Headlines News :
Home » » Identitas Minang

Identitas Minang

Written By Unknown on Rabu, 23 Oktober 2013 | 08.20


Oleh Yulizal Yunus


Era ini, gampang benar orang terpropokasi protes. Demonstrasi dan aksi mogok. Tidak saja portes terhadap sistem perwakilan di DPR, pindah terminal bus (dari Pasar Raya Padang bekas kuburan Belanda itu ke Terminal Bingkuang di Ayia Paca) pun ribut lagi. Mestinya secara rasional perubahan baru memberikan kesegaran. Tapi malah menimbulkan kegoncangan bahkan jadi konflik. Apa sebenarnya yang terjadi? Kadang seperti kehilangan kepribadian. Manalagi identitas Minang Kota?.

Ada simpul tergesa, terjadinya kegoncangan menyusul sebuah perubahan baru (baca pindah terminal Padang), di antara sebabnya kegagalan Public Relation (PR) Padang. Komunikasi kurang nyambung dengan kelompok sosial kota yang punya role and identity. Lebih jauh dari itu, dimungkinkan penyebabnya identitas Minang kota telah hilang, cara berfikir surut.

Mana pola pikir orang Minang dulu yang pemikirannya kuat, terjalin secara sintetikal tiga unsur budaya agama dan adat dengan sain (iptek). Jalinan budaya tiga unsur itu memberikan landasan filosofis berfikir rasional, egaliter dan terbuka. Sekarang?. Surut dan bangkrut, rasional vs irrasional, egaliterian berhadapan dengan (in/ out) group yang eporia, terbuka menjadi bertelanjang. Mana sesamping adat Minang dulu!.

Sebenarnya rasional saja perubahan di Padang. Dari sudut pandang ilmu sosiologis, kota adalah suatu kediaman manusia yang besar. Sifat kota dengan penduduk yang padat, terdapat hasrat untuk menyusun pusat kota sebagai pusat perkantoran, pertokoan dan sarana-sarana lain. Itu dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan. Penataan itu kepadatan tergusur oleh saranan-sarana lain yang dibangun (Prof. Dr P.J Bouman, 1961:136-137).

Padang sedang menata tata ruang (RTRW), menyusun pemusatan sarana angkutan (membangun terminal baru). Mengurangi kepadatan di Pasar Raya. Mestinya mendapat sokongan semua pihak, karena memberi ruang bernafas dari lokasi padat ke ruang baru yang renggang. Tetapi malah protes?. Apa inti persoalannya?.
Satu sisi, dimungkinkan sosialisasi perubahan masih dihambat jurang pemisah yang dalam antara pemerintah dan rakyat. Hal itu mungkin karena kemunikasi belum nyambung dengan berbagai kelompok sosial kota. Pindah terminal sudah dilakukan, sosialisasi belum mantap dan terpadu dengan berbagai kelompok sosial. Di antaranya yang terpenting kelompok sosial pedagang pasar, kelompok sosial pengusaha jasa angkutan dalam/ luar kota (daerah dan antar provinsi), kelompok sosial penertiban jalan raya di terminal, kelompok sosial pengguna jasa angkutan yang masih punya ketergantungan besar dengan terminal lama yang dekat dengan pusat perbelanjaan.

Kelompok sosial pengguna jasa angkutan misalnya, merasa semakin sulit. Mereka masih membeli barang ke pusat kota, pengangkutan dicari keluar kota. Sebagai konpensasi mereka mencari cara yang termudah. Melakukan kontak dengan pengusaha jasa angkutan untuk mangkal di jalur terdekat ke daerah mereka. Agen baru pun bermunculan. Siapa tahu pun ada backing-an dari oknum. Berdirilah terminal bayangan non satelit antar daerah. Penertiban pun longgar. Yang patuh masuk terminal tidak dapat penumpang. Yang melanggar sarat penumpang. Kesenjangan itu memicu arus protes, demo dan mogok. Kota lumpuh.

Ada teriakan: perubahan itu dipaksakan!. Sebenarnya perubahan itu dilakukan, mungkin sudah, tetapi patut belum. Siapa yang harus memikirkan. Tentulah Pemko bersama masyarakatnya.

Di kota banyak tokoh akademisi bidang sain (iptek), tokoh agama dan pemuka adat dalam berbagai peranan (role) dan identitas (identity) tambahan seperti politisi, ekonom, pendidik, budayawan, sosiolog dll. Mereka ada bertaraf pendidikan tinggi dan keilmuannya setingkat doktor serta taraf kematangan berfikiran setingkat kepangkatan professor. Namun kota dalam merespon perubahan terjadi, seperti membentuk image minor. Quo vadis masyarakat Minang Kota?.

Dari image dan suara minor itu, sepertinya Minang tinggal kenangan. Yang ada nostalgia cerita menarik anak cucu dan apologia pembelaan terhadap kebesaran dan supremasi yang pernah diraih masa lalu. Sepertinya masih perlu menjadi catatan, ungkapan polemis Gus Dur, orang Minang tidak ditemukan lagi pada level yang bisa berbicara pada tingkat nasional. Apa masalahnya? Pemecahan, memerlukan diskusi kritis.

Secara kategoris, ungkapan Gus Dur bisa menaruh purbasangka dan pelecehan terhadap tokoh Minang, tetapi juga bisa menggenjot nyali. Namun bisa saja jadi kenyataan. Untuk penyelesaian konflik lokal saja sepertinya Minang apalagi Minang Kota, kehilangan tokoh berpengaruh. Masyarakatnya seperti gampang terpropokasi bahkan terkontaminasi kepentingan sesa’at. Kadang yang diteriakan dan diperjuangkan tidak jelas. Kalau dibilang pak turut terlalu keras. Apa memang minang krisis tokoh dan mengalami pasang surut pemikiran. Bung St. Zaili Asriel dkk., secara konkrit mencoba mengacak-acak fenomena ini berwujud gerakan konkrit membidani lahirnya Saga, Majalah Budaya (undangan pertama pendirian di Padang Ekspres, 17 Desember 2000). Sepertinya mem-follow up-i gerakannya tahun 1980-han bersama rekan-rekan penulis lainnya menulis tokoh-tokoh dan ulama Minangkabau masa lalu. Itu, dalam upaya pewarisan nilai.

Belajar dari cara Minang Kota meresponi berubahan, persoalan kontemporer ke-Minangkabau-an semakin jadi manarik. Teramati, sebenarnya Minang kini bukan saja krisis tokoh juga krisis kpribadian dan identitas. Kalau tidak terlalu keras saya ingin mengatakan, lelaki di Minang sa’at ini kehilangan identitasnya. Indikatiornya, lelaki Minang sering berprilaku tidak menjadi lelaki Minang. Ketika lelaki dewasa misalnya memprotes esksistensi ninik mamak, lelaki itu —ketika itu— dapat dikatakan sudah kehilangan identitasnya. Kerena yang ia protes mamak, ia sendiri mamak, berarti memprotes status diri sendiri sebagai lelaki Minang. Ia tidak mengkui status dirinya lelaki Minang. Berarti pula ia tidak lelaki Minang menjadi asing di Minang. Setiap Lelaki Minang dewasa adalah mamak, waktu kecil ia anak kemanekan.

Di Minang meskipun mencari kebulatan pendapat, basilang kayu dalam tungku, namun tidak ditemukan nilai budaya main protes dalam bentuk demonstrasi. Sebab di Minang ada pranata untuk menata kode prilaku (fiqh bathin) disebut taratik (berprilaku sesuai norma dan hokum). Mamak bataratik. Kamanakan bataratik. Dalam menyampaikan aspirasi dan pemikiran atau keberatan, ada taratik. Nilai adat menyebutkan: ateh namo kamanakan jan basorak di nagari / ateh namo mamak katokan ka pangulu / pangulu pucuk ado pada setiap suku/ di nagari ado ampek suku / persoalan sampai di pangulu pulangkan ka nagari / disidangkan oleh ampek suku. Jadi kemanakan tidak percaya mamak ketika itu ia tidak lagi bernama kemanakan. Kalau tidak ada kamanakan tidak ada pula mamak. Berarti lelaki Minang kehilangan status. Kemenakan adalah lelaki Minang yang masih berstatus anak. Mamak adalah lelaki Minang yang sudah dewasa dan kawin.

Kalau pranata adat ini masih mampu melakukan tertib sosial masyarakat Minang termasuk Minang Kota, sebenarnya apapun bentuk gejolak meresponi perbuhan yang terjadi, pastilah ada jalan penyelesaiannya. Saya kira tak kecuali persoalan perubahan dalam bentuk pindah terminal Padang ini. Ninik mamak dapat difungsikan. Ninik mamak akan bisa berperan.

Syarat ninik mamak dapat berperan, statusnya sebagai mamak dan penghulu tetap kuat di mata lelaki muda Minang yang berstatus anak atau kemenakan. Kalau status kuat ia dianggap legal melakukan berbagai kegiatan sesuai fungsinya. Dengan kuat status dan aktifnya mamak secara musyawarah menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupan serta mendengar aspirasi kemenakannya di nagari, mamak akan punya kharisma di mata anak kemenakan. Coba bayangkan kalau mamak di Padang berperan, statusnya kuat, aktif dan punya kharisma. Apa yang tidak bisa diselesaikan. Pemerintah Kota pun jadi kuat.

Jadi persoalan responshibiliti masyarakat Padang dan kelompok sosialnya terhadap perubahan yang terjadi (termasuk pindah terminal), alternatif cara coba pulangkan persoalannya ke kehidupan nagari. Bagaimana bentuk kearifan kehidupan nagari di Minang Kota, dan bagaimana elanvitgal mamak dan kemanakan dalam nagari di Padang, pastilah ada resep penghulu di setiap suku dalam nagari.

***Penulis, Lektor Kepala Sastra Fak. Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol, juga seorang penghulu pucuk di sukunya Kampai Nyiur Gading bergelar Dt. Rajo Bagindo.
Padang, 19 Nov 2002

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger