Oleh Yulizal Yunus
Terbit Singgalang, 4 Desember 2012
Indrapura, Kesultanan (Kerajaan Islam Malayu, 1100 – 1911) terletak di
Pesisir Selatan. Pernah jaya abad XVII – XVIII, karena posisinya sebagai
kota pantai, pusat perdagangan dengan komiditi unggulan emas dan lada,
berbasis pelabuhan Samuderapura dengan armada kuat, ramai dikunjungi
kapal dagang dan jadi rebutan pengaruh kekuatan asing.
Kesultanan Indrapura berdiri di atas keruntuhan Kerajaan lama Indrapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX SM – XII M (80 SM– 1100 M). Kerajaan Indrapura lama didirikan anak cucu leluhur Iskandar Zulkarnaini (356-324 SM, putra Pilipeaus raja ke-2 Masedonia, 382-336 SM). Tidak disebut nama pendirinya kecuali pimpinan adat. Ada disebut tahun 134 SM lahir Indo Juita (keturunan Iskandar Zulkarnaini) kemudian tahun 110 SM menikah dengan Inderajati moyang Indrapura (asal Parsi – Turki) dan melahirkan keturunan raja-raja.
Pada episode berikutnya Zatullahsyah (anak cucu Iskandar Zulkarnaini) datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Pura, Teluk Air Pura (awal abad ke-12). Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Inderapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta men cari hasil hutan.
Masa pemerintahan Zatul lahsyah datang 3 orang anak saudara kandungnya
(Hidayatullahsyah) yakni Sri Sultan Maharaja Alif, Sri Sultan Maharaja
Depang dan Sri Sultan Maharaja Diraja, dari Rum lewat Bukit
Siguntang-Guntang. Tidak lama di Air Pura, Sri Sultan Maharaja Diraja
mendapat perintah Zatullahsyah, pergi ke Gunung Marapi, didampingi
temannya Cati Bilang Pandai dan dibantu putra sepupunya Sultan
Muhammadsyah (putra Zatullahsyah – Dewi Gando Layu). Di sana ia
mendirikan kerajaan di Parh yangan (Pariangan) yang disebut sebagai
nagari asal seperti juga Air Pura. Sri Sultan Maharaja Diraja kawin
dengan Puti Jamilan dan melahirkan Dt. Ketumanggungan, setelah Sri
Sultan wafat Puti Jamilan dikawini temannya Cati Bilang Pandai dan
melahirkan Dt. Parpatih nan Sabatang.
Di Kerajaan Air Pura kepemimpinan berlanjut dalam empat episode sejarah.
Dua episode I (Kerajaan Air Pura – Indrajati) dan dua episode II
(Kesultanan Indrapura – Era Regen). Dua episode I Kerajaan Air Pura
dilanjutkan kepemimpinan Kerajaan Indrajati (Indra di Laut) abad XII –
XVI (1100 – 1500). Berawal dari datangnya Indrayana disebut putra
mahkota Kerajaan Sriwijaya yang terusir karena masuk Islam, menetap di
Pasir Ganting dan mendirikan Kerajaan Indrajati. Ia sendiri raja ke-1
dan raja ke-2 anaknya bernama Indrasyah Sultan Galomatsyah. Dlam
perjalanannya kerajaan ini pernah diincer ekspedisi Pamalayu I (1247) di
samping Darmasyraya, Siguntur yang kemudian menjadi Kerajaan Pagaruyung
(1343).
Dua episode Kesultanan Indrapura berikutnya abad XVI – XIX (1500 – 1824)
dilanjutkan era kepemimpinan Regen abad XIX – XX (1824 – 1911). Episode
sejarah sampai naik tahtanya raja ke-11 Kerajaan Indrajati Cumatang
Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah, kerajaan
berubah menjadi Kesultanan Indrapura dengan raja ke-1 Cumatang sendiri.
Penggalan sejarah berikutnya masa Sultan Usmansyah gelar Sultan
Firmansyah, tahun 1550 dikukuhkan batas wilayah. Utara berbatas
Airbangis-Batang Toru (Batak), Selatan berbatas Taratak Air Hitam Muara
Ketaun, Timur berbatas Durian ditakuak Rajo, Nibuang balantak mudik
lingkaran Tanjung Simeledu (sepadan Jambi) dan Barat berbatas laut leba
ombak badebu (Samudra Indonesia). Wilayah semakin menyusut diawali
berberapa daerah Kesultanan Indrapura pro Inggiris yakni Mukomuko,
Banta, Seblat dan Ketaun memisahkan diri tahun 1695 jadi Kerajaan Anak
Sungai dengan ibu negeri Mukomuko, dipimpin Sultan Gelomatsyah.
Organisasi pemerintahan Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet
parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), dilaksanakan Perdana
Mentri (Mangkubumi) dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di
Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir). Raja-raja Kesultanan Indrapura banyak
sekali, di antaranya keturunan asli Indrapura dan dianggap keturunan
Iskandar Zulkarnaini (Marjohan, 2002 baca juga St. Sulaiman, 2002)
menjadi raja ialah: (1) Zatullahsyah paman Sri Sultan Maharaja Diraja,
(2) Daulat Jamal al- Alam Sultan Sri Maharajo Dirajo Muhyiddinsyah
Sultan Muhammadsyah, (3) Sultan Jamal al-Alam Daulat Sultan Sri Maharajo
Dirajo Alamsyah, (4) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Firmansyah (5)
Sultan Jamal al-Alam Sultan Daulat Alamsyah, (6) Sultan Jamal al-Alam
Sultan Usmansyah Sultan Muhammadsyah (Tuanku Berdarah Putih), (7) Sultan
Jamal al-Alam Sultan Firmansyah Sultan Mandaro Putih gelar Tuanku
Hilang di Parit), (8) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Muhammadsyah
(Marah Muhammad Ali Akbar Sultan Muhammadsyah), (9) Iskandar Alam
Daulat, (10) Sultan Alam Mughatsyah.
Berikut (11) Sultan Bagagar Alamsyah, (12) Sultan Usman Sultan
Muhammadsyah, (13) Sultan Jamal al-Alam Sultan Maradu Alamsyah, (14)
Sultan Alidinsyah (15) Sultan Samejalsyah keturunan Putri Gembalo Intan
anak Sultan Alidinsyah raja Indrapura (1513), (16) Sultan Baridinsyah
(1520), (17) Dang Tuanku (1520 – 1524) beristeri Puti Bungsu, makamnya
di Bukit Selasih Batangkapas, (18) Usmansyah Sultan Firmansyah (1534 –
1556), (19) Sultan Jamalul Alam YDD Sultan Sri Gegar Alamsyah Sultan
Muhammadsyah (1560), (20) Sultan Zamzamsyah Sultan Muhammadsyah .
Selanjutnya1600-1635, (21) Sultan Khairullahsyah Sultan Muhammadsyah
(1635-1660), (22) Sultan Bangun Sri Sultan Gandamsyah, (23) Sri Sultan
Daulat Pesisir Barat, (24) Inayatsyah (1640), (25) Sultan Mal(z)afarsyah
Kerajaan Indrapura (1660-1687), (26) Marah Amirullah Sultan Firmansyah,
(27) Raja Adil (1680), (28) Marah Akhirullah Sultan Muhammadsyah
(w.1838), (29) Raja Perempuan Puti Rekna Candra Dewi, (30) Raja
Perempuan Puti Rekna Alun (Tuanku Padusi Nan Gepuk), (31) Raja Gedang di
Mukomuko, (32) Sultan Syahirullahsyah Sultan Firmansyah (1688-1707),
(33) Sultan Zamzamsyah Sultan Firmansyah Tuanku Pulang Dari Jawa
berhubungan dengan Kesultanan Jogyakarta (1707-1737), (34) Sultan Indar
Rahimsyah Sultan Muhammadsyah Tuanku Pulang Dari Jawa (1774-1804), (35)
Sultan Inayatsyah Sultan Firmansyah, 1804-1840, (36) Sultan Muhammad
Jayakarma (1818 – 1824), (37) Sultan Takdir Khalifatullah Inayatsyah,
(38) Abdul Muthalib Sultan Takdir Khalifatullahsyah (kemudian menajdi
regen di Mukomuko, pensiun 1870). (39) Regen Marah Yahya Ahmadsyah
(1825-1857), (40) Regen Marah Arifin (1857-1858), (41) Regen Marah
Muhammad Baki Sultan Firman Syah (1858-1891), (42) Regen Marah Rusli
Sultan Abdullah (1891 – 1911). Banyak lagi raja yang tidak dapat dicatat
kebesarannya.
Pengaruh Kerajaan Indrapura amat luas. Bandaro Harun (Harunsyah Sultan Bengawan), ke Brunei (1625) disebut ayah Dato Godan salah seorang leluhur Dipetuan Sultan Haji Hasanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Rajo Putih Indrapura ke Natal dan mendirikan Kerajaan Lingga Pura di sana kemudian dikenal leluhur dari Sutan Syahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana (Putri Bulkis Alisjahbana, 1996:43-44). Dari asal Puti Indrapura pindah ke Mukomuko dan Bintuhan, terbuka pula tabir rahasia adanya hubungan Megawati Sukarno Putri dengan Kesultanan Indrapura, ketika event pemberian gelar Puti (dari Mukomuko dan Bintuhan dulu bagian dari Kesultanan Indrapura) kepadanya di Bengkulu tahun 2001. Taufik Kemas dalam acara itu memakai tutup kepala dari Bintuhan kemudian memakai yang dari Mukomuko (Agus Yusuf dari Sutan Aminullah, 2003).
Pengaruh Kerajaan Indrapura amat luas. Bandaro Harun (Harunsyah Sultan Bengawan), ke Brunei (1625) disebut ayah Dato Godan salah seorang leluhur Dipetuan Sultan Haji Hasanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Rajo Putih Indrapura ke Natal dan mendirikan Kerajaan Lingga Pura di sana kemudian dikenal leluhur dari Sutan Syahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana (Putri Bulkis Alisjahbana, 1996:43-44). Dari asal Puti Indrapura pindah ke Mukomuko dan Bintuhan, terbuka pula tabir rahasia adanya hubungan Megawati Sukarno Putri dengan Kesultanan Indrapura, ketika event pemberian gelar Puti (dari Mukomuko dan Bintuhan dulu bagian dari Kesultanan Indrapura) kepadanya di Bengkulu tahun 2001. Taufik Kemas dalam acara itu memakai tutup kepala dari Bintuhan kemudian memakai yang dari Mukomuko (Agus Yusuf dari Sutan Aminullah, 2003).
Sebagai kerajaan bahari terbesar dan jaya, pernah menjadi ajang
percaturan imperialisme asing berebut pengaruh, di antaranya secara
kronogis dapat dicatat: (1) Aceh (ketika itu asing) tahun 1521 menguasai
dagang lada dan emas di perairan Indrapura. 1625 Aceh menempatkan
seorang wakilnya/ panglima (lihat juga Navis, 1984) di bandar Indrapura,
secara de facto berakhir 1632, tetapi tetap bercokol sampai abad ke-17
dasawarsa ke-8 di Pantai Barat Sumatra. (2) Belanda (Rusli Amran 1985,
lihat juga Errens 1931, baca Stibe 1939) memasuki wilayah Indrapura
(1602, 20 Maret), Coen (VOC) mengirim kapal dagang (1616) merebut lada
dan emas dari Aceh dan Inggris, kandas dicegat raja Hitam, kemudian
(1664) berhasil dan memungut pajak lada Indrapura, setiap 1200 bahar
lada dikeluarkan 1 bahar, menghabisi wilayah kantong Aceh dan merebut
kapal Inggiris di Indrapura (1656), terpaksa ke meja perunding damai di
Sungai Bungin (Batangkapas) soal perdagangan lada Indrapura (1660),
mendirikan Loji VOC 1662 di Pulau Cingkuk, tersayat dan terpaksa lagi ke
meja perundingan Sandiwara Batangkapas disusul Perjanjian Painan
(Painansch Contract, 6 Juli 1663), mendirikan Loji VOC di Indrapura
(1664), hasut Air Haji (Bruins,1936) memberontak terhadap Indrapura
(1682). Jacob Groenewegen mulai berkuku di Pantai Barat Sumatera
mengawali kolonialisme, Januari 1685 Indrapura dinyatakan darutat,
Batavia perintahkan hancurkan lada Indrapura untuk taklukan Indrapura.
Rakyat marah, 6 Juni 1701, loji VOC di Indrapura diserbu rakyat Pesisir,
pegawainya dibunuh, kecuali satu orang dibiarkan mengadu ke kantor
pusat VOC di Padang, Belanda marah dan hancurkan tanaman lada. 1740,
Indrapura bersama Abdul Jalil raja Minangkabau memerangi Belanda dibantu
Inggris. Belanda dapat angin lagi pasca perjanjian masang 22 Januari
1824 Belanda (van den Berg) dan Pidari (Paderi) berdampak Indrapura
bangkrut, semua kapal berkebangsaan apa saja bongkar muat barang di
Padang tidak lagi di Indrapura bahkan tambang emas Salido dikuasai pasca
pergantian Raff dengan Du Puy (1 Januari 1824).
Tahun 1865 Belanda dirikan sekolah sejenis HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Indrapura dengan tujuan melumpuhkan Islam (deislamisasi), rakyat tahu niat jahat itu, lalu ditutup. (3) Inggris terisolasi di perairan Indrapura (1618) dalam berdagang landa pasca 2 tahun monopoli, baru bisa meraut lada Juni 1684 dan mendirikan Loji di Indrapura. 1685 mendapat dukungan dagang dari Raja Ibarahim (bekas penghulu Pariaman, 1676) di Indrapura, juga dukungan keponakan raja Minangkabau Sultan Abdul Jalil Saruaso berunding dengan raja Indrapura, melawan misi Belanda hancurkan lada Indrapura, Juni 1685 East India Company (EIC) mendirikan kantor perwakilan settlement di Indrapura, Majunto, Taluk dll., menguasai Selebar, mem bakar kemarahan Belanda, baru reda pasca Perjanjian Paris (1763) membagi wilayah dagang: Inggris ke selatan (Majunto – Silebar) dan VOC ke utara (Indrapura, Tiku, Air Bangis, Natal dll.).
Tahun 1686, Kapal Royal James gagal raut lada, 30 dari 100 tentara meninggal diserang penyakit di Indrapura. 1687, Agustus kantor Inggiris diserang rakyat Indrapura, banyak korban di pihak Inggiris dan merampas meriam serta melumpuhkan 5 kapal yang datang kemudian dari Eropa, juga diserang kekuasaan Sri Sultan Ahmadsyah seorang calon raja Pagaruyung yang lari ke Bengkulu. (4) Cina tahun 1989 datang berdagang ke Indrapura 9 tahun pasca perjanjian pemuka kota pantai dari Ombak Ketaun (Pesisir Selatan) hingga Air Bangis (Pesisir Utara, Pasaman Barat sekarang) ditandatangani (1680) oleh Raja Adil dan Muhammadsyah (sultan Indrapura) sedikit memberi ruang gerak kepada VOC berdagang lada dan emas.
Bukti sejarah kebesaran Kesultanan Indrapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di Sumatera Barat. 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di antaranya (1) bekas istana Raja/ Sultan (1824), (2) bekas istana Regen di Pasar Minggu dekat peninggalan meriam R.Gil Pin FE CIT.J768, (3) Rumah Mangkubumi (perdana menteri) Kesultanan, (4) Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang, berfungsi museum penyimpan benda-benda peninggalan Bundo Kandung seorang raja putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu) kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas sebagai Museum Lokal Sumatra Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina (keturunan ke-7 dari Bundo Kandung). (5) Situs dalam bentuk arsitektur sakral (imarah diniyah) wujud Masjid Agung (1850) masa Regen ke-2 Marah Ripin. (6) Gobah komplek pemakaman raja-raja Kesultanan Indrapura seluar 0,5 Ha. (6) Makam raja Tuanku Badarah Putih. (7) Makam Bundo Kandung (Salareh Pinang Masak, raja perempuan Pagaruyung), (8) Makam Dang Tuanku, (9) Makam Puti Bungsu istri Dang Tuanku. (10) Makam Cindur Mato raja dan tokoh legendaries Minang.(Yulizal Yunus)
Posting Komentar