04.18
Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
Budaya Minangkabau dan Nilai Kepemimpinan Ninik Mamak
Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
(
Makalah
disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se
Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November
2012.)
Kekuatan
budaya Minang merujuk nilai nan ampek yakni sopan, santun. budi baik, baso
indah. Dalam implemetasinya tercermin dalam tiga prilaku,
yakni tuntas dalam substantif, tuntas dalam artikulasi, dan inklusifisme. Impactnya
terlihat dalampelaksanaan jalan nan
ampek pula secara ideal yakni, pemimpin (nan gadang) dihormati, kamanakan (nan
ketek - rakyat) disantuni, sesama pemimpin (samo gadang) lawan baiyo, dan nan
gadang dan nan ketek serta nan samo gadangdiakomodasikan dalam kato melereng. Semua nilai ini diperkuat sinergitas sistem nilai
tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan yakni anggo tanggo (dipegang
fungsionaris tuangku ulama), raso pareso (dipegang ninik mamak) dan alua jo
patuik (dipegang cadiak pandai sebagai peneliti dan penyidik).
A.
Budaya dan Adat Minangkabau
Budaya
Minangkabau menjadi prilaku dalam mekanisme masyarakat. Prilaku itu diatur dalam sistem adat Minangkabau. Artinya
orang Minangkabau berprilaku (berbudaya) diatur oleh adatnya.
1.
Adat Minang
Adat Minangkabau, justru amat kaya dengan nilai luhur
banyak direkrut Pancasila sebagai identitas bangsa. Sebagai subkultur
(kebudayaan) bangsa, ada budaya punya filosofi dan ditetapkan dalam konsesus
Minang (Perrjanjian Marapalam) yakni ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’
Basandi Kitabullah), dioperasionalkan SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Memakai)
dan ATJG (Alam Terkembang Jadi Guru). Artinya adat Minang adalah pelaksanaan
agama (syara’). Dalam melaksanakan syara’ yang bersumber al-Qur’an
(Kitabullah) plus Hadis Nabi saw, dibumikan dengan kepintaran membaca kearifan
alam. Adat Minang juga merupakan pagar yang kuat melindungi agama (Islam). Kata
petatah Minang:
Di dalam nan duo
kalarasan
Adat manjadi darah
daging
Syara’ nan lazim ka
imanan
Adat nan kawi nan
mandinding
Tidak adat
Minang namanya kalau bertentangan dengan norm yang bersumber dari agama, dan
tidak orang Minang namanya kalau tidak pandai membaca tanda kearifan alam
sesuai dengan ATJG tadi sebagai sunnatullah/ kitab Allah yang tidak tertulis.
Keterpaduan adat, agama dan alam ini dituangkan dalam petata di antaranya:
Simuncak mati
tarambau
Ka ladang mambao
ladiang
Adat jo syara’
Minangkabau
Umpamo awua dengan
tabing
Sanda manyanda
kaduonyo.
Adat dalam perspektif subkultur Minangkabau merupakan sistem
nilai yang mengatur prilaku terumus dalam petata petiti. Agama
adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan rumah Minang, bukan
sendi – atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya (sandi)
Kitabullah (al-Qur’an) dan alam sunnatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya
merupakan prilaku mengacu norm agama dan adat. Lalu Kebudayaan
dalam perspektif adat Minangkabau inheren dengan adat itu sendiri,
karena kebudayaan itu sudah menjadi sistem lagi yang berfungsi mengatur semua
sistem prilaku (intangible lainnya) dan mengartur semua hasil cipta, rasa dan
karsa (tangible lainnya).
2.
Sistem dan nilai Budaya Minang
Defenisi
kebudayaan banyak sekali dalam berbagai perspektif. Namun dari sekian banyak
defenisi kebudayaan, setidaknya pada kebudayaan itu terdapat 7 sistem yakni:
(1) sistem sosial, (2) sistem ekonomi (termasuk sistem prilaku pertanian,
kehutanan, kelautan, perdagangan, moneter, pariwisata sering ditafsirkan
devisa/ padahal pariwisata itu juga sistem kebudayaan dsb), (3) sistem politik
, (4) sistem ilmu pengetahuan (termasuk pendidikan), (5) sistem filsafat, (6)
sistem seni, (7) sistem religi (sistem prilaku beragama, bukan kitab suci dalam
pengertian yang sakral dan transedental). Semua sistem ini dan pengaturannya
terdapat dalam fungsi adat di Minangkabau. Karenya kebudayaan itu adalah adat
itu sendiri di Minangkabau.
Pemahaman
tentang kebudayaan dalam perspektif berbagai suku bangsa di Indonesia penting
dibakukan. Sebab memahami adat saja dalam kontek kebudayaan secara nasional,
sering sekali adat itu ditulis dan diucapkan dengan adat istiadat, padahal adat
istiadat itu satu di antara pembagian dari 4 pembagian adat dalam perspektif
subkultur Minangkabau. Pemahaman seperti ini sedang dicari dan dibutuhkan untuk
merumuskan frem of thinking dalam RUU Kebudayaan di Indonesia
dewasa ini. Sementara pemahaman
kebudayaan inheren dengan adat di Minangkabau ini sudah saya tegaskan di
Gubernuran Sumatera Barat, 16 Juni 201
dalam Pertemuan dengan Tim Panja DPRRI
Komisi X dengan Gubernur, dihadiri pula Pimpinan Lembaga Adat, Budayawan, Tokoh
Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Kebudayaan di Sumbar. Saya memberikan
koreksi RUU Kebudayaan yang masih prematur itu, yakni pemakaian/ penulisan kata
adat istiadat itu dikoreksi, cukup ditulis adat
saja, karena di Minang, adat istiadat itu sudah termsuk dalam kata adat.
Justru adat
istiadat itu di Minang merupakan salah satu dari adat yang empat (adat nan
sabana adat, adat teradatkan, adat nan diadatkan dan adat istiadat). Makanya
pendefenisian kebudayaan dalam perspektif Minang inheren dengan adat, karena
cakupan sistem adat itu luas seperti luasnya cakupan sistem kebudayaan meliputi
semua sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk semua
sistem yang menjadi nomenklatur kementerian di Negara Republik Indonesia.
Karenanya,
pemberian pengertian umum tentang kebudayaan dalam RUU semestinya diberi
batasan dan identitas mana yang dilestarikan, diatur dan diselenggarakan Negara. Dalam prakteknya
selama ini yang diselenggarakan program kebudayaan meliputi seni dan olahraga
saja, padahal semua sistem. Karenanya diusulkan RUU Kebudayaan itu meliputi
seluruh sistem kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena
pembangunan ekonomi misalnya kalau tidak diberi pondasi dan tidak didukung
iklim budaya dan prilaku yang sehat, dipastikan akan menuai kegagalan. Jadi
ekonomi diselenggarakan kementerian ekonomi, dan sistem budayanya diatur oleh
kementerian kebudyaaan.
Dalam budaya Minangkabau sesuai dengan konsesus atau
Perjanjian Bukit Marapalam yang menjadi filosofi masyarakat adat Minangkabau
yakni ABS – SBK, adat itu sudah menyatu dengan agama. Adat itu adalah
pelaksanaan agama (syara’/ Islam). Orang yang berprilaku sesuai dengan agama
tercermin dalam pelaksanaan adatnya, disebut sudah berbudaya Minang. Artinya
tidak orang Minang namanya kalau tidak beragama Islam, atau tidak adat Minang
namanya kalau tak berakidah dan berpegang dengan Tuahn sesuai agamanya (syara’/
Islam). Bagi orang Minang, adatnya tak boleh lepas dari Tuhan, bila tinggal
Tuhan dunia hangus dan akhirat lepas. Hal ini diingatkan petatah:
Nan mancancang nan
mamapeh
Nan bahutang nan
mambayia
Tali jo Tuhan kalau
lapeh
Dunia anguih
akhirat cayaia
Artinya adat yang secara substansial mempunyai bersumber dari 4
nilai karakter (kepribadian) yakni sopan - santun dan budi – baso,
tidak saja mengatur prilaku dunia tetapi juga ada tujuan akhirat. Orang Minang
berprilaku akhlak mulia dan bermartabat, tidak saja mulia di dunia, tapi juga
menjadi jembatan emas ke akhirat, pernah saya tulis di SKU. Haluan, Juli 2011
sebagai bagian materi ceramah saya pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 24-26 Juni 2011, dalam
program menggiatkan Forum Anak Sumatera Barat. Karena
itu pemimpin yang dipangku ninik mamak dalam masyarakat Minang tidak saja punya
tanggung jawab di dunia (dalam kaumnya) tetapi juga punya tanggung jawab
ukhrawi memelihara anak kamanakan.
B.
Kepemimpinan Ninik Mamak
Tidak ringam
tugas pemimpin (ninik mamak) di Minangkabau. Dari sumpahnya saja di waktu
melewakan penghulu dan atau datuk betapa berat tanggaung jawab sosialnya: yang
diselenggarakan tanpa pamrih, secara kekeluargaan dan semangat gotong royong.
Banyak
kalangan terutama dari pihak luar, memandang sumpah penghulu saat pelewaan di
Ranah Minang sebagai sumpah yang melewati batas manusiawi. Terkesan sumpah tersebut
sangat paradoksal dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi
kitabullah. Tentang ini saya sebagai pemuka adat pernah dimintai keterangan
oleh wartawan (publikasi Singgalang, senen 11 April), saya katakan secara
kategoris (sepintas) dalam ukuran sekarang melewati batas nilai manusiawi. Sumpah,
dengan kalimat: kaateh ndak bapucuk kabawah ndak baurek, tangah-tangah
dilariak kumbang, sepintas satu bentuk kalimat sumpah yang melewati batas
humanis itu, seolah tidak sesuai lagi dengan filosofi orang Minang dalam kontek
sekarang dalam keadaan prilaku orang Minang sudah berubah, seperti mau
mencederai hak dan batas-batas kemampuan seorang manusia. Namun kalau kita
pahami secara mendalam sumpah itu berarti menunjukan komitmen kuat penghulu
memelihara anak kamanakannya, yang tidak saja di dunia tapi juga tanggung jawab
ukhrawi.
1.
Seni Kepemimpinan
Ninik Mamak
Ninik mamak
ialah semua laki-laki dewasa (sudah kawin). Ninik mamak dipimpin oleh penghulu
dan atau datuksebagai ketua. Pemangku adat, top leadernya adalah penghulu dan
atau datuk. Justru, penghulu itu
berpangkal dari akar kata hulu (berarti ketua) dalam kaum suku di nagari. Hulu
pada sungai, pangkal dari semua air yang mengalir dan pada penghulu adalah hulu
penyelesai semua persolan yang terjadi dalam kaum. Penghulu sebagai ketua ninik
mamak pada sebuah lembaga adat (limbago paruik, limbago jurai, limbago suku/
kampung dan limbago nagari). Di satu nagari adakalanya penghulu sama dengan datuk, namun di satu nagari lain, penghulu
tidak sama dengan datuk. Corak seperti itu menunjukkan fenomena “adat
salingka nagari”.
Penghulu
diperkuat perangkatnya disebut urang nan ampek jinih, ialah Penghulu/ datuk,
manti, malim dan dubalang. Mereka disebut dengan pemangku adat. Pemangku adat
ini sesungguhnya adalah leader dalam masyarakat adat. Dari perspeltif
menejerial, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan seni seorang leader
(pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok dalam
melaksanakan tupoksi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan
bersama.
Seperti itu pula
seni kepemimpinan ninik mamak pemangku adat dalam memotivasi masyarakat
adat (anak kamanakan) dalam mencapai tujuan bersama. Mereka punya daya tarik,
menarik dan kokoh dalam menaungi dan menahan kritik. Kekokohan fungsi
kepemimpinan pemangku adat itu diposisikan sebagai leader “kayu gadang di
tangah koto”. Kayu besar dan kokoh menaungi serta kuat menahan kritik
sekalipun ia disakiti. Tidakkah orang yang duduk di bawah kayu gadang itu hadir
dengan bermacam parangai, ada yang istirahat menikmati keteduhan rindang dedaun
kayu gadang dan ada pula dengan budaya usil, duduk bersila sambil tangan usil “manokok-nokok”
bahkan “mamaghuak-maghuak jo ladiang” sehingga berkelukaranlah “urek
kayu gadang tampek baselo” itu, tetapi kayu gadang justru punya karakter
mulia, di tempat yang luka itu justru ditumbuhkannya tuneh (tunas muda),
sebagai generasi baru, yang bakal menggantikannya (proses regenerasi) andaikan
kayu gadang “tampek basanda” ini roboh dan mati.
Seperti tadi
disebutkan, tugas penghulu luas dan besar sekali, meliputi segala persoalan dan
masalah yang terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya. Penghulu dan atau datuk
itu sebagai ketua Ninik Mamak, dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh
beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat itu, yakni manti, malim
dan dubalang di samping wakilnya langsung disebut panungkek atau mangku
(wakil datuk/ penghulu dan atau rajo).
Kepada pemangku
adat itu, tertumpu harapan besar berperan lebih besar, tidak saja dalam
pembinaan dan pelestarian adat dan budaya alam Minangkabau dalam kaumnya dan di
nagari seperti diamanahkan Perda 2/2007 fs.36, tetapi juga perannya sebagai
mitra dalam mendorong pembangunan ke arah yang lebih maju dan bermartabat.
Siapapun dalam
melakukan peran tak kecuali penghulu, ada syarat utama berperan dalam perspektif
sosiologis, setidaknya ada tiga hal yang harus ditunjukan. Pertama “ada
aktifitas yang jelas dan aktif”, kedua “ada status yang jelas dan kuat”
tentunya sebagai pemangku adat, dan yang ketiga “punya kharisma dan
nyata-nyata disegani”. Jika ketiga hal ini dimiliki pemangku adat dimungkinkan
akan dapat berperan dengan baik dan diakui.
2.
Nilai
kepemimpinan ninik mamak
Kepemimpinan ninik mamak, memperlihatkan integitas kuat
antara satu unsur dengan unsur yang lain. Pemimpin tidak jalan
sendiri-sendiri. Kuat nilai sinergisitas, terutama dalam sistem tali tiga
sepilin.Tali tiga sepilin simbol pengikat yang kuat. Demikian pula tungku itu
tigo sajarangan merupakan sandi yang kokoh dalam kehidupan Minang, yang juga
tidak lepas dari tiga sumber nilai: adat, syara’ dan Kitabullah.
Tungku sebagai sandi yang kokoh dan
tali pengikat yang kuat itu secara operasional di Minang dalam melaksanakan
syara’, dipandu petunjuk kuat. Panduan ini pernah panjang lebar dijelaskan
dalam buku saya (dkk. 2011) diterbitkan Museum Adityawarman, tentang ABS-SBK,
dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin. Pertama anggo tanggo fungsinya ibarat organisasi merupakan
anggaran dasar/ anggaran rumah tangga, kedua alua jo patuik berfungsi sebagai Undang
Undang, ketiga raso – pareso (rasa – periksa) berfungsi sebagai
Hukum dalam tatanan kehidupan Minang. Dalam mamang orang tua:
Badasar ka anggo tanggo
Baundang ka alua jo patuik
Bahukum ka raso jo pareso
Raso Tumbuah di dado
Pareso tumbuah di kapalo
Sistem nilai inilah yang disebut
dengan sistem tungku tigo sajarangan, sedangkan fungsionarisnya tigo tuanku
yakni ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) ketiga fungsionaris adat itu adalah: (1) alim ulama pada fungsi mengeluarkan fatwa, (2) ninik mamak pada fungsi memerintahkan (anak kemanakan) untuk
melaksanakan fatwa itu, dan (3) cadiak
pandai pada
fungsi teliti untuk meneliti (memeriksa) aapakah fatwa yang dijalankan itu
menguntungkan atau merugikan masyarakat (anak kamanakan). Tegasnya tupoksi
ketiga fungsionaris tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu
diamanatkan dalam petata: fatwa pada ulama, parentah pada ninik mamak dan
teliti pada cadiak pandai. Dalam pelaksanaan tupoksi itu didistribusikan
dalam tiga sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu yakni (1)
anggo tanggo, (2) alua jo patuik, dan (3) raso jo pareso, dijelaskan sbb.:
a. Dasar: Anggo Tanggo
Anggo Tanggo dalam sistem tungku tigo
sajarangan dalam adat limbago Minang merupakan pedoman dasar. Pedoman dasar ini dalam organisasi (limbago) merupakan AD/
ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga). Artinya
Anggo Tanggo merupakan paradigma adat yang merupakan landasan dan pedoman dasar
dalam kehidupan Minang.
Kalau alim
ulama berdiri pada pintu agama dengan fatwa yang bersumber dasar yang
amat kuat yakni Kitabullah sebagai sandi syara’ (Islam), maka pemegang kendali
utama anggo tanggo ini adalah tuanku ke-2 yakni alim ulama tempat bermufti (minta fatwa) para masyarakat adat yang
dipimpin penghulu.
b.
Undang: Alua jo Patuik
Alua jo patuik (bukan patuik
dialua) dalam sistem tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin
merupakan hal penting dalam pengambilan keputusan adat. Alua jo patuik
sebagai nilai penim-bang keseimbangan dalam pengambilan kebijakan (politik
dalam pengertian luas) lebih tepat disebut sebagai peraturan perundang-
undangan dalam masyarakat adat Minang.
Kalau
ninik mamak tagak di pintu adat, dengan memegang kendali parentah
(perintah/ amar) aturan dan undang yang kuat dalam pengambilan keputusan
termasuk dalam penyelesaian sengketa adat,
adalah alua jo patuik, maka pemegang kendali alua jo patuik
itu adalah tuanku ke-1 ialah ninik mamak.
c. Hukum: Raso
jo Pareso
Raso jo pareso keseimbangan antara perasaan
dengan rasional (pikiran). Dalam tatanan
adat raso pareso ini didayagunakan untuk pengambilan keputusan hukum. Karena itu raso jo pareso berfungsi
sebagai Hukum dalam kehidupan Minang.
Kalau fungsi cadiak pandai tagak di
pintu teliti/ penyidik/ periksa maka pemegang pilar raso pareso ini adalah tuanku ke- 3 yakni cadiak pandai.
3.
Revitalisasi dan
Pelatihan Pemangkua Adat
Tak heran
misalnya pemangku adat yang baru diangkat, jika terksean belum berdaya dan
lemah dalam memiliki tiga persyaratan berperan tadi secara sosiologis. Mereka
(1) masih canggung dan di mana harus memulai untuk aktif melakukan kegiatan di
kaumnya dan berinteraksi dengan kaum yang lain dan pemerintah karena belum
banyak tahu bagaimana kebijakan pemerintah di Sumatera Barat amat peduli dengan
pembangunan “terpadu adat dan agama” dalam kerangka penerapan nilia-nilai
filosofi “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK)
dengan strategi dan Syara’ Mangato – Adat Mamakai (SM-AM) dan Alam
Takambang Jadi Guru (ATJG) ke arah pembentukan karakter yang beradat dan
agamis; (2) status yang dimilikinya
sebagai pemangku adat adalah baru, sudah barang tentu perlu penguatan dan
pemberdayaan, dan (3) pembangku adat yang baru dimungkinkan juga belum punya
kharisma dan masih perlu bersosialisasi
dan berinteraksi dengan fungsionaris tali tigo sapilin, dengan kaum-kaum yang
lain dan pemerintah mulai dari nagari sampai ke tingkat provinsi bahkan
nasional, yang sudah barang tentu berkaitan dengan eksistensinya dalam kaum dan
nagarinya.
Karenanya
sebagai sebuah solusi, perlu kebijakan program kegiatan pelatihan peguatan
peran pemangku adat ini, secara terus menerus dilakukkan lembaga adat seperti
LKAAM dan KAN sebagai urat tunggangnya, didukung oleh didukung pemkab/ kota dan
Pemprov Sumatera Barat dengan pendanaan APBD dioperasionalakan melalui Kantor
Kesatuan Bangsa, Politik dan Masyarakat – Kesbangpolmas. Ini, sebagai
upaya penguatan dan pemberdayaan dan merevitalisai peranan pamangku adat terutama
yang baru diangkat itu untuk berperan optimal di kaumnya, di nagari dan bersama
pemerintah sebagai mitra pembangunan daerah.***
[1]Yulizal
Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM Sumatera Barat, Ketua Dewan Adat dan
Syara’ nagari Taluk Batangkapas, Pesisir Selatan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya –
Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Makalah
disampaikan sebagai nara sumber pada “Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se
Sumatera Barat”, LKAAM Sumatera Barat, di Hotel Mariani, Padang 13 November
2012.
Label:
Adat Minang
04.09
Seperti bentuk seni gerak, maka bentuk seni suara juga dapat dilihat dalam tiga jenis yakni : pertama instrumental (puput batang padi, serunai, seruling dsb), kedua vokal (vokal group, salawat dulang, kasidah rebana) dan ketiga sastra, yang secara skematis dapat dilihat dalam skeman berikut:
Konsep dan Perubahan Dalam Seni Tradisional Minangkabau
Oleh Yulizal Yunus[1]
Abstrak
Seni tradisional Minangkabau
memiliki kekayaaan konsep yang kekuatanya berada pada filsafat estetika kauniyah
(kosmologi) yang mencirikan orang Minang arif membaca tanda-tanda alam.
Setelah Islam masuk terjadi perubahan konsep sejalan dengan perubahan adat
(kearifan budaya lokal). Kalau adat orang Minang setelah Islam masuk itu melaksanakan
nilai Islami dikukukan dengan kosesus dan filosofi ABS – SBK (Adat Basandi Syara’
– Syara’ Basandi Kitabullah (ABS – SBK), diselenggarakan dengan strategi
komitmen SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai), maka substansi seni
tradisional sebagai bagian sistem budaya orang Minangkabau juga menganut konsep
Islami tadi plus konsep kosmologi Alam Takambang Jadi Guru (ATJG). Substansi perubahannya itu
terkesan pada pengukuhan dan pengayaan filsafat estetika kosmologi (alam) dengan
Filsafat estetika Islamiyah (yang Islami), yang bentuknya secara ideal, pengukuhan
estetika tsaqafiyah (budaya) orang Minang bersumber dari estetika ilahiyah
(ciptaan Tuhan). Inti konsepnya, pertama dari perspektif misi,
membawa tiga kelompok besar nilai dan pesan, yakni mau’zhah (pengajaran
yang indah), hikmah (local wisdom) di samping yang sangat
prioritas adalah “irsyadah” (memandu masyarakat penikmat seni ke jalan
yang benar); kedua dari perspektif panduan (kontrol)
memformulasikan tiga bentuk pula yang dapat didiskrip dalam memoteknik 3ka
(estetika, erotika dan etika), mengesankan etika (akhlaq karimah –
perilaku yang indah dan mulia) mengontrol tawaran estetika dan erotika
terbatas pada bentuk sajian seni fan li fan (l’art for l’art – seni
hanya untuk seni) yang keindahannya rentan mempresentasikan sajian forno
yang merangsang nafsu syahwat. Seni tradisional Minang terus berubah seiring
perkembangan, terakhir termasuk dan dimasukan sebagai fungsi komunikasi sambung
rasa, yang esensinya disarati pesan pembangunan nasional.
I. Pendahuluan
Orang Minangkabau di ranah dan
rantau mempunyai konsesus (janji) dan filosofi yang sudah final: Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS – SBK). Hutang
orang Minang, tinggal lagi pada pengisian janji dan pelaksanaan filosofi secara
terus menerus. Pengisian
janji ini dilakukan dengan strategi
komitmen Syara’
Mangato – Adat Mamakai (SM – AM) dan Alam Takambang
Jadi Guru (ATJG). Strategi ini mengandung komitmen kuat, bahwa budaya orang
Minangkabau adalah melaksanakan syara’ (nilai ajaran Islam) yang sumber
utamanya Kitabullah (al-Qur’an). Hal yang tidak ada dalam Kitabullah, mengharuskan orang Minang arif membaca tanda-tanda alam
(kauniyah) yang pada giliranya
mengukuh ciri orang Minang berpandangan dan menganut filsafat estetika kauniyah
(kosmologi) plus filasafat estetika Islamiyah (Islami).
Indikator ciri orang Minangkabau yang kunyah (kosmologis) dalam “Minang geniusnya”, pada awal mula
mempresentasikan kearifan alam dalam seluruh sistem budaya lokal. Setelah Islam
masuk, presentasi kearifan alam itu dikukuhkan dan menjadikan plus dengan
memasukan nilai Islam. Perubahan ini dikukuhkan dengan filosofi ABS – SBK
dengan strategi komitmen pelaksanaannya SM – AM dan ATJG dalam seluruh sistem
budaya Minangkabau.
II. Seni Tradisional
Minangkabau dan Konsep Estetikanya
Perubahan konsep seni tradisional Minangkabau
sejalan dengan filosofi ABS – SBK, mengadopsi nilai kosmos (alam, kitabullah
ayat kauniyah yang tak tertulis) diperkuat nilai Islam (basandi Kitabullah). Bentuk
konsep sebagai seni, tetap saja nilai utama keindahan (estetika).
Estetika dalam konsep Islam disebut dengan jamal. Jamal dilihat dua sisi
mengkuti konsep muhakah (mimesis) Aristoteles, pertama master
dan kedua tiruan. Masternya adalah keindahan dari Tuhan, dan tiruan
adalah keindahan kebudayaan seni yang diproduk manusia. Dalam konsep Islam
keindahan yang berpangkal dari Tuhan itu adalah keindahan yang Maha Indah (Allah
SWT). Inallaha jamil yuhibbu l-jamil (Allah
itu Maha Indah, ia suka dengan yang indah). Keindahan Allah sebagai master itu
disebut jamal al-tsaqafiy (keindahan yang bersumber dari Tuhan),
dan tiruannya disebut jamal al-tsaqafi (keindahan kebudayaan).
Kebudayaan secara kategoris, ada tujuh sistem,
yakni sistem sosial, ekonomi, politik, iptek, filasafat, seni dan religi. Posisi
seni adalah satu di antara sistem kebudayaan. Sistem seni ini dari perspektif
budaya Minangkabau sistem “tali tigo sapilin”, kajiannya disederhanakan pada
tiga kelompok besar, yakni kelompok seni rupa, kelompok seni gerak
dan kelompok seni suara. Masing-masing kelompok itu disederhanakan pada
tiga wujud, seperti penulis gambarkan dalam skema berikut:
Bentuk seni rupa di Minang yang merupakan sub
disiplin ilmu bidang humaniora, penulis kelompokan pula pada tiga jenis, yakni (1) seni lukis/ disain, (2) pahat/
sulam, dan (3) arsitektur (fungsional, sakral dan sivil). Seni rupa di Sumatera
Barat, sebut Ibenzani Usman (1994) sudah tumbuh dan berkembang sejak dua abad
yang lalu, di mana roh perkembangannya membidik sasaran komoditi ekspor di
samping sasaran prestasi dan prestise bagi SDM seni rupa yang kreatif. Setiap
jenis seni ini mempunyai wujud yang jelas mengekspresikan secara visual baik
yang bersifat pribadi maupun yang bersifat kelompok masyarakat, keagamaan (sakral) dan imej serta
ideologi tertentu. Seni lukis/ disaian punya anaotomi sendiri, dapat berwujud
segala bentuk, geometri motiv dan aliran lukisan, demikian pula disaian dapat
berwujud segala bentuk dan motiv kreasi kearah seni pakai. Seni pahat/ sulam
dapat berwujud ukiran Minang yang memperlihatkan kekayaan moriv alam (motiv
utama dan motin pengisi) seperti pada ukiran dikenal moriv aka barayun, kaluak
paku, rabuang mambasuik, kuciang lalok, itik pulang sanjo, bunga, kalimat
simbol Islam, stilir naskah klasik/ manuskrip keagamaan dsb. Catatan penting
Ibenzani Usman dikuat Nasbahry Couto (2008) dalam sebuah contoh bedah anatomi
ukiran tradisi Minangkabau, menyebutkan motiv untuk menggambarkan binatang,
disamarkan dalam bentuk tumbuhan merambat. Perinsip ini sebenarnya menganut
perinsip advis ulama dalam mengambil motiv makhluk hidup dalam seni ukir/
gambar, menurut C. Israr (dalam Yulizal Yunus, 1993) dianjurkan penggambarannya
tak sempurna sebagai gambaran makhluk hidup, karena ada debat berdasarkan hadis
dari Ibnu Abbas, yang menyebut “siapa yang melukis makhluk hidup nanti di
akhirat dituntut untuk memberinya nyawa”. Namun di dalam masyarakat Islam pada
akhirnya diperbolehkan mengambil motiv lukisan (motiv utama dan atau motiv
pengisi) dari makhluk hidup, petama untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kepentingan
kemanusiaan (medis), kepentingan monumental sejarah, tetapi tidak untuk
mengkultus dan menjadikannya sesembahan. Catatan itu juga berlaku pula pada
wujud sulam yang bermuara kepada seni pakai (busana, mukena, atribut adat dsb.,
juga motiv dalam seni untuk peralatan dan atribut adat seperti kain basurek
(batik tulis versi Sumatera Barat) atau karya printing lainnya, mata uang
seperti ada motiv naga, motiv bunga dan stempel persegi empat alat pembayaran
yang syah pada masa PRRI (Muasri dkk, 2011). Pada umumnya, wujud dari dua jenis
seni rupa ini, mengambil bentuk alam, memperlihatkan konsep wahdah
(unity), mengaplikasikan nafas Islam pelaksanaan perintah “iqra’”
(membaca alam – nafas ATJG). Artinya Minang, dalam mengambil bentuk dan motiv,
tidak ada istilahnya “back to nature”, tetapi sejak dari awal punya
konsep dan filosofi estetika kosmologi dengan aplikasi bermisal dan mencontoh
kepada alam.
Seni rupa jenis arsitektur, memiliki wujud yang
juga jelas, pada setiap genrenya (fungsional, sakral dan sivil). Fungsional
terlihat wujud monumen (perjuangan/ politik, ekonomi dan pemerintahan). Sakral ada masjid, madarasah/ tempat shalat
di pinggir sungai dan turbah/ mejan ada berbentuk gobah seperti makam syeikh
Abdurrahman Batuhampar dsb. Sivil ada bentuk gedung pusat pelayanan
pemerintahan (kantor/ sekolahan), pelayanan adat (rumah gadang) dan rumah
kediaman warga/ penduduk. Wujud arsitektur Minang lainnya, misalnya diambil
contoh di daerah Kabupaten/ Kota dapat digambarkan dalam skema sbb.:
Bentuk seni gerak, dapat pula dilihat dari tiga
jenis, yakni: tari, pencak dan teater/ film/ pertunjukan. Jenis seni tari di
Minang terdapat banyak wujud (tari rantak kudo, tari barabah, tari kain, tari
gelombang dsb). Jenis pencak/ silat (atraksi bela diri) punya wujud bergam
pula, ada seni pencak alu ambek, silat lintau, silat harimau dsb. Jenis teatre/
film/ pertunjukan mempunyai wujud beragam pula seperti sandiwara, tabuik,
cimuntu, permainan rakyat, randai dan
atau teater rakyat lainnya, film dokumenter dan film yang berakar dari novel
karya novelis Minang dsb. Secara skematis, dapat digambarkan dalam skema sbb.:Seperti bentuk seni gerak, maka bentuk seni suara juga dapat dilihat dalam tiga jenis yakni : pertama instrumental (puput batang padi, serunai, seruling dsb), kedua vokal (vokal group, salawat dulang, kasidah rebana) dan ketiga sastra, yang secara skematis dapat dilihat dalam skeman berikut:
Khusus jenis terdapat sastra lisan dalam
genre puisi dan prosa: petatah/ petiti, dedang ibu membuai anak, dendang petani
waktu bersiang di sawah, dendang peruntungan, kaba dll. Terdapat pula sastra
tradisi tulis dalam genre puisi dan prosa: cerita/ novel/ cerpen, syair
ulama, naskah skenario teater – film dsb) secara skematis dapat digambarkan
dalam skema sbb.:
|
Catatan penting dalam presentasi seni tradisional
Minang itu, baik seni sastra dalam sistem bahasa (lisan dan tulisan), dalam sistem
adat dan atributnya, maupun dalam seni gerak banyak mempresntasikan konsep alam. Dalam seni suara, banyak menggunakan bahasa alam (kosmik dan cosmos)
seperti kabut, malam menunjukan tidak mengerti. Dalam gerak juga banyak meniru
gerak alam seperti seni tari elang, rantak kudo dll., dalam pertunjukan banyak
meniru alam misal adu kukuran, adu lesung, lukah gilo dll. Apalagi seni rupa
motiv banyak diambil dari alam.
III. Perubahan Konsep
Fenomena dan prilaku pengambilan perumpamaan dan bahasa, gerak dan rupa alam dalam seni tradisi
Minangkabau tadi memperlihat
ciri dan identitas Minangkabau yang
serba alam (kauniyah) dan kental menganut filsafat estetika kosmologis.
Konsep alam ini dalam seni tradisional Minangkabau
mengalami perubahan kearah pengayaan dan penguatan konsep wahdah (unity) alam
sebagai Kitabullah (sunnatullah) tidak tertulis dan nilai filsafat estetika
Islamiyah yang bersumber Kitabullah (al-Qur’an). Perubahan ini sejalan dengan adat budaya Minangkabau yang merupakan pelaksanaan Islam. Dari analisis ini, boleh
dianalogkan, kalau adat budaya orang Minangkabau itu adalah
Islam dan kauniyah (alam) atau sunnatullah yang tak tertulis, maka seni
tradisional Minangkabau itu adalah juga
Seni Islam. Sejalan dengan dinamikan orang Minang, seni
tradisional Minang terus berubah seiring perkembangan, terakhir dimulai era
pembangunan orde baru, seni tradisional termasuk dan dimasukan sebagai fungsi
komunikasi sambung rasa mengambil ungkapan Harmoko, yang esensinya disarati
pesan pembangunan nasional di samping pesan Islam dan alamnya orang Minang yang
Islami.
Tegasnya adat Minang itu Islam, tak bernama adat Minang
kalau bertentangan dengan Islam. Karenanya pula, kalau ada orang (adat dan
agama) mempertentangkannya dimungkinkan belum mendalami adat dan belum
mendalami agama. Justru disadari yang bertentangan adalah prilaku beradat dan
prilaku beragama, sebab yang adat dan agama seperti juga filsafat orang Minang
tidak berubah, yang berubah itu adalah prilaku (behaviour) orang Minang
beradat dan beragama. Seni bagian dari sistem budaya (prilaku) yang berubah dan
tindakan kreatif yang terus mencari bentuk sajian. Karena sistem norm dan
diaplikasi dalam tindakan kreatif maka seni tradisi Minang itu mengambil bentuk
fann al-Islamiy (seni Islami). Artinya seni bagian dari presentasi nilai
Islami bagi masyarakat seni Minang.
Nilai yang dipresentasikan dalam seni dari
perspektif Islam, adalah kumpulan nilai mau’izhah (pengajaran yang
indah), hikmah (sarat hikmah dan atau local wisdom), serta irsyadah (memberi
arah ke jalan yang benar). Nilai ini merupakan presentasi dari nilai utama misi
Islam yakni perbaikan al-akhlaq al-karimah (prilaku yang mulia), maka adat
Minang mengedepankan nilai ini menjadi sandi, dipresentasikan dalam bentuk
empat nilai: sopan – santun, budi bai – baso indah. Empat nilai ini diaplikasi
dalam aplikasi yang memberikan kontrol kepada kreatifitas dan pertunjukan
(presentasi) seni dalam bentuk tiga nilai dengan memoteknik 3ka yakni
estetika, erotika dan estetika. Etika (akhlaq karimah –
perilaku yang indah dan mulia) mengontrol tawaran estetika dan erotika
terbatas pada bentuk sajian seni fan li fan (l’art for l’art – seni
hanya untuk seni) yang keindahannya rentan mempresentasikan sajian forno
yang merangsang nafsu syahwat.
Seni untuk seni saja dan atau seni hanya sebatas
memajang simbol agama saja, sebenarnya sudah banyak tausiah kearah perubahan
oleh budayawan Sumbar untuk dikontrol dan dikurangi. Dalam pengembangan seni khusus wujud sastra,
Wisran Hadi misalnya mempunyai tausiah tentang isi, kelembagaan
dan sumber daya seniman sastrawan. Dari perspektif isi dan thema sastra,
terlepas jauh sebelumnya, apakah Wisran kuat atau tidak pada akar budaya lokal
Minang yang bersumber syara’ (Islami)[2], di
usianya yang terakhir ini ia kental menyuarakan pengembangan seni sastra yang
secara substansial mengarah kepada yang Islami dan berakar pada budaya lokal
adat Minang yang disebutnya aleh bakua (alas ketiding) sebagai konsep
estetika sastra Minang yang berbasis akidah kuat yang menurutnya patut
diterapkan. Beberapa kali ia memesankan, sudah seharusnya kita mempunyai
selektifitas ketat, mana sastra baru dan lama termasuk legenda yang patut
ditranskrpsikan dan digelar dan mana yang harus dihentikan.
Bagi Wisran (Yulizal Yunus, 2011) seni Islam tidak hanya sebatas simbol keagamaan
tetapi harus memiliki kejelasan esensi dan substansi. Ia mengeritik
habis-habisan, kecenderungan pergelaran seni yang memperlihatkan unhumanis
(tak manusiawi) – mengeksploitasi dan menjual hal-hal yang telanjang, tidak
berakar pada budaya sendiri dan tidak at home serta imajinasi yang
menabrak akidah. Demikian pula mengangkat legenda yang cendrung mengumbar
khurafat seperti juga pada sinetron-sinetron yang menabrak nilai agama serta
menyesatkan. Tayangan dan pergelaran seni seperti itu sudah seharusnya mendapat
seleksi ketat, dikembali ke akar budaya bangsa yang natural dan sarat
religisitas, yang dalam bahasa lain ke arah seni sastra yang teo-humanis
(mengemban aspek manusiawi tanpa melupakan kesadaran bertuhan).
Padangan Wisran dalam hal
pengembangan tema-tema sastra berakar pada nilai budaya lokal adat Minang yang
imajinasinya tidak bertentangan dengan akidah serta jauh dari khurafat,
sebenarnya sudah memasuki genre sastra yang sarat dengan mau’izhah
(pengajaran yang indah), hikmah dan irsyadah (panduan ke jalan yang benar) yang
oleh Muhammad Qutub[3]
disebut dengan seni Islami. Dua konsep pertama mau’izhah dan hikmah menggarisbawahi Khalid bin Hamid
al-Hazimiy[4] menempatkannya sebagai al-ushul al-uslubiyah (dasar-seni mendidik). Hikmah merupakan ma’rifat (pengetahuan) substansial yang bersumber
dari al-Qur’an dan Hadits. Dalam realitanya hikmat itu adalah perkataan bijak
lebih mengandung kebenaran hakiki, sarat dengan argument untuk menjelaskan
kebenaran hakiki (haq) dan tak ada kesan sesuatu yang rancu – yang
ragu-ragu (syubhat), tetapi tepat tujuan dan sasaran. Sedangkan mau’izhah adalah nasehat (advis)
dan ada nilai peringatan terhadap bahaya yang mungkin mengancam, yang
filosofinya mengingatkan orang lain agar tertarik berbuat sesuatu yang baik/
berpahala dan menjauhkan diri dari sesuatu yang mengundang bahaya.
Hikmah dan mau’izhah itu
dapat dirasakan kesannya dari ucapan, di dalamnya ada kebenaran hakiki, menarik
hati dan dapat mendorong orang ta’at kepada Allah Ta’ala. Artinya mau’izhah itu tidak dapat dipisahkan
dengan hikmah, karena ketika seorang penasehat, tidak memiliki hikmah
(kebijaksanaan), berpotensi terjadi tindakan yang tidak proporsional
(penempatan sesuatu tidak pada tempatnya), tindakan tidak tepat timing (waktunya), perkataan tak sesuai
dengan situasi mad’u (yang dinasehati), bisa keliru dan tak pada
tempatnya serta tidak sesuai dengan situasi dan kondisi. Karenanya dua prinsip mau’izhah dan hikmah
beriringan di dalam al-Qur’an yang diamanatkan kepada pemberi nasehat (yang
mengajak ke jalan Allah SWT). Di antaranya terdapat dalam firman Allah swt
sbb.:
í÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# (
Hikmah merupakan substansi sastra, Wisran maunya begitu. Sepertinya
berakar dari risalah (pesan) Nabi saw dalam sebuah hadis riwayat
al-Bukhari, bahwa sebahagian sastra genre syair (puisi) adalah hikmah,.
Di antra sabdanya riwayat al-Bukhari: inna min al-syi’ri hikmah[7] (حكمة الشعر من إن - sebenarnya dari sebahagian puisi itu ada norm
hikmah).
Pesan Nabi saw riwayat al-Bukhari ini, memberikan penyadaran bahwa syu’ara
(para penyair – penggubah puisi) itu juga seorang hukama (orang yang
kaya ilmu plus hikmah), karena karya kreatif sastra jenis puisi itu penuh
dengan hikmah. Selain berkarakter hukama, syu’ara dari akar kata kerja sya’ura[8] sering didekatkan dengan konsep kata kerja
‘alima (mengetahui dengan karakter intelektual cerdas dan tahu kebesaran
dan kekuasaan Allah). Dari kata ‘alima ini lahir kata ulama yang
dari prinsip al-Qur’an jelas sekali karakter dan identitas ulama yakni
“orang-orang yang paling bertaqwa di antara hamba Allah, memiliki kecerdasan
spiritual dan intelektual, tahu kebesaran dan kekuasaan Allah[9]”.
Demikian semakin diketahui bahwa syair (puisi) dan penyair memiliki
kekayaan nilai hikmah, pengajaran, karakter syu’ara dengan “kecerdasan
emosi” (prinsip sya’ura / merasakan), karakter ulama dengan “kecerdasan
spiritual” dan “kecerdasan intelektual” (prinsip kata ‘alima /
mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah karena ketaqwaan), karakter hukama
/ arif bijaksana kaya ilmu plus hikmah (prinsip kata hikmah). Syu’ara (para
penyair) sebagai satu unsur udaba (para sastrawan) disarati konsep
kombinasi karakter keulamaan dan kehukamaan.medapat anugerah Allah swt
dirasakan dalam karakter kata syu’ara (para penyair) yang ditawarkan
sebagai salah satu surat di dalam al-Qur’an yakni Surat yang ke-26. Wisran Hadi
seperti juga sahabat dekatnya Darman Moenir, tidak saja sering mengumandangkan
esensi surat ini mengenai penyair, bahkan juga sering ditusuknya melalui SMS
kepada para rekan-rekan dekatnya, tak tahulah, dimukinkan bagian dari pesannya.
Di dalam QS 26/ Syu’ara itu terdapat perinsip-perinsip “syair
agung” dan karakter penyair besar. Syair agung meskipun didominasi unsur athifah
(emosi), tetapi juga sarat dengan esensi kecerdasan di samping kecerdasan
emosional dalam menyikat esensi
kehidupan, juga kecerdasan sipiritual dan intelektual. Sedangkan penyair besar
itu mempunyai karakter udaba, ulama dan hukama. Karakter kepenyairan
penyair seperti itu ditunjukkan dalam QS 26 yakni (1) amanuu wa ‘amilu
l-shalihat[10]
(yang beriman dan berkarya dengan kesalehan/ beramal saleh), (2) tidak ittiba’
al-ghaghun[11]
(menjadi rujukan yang sesat), (3) tidak tanzil al-syayathin[12]
(diilhami setan-setan), (4) tidak affak atsim[13]
(pendusta bergelimang dosa), (5) tidak hiyam fi kulli waad[14]
(mengembara dari lembah ke lembah – dzahaba laa yadri aina yatawajjah /
berangkat, tak tahu ke mana arah tujuan, hanya bermain kata tanpa makna kosong
hikmah, yakni lain kata/ syairnya lain pula perbuatannya, tak berpendirian),
(6) yaquluuna maa laa yaf’aluun[15]
(mengatakan apa yang tidak mereka lakukan/ karya syairnya tak seperti diri
dan tak tercermin dalam perbuatannya).
Keagungan sastra – syair seperti prinsip al-Qur’ani tadi,
dimungkinkan digubah oleh sastrawan yang berkarakter keulamaan dan kehukamaan
yang dalam prakteknya terdidik dan terpelajar, memiliki basis kependidikan
kuat, konsen dan peduli terhadap masalah-masalah pendidikan. Dipastikan pula
karya sastra agung seperti ini tidak saja berpotensi menjadi materi ajar, wasilah
min al-wasa’il tarbawiyah (media/ sarana pendidikan), teapi juga berpotensi
sebagai metode, model dan pendekatan dalam pendidikan. Substansi pemikiran seni
sastra seperti ini bagian maunya Wisran Hadi, yang mebuat penulis terkejut.
Katanya, sastra yang patut dikembangkan itu, yang dapat mendidik masyarakat
penikmatnya beradab[16].
Banyak fakta sejarah membuktikan bahwa seni sastra khususnya
diadopsi oleh pendidik (guru dan orang tua) dalam pendidikan dan pembelajaran
untuk (1) fungsi maddah (materi), (2) fungsi wasilah (media/
sarana) dan (3) fungsi al-muwajjah al-fann (teknik konseling)
pendidikan. Tidak saja pada pendidikan formal dan non formal, pendidik
mengajarkan sastra, bahkan ditemukan dalam sejarah raja-raja, para mu’addib
(pendidik yang piawai bersastra) justru menggunakan sastra dalam pendidikan
informal secara privat di istana untuk mendidikan anak-anak raja, orang besar
dan terpandang di istana. Dimungkinkan, seperti tadi dijelaskan bahwa sastra
dimaknai dari adab. Kata jadiannya ta’dib terdapat dalam hadis
Nabi saw dengan karakter ta’dibiy (keterdidikanku, berbudi pekerti).
IV. Penutup
Dari paparan tadi, dapat disimpulkan, bahwa seni
tradisional Minangkabau memiliki kekayaaan konsep dan perubahan yang tiada
henti seiring dengan perkembangan, membuktikan orang Minang dinamis terus
berubah dan menerima perubahan. Kekayaan konsep dan perubahan seni tradisional
Minang ini, kekuatanya berada pada filsafat estetika kauniyah (kosmologi)
yang mencirikan orang Minang arif membaca tanda-tanda alam.
Perubahan seni tradisional Minang, setelah Islam
masuk, terpokus pada perubahan konsep sejalan dengan perubahan adat (kearifan
budaya lokal). Kalau adat orang Minang setelah Islam masuk itu melaksanakan
nilai Islami dikukukan dengan kosesus dan filosofi ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS – SBK), diselenggarakan dengan strategi komitmen SM – AM
(Syara’ Mangato –
Adat Mamakai), maka substansi
seni tradisional sebagai bagian sistem budaya orang Minangkabau juga menganut
konsep Islami tadi plus konsep kosmologi Alam Takambang Jadi Guru (ATJG).
Substansi perubahan seni tradisional Minang itu
terkesan pada pengukuhan dan pengayaan filsafat estetika kosmologi (alam)
dengan Filsafat estetika Islamiyah (yang Islami), yang bentuknya secara
ideal, pengukuhan estetika tsaqafiyah (budaya) orang Minang bersumber
dari estetika ilahiyah (ciptaan Tuhan). Inti konsepnya, pertama
dari perspektif misi, membawa tiga kelompok besar nilai dan pesan, yakni mau’zhah
(pengajaran yang indah), hikmah (local wisdom) di samping
yang sangat prioritas adalah “irsyadah” (memandu masyarakat penikmat
seni ke jalan yang benar); kedua dari perspektif panduan
(kontrol) memformulasikan tiga bentuk pula yang dapat didiskrip dalam
memoteknik 3ka (estetika, erotika dan etika), mengesankan
etika (akhlaq karimah – perilaku yang indah dan mulia) mengontrol tawaran estetika
dan erotika terbatas pada bentuk sajian seni fan li fan (l’art
for l’art – seni hanya untuk seni) yang keindahannya rentan
mempresentasikan sajian forno yang merangsang nafsu syahwat.
Perubahan yang juga cukup monumental pada seni
tradisional Minang, memasuki wilayah kreasi ulang ke arah seni modern dan
mengambil fungsi sebagai komunikasi “sambung rasa”. Perubahan ini
nadinya berdenyut keras ketika orde baru merangkul semua komponen bangsa
mengkomunikasi misi pembangunan yang dicanangkan Bapak Pembangunan (Presiden
Soeharto), yang esensinya disarati pesan pembangunan nasional.
Rujukan
Ibenzani, Usman, Seni Rupa, Ilmu dan
Pendidikan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan, 31
Agustus 1994. Padang: IKIP Padang, 1994
Muasri, dkk., Islam dalam Keragaman Sejarah dan
Budaya Sumatera, Presentasi Pameran Museum Negeri Prov. Sumatera Barat 28 Sept
– Okt 2011. Padang: Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat, 2011
Nasbahry, Couto, Budaya Visual Seni Tradisional
Minangkabau (Visual Culture of Minangkabau Tradisional Art). Padang: UNP
Press, 2008
Pemda Padang/ Pariaman, Kisah Tabuik Piaman. Pariaman: Pemda
Padang/ Pariaman, 1967.
Yulizal, Yunus, Islam dalam Keragaman Seni
Minangkabau. Padang: IAIN-IB Press, 1985
___________, Sastara Islam di Indonesia, Kajian Kritis Syair Apologetik
Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press, 1999
___________, Sistem
Seni Arsitektur dan Sastra Presentasi pada Peltihan Guru-guru BAM Kabupaten
Solok Selatan, Makalah Diskusi
4-5 November 2009. Padang Aro: Pan Diskusi
Guru BAM, 2009
[1]Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua Lembaga Penelitian IAIN Imam
Bonjol Padang, Dosen Sastra Arab,
Sastra Islam, Seni Islam di Fakultas Ilmu Budaya – Adab. Naskah ditulis
dan dipresentasikan khusus sebagai materi pembicaraan dalam Diskusi yang
diselenggarakan UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera
Barat, di Galeri Seni Rupa, Senen, 1 April 2013.
[2]Wisran Hadi sejak awal sebenarnya secara kategoris seperti alergi
menampilkan sebatas simbol agama saja dalam karya seni sastra, ia justru
menginginkan secara substansial pada esensi seni sastra. Menyebut seni Islami
saja ia kurang antusias seperti juga AA.Navis, yang pernah membuat penulis
dongkol (maaf bang Wisran), karena ketika itu penulis sudah satu dasawarsa
mengajar kesusasteraan Islam di samping mata kuliah Sastra Arab di Fakultas
Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol, sehingga kekesalan penulis, membuat
konvensasi menulis sebuah buku dengan title: Seni Islam di Indonesia
(1999), serta “Protes Sastra terhadap Paham Keliru” (1999). Pernah juga dalam
forum talkshow TVRI Padang dalam acara palanta, menggelar seni dan Islam
penulis bersanding dengan Wisran sebagai Nara Sumber. Ketika saya berteori
tentang seni Islam, meyebut simbol belum sampai ke substansi, langsung ia
cegat, “ngapain simbol-simbol dan teori-teori dari buku besar pakar segala,
bukankah kita juga bisa berteori dan
padat isi Islami”, katanya yang membuat penuilis terbatuk-batuk saat menghirup
kopi di palanta TVRI itu. Namun ketika penulis sebagai nara sumber bersama
Darman Moenir, Raudha Thaib, Rabecca dari Amerika,
Ismet Fanani dari Australia bersanding lagi di TVRI dengan Wisran sebagai
moderator pada event seminar Internasional membedah karya sastra – puisi Taufiq
Ismail pada hutlahnya, Wisran sudah tenang ketika penulis menyebut smbol-simbol
sastra Islami. Demikian pula soal mengangkat budaya lokal, penulsi pernah
mengritik habis-habisan Wisran terhadap pergelaran pertama drama kolasalnya “Imam
Bonjol”. Penulis ketika itu dalam barisan Skh. Semangat bersama Syafril Kahar,
mengundang Soufyan Ras Burhani dan AKU
(A.Kadir Usaman) menulis kritik terhadap drama Imam Bonjol Wisran itu. Karena,
entah penulis yang ketika itu tidak paham jalan fikiran Wisran, tetapi rasanya
sebagai orang Minang saya tersinggung, bahwa Imam Bonjol itu lenyap dari
sejarah, sehingga penulis menulis “Kembalikan Imam Bonjolku” bernada sama
dengan Soufyan sedangkan AKU menulis “Setelah Imam Bonjol Siapa Lagi Yang
Dipreteli Wisran”. Tetapi kemudian dengan substansi dan artikulasi yang
meyakinkan, penulis paham, Imam Bonjol yang dihadirkannya dimensi sebagai
seorang manusia yang tak luput dari kekhilafan. Fenomena ini bagian dari
perkembangan pemikiran seni Wisran Hadi, yang dalam istilah pemikiran Islamnya
adalah qaul al-qadim (pikiran lama) dan qaul al-jadid (pemikiran
baru) dan Wisran tetap konsisten pada substansi Islami pada esensi seni sastra.
[3]Muhammad Quthub, Manhaj al-Fann al-Islamiy. (Bairut: Dar
al-Syuruq, 1973)
[5]Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan
antara yang hak dengan yang bathil berangkat dari kebenaran hakiki ilahiyah
bersumber wakyu. Menurut Prof. Dr. Masnal Zajuli (2010), sebenarnya ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan yakni: hikmah,
mau’izhah dan mujadalah. Karena ayat 125 Surat al-Nahal itu disusul kalimat …wa jadilhum bi l-latiy
hiya ahsan, kata kuncinya jadil dapat dibentuk menjadi kata mujadalah.
Kata Prof. Masnal, mau’izhah dan hikmah bila berhadapan dengan orang lain
dipastikan akan ada pro-kotra. Ketika terjadi kontra pada sa’at ini diperlukan
ada upaya mengajak berdialog atau mujadalah, supaya jangan terjadi manolog.
Disuruh membantah/ menolak yang tidak baik dengan cara-cara yang baik (ajakan itu bisa mujadalah.
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (…wa
jadilhum bi l-latiy hiya ahsan/ dan bantahlah mereka dengan cara yang baik).
[6]Q.S al-Nahal: 125
[7]Hadis
ke-19444, riwayat al-Bukhari ini, terdapat dalam Sahihnya, disiarkan secara
luas oleh “Mausu’at al-Hadis ‘ala Syibkat Islam Web”,adalah berasal dari
Abi l-Yaman dari Hadis Syuib bin Abi Hamzah dari al-Zahriy. Terdapat juga dalam
riwayat al-Bukhari dari Ismail bin Umaiyah, Zayad bin Sa’ad, Muhammad bin Abi
‘Athiq, Yunus bin Yazid berasal dari cerita al-Zahriy.
[8]Karakter kata
sya’ura (شعر) artinya menyair –
merasakan adalah akar kata syu’ara (شعراء – para penyair) dalam al-Munjid (1973:391) terdapat esensi (1)
karakater kata ’alima (علم) akar
kata dari ’aliim (عليم)
jama’nya ulama (علماء),
(2) karakter kata ahassa (احسّ - merasakan dengan sangat peka dan sensitive) dan karakter kata
fathana ( فطن - mencerdaskan) akar kata
fathanah ( فطانة -
cerdas). Kalau begitu penyair itu memiliki kepekaan perasaan malah sangat
sensitive plus mempunyai kecerdasan keilmuan (intelektual) dan kecerdasan
spiritual dengan karakter fathanah. Karenanya pula syair itu mempunyai
unsur utama atifah ( عاطفة -
emosi) di samping unsur fikrah ( فكرة - rasio/ opini/ pemikiran).
[16]Penegasan pesan Wisran Hadi, jenis seni
yang patut dikembangkan seperti tari, yang beradab dan mendidik, katanya,
hindari tafsiran yang un human (tak berprikemanusiaan) ia sebut seperti
jualan pariwisata jenis tari yang minim busana dalam pagelaran dan eksploitasi
suku terasing seperti Mentawai - Sumbar hingga Krowai di dekat kawasan Merauke
sana. Sepertinya tari dari daerah ini (Sumbar) pelipur lara, beda Bali menari
sebagai ibadah, mestinya begitu, tawaran Wisran saat berdiskusi 24 November
2009 di Taman Budaya membicarakan seni menjadi indikator pembangunan dirumuskan
dalam RIPKD (Rencana Induk Pembangunan Kebudayaan Daerah) Sumatera Barat.
Sering Wisran mempertanyakan, apakah orang Minang masih konsisten bicara nilai syara’
(Islam) dan adat. Diduga justru sungkan bicara nilai itu, karena takut dibilang
sebuah kelemahan. Akibatnya konsep estetika seni dan sastra orang Minang
sekarang tidak jelas, aleh bakuanya terbakar, ia menggambarkan sebagai
kehilangan dimensi kemanusiaan dan dimensi tuhan (akidah). Ia menyidik konsep
Navis, Mursal, Chairul Harun, Hamka, Mara Rusli beda pula dengan Ayu Utami di
pihak lain dsb, kata Wisran mengajak generasi seniman muda Minang belajar,
konsepsi rujukan estetika aleh bakua seni mana yang patut dikembangkan
di Minang, seperti juga didukung pencarian Yusrizal KW, Hermawan, Papa Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Ade dsb. Filsafat dan
sejarah, itu bukan aleh bakua, tapi ada nilai pelajaran, kata
Wisran Tak banyak sastrawan muda Sumbar
menjurus ke kultur daerah Ia banyak harap kepada seniman yang professional di
kampus seperti Prof. Dr. Harris Effendi Thahar dkk. Serta seniman sastrawan
kreatif muda seperti Gus TF dan Yusrizal KS dkk di garda terdepan menggali
konsep dan filosofis ale bakua estitetika seni Minang yang patut
dikembangkan ke depan. Perlu apa tidak seniman berakhlak, kalau perlu akhlak
yang mana?, etika?, moral?, budi pekerti?, bahkan tanpa menafikan beda
pendapat, Wisran tak menolak adanya pendapat: keterkaitan seni dengan moral dan
agama seperti dalam paham l’art for l’art yang meniadakan agama dan
moral dalam seni, bagi Minang, paham ini mengusik ale bakua, kata
Wisran.
Label:
Adat Minang