baraka manti/ nan bailmu malim/ nan tahu dubalang.Tadi disebut nilai Islam yang paling cocok dalam memperkuat nilai-nilai dasar Minang yang tertuang dalam mamang adat: ka hakikat landasan budi/ ka tarekat landasan aka/ ka ma`rifat landasan mungkin dan patuik/ ka syari’at landasan ilmu.
Lembaganya adalah (1) surau tempat menempa budi, (2) musajik tarekat,
(3) balai membentuk aka, (4) di tepian mematangkan mungkin dan patuik.
Terlihat persandingan yang harmonis antara infra dan suprastruktur serta
stake holder lainnya sebagai pelaksana sosialisasi adat dan syarak
sejak dulu di Minangkabau.
Nilai
adat dan syarak itu kembali diaktualisasikan sebagai arah kebijakan
yang akan dituangkan dalam program, kegiatan serta upaya-upaya intensif,
ditopang dengan seperangkat strategi. Strategi mendasar setidak 4
metode: pertama recovery, diperlukan karena Sumatera Barat baru saja kembali ke nagari berbasis surau, perlu pemulihan kehidupan nagari ke arah yang ideal, kedua akuntabilitas untuk bekerja efisien, ketiga transparansi untuk bekerja efektif dan keempat sustainabilitas untuk memberikan jaminan. Strategi ke-2,3,4 dilaksanakan untuk memudahkan merekrut partisipasi dalam membangun komitmen kembali ke nagari dan mensosialisasikan ABS-SBK.
***
Di
antara bentuk sosialisasi ABS-SBK aspek budi dan indikator ukurnya
sudah digariskan dalam nilai syarak dan dipakai adat. Nilai-nilai itu
mengatur tingkah laku, perangai dan tata tertib sosial (taratik). Implikasinya sikap sopan santun dapat dilihat dalam life sycle (siklus kehidupan) masyarakat. Taratik yang memperlihatkan sopan santun Minang itu di atanranya:
a. Taratik duduak tagak
Adinegoro,
pernah mengcover 99 salah dalam sebuah tata kritiknya dalam disiplin
adat Minang. Di antaranya salah sikek, salah tagak, salah duduk dll.
Salah duduk digambarkannya: baju lapang nan bapakai/ nan tuo didahulukan/ patuik bajuntai bajuntai/ patuik baselo baselo/ duduk jan galisah. Dalam pergaulan, ninik mamak marah serta merta bila kapanakan mengangkat kaki saat duduk di depan mamak.
Di
dalam perhelatan juga ditata adat jangan sampai masyarakat adat salah
kadudukan. Bentuknya mamak tidak duduk di ujung, sumando tidak duduk di
pangka.
Lebih
luas dalam tata pergaulan sosial masyarakat adat, ada proporsi yakni
duduk tagak sesuai dengan tata karama. Janggal seseorang duduk atau
tagak di tapi labuah. Jangan duduk tagak di labuah, nanti bisa tasinggung ka nanyiak talantung ka turun.
Demikian gaya tagak dan tagak itu di labuah nan golong pula (termasuk
di pinggir jalan). Tagak pinggang di tapi labuah nan golong diartikan di
dalam persepsi adat dengan mancari lawan. Kalau lawan dicari pasti
dapaek lawan. Perinsip orang Minang, lawan indak dicari basuo pantang dielakan.
b. Taratik Bakawan
Tertib berkawan di Minangkabau mencerminkan citra kawan sejati. Dalam Islam diamanahkah innama l-mukminuna ikhwah. Dirinya
sama dengan diri temannya. Lama dek awak katuju dek urang, tidak lamak
dek kukuran saja, tajam sabalah, karambi nan habis. Nilai ini
mengaplikasikan ajaran Islam …yuhib linafsihi (mencintai teman sama dengan diri sendiri).
Citra bakawan dalam tataran adat Minang, di antaranya malu samo ditutuik, tuah samo dicari.
Kalau rugi samo mancucui, kalau balabo samo dibagi, jan diguluang
surang. Barek tolong manolong. Lupo baingekan, talalok bajagokan, salah
basapo tuka baasak.
Merawat citara bakawan itu di Minang, diingatkan bakawan jo rang maling tabao maling, bakawan jo rang alim tabao alim.
c. Taratik Bakato
Teknik berbicara diajarkan oleh adat, bakato marandah dan mangecek gulung-gulung lidah. Dengan siapa lawan bicara, sudah tahu lawan bicara, berbicaralah tapi tahu dengan nan ampek.
Tempat berbicara pun haras diperhatikan. Kata adat: batampek mangecek, ota lapau di lapau, ota adat dalam upacara adat. Materi bicara pun diamanahkan, hati-hati, apa yang manjadi buah kecek).
Nilai ini berakar dari katao syarak: kalau mangecek ada tiga teknik dan
materi serta lawan bicara. Kepada yang dimuliakan gunakan teknik kata karim (bicara yang tidak menjatuhkan martabat dan kemuliaan orang yang lebih tua dan terhormat), kata makruf (bicara benar kenal dengan lawan bicara, sehingga tidak melecehkan dan menyinggung), dan kata sadid (bicara yang halus, bening dan menyejukan semua lapisan lawan bicara). Mangango dulu baru mangecek, supaya berbicara tidak seenak perut. Mangango dulu baru mangecek sebenarnya mengidentifikasi keteladanan cara berkatanya Nabi saw dalam keyakinan syari’at: nuthqi dzikran
(bila ku berbicara, berarti ku mengingat Allah). Terhindar berbohong.
Orang berbohong sama bertopeng, gugup, takut, bingung kalau-kalau sikap
kamuflasenya dan topengnya terbuka.
d. Taratik bajalan, kapai dan kapulang
Bajalan, pulang dan pergi adat tertib sosial masyarakat Minang. Berjalan digambarkan dalam kewaspadaan adat: enjek-enjek kaki, jan ada kesan saumpamo kacang diabuih ciek.Dalam berjalan bajalan ba nan tuo. Dalam Islam berjalan terutama berombongan minimal dua orang, harus ada yang memimpin (nan tuo, umur dan kecakapan).
Dalam berjalan, minta permisi nak daulu, kalau ingin lebih cepat. Abi cupak dek karelaan, lipuih adok jo palilisan (mendahului orang tua tanpa izin ntar kualat lu). Dalam sebuah perjalan ada yang ditinggalkan, diatur etikanya: pai jo mufakat – jansampai tak babarito. Tingga jo runding – jan sampai tak tampak punggung.
Pulang babarito. Pasti banyak yang dilihat dalam jauhnya berjalan dan banyak nan basuo. Pulang tampak muko, perlihatkan muko nan janiah dn hati nan suci. Berceritalah, jauh bajalan banyak nan basuo. Ajaran Islam: berjalanlah, berdarmawisata itu ada 5 manfa’at: (1) tafarrukhu l-hammi (refresing, menghilangkan pusing), (2) iktisab ma`isyah (mencari
hidup, berbisnis), (3) al-`ulum (mencari ilmu), (4) al-adab (pengayaan
budaya kehidupan yang berbudi) dan (5) suhbat al-majid (mencari kawan
yang baik-baik). Karenan berjalan bagian perintah Islam, berjalanlah agar sehat (panjang umur), penggalan dari Hadis Nabi saw.
e. Taratik babuek
Babuek (bekerja) dalam tata krama adat diingatkan, jan sumbang salah, dago dagi. Jangan sampai terpanjat kayu berduri, setidaknya cemo, karena basuluah mato hari, bagalanggang mato rang banyak. Implikasinya membuat pribadi selalu bingung dan tegang. Orang, sekali loncong ke ujian seumur-umur orang tidak percaya.Untuk memelihara perbuatan, padai-padai berbuat baik, berbuat buru jauh sekali.
f. Taratik mambagi hak dan kewajiban
Nagari
sudah mempunyai kewenangan dalam pemerintahannya. Kewenangan ada dua
sifat, yakni otonomi murni dan sektoral. Dalam pelaksanaannya
pemerintahan nagari didasarkan kepada nilai-nilai adat salingka nagari
baik dalam sisteim nilai maupun secara struktural yang bapucuk bulek ke atas dan berakar kebawah.
Implementasi
kewenangan dalam tataran adat salingka nagari, pemerintahan nagari
berfungsi: (a) sebagai fasilitator (1) kembangkan masyarakat madani
(NGO/ LSM subur, perjuangan masyarakat secara etis dan bertanggung jawab
perbaiki nasib sendiri), (2) fasilitasi KAN dalam urus sako pusako
antar suku, keputusan adan dan hukum adat dalam tabang manumpu inggok
mancakam, pemberian gelar adat, tanah ulayat, symbol/ lembaga adat,
sistem adat dalam lingkaran hidup (life sycle) masyarakat, (b)
membuat peraturan Nagari dan kehidupan masyarakat Nagari dengan
persetujuan kepada masyarakat adat Nagari melalui Badan Musyawarah Adat
dan Syarak (BMAS) dengan mekanisme menyatukan aspirasi dan pendapat pada
lembaga ninik mamak (KAN) dan lembaga ulama yang berperan sebagai
tempat bermufti (minta fatwa) tentang syarak mangato dan adat mamakai,
(c) memantapkan pelaksanaan adat basandi syarak syarak basandi
kitabullah, dll. Artinya wali nagai dalam wilayah admistrasi
pemerintahan nagari tidak menafikan peranan pemuka adat dalam nagari
sebagai sub kultur Minangkabau.
g. Taratik mandi
Tatakrama mandi, nilai adat menanamkan ajaran antri. Bak pai orang mandi nan daulu didaulukan. Etika mandi ini dahulu terlihat citra mandi di picuran.
Berbeda
mandi di tepian. Tepian itu sendiri menjadi forum mengukuhkan mungkin
dan patuik. Makanya nilai mandi di tepian diajarkan adat: mandi di bawuah-bawuah (baruh) sama halnya dengan berbicara merendah :mangecek di bawah-bawah).
Mandi di baruh itu ada nilai kemanusiaan. Kalau tidak mau di baruh
mandi, di atas (di hulu) jangan seenaknya berak dan kencing di atas.
Siapa seenaknya kencing dan berak di tepian atas, berarti tidak
menghargai orang di baruh, melanggar HAM orang di baruh dan suatu
pertanda orang di atas dikhawatiri imannya, karena tidak mengasihi orang
lain seperti dirinya.
Mandi di tepian bakain sampiang. Kain samping itu di waktu pagi orang melihat, kalau kain samping basah dan tersampai di sampaian, tando orang di rumah itu sudah sumbayang subuh.
h. Taratik makan dan minum
Tatakrama makan minum, duduak baselo bagi laki-laki, basimpuah bagi parampuan. Mulai makan diisyaratkan kulimek (hemat). Meskipun lapar, dihindari terlihatnya citra lapa dan cangok (rakus).
Ibarat menaiki jenjang mulai dari tangga
pertama. Kalau ada 7 macam makanan, mulailah mengambilnya dari sayur.
Ingat ajaran Nabi Sulaiman!, membuang orang kelaut karena tatakrama
makan tidak tahu, memulai mengambil sambal dari ikan.
Kapasitas makan tidak boleh israf (berlebih), sasuok duo suok kanyang. Kalau mau makan banyak dan kenyang-kenyang di rumah sendiri. Di tempat rami atau kenduri makan baradat,
diutamakan basa basi. Karenanya jangan terkesan rakus dan tak tahu
adat, disunatkan sebelum pergi baralek makan dahulu di rumah, supaya
nafsu makan kurang dan tidak terjangkaukan tangan kepada makanan yang
jauh dianggap cemo di mata orang banyak.
Minum juga demikian ada tatakrama.
Kalau minum pakai tadah dan ditutup minuman untuk penghulu. Dalam
kenduri kalau belum dipersilakan minum, tidak boleh minum. Kalau bertamu
dan diberi minum, gelasnya pakai tadah, maka etikanya mengangkat gelas
dengan tadahnya pada hirupan pertama.
i. Jago dan lalok
Tidur pun ada kearifan orang adat. Kalau mau tidur, sesuaikan panjang badan jo laweh lapiak. Lalok basamo jan mangatua (bagalung). Dicegah banyak tidur siang, atau bangun tinggi hari. Biasa jadi ocehan lalok tinggi hari (siang), ditandai sikapnya suka
main enak saja. Suka mendapat saja tanpa banyak bekerja. Urang laweh
pusako pamalas, urang lalok tinggi hari yang mendapat, sebuah kias.
Situasi lalok pun diberi isyarat adat. Jan lalok paruik kanyang, putih urek paruik. Jan manangkuik mati amak. Lalok sesudah makan dicap kebiasaan buruk dalam adat.
***
Betapa
mempesona sikap keseharian orang Minang sebagai kelompok sosial adat
dan Islam dalam tataran ABS-SBK. Pada bagian akhirnya ditegaskan,
tersosialisasinya ABS-SBK ini dan menjadi kode prilaku orang Minang
dalam kehidupan sehari-harinya, pastilah akan mengukuhkan citra Minang
kelompok masyarakat adat dan Islam itu. Pada gilirannya cita nagari akan
mudah diwujudkan: nagari aman, rakyat sanang, padi manjadi***
Padang, 12 Jannuari 2004
[1]Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Lektor Kepala (merangkap PD-III) pada Fakultas Ilmu Budaya (Adab) IAIN Imam Bonjol, Ketua STAI Balaiselasa, Ketua KAN Taluk
Batangkapas Pesisir Selatan. Makalah presentasi pada Pelatihan Adat dan
Budaya Minangkabau di Pesisir Selatan, 12 Januari 2004. Marteri yang
sama pernah dipresentasikan pada Pelatihan Manajemen Informasi dan
Komunikasi Kelembagaan Adat Alam Minangkabau bagi Pengurus KAN- LKAAM
dan Bundo Kandung se Kota Padang, 9 – 14 Juni 2003 (dua angkatan).
[2]Penghulu
punya kewajiban manyalasaikan nan kusuik, mampajaniah nan karuah,
mamainkan undang-undang, mamaliharo anak kapanakan, mamaliharo nagari,
mamaliharo adat. Karena itu ia punya pantangan: tidak boleh merah muka,
mahariak, menyingsingkan lengan baju, balari-lari, manjinjiang, mamanjek
dll. Haknya karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalawik
babungo karang, kasaungai babungo pasia, kaladang babungo tanah,
kakampuang bapadi abuan. Tugasnya menghukum anak kapanakan yang bersalah
pada adat (Amir MS, 1988).
[3]Fungsi hakim adat menyelesaikan dan menghukum silang selisih dan sengketa anak nagari.
[4]Fungsi hukum syarak menyelesaikan dan menghukum anak kemenakan yang bersalah sepanjang syarak juga tempat bermufti (minta fatwa)
[5]Fungsi keamanan, mengamankan huru hara dan keributan di nagari.
Posting Komentar