Oleh Yulizal Yunus
Era ini, gampang benar orang terpropokasi protes. Demonstrasi dan
aksi mogok. Tidak saja portes terhadap sistem perwakilan di DPR, pindah
terminal bus (dari Pasar Raya Padang bekas kuburan Belanda itu ke
Terminal Bingkuang di Ayia Paca) pun ribut lagi. Mestinya secara
rasional perubahan baru memberikan kesegaran. Tapi malah menimbulkan
kegoncangan bahkan jadi konflik. Apa sebenarnya yang terjadi? Kadang seperti kehilangan kepribadian. Manalagi identitas Minang Kota?.
Ada simpul tergesa, terjadinya kegoncangan menyusul sebuah perubahan
baru (baca pindah terminal Padang), di antara sebabnya kegagalan Public
Relation (PR) Padang. Komunikasi kurang nyambung dengan kelompok sosial
kota yang punya role and identity. Lebih jauh dari itu, dimungkinkan
penyebabnya identitas Minang kota telah hilang, cara berfikir surut.
Mana pola pikir orang Minang dulu yang pemikirannya kuat, terjalin
secara sintetikal tiga unsur budaya agama dan adat dengan sain (iptek).
Jalinan budaya tiga unsur itu memberikan landasan filosofis berfikir
rasional, egaliter dan terbuka. Sekarang?. Surut dan bangkrut, rasional
vs irrasional, egaliterian berhadapan dengan (in/ out) group yang
eporia, terbuka menjadi bertelanjang. Mana sesamping adat Minang dulu!.
Sebenarnya rasional saja perubahan di Padang. Dari sudut pandang ilmu
sosiologis, kota adalah suatu kediaman manusia yang besar. Sifat kota
dengan penduduk yang padat, terdapat hasrat untuk menyusun pusat kota
sebagai pusat perkantoran, pertokoan dan sarana-sarana lain. Itu
dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan. Penataan itu kepadatan tergusur
oleh saranan-sarana lain yang dibangun (Prof. Dr P.J Bouman,
1961:136-137).
Padang sedang menata tata ruang (RTRW), menyusun pemusatan sarana
angkutan (membangun terminal baru). Mengurangi kepadatan di Pasar Raya.
Mestinya mendapat sokongan semua pihak, karena memberi ruang bernafas
dari lokasi padat ke ruang baru yang renggang. Tetapi malah protes?. Apa
inti persoalannya?.
Satu sisi, dimungkinkan sosialisasi perubahan masih dihambat jurang
pemisah yang dalam antara pemerintah dan rakyat. Hal itu mungkin karena
kemunikasi belum nyambung dengan berbagai kelompok sosial kota. Pindah
terminal sudah dilakukan, sosialisasi belum mantap dan terpadu dengan
berbagai kelompok sosial. Di antaranya yang terpenting kelompok sosial
pedagang pasar, kelompok sosial pengusaha jasa angkutan dalam/ luar kota
(daerah dan antar provinsi), kelompok sosial penertiban jalan raya di
terminal, kelompok sosial pengguna jasa angkutan yang masih punya
ketergantungan besar dengan terminal lama yang dekat dengan pusat
perbelanjaan.
Kelompok sosial pengguna jasa angkutan misalnya, merasa semakin sulit.
Mereka masih membeli barang ke pusat kota, pengangkutan dicari keluar
kota. Sebagai konpensasi mereka mencari cara yang termudah. Melakukan
kontak dengan pengusaha jasa angkutan untuk mangkal di jalur terdekat ke
daerah mereka. Agen baru pun bermunculan. Siapa tahu pun ada backing-an
dari oknum. Berdirilah terminal bayangan non satelit antar daerah.
Penertiban pun longgar. Yang patuh masuk terminal tidak dapat penumpang.
Yang melanggar sarat penumpang. Kesenjangan itu memicu arus protes,
demo dan mogok. Kota lumpuh.
Ada teriakan: perubahan itu dipaksakan!. Sebenarnya perubahan itu
dilakukan, mungkin sudah, tetapi patut belum. Siapa yang harus
memikirkan. Tentulah Pemko bersama masyarakatnya.
Di kota banyak tokoh akademisi bidang sain (iptek), tokoh agama dan
pemuka adat dalam berbagai peranan (role) dan identitas (identity)
tambahan seperti politisi, ekonom, pendidik, budayawan, sosiolog dll.
Mereka ada bertaraf pendidikan tinggi dan keilmuannya setingkat doktor
serta taraf kematangan berfikiran setingkat kepangkatan professor. Namun
kota dalam merespon perubahan terjadi, seperti membentuk image minor.
Quo vadis masyarakat Minang Kota?.
Dari image dan suara minor itu, sepertinya Minang tinggal kenangan. Yang
ada nostalgia cerita menarik anak cucu dan apologia pembelaan terhadap
kebesaran dan supremasi yang pernah diraih masa lalu. Sepertinya masih
perlu menjadi catatan, ungkapan polemis Gus Dur, orang Minang tidak
ditemukan lagi pada level yang bisa berbicara pada tingkat nasional. Apa
masalahnya? Pemecahan, memerlukan diskusi kritis.
Secara kategoris, ungkapan Gus Dur bisa menaruh purbasangka dan
pelecehan terhadap tokoh Minang, tetapi juga bisa menggenjot nyali.
Namun bisa saja jadi kenyataan. Untuk penyelesaian konflik lokal saja
sepertinya Minang apalagi Minang Kota, kehilangan tokoh berpengaruh.
Masyarakatnya seperti gampang terpropokasi bahkan terkontaminasi
kepentingan sesa’at. Kadang yang diteriakan dan diperjuangkan tidak
jelas. Kalau dibilang pak turut terlalu keras. Apa memang minang krisis
tokoh dan mengalami pasang surut pemikiran. Bung St. Zaili Asriel dkk.,
secara konkrit mencoba mengacak-acak fenomena ini berwujud gerakan
konkrit membidani lahirnya Saga, Majalah Budaya (undangan pertama
pendirian di Padang Ekspres, 17 Desember 2000). Sepertinya mem-follow
up-i gerakannya tahun 1980-han bersama rekan-rekan penulis lainnya
menulis tokoh-tokoh dan ulama Minangkabau masa lalu. Itu, dalam upaya
pewarisan nilai.
Belajar dari cara Minang Kota meresponi berubahan, persoalan kontemporer
ke-Minangkabau-an semakin jadi manarik. Teramati, sebenarnya Minang
kini bukan saja krisis tokoh juga krisis kpribadian dan identitas. Kalau
tidak terlalu keras saya ingin mengatakan, lelaki di Minang sa’at ini
kehilangan identitasnya. Indikatiornya, lelaki Minang sering berprilaku
tidak menjadi lelaki Minang. Ketika lelaki dewasa misalnya memprotes
esksistensi ninik mamak, lelaki itu —ketika itu— dapat dikatakan sudah
kehilangan identitasnya. Kerena yang ia protes mamak, ia sendiri mamak,
berarti memprotes status diri sendiri sebagai lelaki Minang. Ia tidak
mengkui status dirinya lelaki Minang. Berarti pula ia tidak lelaki
Minang menjadi asing di Minang. Setiap Lelaki Minang dewasa adalah
mamak, waktu kecil ia anak kemanekan.
Di Minang meskipun mencari kebulatan pendapat, basilang kayu dalam
tungku, namun tidak ditemukan nilai budaya main protes dalam bentuk
demonstrasi. Sebab di Minang ada pranata untuk menata kode prilaku (fiqh
bathin) disebut taratik (berprilaku sesuai norma dan hokum). Mamak
bataratik. Kamanakan bataratik. Dalam menyampaikan aspirasi dan
pemikiran atau keberatan, ada taratik. Nilai adat menyebutkan: ateh namo
kamanakan jan basorak di nagari / ateh namo mamak katokan ka pangulu /
pangulu pucuk ado pada setiap suku/ di nagari ado ampek suku / persoalan
sampai di pangulu pulangkan ka nagari / disidangkan oleh ampek suku.
Jadi kemanakan tidak percaya mamak ketika itu ia tidak lagi bernama
kemanakan. Kalau tidak ada kamanakan tidak ada pula mamak. Berarti
lelaki Minang kehilangan status. Kemenakan adalah lelaki Minang yang
masih berstatus anak. Mamak adalah lelaki Minang yang sudah dewasa dan
kawin.
Kalau pranata adat ini masih mampu melakukan tertib sosial masyarakat
Minang termasuk Minang Kota, sebenarnya apapun bentuk gejolak meresponi
perbuhan yang terjadi, pastilah ada jalan penyelesaiannya. Saya kira tak
kecuali persoalan perubahan dalam bentuk pindah terminal Padang ini.
Ninik mamak dapat difungsikan. Ninik mamak akan bisa berperan.
Syarat ninik mamak dapat berperan, statusnya sebagai mamak dan penghulu
tetap kuat di mata lelaki muda Minang yang berstatus anak atau
kemenakan. Kalau status kuat ia dianggap legal melakukan berbagai
kegiatan sesuai fungsinya. Dengan kuat status dan aktifnya mamak secara
musyawarah menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupan serta mendengar
aspirasi kemenakannya di nagari, mamak akan punya kharisma di mata anak
kemenakan. Coba bayangkan kalau mamak di Padang berperan, statusnya
kuat, aktif dan punya kharisma. Apa yang tidak bisa diselesaikan.
Pemerintah Kota pun jadi kuat.
Jadi persoalan responshibiliti masyarakat Padang dan kelompok sosialnya
terhadap perubahan yang terjadi (termasuk pindah terminal), alternatif
cara coba pulangkan persoalannya ke kehidupan nagari. Bagaimana bentuk
kearifan kehidupan nagari di Minang Kota, dan bagaimana elanvitgal mamak
dan kemanakan dalam nagari di Padang, pastilah ada resep penghulu di
setiap suku dalam nagari.
***Penulis, Lektor Kepala Sastra Fak. Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol, juga
seorang penghulu pucuk di sukunya Kampai Nyiur Gading bergelar Dt. Rajo
Bagindo.
Padang, 19 Nov 2002
Posting Komentar