Headlines News :
Diberdayakan oleh Blogger.
Guru Tulis
"Kalau saya pulang kampung, saya sering tiba-tiba meminta sopir berhenti di tengah jalan. Keluar dari mobil, menghirup aroma tanah ladang. Terkenang dengan masa lalu."
“tiada episode sejarah tanpa perjuangan pemuda”

(Yulizal Yunus)
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis

Seminar Sinergi Perguruan Tinggi

Seminar sinergi perg tinggi dengan lembaga pemerintah dalam upaya penyelamatan naskah kuno 20-22 Nov 2013

Yuyu Presentasi Apresiasi Monografi Nagari Adat dan Syara


Yuyu Presentasi Apresiasi Monografi Nagari Adat dan Syara' 14 Nagari di Solok, 25 Nov 2013

Budaya Minangkabau dan Nilai Kepemimpinan Ninik Mamak


Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
(
Makalah disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November 2012.)




Kekuatan budaya Minang merujuk nilai nan ampek yakni sopan, santun. budi baik, baso indah. Dalam implemetasinya tercermin dalam tiga prilaku, yakni tuntas dalam substantif, tuntas dalam artikulasi, dan inklusifisme. Impactnya terlihat dalampelaksanaan  jalan nan ampek pula secara ideal yakni, pemimpin (nan gadang) dihormati, kamanakan (nan ketek - rakyat) disantuni, sesama pemimpin (samo gadang) lawan baiyo, dan nan gadang dan nan ketek serta nan samo gadangdiakomodasikan dalam kato melereng. Semua nilai ini diperkuat sinergitas sistem nilai tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan yakni anggo tanggo (dipegang fungsionaris tuangku ulama), raso pareso (dipegang ninik mamak) dan alua jo patuik (dipegang cadiak pandai sebagai peneliti dan penyidik).


A.      Budaya dan Adat  Minangkabau
Budaya Minangkabau menjadi prilaku dalam mekanisme masyarakat. Prilaku itu diatur dalam sistem adat Minangkabau. Artinya orang Minangkabau berprilaku (berbudaya) diatur oleh adatnya.
1.        Adat Minang
Adat Minangkabau, justru amat kaya dengan nilai luhur banyak direkrut Pancasila sebagai identitas bangsa. Sebagai subkultur (kebudayaan) bangsa, ada budaya punya filosofi dan ditetapkan dalam konsesus Minang (Perrjanjian Marapalam) yakni ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah), dioperasionalkan SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Memakai) dan ATJG (Alam Terkembang Jadi Guru). Artinya adat Minang adalah pelaksanaan agama (syara’). Dalam melaksanakan syara’ yang bersumber al-Qur’an (Kitabullah) plus Hadis Nabi saw, dibumikan dengan kepintaran membaca kearifan alam. Adat Minang juga merupakan pagar yang kuat melindungi agama (Islam). Kata petatah Minang:
Di dalam nan duo kalarasan
Adat manjadi darah daging
Syara’ nan lazim ka imanan
Adat nan kawi nan mandinding

Tidak adat Minang namanya kalau bertentangan dengan norm yang bersumber dari agama, dan tidak orang Minang namanya kalau tidak pandai membaca tanda kearifan alam sesuai dengan ATJG tadi sebagai sunnatullah/ kitab Allah yang tidak tertulis. Keterpaduan adat, agama dan alam ini dituangkan dalam petata di antaranya:

Simuncak mati tarambau
Ka ladang mambao ladiang
Adat jo syara’ Minangkabau
Umpamo awua dengan tabing
Sanda manyanda kaduonyo.

Adat dalam perspektif subkultur Minangkabau merupakan sistem nilai yang mengatur prilaku terumus dalam petata petiti. Agama adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan rumah Minang, bukan sendi – atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya (sandi) Kitabullah (al-Qur’an) dan alam sunnatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya merupakan prilaku mengacu norm agama dan adat. Lalu Kebudayaan dalam perspektif adat Minangkabau inheren dengan adat itu sendiri, karena kebudayaan itu sudah menjadi sistem lagi yang berfungsi mengatur semua sistem prilaku (intangible lainnya) dan mengartur semua hasil cipta, rasa dan karsa (tangible lainnya).

2.        Sistem dan nilai Budaya Minang
Defenisi kebudayaan banyak sekali dalam berbagai perspektif. Namun dari sekian banyak defenisi kebudayaan, setidaknya pada kebudayaan itu terdapat 7 sistem yakni: (1) sistem sosial, (2) sistem ekonomi (termasuk sistem prilaku pertanian, kehutanan, kelautan, perdagangan, moneter, pariwisata sering ditafsirkan devisa/ padahal pariwisata itu juga sistem kebudayaan dsb), (3) sistem politik , (4) sistem ilmu pengetahuan (termasuk pendidikan), (5) sistem filsafat, (6) sistem seni, (7) sistem religi (sistem prilaku beragama, bukan kitab suci dalam pengertian yang sakral dan transedental). Semua sistem ini dan pengaturannya terdapat dalam fungsi adat di Minangkabau. Karenya kebudayaan itu adalah adat itu sendiri di Minangkabau.
Pemahaman tentang kebudayaan dalam perspektif berbagai suku bangsa di Indonesia penting dibakukan. Sebab memahami adat saja dalam kontek kebudayaan secara nasional, sering sekali adat itu ditulis dan diucapkan dengan adat istiadat, padahal adat istiadat itu satu di antara pembagian dari 4 pembagian adat dalam perspektif subkultur Minangkabau. Pemahaman seperti ini sedang dicari dan dibutuhkan untuk merumuskan frem of thinking dalam RUU Kebudayaan di Indonesia dewasa ini.  Sementara pemahaman kebudayaan inheren dengan adat di Minangkabau ini sudah saya tegaskan di Gubernuran Sumatera Barat,  16 Juni 201 dalam Pertemuan dengan Tim Panja  DPRRI Komisi X dengan Gubernur, dihadiri pula Pimpinan Lembaga Adat, Budayawan, Tokoh Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Kebudayaan di Sumbar. Saya memberikan koreksi RUU Kebudayaan yang masih prematur itu, yakni pemakaian/ penulisan kata adat istiadat itu dikoreksi, cukup ditulis adat saja, karena di Minang, adat istiadat itu sudah termsuk dalam kata adat.
Justru adat istiadat itu di Minang merupakan salah satu dari adat yang empat (adat nan sabana adat, adat teradatkan, adat nan diadatkan dan adat istiadat). Makanya pendefenisian kebudayaan dalam perspektif Minang inheren dengan adat, karena cakupan sistem adat itu luas seperti luasnya cakupan sistem kebudayaan meliputi semua sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk semua sistem yang menjadi nomenklatur kementerian di Negara Republik Indonesia.
Karenanya, pemberian pengertian umum tentang kebudayaan dalam RUU semestinya diberi batasan dan identitas mana yang dilestarikan, diatur dan  diselenggarakan Negara. Dalam prakteknya selama ini yang diselenggarakan program kebudayaan meliputi seni dan olahraga saja, padahal semua sistem. Karenanya diusulkan RUU Kebudayaan itu meliputi seluruh sistem kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena pembangunan ekonomi misalnya kalau tidak diberi pondasi dan tidak didukung iklim budaya dan prilaku yang sehat, dipastikan akan menuai kegagalan. Jadi ekonomi diselenggarakan kementerian ekonomi, dan sistem budayanya diatur oleh kementerian kebudyaaan.
Dalam budaya Minangkabau sesuai dengan konsesus atau Perjanjian Bukit Marapalam yang menjadi filosofi masyarakat adat Minangkabau yakni ABS – SBK, adat itu sudah menyatu dengan agama. Adat itu adalah pelaksanaan agama (syara’/ Islam). Orang yang berprilaku sesuai dengan agama tercermin dalam pelaksanaan adatnya, disebut sudah berbudaya Minang. Artinya tidak orang Minang namanya kalau tidak beragama Islam, atau tidak adat Minang namanya kalau tak berakidah dan berpegang dengan Tuahn sesuai agamanya (syara’/ Islam). Bagi orang Minang, adatnya tak boleh lepas dari Tuhan, bila tinggal Tuhan dunia hangus dan akhirat lepas. Hal ini diingatkan petatah:

Nan mancancang nan mamapeh
Nan bahutang nan mambayia
Tali jo Tuhan kalau lapeh
Dunia anguih akhirat cayaia

Artinya adat yang secara substansial mempunyai bersumber dari 4 nilai karakter (kepribadian) yakni sopan - santun dan budi – baso, tidak saja mengatur prilaku dunia tetapi juga ada tujuan akhirat. Orang Minang berprilaku akhlak mulia dan bermartabat, tidak saja mulia di dunia, tapi juga menjadi jembatan emas ke akhirat, pernah saya tulis di SKU. Haluan, Juli 2011 sebagai bagian materi ceramah saya pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 24-26 Juni 2011, dalam program menggiatkan Forum Anak Sumatera Barat. Karena itu pemimpin yang dipangku ninik mamak dalam masyarakat Minang tidak saja punya tanggung jawab di dunia (dalam kaumnya) tetapi juga punya tanggung jawab ukhrawi memelihara anak kamanakan. 

B.       Kepemimpinan Ninik Mamak
Tidak ringam tugas pemimpin (ninik mamak) di Minangkabau. Dari sumpahnya saja di waktu melewakan penghulu dan atau datuk betapa berat tanggaung jawab sosialnya: yang diselenggarakan tanpa pamrih, secara kekeluargaan dan semangat gotong royong.
Banyak kalangan terutama dari pihak luar, memandang sumpah penghulu saat pelewaan di Ranah Minang sebagai sumpah yang melewati batas manusiawi. Terkesan sumpah tersebut sangat paradoksal dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi kitabullah. Tentang ini saya sebagai pemuka adat pernah dimintai keterangan oleh wartawan (publikasi Singgalang, senen 11 April), saya katakan secara kategoris (sepintas) dalam ukuran sekarang melewati batas nilai manusiawi. Sumpah, dengan kalimat: kaateh ndak bapucuk kabawah ndak baurek, tangah-tangah dilariak kumbang, sepintas satu bentuk kalimat sumpah yang melewati batas humanis itu, seolah tidak sesuai lagi dengan filosofi orang Minang dalam kontek sekarang dalam keadaan prilaku orang Minang sudah berubah, seperti mau mencederai hak dan batas-batas kemampuan seorang manusia. Namun kalau kita pahami secara mendalam sumpah itu berarti menunjukan komitmen kuat penghulu memelihara anak kamanakannya, yang tidak saja di dunia tapi juga tanggung jawab ukhrawi.

1.        Seni Kepemimpinan Ninik Mamak
Ninik mamak ialah semua laki-laki dewasa (sudah kawin). Ninik mamak dipimpin oleh penghulu dan atau datuksebagai ketua. Pemangku adat, top leadernya adalah penghulu dan atau datuk.  Justru, penghulu itu berpangkal dari akar kata hulu (berarti ketua) dalam kaum suku di nagari. Hulu pada sungai, pangkal dari semua air yang mengalir dan pada penghulu adalah hulu penyelesai semua persolan yang terjadi dalam kaum. Penghulu sebagai ketua ninik mamak pada sebuah lembaga adat (limbago paruik, limbago jurai, limbago suku/ kampung dan limbago nagari). Di satu nagari adakalanya penghulu sama dengan datuk,  namun di satu nagari lain, penghulu tidak sama dengan datuk. Corak seperti itu menunjukkan fenomena “adat salingka nagari”.
Penghulu diperkuat perangkatnya disebut urang nan ampek jinih, ialah Penghulu/ datuk, manti, malim dan dubalang. Mereka disebut dengan pemangku adat. Pemangku adat ini sesungguhnya adalah leader dalam masyarakat adat. Dari perspeltif menejerial, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan seni seorang leader (pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok dalam melaksanakan tupoksi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama.
Seperti itu pula seni kepemimpinan ninik mamak pemangku adat dalam memotivasi masyarakat adat (anak kamanakan) dalam mencapai tujuan bersama. Mereka punya daya tarik, menarik dan kokoh dalam menaungi dan menahan kritik. Kekokohan fungsi kepemimpinan pemangku adat itu diposisikan sebagai leader “kayu gadang di tangah koto”. Kayu besar dan kokoh menaungi serta kuat menahan kritik sekalipun ia disakiti. Tidakkah orang yang duduk di bawah kayu gadang itu hadir dengan bermacam parangai, ada yang istirahat menikmati keteduhan rindang dedaun kayu gadang dan ada pula dengan budaya usil, duduk bersila sambil tangan usil “manokok-nokok” bahkan “mamaghuak-maghuak jo ladiang” sehingga berkelukaranlah “urek kayu gadang tampek baselo” itu, tetapi kayu gadang justru punya karakter mulia, di tempat yang luka itu justru ditumbuhkannya tuneh (tunas muda), sebagai generasi baru, yang bakal menggantikannya (proses regenerasi) andaikan kayu gadang “tampek basanda” ini roboh dan mati.
Seperti tadi disebutkan, tugas penghulu luas dan besar sekali, meliputi segala persoalan dan masalah yang terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya. Penghulu dan atau datuk itu sebagai ketua Ninik Mamak, dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat itu, yakni manti, malim dan dubalang di samping wakilnya langsung disebut panungkek atau mangku (wakil datuk/ penghulu dan atau rajo).
Kepada pemangku adat itu, tertumpu harapan besar berperan lebih besar, tidak saja dalam pembinaan dan pelestarian adat dan budaya alam Minangkabau dalam kaumnya dan di nagari seperti diamanahkan Perda 2/2007 fs.36, tetapi juga perannya sebagai mitra dalam mendorong pembangunan ke arah yang lebih maju dan bermartabat.
Siapapun dalam melakukan peran tak kecuali penghulu, ada syarat utama berperan dalam perspektif sosiologis, setidaknya ada tiga hal yang harus ditunjukan. Pertama “ada aktifitas yang jelas dan aktif”, kedua “ada status yang jelas dan kuat” tentunya sebagai pemangku adat, dan yang ketiga “punya kharisma dan nyata-nyata disegani”. Jika ketiga hal ini dimiliki pemangku adat dimungkinkan akan dapat berperan dengan baik dan diakui.

2.    Nilai kepemimpinan ninik mamak
Kepemimpinan ninik mamak, memperlihatkan integitas kuat antara satu unsur dengan unsur yang lain. Pemimpin tidak jalan sendiri-sendiri. Kuat nilai sinergisitas, terutama dalam sistem tali tiga sepilin.Tali tiga sepilin simbol pengikat yang kuat. Demikian pula tungku itu tigo sajarangan merupakan sandi yang kokoh dalam kehidupan Minang, yang juga tidak lepas dari tiga sumber nilai: adat, syara’ dan Kitabullah.
Tungku sebagai sandi yang kokoh dan tali pengikat yang kuat itu secara operasional di Minang dalam melaksanakan syara’, dipandu petunjuk kuat. Panduan ini pernah panjang lebar dijelaskan dalam buku saya (dkk. 2011) diterbitkan Museum Adityawarman, tentang ABS-SBK, dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin. Pertama anggo tanggo fungsinya ibarat organisasi merupakan anggaran dasar/ anggaran rumah tangga, kedua alua jo patuik berfungsi sebagai Undang Undang,  ketiga raso – pareso (rasa – periksa) berfungsi sebagai Hukum dalam tatanan kehidupan Minang. Dalam mamang orang tua:

Badasar ka anggo tanggo
Baundang ka alua jo patuik
Bahukum ka raso jo pareso
Raso Tumbuah di dado
Pareso tumbuah di kapalo

Sistem nilai inilah yang disebut dengan sistem tungku tigo sajarangan, sedangkan fungsionarisnya tigo tuanku yakni ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) ketiga fungsionaris adat itu adalah: (1) alim ulama pada fungsi mengeluarkan fatwa, (2) ninik mamak pada fungsi memerintahkan (anak kemanakan) untuk melaksanakan fatwa itu, dan (3) cadiak pandai pada fungsi teliti untuk meneliti (memeriksa) aapakah fatwa yang dijalankan itu menguntungkan atau merugikan masyarakat (anak kamanakan). Tegasnya tupoksi ketiga fungsionaris tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu diamanatkan dalam petata: fatwa pada ulama, parentah pada ninik mamak dan teliti pada cadiak pandai. Dalam pelaksanaan tupoksi itu didistribusikan dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu yakni (1) anggo tanggo, (2) alua jo patuik, dan (3) raso jo pareso, dijelaskan sbb.:
a. Dasar: Anggo Tanggo
            Anggo Tanggo dalam sistem tungku tigo sajarangan dalam adat limbago Minang merupakan pedoman dasar. Pedoman dasar ini dalam organisasi (limbago) merupakan AD/ ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga).          Artinya Anggo Tanggo merupakan paradigma adat yang merupakan landasan dan pedoman dasar dalam kehidupan Minang.
            Kalau alim ulama berdiri pada pintu agama dengan fatwa yang bersumber dasar yang amat kuat yakni Kitabullah sebagai sandi syara’ (Islam), maka pemegang kendali utama anggo tanggo ini adalah tuanku ke-2 yakni alim ulama tempat bermufti (minta fatwa) para masyarakat adat yang dipimpin penghulu.
b. Undang: Alua jo Patuik
            Alua jo patuik (bukan patuik dialua) dalam sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin merupakan hal penting dalam pengambilan keputusan adat. Alua jo patuik sebagai nilai penim-bang keseimbangan dalam pengambilan kebijakan (politik dalam pengertian luas) lebih tepat disebut sebagai peraturan perundang- undangan dalam masyarakat adat Minang.
            Kalau ninik mamak tagak di pintu adat, dengan memegang kendali parentah (perintah/ amar) aturan dan undang yang kuat dalam pengambilan keputusan termasuk dalam penyelesaian sengketa adat,  adalah alua jo patuik, maka pemegang kendali alua jo patuik itu adalah tuanku ke-1 ialah ninik mamak.
c.  Hukum: Raso jo Pareso
            Raso jo pareso keseimbangan antara perasaan dengan rasional (pikiran). Dalam tatanan adat raso pareso ini didayagunakan untuk pengambilan keputusan hukum. Karena itu raso jo pareso berfungsi sebagai Hukum dalam kehidupan Minang.
Kalau fungsi cadiak pandai tagak di pintu teliti/ penyidik/ periksa maka pemegang pilar raso pareso ini adalah tuanku ke- 3 yakni cadiak pandai.

3.        Revitalisasi dan Pelatihan Pemangkua Adat
Tak heran misalnya pemangku adat yang baru diangkat, jika terksean belum berdaya dan lemah dalam memiliki tiga persyaratan berperan tadi secara sosiologis. Mereka (1) masih canggung dan di mana harus memulai untuk aktif melakukan kegiatan di kaumnya dan berinteraksi dengan kaum yang lain dan pemerintah karena belum banyak tahu bagaimana kebijakan pemerintah di Sumatera Barat amat peduli dengan pembangunan “terpadu adat dan agama” dalam kerangka penerapan nilia-nilai filosofi “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dengan strategi dan Syara’ Mangato – Adat Mamakai (SM-AM) dan Alam Takambang Jadi Guru (ATJG) ke arah pembentukan karakter yang beradat dan agamis;  (2) status yang dimilikinya sebagai pemangku adat adalah baru, sudah barang tentu perlu penguatan dan pemberdayaan, dan (3) pembangku adat yang baru dimungkinkan juga belum punya kharisma dan  masih perlu bersosialisasi dan berinteraksi dengan fungsionaris tali tigo sapilin, dengan kaum-kaum yang lain dan pemerintah mulai dari nagari sampai ke tingkat provinsi bahkan nasional, yang sudah barang tentu berkaitan dengan eksistensinya dalam kaum dan nagarinya.
Karenanya sebagai sebuah solusi, perlu kebijakan program kegiatan pelatihan peguatan peran pemangku adat ini, secara terus menerus dilakukkan lembaga adat seperti LKAAM dan KAN sebagai urat tunggangnya, didukung oleh didukung pemkab/ kota dan Pemprov Sumatera Barat dengan pendanaan APBD dioperasionalakan melalui Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Masyarakat – Kesbangpolmas. Ini, sebagai upaya penguatan dan pemberdayaan dan merevitalisai peranan pamangku adat terutama yang baru diangkat itu untuk berperan optimal di kaumnya, di nagari dan bersama pemerintah sebagai mitra pembangunan daerah.***



[1]Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM Sumatera Barat, Ketua Dewan Adat dan Syara’ nagari Taluk Batangkapas, Pesisir Selatan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Makalah disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November 2012.

Konsep dan Perubahan Dalam Seni Tradisional Minangkabau



Oleh Yulizal Yunus[1]


Abstrak

Seni tradisional Minangkabau memiliki kekayaaan konsep yang kekuatanya berada pada filsafat estetika kauniyah (kosmologi) yang mencirikan orang Minang arif membaca tanda-tanda alam. Setelah Islam masuk terjadi perubahan konsep sejalan dengan perubahan adat (kearifan budaya lokal). Kalau adat orang Minang setelah Islam masuk itu melaksanakan nilai Islami dikukukan dengan kosesus dan filosofi ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’  Basandi Kitabullah (ABS – SBK), diselenggarakan dengan strategi komitmen SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai), maka substansi seni tradisional sebagai bagian sistem budaya orang Minangkabau juga menganut konsep Islami tadi plus konsep kosmologi Alam Takambang Jadi Guru (ATJG). Substansi perubahannya itu terkesan pada pengukuhan dan pengayaan filsafat estetika kosmologi (alam) dengan Filsafat estetika Islamiyah (yang Islami), yang bentuknya secara ideal, pengukuhan estetika tsaqafiyah (budaya) orang Minang bersumber dari estetika ilahiyah (ciptaan Tuhan). Inti konsepnya, pertama dari perspektif misi, membawa tiga kelompok besar nilai dan pesan, yakni mau’zhah (pengajaran yang indah), hikmah (local wisdom) di samping yang sangat prioritas adalah “irsyadah” (memandu masyarakat penikmat seni ke jalan yang benar); kedua dari perspektif panduan (kontrol) memformulasikan tiga bentuk pula yang dapat didiskrip dalam memoteknik 3ka (estetika, erotika dan etika), mengesankan etika (akhlaq karimah – perilaku yang indah dan mulia) mengontrol tawaran estetika dan erotika terbatas pada bentuk sajian seni fan li fan (l’art for l’art – seni hanya untuk seni) yang keindahannya rentan mempresentasikan sajian forno yang merangsang nafsu syahwat. Seni tradisional Minang terus berubah seiring perkembangan, terakhir termasuk dan dimasukan sebagai fungsi komunikasi sambung rasa, yang esensinya disarati pesan pembangunan nasional.


I.     Pendahuluan
Orang Minangkabau di ranah dan rantau mempunyai konsesus (janji) dan filosofi yang sudah final: Adat Basandi Syara’ – Syara’  Basandi Kitabullah (ABS – SBK). Hutang orang Minang, tinggal lagi pada pengisian janji dan pelaksanaan filosofi secara terus menerus. Pengisian janji ini dilakukan dengan strategi komitmen Syara’ Mangato – Adat Mamakai  (SM – AM) dan Alam Takambang Jadi Guru (ATJG). Strategi ini mengandung komitmen kuat, bahwa budaya orang Minangkabau adalah melaksanakan syara’ (nilai ajaran Islam) yang sumber utamanya Kitabullah (al-Qur’an). Hal yang tidak ada dalam Kitabullah, mengharuskan orang Minang arif membaca tanda-tanda alam (kauniyah) yang pada giliranya mengukuh ciri orang Minang berpandangan dan menganut filsafat estetika kauniyah (kosmologi) plus filasafat estetika Islamiyah (Islami).
Indikator ciri orang Minangkabau yang kunyah (kosmologis) dalam “Minang geniusnya”, pada awal mula mempresentasikan kearifan alam dalam seluruh sistem budaya lokal. Setelah Islam masuk, presentasi kearifan alam itu dikukuhkan dan menjadikan plus dengan memasukan nilai Islam. Perubahan ini dikukuhkan dengan filosofi ABS – SBK dengan strategi komitmen pelaksanaannya SM – AM dan ATJG dalam seluruh sistem budaya Minangkabau.

II.      Seni Tradisional Minangkabau dan Konsep Estetikanya
Perubahan konsep seni tradisional Minangkabau sejalan dengan filosofi ABS – SBK, mengadopsi nilai kosmos (alam, kitabullah ayat kauniyah yang tak tertulis) diperkuat nilai Islam (basandi Kitabullah). Bentuk konsep sebagai seni, tetap saja nilai utama keindahan (estetika). Estetika dalam konsep Islam disebut dengan jamal. Jamal dilihat dua sisi mengkuti konsep muhakah (mimesis) Aristoteles, pertama master dan kedua tiruan. Masternya adalah keindahan dari Tuhan, dan tiruan adalah keindahan kebudayaan seni yang diproduk manusia. Dalam konsep Islam keindahan yang berpangkal dari Tuhan itu adalah keindahan yang Maha Indah (Allah SWT). Inallaha jamil yuhibbu l-jamil  (Allah itu Maha Indah, ia suka dengan yang indah). Keindahan Allah sebagai master itu disebut jamal al-tsaqafiy (keindahan yang bersumber dari Tuhan), dan tiruannya disebut jamal al-tsaqafi (keindahan kebudayaan).
Kebudayaan secara kategoris, ada tujuh sistem, yakni sistem sosial, ekonomi, politik, iptek, filasafat, seni dan religi. Posisi seni adalah satu di antara sistem kebudayaan. Sistem seni ini dari perspektif budaya Minangkabau sistem “tali tigo sapilin”, kajiannya disederhanakan pada tiga kelompok besar, yakni kelompok seni rupa, kelompok seni gerak dan kelompok seni suara. Masing-masing kelompok itu disederhanakan pada tiga wujud, seperti penulis gambarkan dalam skema berikut: 
Bentuk seni rupa di Minang yang merupakan sub disiplin ilmu bidang humaniora, penulis kelompokan pula pada  tiga jenis, yakni (1) seni lukis/ disain, (2) pahat/ sulam, dan (3) arsitektur (fungsional, sakral dan sivil). Seni rupa di Sumatera Barat, sebut Ibenzani Usman (1994) sudah tumbuh dan berkembang sejak dua abad yang lalu, di mana roh perkembangannya membidik sasaran komoditi ekspor di samping sasaran prestasi dan prestise bagi SDM seni rupa yang kreatif. Setiap jenis seni ini mempunyai wujud yang jelas mengekspresikan secara visual baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat kelompok  masyarakat, keagamaan (sakral) dan imej serta ideologi tertentu. Seni lukis/ disaian punya anaotomi sendiri, dapat berwujud segala bentuk, geometri motiv dan aliran lukisan, demikian pula disaian dapat berwujud segala bentuk dan motiv kreasi kearah seni pakai. Seni pahat/ sulam dapat berwujud ukiran Minang yang memperlihatkan kekayaan moriv alam (motiv utama dan motin pengisi) seperti pada ukiran dikenal moriv aka barayun, kaluak paku, rabuang mambasuik, kuciang lalok, itik pulang sanjo, bunga, kalimat simbol Islam, stilir naskah klasik/ manuskrip keagamaan dsb. Catatan penting Ibenzani Usman dikuat Nasbahry Couto (2008) dalam sebuah contoh bedah anatomi ukiran tradisi Minangkabau, menyebutkan motiv untuk menggambarkan binatang, disamarkan dalam bentuk tumbuhan merambat. Perinsip ini sebenarnya menganut perinsip advis ulama dalam mengambil motiv makhluk hidup dalam seni ukir/ gambar, menurut C. Israr (dalam Yulizal Yunus, 1993) dianjurkan penggambarannya tak sempurna sebagai gambaran makhluk hidup, karena ada debat berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas, yang menyebut “siapa yang melukis makhluk hidup nanti di akhirat dituntut untuk memberinya nyawa”. Namun di dalam masyarakat Islam pada akhirnya diperbolehkan mengambil motiv lukisan (motiv utama dan atau motiv pengisi) dari makhluk hidup, petama untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kepentingan kemanusiaan (medis), kepentingan monumental sejarah, tetapi tidak untuk mengkultus dan menjadikannya sesembahan. Catatan itu juga berlaku pula pada wujud sulam yang bermuara kepada seni pakai (busana, mukena, atribut adat dsb., juga motiv dalam seni untuk peralatan dan atribut adat seperti kain basurek (batik tulis versi Sumatera Barat) atau karya printing lainnya, mata uang seperti ada motiv naga, motiv bunga dan stempel persegi empat alat pembayaran yang syah pada masa PRRI (Muasri dkk, 2011). Pada umumnya, wujud dari dua jenis seni rupa ini, mengambil bentuk alam, memperlihatkan konsep wahdah (unity), mengaplikasikan nafas Islam pelaksanaan perintah “iqra’” (membaca alam – nafas ATJG). Artinya Minang, dalam mengambil bentuk dan motiv, tidak ada istilahnya “back to nature”, tetapi sejak dari awal punya konsep dan filosofi estetika kosmologi dengan aplikasi bermisal dan mencontoh kepada alam.
Seni rupa jenis arsitektur, memiliki wujud yang juga jelas, pada setiap genrenya (fungsional, sakral dan sivil). Fungsional terlihat wujud monumen (perjuangan/ politik, ekonomi dan pemerintahan).  Sakral ada masjid, madarasah/ tempat shalat di pinggir sungai dan turbah/ mejan ada berbentuk gobah seperti makam syeikh Abdurrahman Batuhampar dsb. Sivil ada bentuk gedung pusat pelayanan pemerintahan (kantor/ sekolahan), pelayanan adat (rumah gadang) dan rumah kediaman warga/ penduduk. Wujud arsitektur Minang lainnya, misalnya diambil contoh di daerah Kabupaten/ Kota dapat digambarkan dalam skema sbb.:
Bentuk seni gerak, dapat pula dilihat dari tiga jenis, yakni: tari, pencak dan teater/ film/ pertunjukan. Jenis seni tari di Minang terdapat banyak wujud (tari rantak kudo, tari barabah, tari kain, tari gelombang dsb). Jenis pencak/ silat (atraksi bela diri) punya wujud bergam pula, ada seni pencak alu ambek, silat lintau, silat harimau dsb. Jenis teatre/ film/ pertunjukan mempunyai wujud beragam pula seperti sandiwara, tabuik, cimuntu, permainan rakyat, randai  dan atau teater rakyat lainnya, film dokumenter dan film yang berakar dari novel karya novelis Minang dsb. Secara skematis, dapat digambarkan dalam skema sbb.:

Seperti bentuk seni gerak, maka bentuk seni suara juga dapat dilihat dalam tiga jenis yakni : pertama instrumental (puput batang padi, serunai, seruling dsb), kedua vokal (vokal group,  salawat dulang, kasidah rebana) dan ketiga sastra, yang secara skematis dapat dilihat dalam skeman berikut:

Khusus jenis terdapat sastra lisan dalam genre puisi dan prosa: petatah/ petiti, dedang ibu membuai anak, dendang petani waktu bersiang di sawah, dendang peruntungan, kaba dll. Terdapat pula sastra tradisi tulis dalam genre puisi dan prosa: cerita/ novel/ cerpen, syair ulama, naskah skenario teater – film dsb) secara skematis dapat digambarkan dalam skema sbb.:




 
 














Catatan penting dalam presentasi seni tradisional Minang itu, baik seni sastra dalam sistem bahasa (lisan dan tulisan), dalam sistem adat dan atributnya, maupun dalam seni gerak banyak mempresntasikan konsep alam. Dalam seni suara, banyak menggunakan bahasa alam (kosmik dan cosmos) seperti kabut, malam menunjukan tidak mengerti. Dalam gerak juga banyak meniru gerak alam seperti seni tari elang, rantak kudo dll., dalam pertunjukan banyak meniru alam misal adu kukuran, adu lesung, lukah gilo dll. Apalagi seni rupa motiv banyak diambil dari alam.

III.   Perubahan Konsep
Fenomena dan prilaku pengambilan perumpamaan dan bahasa, gerak dan rupa alam dalam seni tradisi Minangkabau tadi memperlihat ciri dan identitas Minangkabau yang serba alam (kauniyah) dan kental menganut filsafat estetika kosmologis.
Konsep alam ini dalam seni tradisional Minangkabau mengalami perubahan kearah pengayaan dan penguatan konsep wahdah (unity) alam sebagai Kitabullah (sunnatullah) tidak tertulis dan nilai filsafat estetika Islamiyah yang bersumber Kitabullah (al-Qur’an). Perubahan ini sejalan dengan adat budaya Minangkabau yang merupakan pelaksanaan Islam. Dari analisis ini, boleh dianalogkan, kalau adat budaya orang Minangkabau itu adalah Islam dan kauniyah (alam) atau sunnatullah yang tak tertulis, maka seni tradisional Minangkabau itu adalah juga Seni Islam. Sejalan dengan dinamikan orang Minang, seni tradisional Minang terus berubah seiring perkembangan, terakhir dimulai era pembangunan orde baru, seni tradisional termasuk dan dimasukan sebagai fungsi komunikasi sambung rasa mengambil ungkapan Harmoko, yang esensinya disarati pesan pembangunan nasional di samping pesan Islam dan alamnya orang Minang yang Islami.
Tegasnya adat Minang itu Islam, tak bernama adat Minang kalau bertentangan dengan Islam. Karenanya pula, kalau ada orang (adat dan agama) mempertentangkannya dimungkinkan belum mendalami adat dan belum mendalami agama. Justru disadari yang bertentangan adalah prilaku beradat dan prilaku beragama, sebab yang adat dan agama seperti juga filsafat orang Minang tidak berubah, yang berubah itu adalah prilaku (behaviour) orang Minang beradat dan beragama. Seni bagian dari sistem budaya (prilaku) yang berubah dan tindakan kreatif yang terus mencari bentuk sajian. Karena sistem norm dan diaplikasi dalam tindakan kreatif maka seni tradisi Minang itu mengambil bentuk fann al-Islamiy (seni Islami). Artinya seni bagian dari presentasi nilai Islami bagi masyarakat seni Minang.
Nilai yang dipresentasikan dalam seni dari perspektif Islam, adalah kumpulan nilai mau’izhah (pengajaran yang indah), hikmah (sarat hikmah dan atau local wisdom), serta irsyadah (memberi arah ke jalan yang benar). Nilai ini merupakan presentasi dari nilai utama misi Islam yakni perbaikan al-akhlaq al-karimah (prilaku yang mulia), maka adat Minang mengedepankan nilai ini menjadi sandi, dipresentasikan dalam bentuk empat nilai: sopan – santun, budi bai – baso indah. Empat nilai ini diaplikasi dalam aplikasi yang memberikan kontrol kepada kreatifitas dan pertunjukan (presentasi) seni dalam bentuk tiga nilai dengan memoteknik 3ka yakni estetika, erotika dan estetika. Etika (akhlaq karimah – perilaku yang indah dan mulia) mengontrol tawaran estetika dan erotika terbatas pada bentuk sajian seni fan li fan (l’art for l’art – seni hanya untuk seni) yang keindahannya rentan mempresentasikan sajian forno yang merangsang nafsu syahwat.
Seni untuk seni saja dan atau seni hanya sebatas memajang simbol agama saja, sebenarnya sudah banyak tausiah kearah perubahan oleh budayawan Sumbar untuk dikontrol dan dikurangi. Dalam pengembangan seni khusus wujud sastra, Wisran Hadi misalnya mempunyai tausiah tentang isi, kelembagaan dan sumber daya seniman sastrawan. Dari perspektif isi dan thema sastra, terlepas jauh sebelumnya, apakah Wisran kuat atau tidak pada akar budaya lokal Minang yang bersumber syara’ (Islami)[2], di usianya yang terakhir ini ia kental menyuarakan pengembangan seni sastra yang secara substansial mengarah kepada yang Islami dan berakar pada budaya lokal adat Minang yang disebutnya aleh bakua (alas ketiding) sebagai konsep estetika sastra Minang yang berbasis akidah kuat yang menurutnya patut diterapkan. Beberapa kali ia memesankan, sudah seharusnya kita mempunyai selektifitas ketat, mana sastra baru dan lama termasuk legenda yang patut ditranskrpsikan dan digelar dan mana yang harus dihentikan.
Bagi Wisran (Yulizal Yunus, 2011) seni Islam tidak hanya sebatas simbol keagamaan tetapi harus memiliki kejelasan esensi dan substansi. Ia mengeritik habis-habisan, kecenderungan pergelaran seni yang memperlihatkan unhumanis (tak manusiawi) – mengeksploitasi dan menjual hal-hal yang telanjang, tidak berakar pada budaya sendiri dan tidak at home serta imajinasi yang menabrak akidah. Demikian pula mengangkat legenda yang cendrung mengumbar khurafat seperti juga pada sinetron-sinetron yang menabrak nilai agama serta menyesatkan. Tayangan dan pergelaran seni seperti itu sudah seharusnya mendapat seleksi ketat, dikembali ke akar budaya bangsa yang natural dan sarat religisitas, yang dalam bahasa lain ke arah seni sastra yang teo-humanis (mengemban aspek manusiawi tanpa melupakan kesadaran bertuhan).
Padangan Wisran dalam hal pengembangan tema-tema sastra berakar pada nilai budaya lokal adat Minang yang imajinasinya tidak bertentangan dengan akidah serta jauh dari khurafat, sebenarnya sudah memasuki genre sastra yang sarat dengan mau’izhah (pengajaran yang indah), hikmah dan irsyadah (panduan ke jalan yang benar) yang oleh Muhammad Qutub[3] disebut dengan seni Islami. Dua konsep pertama mau’izhah dan hikmah menggarisbawahi Khalid bin Hamid al-Hazimiy[4] menempatkannya sebagai al-ushul al-uslubiyah (dasar-seni mendidik). Hikmah merupakan ma’rifat (pengetahuan) substansial yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Dalam realitanya hikmat itu adalah perkataan bijak lebih mengandung kebenaran hakiki, sarat dengan argument untuk menjelaskan kebenaran hakiki (haq) dan tak ada kesan sesuatu yang rancu – yang ragu-ragu (syubhat), tetapi tepat tujuan dan sasaran. Sedangkan mau’izhah adalah nasehat (advis) dan ada nilai peringatan terhadap bahaya yang mungkin mengancam, yang filosofinya mengingatkan orang lain agar tertarik berbuat sesuatu yang baik/ berpahala dan menjauhkan diri dari sesuatu yang mengundang bahaya.
Hikmah dan mau’izhah itu dapat dirasakan kesannya dari ucapan, di dalamnya ada kebenaran hakiki, menarik hati dan dapat mendorong orang ta’at kepada Allah Ta’ala. Artinya mau’izhah itu tidak dapat dipisahkan dengan hikmah, karena ketika seorang penasehat, tidak memiliki hikmah (kebijaksanaan), berpotensi terjadi tindakan yang tidak proporsional (penempatan sesuatu tidak pada tempatnya), tindakan tidak tepat timing (waktunya), perkataan tak sesuai dengan situasi mad’u (yang dinasehati), bisa keliru dan tak pada tempatnya serta tidak sesuai dengan situasi dan kondisi. Karenanya dua prinsip mau’izhah  dan hikmah beriringan di dalam al-Qur’an yang diamanatkan kepada pemberi nasehat (yang mengajak ke jalan Allah SWT). Di antaranya terdapat dalam firman Allah swt sbb.:
í÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# (
Artinya :       Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[5] dan pelajaran yang baik[6].
Hikmah merupakan substansi sastra, Wisran maunya begitu. Sepertinya berakar dari risalah (pesan) Nabi saw dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari, bahwa sebahagian sastra genre syair (puisi) adalah hikmah,. Di antra sabdanya riwayat al-Bukhari: inna min al-syi’ri hikmah[7] (حكمة الشعر من إن - sebenarnya dari sebahagian puisi itu ada norm hikmah).
Pesan Nabi saw riwayat al-Bukhari ini, memberikan penyadaran bahwa syu’ara (para penyair – penggubah puisi) itu juga seorang hukama (orang yang kaya ilmu plus hikmah), karena karya kreatif sastra jenis puisi itu penuh dengan hikmah. Selain berkarakter hukama, syu’ara dari akar kata kerja sya’ura[8] sering didekatkan dengan konsep kata kerja ‘alima (mengetahui dengan karakter intelektual cerdas dan tahu kebesaran dan kekuasaan Allah). Dari kata ‘alima ini lahir kata ulama yang dari prinsip al-Qur’an jelas sekali karakter dan identitas ulama yakni “orang-orang yang paling bertaqwa di antara hamba Allah, memiliki kecerdasan spiritual dan intelektual, tahu kebesaran dan kekuasaan Allah[9]”.
Demikian semakin diketahui bahwa syair (puisi) dan penyair memiliki kekayaan nilai hikmah, pengajaran, karakter syu’ara dengan “kecerdasan emosi” (prinsip sya’ura / merasakan), karakter ulama dengan “kecerdasan spiritual” dan “kecerdasan intelektual” (prinsip kata ‘alima / mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah karena ketaqwaan), karakter hukama / arif bijaksana kaya ilmu plus hikmah (prinsip kata hikmah). Syu’ara (para penyair) sebagai satu unsur udaba (para sastrawan) disarati konsep kombinasi karakter keulamaan dan kehukamaan.medapat anugerah Allah swt dirasakan dalam karakter kata syu’ara (para penyair) yang ditawarkan sebagai salah satu surat di dalam al-Qur’an yakni Surat yang ke-26. Wisran Hadi seperti juga sahabat dekatnya Darman Moenir, tidak saja sering mengumandangkan esensi surat ini mengenai penyair, bahkan juga sering ditusuknya melalui SMS kepada para rekan-rekan dekatnya, tak tahulah, dimukinkan bagian dari pesannya.
Di dalam QS 26/ Syu’ara itu terdapat perinsip-perinsip “syair agung” dan karakter penyair besar. Syair agung meskipun didominasi unsur athifah (emosi), tetapi juga sarat dengan esensi kecerdasan di samping kecerdasan emosional dalam menyikat  esensi kehidupan, juga kecerdasan sipiritual dan intelektual. Sedangkan penyair besar itu mempunyai karakter udaba, ulama dan hukama. Karakter kepenyairan penyair seperti itu ditunjukkan dalam QS 26 yakni (1) amanuu wa ‘amilu l-shalihat[10] (yang beriman dan berkarya dengan kesalehan/ beramal saleh), (2) tidak ittiba’ al-ghaghun[11] (menjadi rujukan yang sesat), (3) tidak tanzil al-syayathin[12] (diilhami setan-setan), (4) tidak affak atsim[13] (pendusta bergelimang dosa), (5) tidak hiyam fi kulli waad[14] (mengembara dari lembah ke lembah – dzahaba laa yadri aina yatawajjah / berangkat, tak tahu ke mana arah tujuan, hanya bermain kata tanpa makna kosong hikmah, yakni lain kata/ syairnya lain pula perbuatannya, tak berpendirian), (6) yaquluuna maa laa yaf’aluun[15] (mengatakan apa yang tidak mereka lakukan/ karya syairnya tak seperti diri dan tak tercermin dalam perbuatannya).
Keagungan sastra – syair seperti prinsip al-Qur’ani tadi, dimungkinkan digubah oleh sastrawan yang berkarakter keulamaan dan kehukamaan yang dalam prakteknya terdidik dan terpelajar, memiliki basis kependidikan kuat, konsen dan peduli terhadap masalah-masalah pendidikan. Dipastikan pula karya sastra agung seperti ini tidak saja berpotensi menjadi materi ajar, wasilah min al-wasa’il tarbawiyah (media/ sarana pendidikan), teapi juga berpotensi sebagai metode, model dan pendekatan dalam pendidikan. Substansi pemikiran seni sastra seperti ini bagian maunya Wisran Hadi, yang mebuat penulis terkejut. Katanya, sastra yang patut dikembangkan itu, yang dapat mendidik masyarakat penikmatnya beradab[16].
Banyak fakta sejarah membuktikan bahwa seni sastra khususnya diadopsi oleh pendidik (guru dan orang tua) dalam pendidikan dan pembelajaran untuk (1) fungsi maddah (materi), (2) fungsi wasilah (media/ sarana) dan (3) fungsi al-muwajjah al-fann (teknik konseling) pendidikan. Tidak saja pada pendidikan formal dan non formal, pendidik mengajarkan sastra, bahkan ditemukan dalam sejarah raja-raja, para mu’addib (pendidik yang piawai bersastra) justru menggunakan sastra dalam pendidikan informal secara privat di istana untuk mendidikan anak-anak raja, orang besar dan terpandang di istana. Dimungkinkan, seperti tadi dijelaskan bahwa sastra dimaknai dari adab. Kata jadiannya ta’dib terdapat dalam hadis Nabi saw dengan karakter ta’dibiy (keterdidikanku, berbudi pekerti).

IV.   Penutup
Dari paparan tadi, dapat disimpulkan, bahwa seni tradisional Minangkabau memiliki kekayaaan konsep dan perubahan yang tiada henti seiring dengan perkembangan, membuktikan orang Minang dinamis terus berubah dan menerima perubahan. Kekayaan konsep dan perubahan seni tradisional Minang ini, kekuatanya berada pada filsafat estetika kauniyah (kosmologi) yang mencirikan orang Minang arif membaca tanda-tanda alam.
Perubahan seni tradisional Minang, setelah Islam masuk, terpokus pada perubahan konsep sejalan dengan perubahan adat (kearifan budaya lokal). Kalau adat orang Minang setelah Islam masuk itu melaksanakan nilai Islami dikukukan dengan kosesus dan filosofi ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’  Basandi Kitabullah (ABS – SBK), diselenggarakan dengan strategi komitmen SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai), maka substansi seni tradisional sebagai bagian sistem budaya orang Minangkabau juga menganut konsep Islami tadi plus konsep kosmologi Alam Takambang Jadi Guru (ATJG).
Substansi perubahan seni tradisional Minang itu terkesan pada pengukuhan dan pengayaan filsafat estetika kosmologi (alam) dengan Filsafat estetika Islamiyah (yang Islami), yang bentuknya secara ideal, pengukuhan estetika tsaqafiyah (budaya) orang Minang bersumber dari estetika ilahiyah (ciptaan Tuhan). Inti konsepnya, pertama dari perspektif misi, membawa tiga kelompok besar nilai dan pesan, yakni mau’zhah (pengajaran yang indah), hikmah (local wisdom) di samping yang sangat prioritas adalah “irsyadah” (memandu masyarakat penikmat seni ke jalan yang benar); kedua dari perspektif panduan (kontrol) memformulasikan tiga bentuk pula yang dapat didiskrip dalam memoteknik 3ka (estetika, erotika dan etika), mengesankan etika (akhlaq karimah – perilaku yang indah dan mulia) mengontrol tawaran estetika dan erotika terbatas pada bentuk sajian seni fan li fan (l’art for l’art – seni hanya untuk seni) yang keindahannya rentan mempresentasikan sajian forno yang merangsang nafsu syahwat.
Perubahan yang juga cukup monumental pada seni tradisional Minang, memasuki wilayah kreasi ulang ke arah seni modern dan mengambil fungsi sebagai komunikasi “sambung rasa”. Perubahan ini nadinya berdenyut keras ketika orde baru merangkul semua komponen bangsa mengkomunikasi misi pembangunan yang dicanangkan Bapak Pembangunan (Presiden Soeharto), yang esensinya disarati pesan pembangunan nasional.

Rujukan
Ibenzani, Usman, Seni Rupa, Ilmu dan Pendidikan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan, 31 Agustus 1994. Padang: IKIP Padang, 1994
Muasri, dkk., Islam dalam Keragaman Sejarah dan Budaya Sumatera, Presentasi Pameran Museum Negeri Prov. Sumatera Barat 28 Sept – Okt 2011. Padang: Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat, 2011
Nasbahry, Couto, Budaya Visual Seni Tradisional Minangkabau (Visual Culture of Minangkabau Tradisional Art). Padang: UNP Press, 2008
Pemda Padang/ Pariaman,  Kisah Tabuik Piaman. Pariaman: Pemda Padang/ Pariaman, 1967.
Yulizal, Yunus, Islam dalam Keragaman Seni Minangkabau. Padang: IAIN-IB Press, 1985
___________, Sastara Islam  di Indonesia, Kajian Kritis Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press, 1999
___________, Sistem Seni Arsitektur dan Sastra Presentasi pada Peltihan Guru-guru BAM Kabupaten Solok Selatan, Makalah Diskusi 4-5 November 2009. Padang Aro: Pan Diskusi Guru BAM, 2009


[1]Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua Lembaga Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, Dosen Sastra Arab, Sastra Islam, Seni Islam  di Fakultas Ilmu Budaya – Adab. Naskah ditulis dan dipresentasikan khusus sebagai materi pembicaraan dalam Diskusi yang diselenggarakan UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat, di Galeri Seni Rupa, Senen, 1 April 2013.
[2]Wisran Hadi sejak awal sebenarnya secara kategoris seperti alergi menampilkan sebatas simbol agama saja dalam karya seni sastra, ia justru menginginkan secara substansial pada esensi seni sastra. Menyebut seni Islami saja ia kurang antusias seperti juga AA.Navis, yang pernah membuat penulis dongkol (maaf bang Wisran), karena ketika itu penulis sudah satu dasawarsa mengajar kesusasteraan Islam di samping mata kuliah Sastra Arab di Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol, sehingga kekesalan penulis, membuat konvensasi menulis sebuah buku dengan title: Seni Islam di Indonesia (1999), serta “Protes Sastra terhadap Paham Keliru” (1999). Pernah juga dalam forum talkshow TVRI Padang dalam acara palanta, menggelar seni dan Islam penulis bersanding dengan Wisran sebagai Nara Sumber. Ketika saya berteori tentang seni Islam, meyebut simbol belum sampai ke substansi, langsung ia cegat, “ngapain simbol-simbol dan teori-teori dari buku besar pakar segala, bukankah kita juga bisa  berteori dan padat isi Islami”, katanya yang membuat penuilis terbatuk-batuk saat menghirup kopi di palanta TVRI itu. Namun ketika penulis sebagai nara sumber bersama Darman Moenir, Raudha Thaib, Rabecca dari Amerika, Ismet Fanani dari Australia bersanding lagi di TVRI dengan Wisran sebagai moderator pada event seminar Internasional membedah karya sastra – puisi Taufiq Ismail pada hutlahnya, Wisran sudah tenang ketika penulis menyebut smbol-simbol sastra Islami. Demikian pula soal mengangkat budaya lokal, penulsi pernah mengritik habis-habisan Wisran terhadap pergelaran pertama drama kolasalnya “Imam Bonjol”. Penulis ketika itu dalam barisan Skh. Semangat bersama Syafril Kahar, mengundang  Soufyan Ras Burhani dan AKU (A.Kadir Usaman) menulis kritik terhadap drama Imam Bonjol Wisran itu. Karena, entah penulis yang ketika itu tidak paham jalan fikiran Wisran, tetapi rasanya sebagai orang Minang saya tersinggung, bahwa Imam Bonjol itu lenyap dari sejarah, sehingga penulis menulis “Kembalikan Imam Bonjolku” bernada sama dengan Soufyan sedangkan AKU menulis “Setelah Imam Bonjol Siapa Lagi Yang Dipreteli Wisran”. Tetapi kemudian dengan substansi dan artikulasi yang meyakinkan, penulis paham, Imam Bonjol yang dihadirkannya dimensi sebagai seorang manusia yang tak luput dari kekhilafan. Fenomena ini bagian dari perkembangan pemikiran seni Wisran Hadi, yang dalam istilah pemikiran Islamnya adalah qaul al-qadim (pikiran lama) dan qaul al-jadid (pemikiran baru) dan Wisran tetap konsisten pada substansi Islami pada esensi seni sastra.
[3]Muhammad Quthub, Manhaj al-Fann al-Islamiy. (Bairut: Dar al-Syuruq, 1973)
                [4]Al-Hazimiy, Khalid bin Hamid, Dr., Ushul al-Tarbiyat al-Islamiyah, (al-Madinat al-Munawwarah: Daru Halam al-Kutub, 1420 H), h. 396-398.
[5]Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil berangkat dari kebenaran hakiki ilahiyah bersumber wakyu. Menurut Prof. Dr. Masnal Zajuli (2010), sebenarnya ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan yakni: hikmah, mau’izhah dan mujadalah. Karena ayat 125 Surat al-Nahal itu  disusul kalimat …wa jadilhum bi l-latiy hiya ahsan, kata kuncinya jadil dapat dibentuk menjadi kata mujadalah. Kata Prof. Masnal, mau’izhah dan hikmah bila berhadapan dengan orang lain dipastikan akan ada pro-kotra. Ketika terjadi kontra pada sa’at ini diperlukan ada upaya mengajak berdialog atau mujadalah, supaya jangan terjadi manolog. Disuruh membantah/ menolak yang tidak baik dengan  cara-cara yang baik (ajakan itu bisa mujadalah. dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (…wa jadilhum bi l-latiy hiya ahsan/ dan bantahlah mereka dengan cara yang baik).
[6]Q.S al-Nahal: 125
                [7]Hadis ke-19444, riwayat al-Bukhari ini, terdapat dalam Sahihnya, disiarkan secara luas oleh “Mausu’at al-Hadis ‘ala Syibkat Islam Web”,adalah berasal dari Abi l-Yaman dari Hadis Syuib bin Abi Hamzah dari al-Zahriy. Terdapat juga dalam riwayat al-Bukhari dari Ismail bin Umaiyah, Zayad bin Sa’ad, Muhammad bin Abi ‘Athiq, Yunus bin Yazid berasal dari cerita al-Zahriy.
                [8]Karakter kata sya’ura (شعر) artinya menyair – merasakan adalah akar kata syu’ara (شعراء – para penyair) dalam al-Munjid (1973:391) terdapat esensi (1) karakater kata ’alima (علم) akar kata dari ’aliim (عليم) jama’nya ulama (علماء), (2) karakter kata ahassa (احسّ - merasakan dengan sangat peka dan sensitive) dan karakter kata fathana ( فطن - mencerdaskan) akar kata fathanah ( فطانة - cerdas). Kalau begitu penyair itu memiliki kepekaan perasaan malah sangat sensitive plus mempunyai kecerdasan keilmuan (intelektual) dan kecerdasan spiritual dengan karakter fathanah. Karenanya pula syair itu mempunyai unsur utama atifah ( عاطفة - emosi) di samping unsur fikrah ( فكرة - rasio/ opini/ pemikiran).              
                [9]QS al-Faathir/ 35:28 
                [10]Ibid., al-Syu’ara’/ 26:227
                [11]Ibid., al-Syu’ara’/ 26:224
                [12]Ibid., al-Syu’ara’/ 26:221,223
                [13]Ibid., al-Syu’ara’/ 26:222, 223
                [14]Ibid., al-Syu’ara’/ 26:225
                [15]Ibid., al-Syu’ara’/ 26:226
[16]Penegasan pesan Wisran Hadi, jenis seni yang patut dikembangkan seperti tari, yang beradab dan mendidik, katanya, hindari tafsiran yang un human (tak berprikemanusiaan) ia sebut seperti jualan pariwisata jenis tari yang minim busana dalam pagelaran dan eksploitasi suku terasing seperti Mentawai - Sumbar hingga Krowai di dekat kawasan Merauke sana. Sepertinya tari dari daerah ini (Sumbar) pelipur lara, beda Bali menari sebagai ibadah, mestinya begitu, tawaran Wisran saat berdiskusi 24 November 2009 di Taman Budaya membicarakan seni menjadi indikator pembangunan dirumuskan dalam RIPKD (Rencana Induk Pembangunan Kebudayaan Daerah) Sumatera Barat. Sering Wisran mempertanyakan, apakah orang Minang masih konsisten bicara nilai syara’ (Islam) dan adat. Diduga justru sungkan bicara nilai itu, karena takut dibilang sebuah kelemahan. Akibatnya konsep estetika seni dan sastra orang Minang sekarang tidak jelas, aleh bakuanya terbakar, ia menggambarkan sebagai kehilangan dimensi kemanusiaan dan dimensi tuhan (akidah). Ia menyidik konsep Navis, Mursal, Chairul Harun, Hamka, Mara Rusli beda pula dengan Ayu Utami di pihak lain dsb, kata Wisran mengajak generasi seniman muda Minang belajar, konsepsi rujukan estetika aleh bakua seni mana yang patut dikembangkan di Minang, seperti juga didukung pencarian Yusrizal KW, Hermawan, Papa Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Ade dsb. Filsafat dan sejarah, itu bukan aleh bakua, tapi ada nilai pelajaran, kata Wisran  Tak banyak sastrawan muda Sumbar menjurus ke kultur daerah Ia banyak harap kepada seniman yang professional di kampus seperti Prof. Dr. Harris Effendi Thahar dkk. Serta seniman sastrawan kreatif muda seperti Gus TF dan Yusrizal KS dkk di garda terdepan menggali konsep dan filosofis ale bakua estitetika seni Minang yang patut dikembangkan ke depan. Perlu apa tidak seniman berakhlak, kalau perlu akhlak yang mana?, etika?, moral?, budi pekerti?, bahkan tanpa menafikan beda pendapat, Wisran tak menolak adanya pendapat: keterkaitan seni dengan moral dan agama seperti dalam paham l’art for l’art yang meniadakan agama dan moral dalam seni, bagi Minang, paham ini mengusik ale bakua, kata Wisran.
 


Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Guru Tulis
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger