Oleh : Hidyah Al Ayyubiy
Alih bahasa : Drs.Yulizal Yunus
Alih bahasa : Drs.Yulizal Yunus
Pengantar.
Hidyah Al Ayyubiy adalah seorang putri kelahiran Tripoli, Libanon
Utara, tahun 1957. LC dalam bahasa Arab Master of Art (MA) dalam sastra
Arab, mengusai masalah Inggris, Perancis dan Arab. Sekarang bekerja
sebagai Dosen Bahasa Arab di Raudahatul Fiha. Banyak menulis karya
ilmiah (hasil penelitian dan kajian) dan banyak menulis puisi serta
dipublikasi dalam banyak surat kabar dan majalah di Arab.
Tulisan kebudayaan tentang kritik sastra Arab Mutakhir “Az Zaman Fi
Syi’ri “Arabiy Al-Ma’ashir. Zaman di dalam puisi Arab Mutakhir” ini
dimuat “Al Faishal”, majalah kebudayaan bulanan, diterbitkan diRiyadh,
edisi 43 November – Desember 1980. diterjemahkan Drs.Yulizal Yunus
dosen sastra Arab di fakultas sastra Arab (Adab) IAIN Imam Bonjol, di
Padang.
…
…
“Az Zaman“ (mim tanpa mad) adalah lafal, padat essensi, kaya argu
mentasi, penuh intuisi, semuanya kita dengar dan kita hidupi. Zaman itu
mengandung rahasia dari rahasia besar wujud ini. Lingkupnya menjangkau
keresahan hidup dan kekerasan manusia.
Ada baiknya terlebih dahulu mengerti apa itu yang disebut “zaman” dan
permasalahannya dibatasi. Ini diharapkan agar para penikmat dapat
membedakan mana yang disebut “waktu”, mana yang dikatakan “zaman” (mim
pakai mad) dan mana pula yang dimaksud dengan “zaman” (mim tanpa mad).
“Waktu” artinya sangat umum, meskipun secara objektif dapat terbatas.
Para ahli sebetulnya sudah memberikan pengertian “waktu” itu dengan dua
alternative ialah: jam-jam (sa’at) dan penggaln-penanggalan. Dengan dua
alternaatif itu, kita dapat terbantu dalam kehidupan social. Termasuk
ciri khusus atau keistimewaan waktu itu ialah rangkaian yang sama dalam
menyusun objektifitas alam ini, dan ia tidak jauh keluar dari latar
pengalaman manusia 1).
Adapun “az zaman” (mim tanpa mad, dapat diartikan temporal-pen)
mempunyai pemahaman khusus, kepribadian jati diri atau seperti biasa
dikatakan “yang bersifat kejiwaan” atau seperti disebut oleh Bergson:
“bahwa zaman itu sebetulnya terhidang langsung dalam perasaan kita”. Di
dalam kesusastraan zaman dapat dipahamkan, zaman manusia….sesungguhnya
zaman itu aspirasi kita yang merupakan produk zaman itu, seperti
merupakan bagian dari latar yang samar oleh pengalaman” 2).
Karena demikian zaman dapat diartikan nisbi, setiap manusia ada zamannya, berbeda dengan zaman manusia lainnya.
Karena demikian zaman dapat diartikan nisbi, setiap manusia ada zamannya, berbeda dengan zaman manusia lainnya.
Zaman itu tidak selalu dapat diukur sama, karena ia selalu bertukar,
berubah sejalan dengan perubahan pengalaman, intuisi dan perasaan kita
yang paling dalam. Setiap yang mungkin dapat dipahami dari zaman yang
senantiasa berubah itu, dia adalah …..perasaan…….. kita, “keagungannya”.
Perbedaan antara “waktu”, “zaman” dan zaman (mim dengan mad) banyak para
ahli linguistic telah memperkenalkannya. Ibnu Manshur dalam bukunya
“Lisanul Arab” mencatat dalam bagian entry “zaman” sebagai berikut:
‘zaman itu adalah nama yang menunjuk, sedikit atau banyak waktu”.
Syamar berkata: “dahr, dan zaman (masa – pen) adalah identik sama
pengertiannya. Tetapi Abu Al Haitsam membantah Syamar, katanya “zaman’
(dimisalkannya dengan kalimat) ialah “masa buah tamar masak, masa
buah-buahan; musim panas dan musim dingin”. Sedangkan dahr (masa) itu
ialah masa yang tidak ada batasnya. Abu Manshur berpendapat, bahwa dahr
itu menurut orang arab, berada dalam kawasan waktu, suatu masa dari
berbagai masa di dunia seluruhnya. Sedangkan zaman (mim pakai mad)
kawasannya “sebagian” atau seluruh “dahr” 3).
“Dahr” didefenisikan ujung yang direntang panjang. Ada yang mengatakan
bahwa “dahr” itu 1000 tahun. Beralasan pula yang arab memberi sifat
“dahr” seperti apa yang dikatakan Allah SWT di dalam ayatnya: “mereka
berkata, kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita
mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain dahr
(masa)…”QS.45 Aljat-siyah;24. menurut Aljauhariy, zaman itu adalah dahr.
4). Sedangkan “Alhin” menurut Aljauhariy adalah sebuah “isim (nama)”
seperti waktu dapat memperbaiki seluruh zaman. Di dalam ayatulkarim
disebutkan: “tu-tinya ukulaha kullah hin…/pohon itu memberikan buahnya
pada segala musim (hin)…QS. 14 Ibrahim:25. maksudnya pada segala waktu
terkadang dimaksudkan “hin” itu suatu rentangan zaman yang tiada dapat
diukur lamanya, seperti terungkap dalam firman Allah SWT: “hal ata’ala
insani hin (un) min al dahr (i) lam yakun syai-an madzkura/bukankah
telah datang atas manusia satu hin (waktu) dari dahr (masa), sedangkan
dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut ? QS 76 al
insan: 1.
“Waktu” adalah ukuran banyak zaman dan setiap sesuatu yang dapat diukur
sebagai hin, maka dia disebut “Muwaqqat (waktu tertentu)”, menurut Ibnu
Sayyidah, bahwa ukuran banyak dahr, adalah yang dapat dikenal,
kebanyakan apa yang dapat digunakan pada masa lalu, dapat pula digunakan
pada masa datang 5)
Alfairuz Abadiy dalam bukunya “Al Qamus Al Muhith” mencatat: “waktu
adalah banyak dahr (masa), kebanyakan dilalui pada masa lalu”, Alfairus
membedakan “waktu” dan “miqat”, katanya: “keduanya dibedakan dalam
satuan kelompok, bahwa “waktu” ialah yang terpakai, dan miqat ialah
waktu yang ditentukan untuk pelaksanaan suatu pekerjaan dari sejumlah
pekerjaan. 6)
Adapun dahr dapat dirujuk kepada “Asmau’u Al Husna”, masa yang panjang,
dan suatu ujung yang direntang panjang. 7). Sedangkan zaman…sedikit
atau banyaknya waktu 8).
Dari kajian tadi dan batasan yang diberikan, maka dapat dirumuskan:
1. Zaman (mim pakai mad) adalah dahr dan abadi
2. Waktu ialah ukuran banyak yang diketahui dari zaman
3. Zaman (min tanpa mad) ialah sedikit waktu atau banyak waktu, yakni tiada terbatas
1. Zaman (mim pakai mad) adalah dahr dan abadi
2. Waktu ialah ukuran banyak yang diketahui dari zaman
3. Zaman (min tanpa mad) ialah sedikit waktu atau banyak waktu, yakni tiada terbatas
Demikian, setelah kita memberikan perbedaan antara lafal-lafal tadi,
maka kita dapat mengatakan bahwa tiada menyebut-nyebut suatu lafal yang
dengan waktu di dalam syair, tidak selalu berarti bahwa penyair itu
secara prinsipil mencatat zaman, maka oleh sebab itu lafal ini suatu
ketika berguna sebagai penjelasan akhir yang komunikatif.
Dari beberapa alternative tadi, sekarang kita perlu melihat sebuah latar
apa yang disebut sebelumnya, kearah mengerti “zaman” dan sya’ir arab
mutakhir. Tentulah, lapangan garapan ini tidak direntang luas lagi,
karena kita ingin mengamati pemahaman ini disetiap syair kita sekarang,
batasan berikut kita hanya ingin meliput sebahagian karya
penyair-penyair yang mereka telah mengambil thema dan trend ini sebagai
mutiara putih syaqaf perancis dan mereka telah mengembangkannya.
Merasakan zaman
Kita perlu menangkap isyarat, sebelum menyelami lebih jauh dalam
pembahasan kita, bahwa orang dahulu mengkondisikan perasaan zaman di
dalam syair arab pada zaman jahiliyah, manusia belum memberikan
ukuran-ukuran atau patokan-patokan tempat, karena selalu pindah-pindah,
dia selalu mencari air dan padang rumput di mana tempat saja, lalu ia
berhubungan dengan zaman (masa), maka oleh sebab itu ia ingin
mencabik-cabik bermiliar kali setiap hari dan berutopi, ingin andaikan
dia tegar agar sejenak kepahitan hidup tidak dirasakan lagi. Nyata
disini zaman jahiliyah merupakan zaman yang keras dan tidak punya
dinamika. Lihatlah dalam lirik al a’sya berikut ini:
Ka-anna masyiyataha min baitin jaratha marru as-sahabati la raisu wa la ‘ajalu
Melukiskan perjalanan kekasih yang tidak tergesa dan tidak lamban
merupakan rumusan zaman yang berhenti dan mati. Lihat pula lirik Umrul
Qais berikut: walailin kamauji Albahri arkha sudulahu’alaiya bi-anwa’I
Alhumumi liyabtali (gulita malam bagaikan gelombang lautan menerjangku
bermacam nertapa gelisah mengusikku – pen).
Bait umrul qais ini mengungkap kegetiran. Semuanya dirasakan penyair.
Juga mengungkap essensi yang dalam, melukiskan malam penuh dengan
nestapa kegelisahan yang tak akan pernah habis-habisnya.
Seolah-olah kegelisahan dan keresahan yang berlapis-lapis
menterlantarkannya selalu, serta menutupi penyair untuk mencapai fajar
kesejahteraan.
Penyair al mutanabbly juga merasakan kegetiran zaman dan kegetiran itu sudah merupakan hiasan zaman, lihat lirik berikut:
Shahiba an nasu qabiana dza az zamana
Wa ‘anahum min sya’nihi ma ‘anana
Wa tawallau bighushashatin kulluhum minhu
Wa inna saran ba’duhum ahyana
Wa ‘anahum min sya’nihi ma ‘anana
Wa tawallau bighushashatin kulluhum minhu
Wa inna saran ba’duhum ahyana
Sebetulnya pengalaman diri penyair menjadikan dirinya dapat merasakan
bahwa dunia ini penuh duka, tidak henti-hentinya seperti merasakan satu
sifat “daimumah (kekal dalam kekalan)” yang dapat mewarnai zaman. Kita
temui juga persaan ini dalam duka zaman pada pengalaman Ibnu Rumi.
Lihatlah lirik berikut ini:
Ya ayyuha al harib min dahrihi
Adrahkaka ad dahr ‘ala khailihi
Adrahkaka ad dahr ‘ala khailihi
(hai orang yang lari dari masanya
kau ditinggalkan di kuda masa-pen)
kau ditinggalkan di kuda masa-pen)
Kita dapat mencatat di dalam bait ini terlihat “dinamika” zaman itu
dalam tilikan penyair, zaman itu ada dalam gerakan yang
sambung-bersambung, memacu kita sedangkan kita tidak mampu berpacu
dengannya. Masa selalu berlayar menuju naktah tertentu, sedangkan kita
tidak mampu lari dari sisinya. Maka kita sering tergilas dibawah ladam
kudda masa itu, tanpa mendapat satu pun rahmat.
Syair arab padat dengan prinsip yang dramatis itu, justru sesuatu yang
menjadi perhatian kita sekarang ialah prinsip penyair arab mutakhir
termasuk soal “zaman”. Tidak mungkin kita melakukan studi prinsip ini
secara umum tanpa ada batasan-batasan dan lini-lini. Karena “zaman” di
dalam syair berakar dari kekayaan potensi, dapat mempelajari prinsip
para penyair. Segi pertama ialah potensi inti nisbat zati.
…
…
Perasaan terhadap zaman membedakan penyair dengan manusia lainnya.
Maka pada suatu kali penyair merasakan bahwa dia bergerak lamban,
seharusnya cepat dan suatu ketika zaman berada pada noktah (titik) yang
jelas, sedangkan dia tak dapat meninggalkannya begitu saja. Lalu penyair
merasa, seolah-olah sesuatu hanya beberapa saat di bumi, semuanya benar
telah berhenti hingga itu. Dari sini lahir sifat nisbiyah yang dapt
melukiskan zaman itu, dan menjadikan zaman itu tanpa terbatas, baik
ruang dan ukurannya.
Pemikiran ini di kuatkan oleh sastrawan terkenal perancis Marcel Proust
seperti dalam ungkapannya: “zaman itu ialah yang berhubungan dengan
kita dan kita dapat mempergunakannya setiap hari secara bersama, serta
kita dapat merasakan intuisi yang merentang dan membentangkannya, dan
kita mendapat ilham dengan intuisi yang dapat membuka tabir zaman, dan
tradisi pun dapat mengisinya. 9).
Virginia Woolf seorang penulis amerika berpendapat, “akal manusia dapat
bekerja secara sulit di dalam anatomi zaman dan sa’at, bila sa’at itu
berada dalam komponen jiwa manusia ajaib, ketegangannya mungkin sampai
antara 50 dan 100 kali sepanjang rinciannya. Dan dari segi lain dramatis
dalam sa’at secara halus memberikan kemungkinan kedamaian tertentu
dalam akal” 10).
Mata rantai kenyataan ini diketahui betul oleh banyak penyair dewasa
ini. Maka oleh sebab itu penyair Khalil Hawi menyatakan zaman itu jumud
dan tidak dinamis. Sesungguhnya bagi dirinya zaman itu berhenti. Hal ini
dapat disimak dalam kasidahnya berjudul “wujuh al sindibat” (wajah
simbat – seorang figure yang terdapat di dalam cerita seribu satu
malam), sebagai berikut:
Ghibti annly, Wasswaniy maridhtu, Matat ‘ala qalbiy, Fama darunnahari
Lailuna fil aruzi min dahrin tarahu, Am tarahul barilah 11).
Ghibti annly, Wasswaniy maridhtu, Matat ‘ala qalbiy, Fama darunnahari
Lailuna fil aruzi min dahrin tarahu, Am tarahul barilah 11).
(kau sembunyikan dariku seperenam belas menit kemudian ku sakit /
dia hadir di hatiku, apa itu singgasana siang / malam kita dalam padi
dahr yang kau lihat / kau melihat kemaren malam) – pen
Sesungguhnya zaman dalam kasidah ini, adalah mayat yang berat, di
bawahnya penyair terhimpit oleh kepahitan penantian yang tak berbatas.
Penyair juga hidup dalam suatu keadaan yang pelik dan penuh
pertentangan. Lalu zamannya berhenti. Dan zaman yang lain bergerak
dinamis, bahkan bergerak lebih cepat. Ketegangan dan kebimbangan menjadi
berlipat-lipat. Rasa menyesal atas keadaan sulit dan terinjak. Itu
semua juga menghiasi kasidahnya berjudul “sajin fi qithar (terpenjara
dalam kereta”.
Fi ardhin gharibah
Marratan kanat layalilihir ratibah:
Thalman ‘adh dha ‘ala l-ju’i
‘ala sy-syahwati harra
Wanthawa ya’luku dzkra
Yamsahu l-ghabrata ‘an mati’ mil’i l-haqibah
Hajarun tahmiluhu l-dawamah al hariy sajin fi qithar
Ma dara-ma nakhatus syamsi
Ma thayyabal ghubar
Wa risyasyu l-milhi fi rihi l-bihar 12).
Marratan kanat layalilihir ratibah:
Thalman ‘adh dha ‘ala l-ju’i
‘ala sy-syahwati harra
Wanthawa ya’luku dzkra
Yamsahu l-ghabrata ‘an mati’ mil’i l-haqibah
Hajarun tahmiluhu l-dawamah al hariy sajin fi qithar
Ma dara-ma nakhatus syamsi
Ma thayyabal ghubar
Wa risyasyu l-milhi fi rihi l-bihar 12).
Di sini penyair melukiskan dirinya dengan lafal sajin (penjara) dan
zaman penjara itu merupakan zaman yang telah kamu mati. Adapun qhithar
(kereta api), merupakan lambang zaman yang bergerak dinamik. Penyair
juga melambangkan dirinya terjepit diantara dua kultur: peradaban Barat
yang dinamik dan peradaban Timur yang kaku mati…13). Injakan peradaban
ini merupakan laun (warna) dunia penyair dengan penuh kepedihan,
keterasingan dan kepahitan. Kegetiran ini di ungkapkan pula di dalam
syairnya berikut dengan judul “bayadirul ju’I segunung lapar “.
Hadzyu l’aqaribu la taduru
Rabbahu kaifa tamuththu arjulaha l-daqa-iq
Kaifa tajmudu, tastahilu ila- ‘ushuri 14)
Rabbahu kaifa tamuththu arjulaha l-daqa-iq
Kaifa tajmudu, tastahilu ila- ‘ushuri 14)
Menurut penyair Badar Syakir As-Saiyyab, rangkaian zaman itu
berbeda-beda. Ia merasakan zaman itu cepat sekali berlalu. Benar-benar
ia sakit dan di ambang kematian. Karena benar-benar dia rasakn hari-hari
itu berlalu tanpa pamit, seolah-olah ia menghidupkan kembali
kematiannya. Dapat pula di simak di dalam kasidahnya “fi jaikur uaipur”.
Ana qad amutu ghadan, fainna l-da-a
Ghaira wanin hablan yasyuddu ila- l-hayati hitham jismi mitsi dari
Nakharat jawanibaha l-riyahu was a-qfaha sailu l-qithari 15).
Ghaira wanin hablan yasyuddu ila- l-hayati hitham jismi mitsi dari
Nakharat jawanibaha l-riyahu was a-qfaha sailu l-qithari 15).
Usia penyair bagaikan tali, yang penyakitnya setiap kali akan
memutusnya tanpa berhenti. Ini merupakan perasaan. waktu berlalu terlalu
cepat. Di lain kali ungkapan penyair as-sayyab juga membentangkan di
dalam kasidahnya berjudul “rahlan nahar – perjalanan siang” berikut:
Rahlan nahari
Rahlan nahari
Haihat an yaqifa z-zaman, tamurru hatta billuhudi khutha z-zamani
Wa bilhijazi rahlan nahari wa lan ya’uda 16)
Wa bilhijazi rahlan nahari wa lan ya’uda 16)
(perjalanan siang jauh, zaman kan berlanjut,
Berlalu sampai kelobang lahad
Langkah zaman dan di hijaz perjalanan siang, tak kan pernah
Kembali lagi- pen)
Berlalu sampai kelobang lahad
Langkah zaman dan di hijaz perjalanan siang, tak kan pernah
Kembali lagi- pen)
Zaman bagi penyair badar syakir as syayyab terkadang terlalu panjang.
Kesimpulan ini adalah perasaannya di dalam keterasingannya dan
ketersia-siaannya di alam madinah yang duka. Dia bersama masyarakat
mencoba memperbaiki hal yang kurang berguna, alat dan meteri tetapi ia
seperti tidak mempunyai kemampuan. Maka oleh sebab itu ia ingin
memperpanjang siang. Jarak yang jauh menua di bawah langkahnya.
Langkahnya terasa di makan usia, lama bertahun-tahun. Ini terlukis dalam
kasidahnya: madinatussarab kota kersang.
‘asyru sinina surratuha ilaika, ya dha-ji’atan tanam
Ma’iy wara-u suwarina, tanam fi sirriy dzatina
Wa ma ntaha- s-safar
Ilaika yang madinatas sarab, ya radiya hayatiha
‘abarat eropa ila asia
Wa ma nthawa – n-nahar
Wa anti ya daji’ atiy, madinatu na-iyah
Masdudata abwabiha wa khalifiha wa-qafat fi intizhar 17).
Ma’iy wara-u suwarina, tanam fi sirriy dzatina
Wa ma ntaha- s-safar
Ilaika yang madinatas sarab, ya radiya hayatiha
‘abarat eropa ila asia
Wa ma nthawa – n-nahar
Wa anti ya daji’ atiy, madinatu na-iyah
Masdudata abwabiha wa khalifiha wa-qafat fi intizhar 17).
Dalam kasidah lainnya, ia melukiskan:
Al-lailu thala ma nahariy
Hina yaqbalu bil qashiri 18).
Al-lailu thala ma nahariy
Hina yaqbalu bil qashiri 18).
Sesungguhnya siang (nahar) di sini menurut Badru Syakir As-Sayyab,
tidak akan henti-hentinya. Seperti tidak bermula dan tidak berakhir.
Zaman dalam lukisannya adalah tenang tak bergeming dibawah deraan
penyakit dan dibawah pedihnya penantian.
…
…
Sisi lain yang menghiasi syair arab mutakhir, ialah rangkaian pemahaman zaman, yang disimbolkan dengan sungai.
Zaman dan Sungai
Banyak penyair mutakhir melukiskan suatu lafal dengan sungai.
Sempurna ibarat gambaran dan sifat sungai. Selain itu terkadang penyair
melukiskan zaman dengan symbol laut, juga dengan symbol kereta api.
Sifat yang dirumuskannya sesuatu yang maha luas dan 1 kaya ialah seperti
laut, dan sesuatu yang merayab tapi pasti ialah gambaran kereta api.
Sesuatu yang penting kita rasakan dalam rumusan itu ialah sifst
mengalir. Sifat ini adalah esensial dalam sifat zaman. Bahkan sentra
kerlingan zaman itu. Zaman mengalir terus menerus, sambung menyambung
dalam berbagai perubahan, dimana perubahan itu berlangsung pula terus
menerus…19)
Zaman terkadang merupakan belantara luas, dan kita harus memahaminya. Pemahaman terhadap zaman itu banyak menghiasi thema-thema berbagai kasidah arab mutakhir. Bentuk pemahaman ini diantaranya dalam kasidah arab dapat dilihat dalam syair badar syakir assayyab: an nahru wal maut (sungai dan kematian) berikut:
Zaman terkadang merupakan belantara luas, dan kita harus memahaminya. Pemahaman terhadap zaman itu banyak menghiasi thema-thema berbagai kasidah arab mutakhir. Bentuk pemahaman ini diantaranya dalam kasidah arab dapat dilihat dalam syair badar syakir assayyab: an nahru wal maut (sungai dan kematian) berikut:
Buwaib…
Buwaib…
Ajraasu burji dha’a fi qaraarati l-bahar alma-su fi l-jirari,
Wa l-ghurubu fi sv-svfari
Tandhunu l-jiraru ajrasan mi-imathar
Balluuuruha yadzubu fi anin
“buwaib..ya buwaib…..20).
Buwaib…
Ajraasu burji dha’a fi qaraarati l-bahar alma-su fi l-jirari,
Wa l-ghurubu fi sv-svfari
Tandhunu l-jiraru ajrasan mi-imathar
Balluuuruha yadzubu fi anin
“buwaib..ya buwaib…..20).
(gerbang kecil…
Gerbang kecil…
Gemercing lonceng tenggelam di dasar laut
Dencing air di kran-karan, dan senja jatuh di pohon
Gemercing kran-kran bagai lonceng dalam hujan
Permata belanda mencair dalam tuangan
“gerbang kecil..hai gerbang kecil”) – pen.
Gerbang kecil…
Gemercing lonceng tenggelam di dasar laut
Dencing air di kran-karan, dan senja jatuh di pohon
Gemercing kran-kran bagai lonceng dalam hujan
Permata belanda mencair dalam tuangan
“gerbang kecil..hai gerbang kecil”) – pen.
Sungai ini sesungguhnya “buwaib” tidak akan berhenti mengalir, baru
berhenti setelah sampai di dasar laut. Demikianlah zaman, tetap
mengalir. Lalu penyair mencoba memanggil (menahan) tetapi dia tidak
termasuk orang yang bisa memberikan jawaban. Maka jeritan penyair tetap
saja tumpah dan gungan membetuli gerakan yang terus menerus sambung
menyambung.
Gaungan gelisah ini menghiasi Adonis dalam kasidahnya ‘muraya wa ahlam
hal az-zamani l-maksur/ cerita dan mimpi sekitar zaman yang retak,
beberapa untaiannya sebagai berikut:
Zamanun yajra, zamanun yahrubu mitsla l-ma-i.
Wa ana ajra- kullu naharin sakkinun fi ahsya-iy
Wa llailu hirabun 21).
Zamanun yajra, zamanun yahrubu mitsla l-ma-i.
Wa ana ajra- kullu naharin sakkinun fi ahsya-iy
Wa llailu hirabun 21).
(zaman yang mengalir, zaman yang berlari
Bagaikan air aku berlayar.
Semua siang adalah belati memotong isi perutku
Dan malam itu adalah tombak. (terj.penterjemah)
Bagaikan air aku berlayar.
Semua siang adalah belati memotong isi perutku
Dan malam itu adalah tombak. (terj.penterjemah)
Disini zaman tetap berlayar. Langkahnya cepat sekali, bolak balik
mengikuti peristiwa langkah itu,bagaikan luka menyayat hati sang
penyair. Simaklah pula kasidah Adonis yang lain:
Yatanazahu la-gamha
Nartibku z-zamana bi ajnihati ishafir 22).
Yatanazahu la-gamha
Nartibku z-zamana bi ajnihati ishafir 22).
(membawa widia wisata setangkai jagung
Kita rakit zaman dalam sayab-sayab pipit) pen.
Kita rakit zaman dalam sayab-sayab pipit) pen.
Atau:
Salaman ayyuha l-thiflu yarkudhu n-nahru
Wara-ma ma-jhl wa la yamsiku bihi 23).
Salaman ayyuha l-thiflu yarkudhu n-nahru
Wara-ma ma-jhl wa la yamsiku bihi 23).
(semoga selamatlah kau hai anak-anak
Sungai tenang airnya menghanyutkan).
Sungai tenang airnya menghanyutkan).
Sesungguhnya penyair paling merasa misteri perubahan zaman, dan
misteri segala yang mengalir. Hal yang mengalir itu berlangsung cepat
sekali seperti air. Hampir saja air itu mengalir tidak seperti
seharusnya dan saling mendahului bagai air bah. Setiap hari akan
berlangsung adalah bagian dari “sungai – zaman “.
Almaha yauman yajlisu ‘alan nahri 24)
(ia kerling suatu hari duduk di permukaan sungai).
(ia kerling suatu hari duduk di permukaan sungai).
Zaman Nostalgia
Sisi lain penting pula dibahas, ialah dzakirah (nostalgia). Penyair
ingin lepas dari zaman alfiziya-iy, supaya dapat hidup dizaman penuh
kenangan (zamanundz dzakirah) dianggap bisa hadir merupakan
peristiwa-peristiwa singgah berulang kali bersamanya, ia hidup dan
menghidupinya, lalu seolah-olah dia lahir dari dunia baru. Tidaklah
keinginan menghadirkan peristiwa-peritiwa itu atau gambaran masa lalu
itu hanyalah sebuah pembicaraan sebelumnya oleh penyair untuk memecahkan
kepahitan zaman dan menguasai kefanaan. Pantaslah diingat bahwa “zaman
yang penuh kenangan” itu tidak mungkin membaginya, karena kronologis
zaman itu merupakan satu rangkaian yang utuh. Maka oleh sebab itu dia
ibarat khazanah yang penuh dengan debu masa lalu, di dalamnya ada
keterengan untuk memperingati kenangan yang membuat maju, melalui
berbagai motivasi, tanpa ada disana satu keterangan pemeliharaan tempat
peristiwa zaman dalam rangka menyambung bermacam kenangan yang tak mudah
dilupakan.
Lalu nostalgia itu “merupakan duplikasi yang memantulkan susunan yang
sambung menyambung jauh , yang membiasakan susunan yang dinamis tanpa
memisahkan dari peristiwa-peristiwa dalam hubungan nostalgia itu. Maka
kasus-kasus yang dapat diingat menjalin dan membuat akrabnya hal-hal
yang menakutkan dan yang diimpi-impikan, atau yang menjadi utopi, atau
yang menjadi buah khayal, lagi tidak mungkin mengingat seperti sebuah
peristiwa biasa saja.
Bahkan pula peristiwa yang dapat diingat itu dia ada didalam stabilitas
yang kontinuitas, dapat dirujuk kepada interpretatifnya, hidup dari
dunia baru dalam bayangan konteks masa sekarang, hal-hal yang menakutkan
masa lalu, hal yang menjadi buah mimpi di masa yang akan dating” 25).
Dengan demikian tidak akan bersambung keterangan yang bernilai bagi zaman yang jauh di luar, di hadapan zaman yang tak dapat dilupakan itu. Sesungguhnya zaman yang berkesan itu merinci zaman alfiziya-iy, membulatkan image dan penyair serta segala sesuatu bentuk-bentuk perasaan. Nah inilah penyair Adones “menggelinding didalam zaman yang mengesankan itu” 26), diman kita tak mau berhenti sampai kapan pun, lihatlah apa katanya:
Dengan demikian tidak akan bersambung keterangan yang bernilai bagi zaman yang jauh di luar, di hadapan zaman yang tak dapat dilupakan itu. Sesungguhnya zaman yang berkesan itu merinci zaman alfiziya-iy, membulatkan image dan penyair serta segala sesuatu bentuk-bentuk perasaan. Nah inilah penyair Adones “menggelinding didalam zaman yang mengesankan itu” 26), diman kita tak mau berhenti sampai kapan pun, lihatlah apa katanya:
Atdahraju baina anal jamru wa ana ts-tsalju
Wa bainal ya-I wal alalifi atadalla-
Ashthani’u fil yaumi yauman aakhar
Arbuthu bi hablid daqa-iqi ahwa-iy 27).
Wa bainal ya-I wal alalifi atadalla-
Ashthani’u fil yaumi yauman aakhar
Arbuthu bi hablid daqa-iqi ahwa-iy 27).
(aku bergulat antara aku bara api dan aku salju dan antara ya dan alif
Aku bergayut ku petik di hari ini untuk hari yang lain
Dan aku ikat dengan tali-tali halus kejatuhanku) – pen.
Aku bergayut ku petik di hari ini untuk hari yang lain
Dan aku ikat dengan tali-tali halus kejatuhanku) – pen.
Penyair disini ingin mengosongkan diri dari zaman mekanik, dan ingin
memetik zaman lain dari dunia nostalgia, penyair ingin menghabiskan
usianya menikmati dunia baru, kasus-kasus itu menjadi permata berharga,
hal yang mustahil menjadi yang memungkinkan. Lihatlah untaian syair ini:
Yu’thiy waktan lamma yaji-u qablal waqti
Lamma laa waqtu lahu yujawhir al’aridh yaghsilul ma-u 28).
Lamma laa waqtu lahu yujawhir al’aridh yaghsilul ma-u 28).
(dia beri waktu sebelum dating waktu sebelum dia tidak lagi punya waktu
Penyanggah itu membentangkan mutiara air membasah basuhi).
Penyanggah itu membentangkan mutiara air membasah basuhi).
Inilah dia (penyair) menghidupi anak-anaknya dari dunia baru, lalu
dia mempersiapkan masa lalu lari dari lecuitan usia yang terus berlalu,
hingga menjadi tua. Simaklah syair berikut:
Analthiflu
Yastanjidul firasyaati
Yamtathi qashabatal kauni 29).
Analthiflu
Yastanjidul firasyaati
Yamtathi qashabatal kauni 29).
(aku ini anak-anak
Minta bantuan kupu-kupu
Menunggangi ruas alam).
Minta bantuan kupu-kupu
Menunggangi ruas alam).
Penyair ingin masa kanak-kanaknya kembali, seperti dikampungnya dulu.
Ialah penyair Adones yang punya nostalgia kanak-kanak dikampungnya
(Qushabain). Ia ingin mengaktualisasikan masa lalu dan ia ingin
menggauli masa-masa sekarang:
Atasarwalu syatlatit tibghi
Arsimu qamariy ‘ala auraaqiha
Wa ashgha-li ashwaati laisat ninni lakinnaha liy 30).
Atasarwalu syatlatit tibghi
Arsimu qamariy ‘ala auraaqiha
Wa ashgha-li ashwaati laisat ninni lakinnaha liy 30).
(kupercelana bibit-bibit tembakau
Ku ukir bulanku di dedaunannya
Ku menjerit histeris buat suara-suara
yang tiada datang dariku tetapi dia untukku) – pen.
Ku ukir bulanku di dedaunannya
Ku menjerit histeris buat suara-suara
yang tiada datang dariku tetapi dia untukku) – pen.
Lain lagi penyair badar syakir assayyab, ia mencoba memanggil
masa-masa lalu yang telah hilang. Dia ingin membangkitkan intuisinya
terhadap dunia baru, sebagai uji coba menguasai keruntuhan masa
sekarang. Penyair ini mengungkapkan hal itu dalam kasidahnya dalam
topic: “Sattaar – persembunyian”;
‘ainaaki wan nur adh-dha-il min asy-syumu’I l-khabiyati
Wal ka-sa, wall ail al-muthalla; min an
Anawafidi bin nujumi
Yabhatsna fi’ainiy ‘an qalbin wa’an hubbin qadimin
‘an hadirin hawin wa madin fi dhibabi dz-dzikrayati 31).
Wal ka-sa, wall ail al-muthalla; min an
Anawafidi bin nujumi
Yabhatsna fi’ainiy ‘an qalbin wa’an hubbin qadimin
‘an hadirin hawin wa madin fi dhibabi dz-dzikrayati 31).
(mata kau dan cahaya redup dari lilin-lilin padam
Gelap malam panjang, dari jendela-jendela menerobos bintang
Mereka menganalisa yang ada di mataku tentang hati,
Tentang cinta orang dulu
Tentang masa kini yang luluh dan
Masa lalu dalam kabut nostalgia) – pen.
Gelap malam panjang, dari jendela-jendela menerobos bintang
Mereka menganalisa yang ada di mataku tentang hati,
Tentang cinta orang dulu
Tentang masa kini yang luluh dan
Masa lalu dalam kabut nostalgia) – pen.
Kebahagiaannya rujuk ke zaman yang penuh kenangan itu,adalah untuk
membersihkan jejak zaman yang jumud dan mandul. Dalam kaitan itu,
terkadang penyair ingin menampilkan dirinya hendak merehap sebahagian
rumus usthuriyah (symbol-simbol mitos). Lalu dala kondisi ini penyair
Khalil Hawiy menukilkan kasidahnya; Ba’dul jalid (sesudah beku):
Anta ya tammuz, ya syamsal hashidi najjina,
Najju ‘uruqil ardhi min ‘uqmin dahaahaa wa dahaana 32).
Najju ‘uruqil ardhi min ‘uqmin dahaahaa wa dahaana 32).
(kau hai juli, hai matahari musim panen
Lempar kami, lempar keringat bumi dari kemandulan,
celaka dia dan celaka kita) – pen.
Lempar kami, lempar keringat bumi dari kemandulan,
celaka dia dan celaka kita) – pen.
Sesungguhnya ‘tammuz (bulan juli)’ disini adalah merupakan symbol
kehidupan yang terangkat kedunia baru, lepas dari debu-debu masa lalu.
Demikianlah zamn penyair berangkat dini sebagai zaman mitos, tak mungkin
ada pemisah di dalamnya antara masa lalu, sekarang dan masa yang akan
dating. Makanya di dalam “zaman” usthuriy (mitos) membiaskan masa lalu
dalam sekilas masa kini, sebagai scenario masa yang akan dating. Ini
menuntun kita pula untuk melihat segi lain dalam bahasa kita berikutnya
mengenai “abadia”.
Abadia.
Abadia yang dimaksud adalah ragam zaman. Tidak selamanya dapat kita
artikan dengan masa (zaman mim dengan mad) terakhir. Bahkan Abadia itu
merupakan “salah satu sifat pengalaman yang terjadi pada suatu masa
sesudah zaman fiziya-iy dan diluarnya”. 33)
Pemahaman abadia dapat di identifikasikan dalam karya sastra dari tiga bentuk:
1. Keinginan menghadirkan penutur yang utuh dari genggaman abadia berlangsung dalam dua metode:
a. Pekerjaan minta kehadiaran jati dirinya, dia adalah merupakan ragam zaman. Hakekat keadaannya, kadang-kadang berbicara dalam konteks waktu yang jelas, dan seakan-akan menempatkan keinginan menghadirkan itu pada kondisi sesudahnya untuk melihat hal-hal yang merupakan ragam zaman itu.
b. Sesungguhnya kasus yang dapat di ingat itu jelas di anggap kurang (lepas) dari konteks sejarah peristiwanya. Maka oleh sebab itu dengan keadaan itu tadi, ia berusaha mencari sifat “jauhar abadi (mutiara yang abadi)”.
2. Sesungguhnya kemampuan kembali membina jati diri tentang cara menempuh kenangan yang tak terlupakan itu, harus mampu memutar (menyoroti) gejala-gejala zaman itu.
3. Kesan seni dalam ragam zaman itu ada di dalam kronologinya tentang makna aneka ragam zaman itu, atau di dalam keadaannya, dan tempat yang tetap untuk membetulkan ekspos dari jenis ini 34).
1. Keinginan menghadirkan penutur yang utuh dari genggaman abadia berlangsung dalam dua metode:
a. Pekerjaan minta kehadiaran jati dirinya, dia adalah merupakan ragam zaman. Hakekat keadaannya, kadang-kadang berbicara dalam konteks waktu yang jelas, dan seakan-akan menempatkan keinginan menghadirkan itu pada kondisi sesudahnya untuk melihat hal-hal yang merupakan ragam zaman itu.
b. Sesungguhnya kasus yang dapat di ingat itu jelas di anggap kurang (lepas) dari konteks sejarah peristiwanya. Maka oleh sebab itu dengan keadaan itu tadi, ia berusaha mencari sifat “jauhar abadi (mutiara yang abadi)”.
2. Sesungguhnya kemampuan kembali membina jati diri tentang cara menempuh kenangan yang tak terlupakan itu, harus mampu memutar (menyoroti) gejala-gejala zaman itu.
3. Kesan seni dalam ragam zaman itu ada di dalam kronologinya tentang makna aneka ragam zaman itu, atau di dalam keadaannya, dan tempat yang tetap untuk membetulkan ekspos dari jenis ini 34).
Dari rentetan aneka ragam zaman itu, manusia bisa melihat zaman di
luar dirinya, dan dapat memperkirakan catatan yang hilan, meskipun dalam
kaca mata purbasangka, penyair Adones bernyanyi:
Anta ta’taqilu l-wahma
Wa huwa
Hunaihah hunaihah
Ya’taqilu-z-zamana
Wa yarmiihi fi haudhi kalimaatihi 35).
Anta ta’taqilu l-wahma
Wa huwa
Hunaihah hunaihah
Ya’taqilu-z-zamana
Wa yarmiihi fi haudhi kalimaatihi 35).
(kau meraba purbasangka
Dan dia
Sekejab-sekejab
Meraba zaman,
Dan melemparkannya dalam kolom kata-katanya)- pen.
Dan dia
Sekejab-sekejab
Meraba zaman,
Dan melemparkannya dalam kolom kata-katanya)- pen.
Adapun seorang penyair wanita Nazik Almalaikah, mencoba lari dari
kenyataan masa lalu yang mati, dan masa dating yang diselubungi kabut
menakutkan, pada gilirannya dia berjumpa dengan abadia dan menemui aneka
ragam zaman. Lalu ia bernyanyi dengan kasidahnya; awalu th-thariq
(pangkal jalan), sebagai berikut:
Sanamhu z-zamaana
Wa nansa l-makaana
Hunaka wa nuqsimu alla na’uudu
Ila amsina l-muntawiy 36).
Wa nansa l-makaana
Hunaka wa nuqsimu alla na’uudu
Ila amsina l-muntawiy 36).
(kan kami hapus zaman itu
Kami lupakan tempai itu
Disini dan kita bersumpah tidak ‘kan kembali
Ke hari-hari kita kemaren yang terlibat itu) – pen.
Kami lupakan tempai itu
Disini dan kita bersumpah tidak ‘kan kembali
Ke hari-hari kita kemaren yang terlibat itu) – pen.
Thema-Thema dan Maut
Pada prinsipnya dalam zaman itu ada satu thema yang tak dapat
diabaikan., ialah “maut”. Manusia seperti yang dilihat kaum wujudiyun,
ialah makhluk yang tak dapat menghindar dari terkaman maut. Kebanyakan
para pakar di timur secara kuno telah membuat ketetapan hal itu dan
bermacam-macam arus pemikiran kaum Ighriq Kubra, serta kebanyakan kaum
filosof secara modern mempunyai ketetapan tentang arus filsafat itu.
Hal kemestian ini, membias di dalam karya sastra dan dalam
produktifitasnya, oleh kebanyakan masyarakat dunia. Ini pun terlihat
pula menghiasi syair-syair arab mutakhir. Penyair Adones bernyanyi:
‘idzan is-alniy l-aan:
Maadza yumlaku l-ansaan ghaira mautihi? 37).
‘idzan is-alniy l-aan:
Maadza yumlaku l-ansaan ghaira mautihi? 37).
(jikalau begitu, kau bertanyalah pada ku kini:
Apa yang dimiliki manusia selain mati?) pen.
Apa yang dimiliki manusia selain mati?) pen.
Disana pula penyair badar syakir assayyab memberikan pemahaman, bahwa
kembali ke zaman kanak-kanak adalah mustahil. Tidak ada di depannya
selain kematian (maut). Ia bernyanyi dalam kasidahnya: Jaikur Syaabat –
jaifur yang telah membaur, sebagai berikut:
Wa haihaat maa lalshiba min rujuu’i
Inna madiyya qabriy, wa iniy qabrun maddiyyun
Mautn yamuddu l-hayata l-haziinata
Am hayatun tamiddur radiyya bi d-dumu-i 38)
Wa haihaat maa lalshiba min rujuu’i
Inna madiyya qabriy, wa iniy qabrun maddiyyun
Mautn yamuddu l-hayata l-haziinata
Am hayatun tamiddur radiyya bi d-dumu-i 38)
(jauhi, sikap kekanak-kanakan, kembali sebelum pergi
Sungguh kuburku masa lalu, dan aku ini kuburan masa lalu
Maut menjegal hidup penuh depresi
atau sosok hidup membiarkan penuh linangan air mata) pen.
Sungguh kuburku masa lalu, dan aku ini kuburan masa lalu
Maut menjegal hidup penuh depresi
atau sosok hidup membiarkan penuh linangan air mata) pen.
Penyair Khalil Hawiy mengungkapkan deraan maut. Dia berada dalam
kawasan wujud yang gelap, adalah makhluk ciptaan yang di dalam darahnya
mengalir maut. Ia merasaskan pahit getirnya di depan orang-orang yang
selalu merupakan kemestian wujudnya. Khalil Hawiy bernyanyi dalam
kasidahnya: Fi Jauful Hut (dalam lambung ikan paus) sebagai berikut:
Wa ana fil kahfi mahmumun dharir
Yutamaththa-l-maut fi a’dha-ihi
‘adhwan fa’adhwan, wa yamutu
Kullu ma a’rifuhu anniy amutu
Mudghatan tafihatan fi jaufin hutin 39).
Wa ana fil kahfi mahmumun dharir
Yutamaththa-l-maut fi a’dha-ihi
‘adhwan fa’adhwan, wa yamutu
Kullu ma a’rifuhu anniy amutu
Mudghatan tafihatan fi jaufin hutin 39).
(dan aku dalam gua badan panas kurus kering
Maut menggeliat di sekujur tubuhnya
Organ demi organ tubuh, dan membunuh
Semuanya, apa yang kukenali dia,
Bahwa aku sesungguhnya ‘kan mati
Sepotong daging hambar dalam perut ikan paus) pen.
Maut menggeliat di sekujur tubuhnya
Organ demi organ tubuh, dan membunuh
Semuanya, apa yang kukenali dia,
Bahwa aku sesungguhnya ‘kan mati
Sepotong daging hambar dalam perut ikan paus) pen.
Penyair wanita Nazik Almalaikah tidak melihat tempat pasti lari dari
tempat pulang yang pasti ini. Lalu ia bernyanyi dalam kasidahnya:
Wa masy-yuna walakinal harakata Zhallat tatbi’una,
Wa s-samakata tukbir-tukbir
Hatta ‘adat fi hidhi l-maujati kal-imlaqi
Wa sharahat rafiqiy ayyu thariqi
Lina’udda faddarbu yudhiqu yudhiqu
Wa zh-zhulmatu mankamatu l-ighlagi 40).
Wa masy-yuna walakinal harakata Zhallat tatbi’una,
Wa s-samakata tukbir-tukbir
Hatta ‘adat fi hidhi l-maujati kal-imlaqi
Wa sharahat rafiqiy ayyu thariqi
Lina’udda faddarbu yudhiqu yudhiqu
Wa zh-zhulmatu mankamatu l-ighlagi 40).
(dan perjalanan panjang kita, tetapi
gerakan ini memayungi, mengikuti kita,
Dan seekor ikan ini bertakbir-takbir
Hingga kembali kepangkuan gelombang raksasa
Dan meminta pertolongan rekanku, yakni jalan
Memelihara kita dari makhluk-makhluk ini
Agar kita dapat memperhitungkan,
jalan perbukitan itu sempit-sempit
dam kelam itu mahkamah ketertutupan) pen.
gerakan ini memayungi, mengikuti kita,
Dan seekor ikan ini bertakbir-takbir
Hingga kembali kepangkuan gelombang raksasa
Dan meminta pertolongan rekanku, yakni jalan
Memelihara kita dari makhluk-makhluk ini
Agar kita dapat memperhitungkan,
jalan perbukitan itu sempit-sempit
dam kelam itu mahkamah ketertutupan) pen.
Berikutnya bahwa thema positif menyingkirkan yang negative. Kita
melihat para penyair kita tersenyum seketika untuk hari esok, dan mereka
mewarnai karya mereka dengan cita. Inilah penyair Adones membentangkan
kasidahnya:
A’linu l-aan
Akhtar hadza l-makan
Kalimatiy fu-us
Wa lishautiy syaklu l-yadain
A’linu l-aan anniy hithab hadza z-zamaan 41).
A’linu l-aan
Akhtar hadza l-makan
Kalimatiy fu-us
Wa lishautiy syaklu l-yadain
A’linu l-aan anniy hithab hadza z-zamaan 41).
(ku proklamirkan kini
Pemilihan tempat ini
Kata-kata ku adalah baji
Dan bagi suaraku ada bentuk dua tangan
Ku proklamirkan kini, sesungguhnya
Aku percakapan zaman ini) pen.
Pemilihan tempat ini
Kata-kata ku adalah baji
Dan bagi suaraku ada bentuk dua tangan
Ku proklamirkan kini, sesungguhnya
Aku percakapan zaman ini) pen.
Penyair Assayyab melihat hal-hal yang kontinuitas dalam wujud lain,
setelah kematiannya, kasidah-kasidahnya yang dibentangkan adalah
gambaran segala sesuatunya akan kekal dalam kaitan kehidupan. Assayyab
berbicara dalam kasidahnya: Lailah Intizhar (malam penantian) sebagai
berikut:
Satabqa hiina yabla kullu wajhiy, kullu idhlaa’iy
Wa ta-kullu qalbiya l-daidaanu
Tasyrabuhu ila l-qa’i
Qashi-idu…kuntu aktubuha liajliki fi dawaawiiniy
Ahbiha tahbiniy 42).
Satabqa hiina yabla kullu wajhiy, kullu idhlaa’iy
Wa ta-kullu qalbiya l-daidaanu
Tasyrabuhu ila l-qa’i
Qashi-idu…kuntu aktubuha liajliki fi dawaawiiniy
Ahbiha tahbiniy 42).
(kan kekal kau ketika seluruh wajahku, tulang rusukku hancur
Tradisi kan menelan kalbuku, kan
Meneguknya sampai luluh ke tanah
Kasidah-kasidah… kutulis karena kau
Putrid ada dalam antolojiku
‘kan kuberikan padanya, pasti dia ‘kan beri ku pula) pen.
Tradisi kan menelan kalbuku, kan
Meneguknya sampai luluh ke tanah
Kasidah-kasidah… kutulis karena kau
Putrid ada dalam antolojiku
‘kan kuberikan padanya, pasti dia ‘kan beri ku pula) pen.
Sampai-sampai assayyab berutopi dengan maut, ketika ia melihat
kelahiran baru, dan terbuka bagi dunia lain. Penyair assayyab menukil
kasidahnya: “lauyun maknis (pintalan yang tersapu)” sebagai berikut:
Wa ya laitaniy muttu, inna s-sa’id
Man aththaraha l-‘ib-a ‘an zhahrihi
Wa saara ila qabrihi
Liyulada fi mautihi min jaded 43).
Wa ya laitaniy muttu, inna s-sa’id
Man aththaraha l-‘ib-a ‘an zhahrihi
Wa saara ila qabrihi
Liyulada fi mautihi min jaded 43).
(hai maut, kau bawalah aku. Sungguh yang berbahagia itu
Orang yang dapat melepas beban dari bahu
Dan dia berjalan ke kuburnya
Lalu bangkit lagi dari kematiannya
Jadi manusia baru) pen.
Orang yang dapat melepas beban dari bahu
Dan dia berjalan ke kuburnya
Lalu bangkit lagi dari kematiannya
Jadi manusia baru) pen.
Demikian, kita memproduksi kembali, bahwa zamn itu benar-benar
terjadi. Zaman itu selalu merupakan peristiwa penting yang secara
essensial tumpah di dalam karya-karya sastra sajak-sajak. Karena
sesungguhnya perkara zaman itu, intinya adalah pengalaman besar yang
selalu setia menyertai manusia sejak dari azal (sononya). Makhluk
ciptaan allah ini mampu mengatasi semua persoalan-persoalan sulit dalam
kehidupan. Tetapi yang namanya zaman dalam konteks ini, penderitaan
besar yang diselubungi kabut yang sulit di tembus. Ini pun akan tetap
berlanjut. Jarang manusia yang berani membawa umpan pahit, dan jarang
pula yang mampu melangkahi kegetiran dan kepahitan itu. Letupan di
tengah-tengah keadaan dalam zaman itu melahirkan keperkasaan zaman itu
sendiri, merupakan butiran syair, prosa, karya sastra dan seni lainnya.
Para seniman kreatif dialah yang bakal mampu menjelajahi kekerasan zaman
dan menelusuri kekersangan sebuah tempat. Karena sesungguhnya pekerjaan
kreatifitas itu dalam jati dirinya, gaungan pri kemanusiaan dalam wajah
yang tak dapat diraba.
Rujukan
1. Az-zamn Fil Adab, Haniz Moirhof, (Terjemahan, Hal.11)
2. Sda, Hal.10
3. Lisanul Arab, Ibn Manshur, BAIRUT,1956, jilid 13, Hal.198-199
4. Sda, Entry “Dahr” Jilid 4, Hal.5
5. Sda, Entry “Waktu”.
6. Al Qamus Al Muhith, Al Fairuz Abadiy, Kairo,1913, Entry “Waktu” Jilid I, Hal.160
7. Sda, Entry : Dahr” Jilid II, Hal.33
8. Sda, Entry “Zaman” Jilid IV, Hal.232
9. Andre Maurois: ‘Proust: Portrait Of a Genius”, New York, Harper, 1951, P.158
10. Madeleine B.Stern, “Counterclockwise; Flux Of Time In Literature”, The Sewance Review; XLIV (1936) P.351
11. Khlil Hawiy: Almajmu’atul Kamilah, Hal 195, Bairut Darul’audah
12. Sda: sda, Hal 198
13. Alitijahatul Jadidah Fisy Syi’ril ‘Arabil Ma’ashir (Tema-tema baru dalam Syair Arab Mutakhir), Risalah (Disertasi) Doctor DR.Abdul Hamid, Jeddah (Lam Tunsyar-Belum Dipublikasi)
14. Almajmu’atul Kamilah, Hal.288
15. Almajmu’atul Kamilah, Hal.282, Jilid I
16. Sda, Hal.230
17. Almajmu’atul Kamilah, Hal.163
18. Sda, Hal.716
19. Az-Zaman Fi l-Adab (Zaman dalam Sastra), Hanez Merhof (Terj.), Hal.12
20. Almujma’tul Kamilah: Khalil Hawiy, Darul Audah Bairut, Jilid I, Hal.453
21. Sda, Jilid II, Hal 326
22. Mufrad bi Shighati l-Jami’i, Hal.256
23. Sda, Hal 255
24. Sda, Hal.257
25. Za-Zaman Fi l-Adab, Hal.28
26. Al-Ittijahati l-Jadidah fi Sy-Syi’ri l-Arabiy l-Ma’ashir (Thema-thema baru dalam syair Arab Mutakhir) DR.Abdul Hamid, Jeddah.
27. Sda, Hal.142
28. Sda, Hal.12
29. Sda, Hal.57
30. Sda, Hal.38
31. Almajmu’atul Kamilah, Hal.75
32. Sda, Hal.89
33. Az-Zaman fi l-Adab, Hal.62
34. Sda, Hal.62-64
35. Mufrad bi Shighatil-Jam’i, Hal.312
36. Almajmu’atul Kamilah, Hal.230, Jilid II
37. Mufrad bi Shighati l-Jam’i, Hal.285
38. Almajmu’atul Kamilah, Hal.208
39. Sda, Hal.68
40. Sda, Hal.246
41. Dewan “Alqasha-Idu l-Khams” Taliiha “Almuthabaqat Wa l-awa-il”.
42. Almajmu’atul Kamilah, Hal.711
43. Almajmu’atul Kamilah, Hal.697
2. Sda, Hal.10
3. Lisanul Arab, Ibn Manshur, BAIRUT,1956, jilid 13, Hal.198-199
4. Sda, Entry “Dahr” Jilid 4, Hal.5
5. Sda, Entry “Waktu”.
6. Al Qamus Al Muhith, Al Fairuz Abadiy, Kairo,1913, Entry “Waktu” Jilid I, Hal.160
7. Sda, Entry : Dahr” Jilid II, Hal.33
8. Sda, Entry “Zaman” Jilid IV, Hal.232
9. Andre Maurois: ‘Proust: Portrait Of a Genius”, New York, Harper, 1951, P.158
10. Madeleine B.Stern, “Counterclockwise; Flux Of Time In Literature”, The Sewance Review; XLIV (1936) P.351
11. Khlil Hawiy: Almajmu’atul Kamilah, Hal 195, Bairut Darul’audah
12. Sda: sda, Hal 198
13. Alitijahatul Jadidah Fisy Syi’ril ‘Arabil Ma’ashir (Tema-tema baru dalam Syair Arab Mutakhir), Risalah (Disertasi) Doctor DR.Abdul Hamid, Jeddah (Lam Tunsyar-Belum Dipublikasi)
14. Almajmu’atul Kamilah, Hal.288
15. Almajmu’atul Kamilah, Hal.282, Jilid I
16. Sda, Hal.230
17. Almajmu’atul Kamilah, Hal.163
18. Sda, Hal.716
19. Az-Zaman Fi l-Adab (Zaman dalam Sastra), Hanez Merhof (Terj.), Hal.12
20. Almujma’tul Kamilah: Khalil Hawiy, Darul Audah Bairut, Jilid I, Hal.453
21. Sda, Jilid II, Hal 326
22. Mufrad bi Shighati l-Jami’i, Hal.256
23. Sda, Hal 255
24. Sda, Hal.257
25. Za-Zaman Fi l-Adab, Hal.28
26. Al-Ittijahati l-Jadidah fi Sy-Syi’ri l-Arabiy l-Ma’ashir (Thema-thema baru dalam syair Arab Mutakhir) DR.Abdul Hamid, Jeddah.
27. Sda, Hal.142
28. Sda, Hal.12
29. Sda, Hal.57
30. Sda, Hal.38
31. Almajmu’atul Kamilah, Hal.75
32. Sda, Hal.89
33. Az-Zaman fi l-Adab, Hal.62
34. Sda, Hal.62-64
35. Mufrad bi Shighatil-Jam’i, Hal.312
36. Almajmu’atul Kamilah, Hal.230, Jilid II
37. Mufrad bi Shighati l-Jam’i, Hal.285
38. Almajmu’atul Kamilah, Hal.208
39. Sda, Hal.68
40. Sda, Hal.246
41. Dewan “Alqasha-Idu l-Khams” Taliiha “Almuthabaqat Wa l-awa-il”.
42. Almajmu’atul Kamilah, Hal.711
43. Almajmu’atul Kamilah, Hal.697
Posting Komentar