Oleh Yulizal Yunus Datuk Rajo Bagindo[1]
Abstrak
Ilyas Ya’kub (Lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 1903 — 2 Agustus 1958) ialah seorang ulama besar dan syikh al-Islam dari Minangkabau, Indonesia tamatan Mesir. Ia pahlawan
kemerdekaan Republik Indonesia diangkat den
gan SK-Mensos RI Nomor: Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968 dan dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI dengan reskio ia dibaung Belanda ke Digul (di Papua – Indonesia sekarang) serta beberapa tempat di Malaysia, Singapura, Brunei, Australia dll. Ia pernah memimpin mahasiswa Malaysia-Indonesia di Mesir, juga pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia, 1932) berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Beralasan pula dengan kemampuan dan jasanya sebagai ulama, tokoh pendidikan dan politikus Islam di awal kemerdekaan (1948) ia dipercaya pada negeri yang Islam dan semangat melayunya kuat sebagai Ketua DPR Provinsi Sumatera Tengah merangkap penasehat Gubernur.
gan SK-Mensos RI Nomor: Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968 dan dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI dengan reskio ia dibaung Belanda ke Digul (di Papua – Indonesia sekarang) serta beberapa tempat di Malaysia, Singapura, Brunei, Australia dll. Ia pernah memimpin mahasiswa Malaysia-Indonesia di Mesir, juga pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia, 1932) berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Beralasan pula dengan kemampuan dan jasanya sebagai ulama, tokoh pendidikan dan politikus Islam di awal kemerdekaan (1948) ia dipercaya pada negeri yang Islam dan semangat melayunya kuat sebagai Ketua DPR Provinsi Sumatera Tengah merangkap penasehat Gubernur.
Pendahuluan
Perjuangan
Ilyas Ya’kub sebagai ulama dan tokoh pendidikan Islam banyak mendirikan
lembaga pendidikan Islam. Ia juga pernah bekerja sebagai wartawan di
samping berjuang mendirikan lembaga pers sejak masa pendidikan di
perguruan tinggi di Timur Tengah. Sebagai politikus Islam yang gemilang,
ia berjasa mewadahi Islam dan Kebangsaan[2]
dengan parpol PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) yang berbasis pada
pendidikan Islam yang ia dirikan bersama teman seperjuangan.
Dengan profesinya sebagai wartawan dan penerbitan pers (pernah sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Medan Rakyat, 1
Pebruari 1931) serta politikus Islam pada masa pergerakan kemerdekaan
Indonesia itu, membuatnya tegas dan keras menentang prilaku imperialisme
dan kolonialisme Belanda. Sepak terjangnya memperlihatkan karakteristik
radikal positif justru mengangkat martabat dan integritas
dirinya sebagai tokoh Islam (ulama) dan nasionalis yang kuat menentang
penjajah, lalu di pihak Belanda menarik perhatian dan amat
diperhitungkan sebagai tokoh Islam dan Nasional itu sekaligus dinyatakan
sebagai musuh bebuyutan, lalu dengan segala cara Belanda akhirnya dapat
menangkapnya dan dibuang bersama isterinya Tinur ke Bouven Digul (dulu
Irian Jaya, sekarang Papua) selama 10 tahun (1934 – 1944), ke Kali Bian
Wantaka, ke Australia, ke Kupang, Timor, ke Singapura, ke Sarawak
(Malaysia), ke Brunei Darussalam, ke Labuhan dll, sampai kembali ke
tanah air bersama isteri dan 6 orang anaknya tahun 1946.
Apa
yang melatari hidup Ilyas Ya’kub dan bagaimana perjuangannya lalu
bagaimana akhir kehidupannya sebagai seorang tokoh Islam dan Nasionalis
kuat di Indonesia, menarik untuk ditelusuri dalam kajian forum nadwah
ulama nusantara (Asean) ini.
Latar kehidupan Ilyas Ya’kub
Putra
ketiga dari empat bersaudara dari pasangan suami-isteri Haji Ya’kub –
Siti Hajir, Ilyas Ya’kub masa kecilnya belajar ilmu agama dengan
kakeknya Syeikh Abdurrahman. Masa itu Bayang (daerah kelahirannya) masih
merupakan sentra pendidikan Islam. Sebab sejak dahulu Bayang termasuk
basis pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera berpusat di surau tua
didirikan (awal 1666) oleh Syeikh Buyung Muda Puluikpuluik, salah
seorang dari 6 ulama pengembang Islam di Indonesia seangkatan Syeikh
Burhanuddin Ulakan Pariaman belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel di
Aceh. Sa’at berkobarnya Perang Pauh (mulai 28 April 1666) surau ini juga
menjadi basis perjuangan melawan Belanda.
Bayang
sejak lama menjadi basis konsentrasi perjuangan rakyat Sumatera Barat
melawan Belanda, tercatat perang Bayang berlangsung lebih satu abad
(mulai 7 Juni 1663, berakhir dengan Perjanjian Bayang 1771). Sejak itu
Bayang melahirkan banyak ulama besar dan pejuang kemerdekaan dan Islam
di pentas sejarah nasional, di antaranya Syeikh Muhammad Fatawi, Syeikh
Muhammad Jamil (tamatan Makkah 1876), Syeikh Muhammad Shamad (wafat di
Makkah tahun 1876), Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad
Fatawi (1864 – 1923) penulis buku taraghub il rahmatillah yang
oleh BJO Schrieke disebut sebagai kepustakaan pejuang abad ke-20 yang
penuh moral, juga Syeikh Abdurrahman (kakek Ilyas Ya’cub), Syeikh Abdul
Wahab (Inyiak Kacuang) dll.
Ayah
Ilyas Ya’kub seorang pedagang kain dan hidup di lingkungan ulama, cukup
memberi peluang dana dan motivasi bagi Ilyas Ya’kub untuk mengecap
pendidikan lebih baik. Pertama ia mendapat pendidikan di Gouvernements Inlandsche School.
Tamat sekolah ia bekerja sebagai juru tulis selama dua tahun (1917 –
1919) di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto Sijunjung. Ia
keluar dari perusahaan itu sebagai protes terhadap pimpinan perusahaan
asing yang imperialisme dan kolonialisme yang kasar terhadap kaum buruh
pribumi.
Sebagai
konvensasi Ilyas Ya’kub memperdalam ilmu agama Ilyas Ya’kub kemudian
belajar dengan Syekh Haji Abdul Wahab (Raichul Amar dalam Edwar, ed.
1981, baca juga skripsi Nirmawati, 1984). Gurunya (juga ayah dari
isterinya Tinur) ini melihat Ilyas Ya’kub berbakat, lalu dibawa
ke Mekah. Ketika berada di tanah suci itu, selesai menunaikan ibadah
haji, Ilyas berminat untuk menetap di sana guna memperdalam ilmu
agamanya. Tahun 1923 ia punya kesempatan ke Mesir. Di sana ia memasuki
sebuah universitas mulanya sebagai thalib mustami’ (mahasiswa pendengar).
Perjuangan Ilyas Ya’kub: Islam dan Kebangsaan
Sa’at di Mesir ini Haji Ilyas Ya’kub aktif dalam berbagai organisasi dan partai politik di antaranya Hizb al-Wathan
(partai tanah air) didirikan oleh Mustafa Kamal semakin membangkitkan
semangat anti penjajah. Ia pernah pula menjabat sebagai ketua Perkumpulan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia (PMIM) di Mesir. Selain itu ia juga fungsionaris wakil ketua organisasi sosial politik Jam’iyat al-Khairiyah dan ketua organisasi politik Difa` al-Wathan (Ketahanan Tanah Air).
Selain
gerakan politik yang amat peduli dengan nasib bangsanya terjajah
Belanda, Haji Ilyas Ya’kub di Mesir juga aktif menulis artikel dan
dipublikasi pada berbagai Surat Kabar Harian di Kairo. Bersama temannya
Muchtar Luthfi ia mendirikan dan memimpin Majalah Seruan Al-Azhar dan majalah Pilihan Timur.
Majalah Seruan Al-Azhar adalah majalah bulanan mahasiswa sedangkan
majalah Pilihan Timur adalah majalah politik. Kedua produk jusnalistik
ini banyak dibaca mahasiswa Indonesia – Malaysia di Mesir ketika itu.
Gerakan
Haji Ilyas Ya’kub dalam jurnalistik dan politik anti penjajah di Mesir,
tercium oleh Belanda ketika itu. Melalui perwakilannya di Mesir,
Belanda mencoba melunakkan sikap radikal Ilyas Ya’kub, tetapi gagal.
Sejak itu Belanda semakin mengaris merah Ilyas Ya’kub tidak saja sebagai
radikalis bahkan dicap sebagai ekstrimis dan musuhnya di Indonesia.
Ketika
masih dalam ancaman Belanda, tahun 1929 Haji Ilyas Ya’kub kembali dari
Mesir, memaksanya transit di Singapura kemudian nyasar berlabuh di
Jambi. Di tanah air, ia menemui teman-temannya di Jawa yang
bergerak dalam PNI dan PSI. Dari pengalaman dua partai temannya tadi
(PNI dan Partai Serikat Islam) Ilyas Ya’kub berfikir, bahwa jiwa yang
dimiliki kedua partai tersebut, yakni Islam dan kebangsaan
adalah penting dikombinasikan, dikonversi dan dikonsolidasikan kemudian
diwadahi dengan satu wadah yang refresentartif. Ternyata kemudian Haji
Ilyas Ya’kub sekembali dari kunjungan ini tahun 1930 men-set up idenya: Islam dan kebangsaan
dalam dua kegiatannya yakni bidang jurnalistik dan politik. Dalam
bidang jurnalistik diwadahi dengan penerbitan pers yakni Tabloid Medan Rakyat. Dalam bidang politik ia bersama temannya Mukhtar Luthfi mendirikan wadah baru bernama PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) dengan asas Islam dan kebangsaan. Tujuannya menegakan Islam dan memperkuat wawasan kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dengan dasar Islam dan kebangsaan ini, PERMI menjalankan sikap politik non kooperasi
dan tak kenal kompromi dengan bangsa apapun yang kental punya prilaku
imperialisme dan kolonialisme. Karena itu pula PERMI secara prinsipil
mencap bahwa kapitalisme dan imperalisme merupakan penyebab penderitaan
rakyat Indonesia.
PERMI
pada awal mula bernama PMI (Partai Muslimin Indonesia) didirikan Haji
Ilyas Ya’kub tahun 1930. PMI ini berbasis pada lembaga pendidikan Islam
Sumatera Thawalib dan Diniyah School. Ide dasarnya, pemberdayaan sekolah
agama dengan berbagai inovasi ke arah sistem modern, dimulai perbaikan
kurikulum, sistem penjenjangan program dan lama masa pendidikan, memberi
perlindungan kepada pelajar serta mengorganisasikan sekolah agama
sebagai basis perjuangan kemerdekaan dan sentra pencerdasan bangsa
dengan pengatahuan Islam dan kebangsaan. Beralasan kemudian PMI
berambisi menambah jumlah sekolah agama dengan mendirikan sekolah baru
dengan sistem modern, mulai dari tingkat pendidikan dasar (ibtidaiyah) sampai pendidikan tinggi (Al-Kulliyat).
Di antara pendidikan tinggi, di Alang Laweh, 12 Pebruari 1931 didirikan
perguruan tinggi dalam bentuk college Islam untuk diploma A dan diploma
B, bernama Al-Kulliyat Al-Islamiyah, diselenggarakan
intelektual jebolan Timur Tengah di antaranya Janan Thaib (sebagai
pimpinan), Syamsuddin Rasyid (onder director) dan Ilyas Ya’kub.
Mahasiswa awal diterima lulusan Sumatra Thawalib, Diniyah School,
Tarbiyah Islamiyah, AMS (Algemeene Middelbare School), Schakel School dan lulusan sekolah tingkat menengah lainnya.
Tahun
1932 PMI mengadakan konsolidasi. Partai ini menyadari perjuangan Islam
dan Kebangsaan perlu dikokohkan baik internal maupun eksternal.
Tantangan Masyarakat Islam Indonesia sebagai bagian dari Muslim Asean
yang ketika itu (sejak abad ke-16) disebut dengan istilah jawi, juga
berpeluang berfikir pengembangan Islam tidak terlepas dari politik
kekuasaan meskipun di wilayah konsentrasi Islam seperti di Indonesia,
Malaysia dan Brunei Darussalam, apalgi di wilayah minoritas Islam. Mari
belajar konflik minoritas muslin Moro (sejak abad ke-19) dengan
pemerintahan Filipina berbeda sedikit dengan Burma (Myanmar)
perkembangan muslin relative stabil sejak tahun 1930-han atau Singapura
tahun 1932 sudah mendirikan Jam’iyat (Pesekutuan) Seruan Islam, apakah
ini pengaruh Singapura pernah (tahun 1840) menjadi sentra pengembangan
Tarekat Naqsyabandi yang dikembangkan Syeikh Ismail Simabur
(Minangkabau) di kawasan Nusantara (Asean) menarik untuk diteliti
dianalisis sintesis dengan fenomena terakhir (sejak tahun 1957)
Muhammaddiyah telah pula berkembang di Singapura bersamaan dengan
gerakan dakwah didukung ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) di
Malaysia. Masih kurun itu (1932) kasus di belahan Nusantara (Asean)
juga, Thailand yang tidak pernah dijajah misalnya, agama Negara yang
diakui kekakuasaan raja secara resmi adalah Budha Trevada, namun kepada
masyarakat Islam yang dominant al-syafi’iyah diberikan kemerdekaan menghurus al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga) termasuk munakahat (perkawinan) terutama dalam bentuk NTCR (Nikah Talak-Cerai dan Rujuk) dilakukan kadhi
yang mendapat legalisasi pemerintahan raja (lihat juga Taufik Abdullah,
d., 2003:305-339). Angin segar dan peluang masyarakat muslim di
Nusanatara yakni Negara Asean yang satu ini tidak terlepas dari jaringan
pembaharuan Ahmad Wahab (dari Minangkabau) di Bangkok tahun 192-han dan
kawan-kawan seperti juga Syeikh Thaher Jalaluddin Al-Falaki (dari
Minangkabau) di Malaysia (Yulizal Yunus, 1982).
Konsolidasi
PMI merupakan bagian kesadaran bagi penguatan lembaga ke-Islam
menunjang visi Islam dan kebangsaan Indonesia. Konsolidasi dilakukan
dalam bentuk Kongres Besar bertempat di dekat daerah kelahiran Ilyas
Ya’kub yakni Koto Marapak (Bayang Pesisir Selatan) dihadiri oleh seluruh
pengurus cabang se Sumatera seperti dari Tapanuli Selatan, Bengkulu,
Palembang, Lampung dll. Di antara keputusan Kongres Besar, PMI dirubah
namanya menjadi PERMI yang dicap Belanda sebagai partai Islam radikal
revolusioner. Kantornya di gedung perguruan Islamic College, Alang
Lawas, Padang.
Kalau
tadi Ilyas Ya’kub tidak mengenal kompromi dengan komponen yang punya
watak imperialisme dan kolonialisme, dalam PERMI ia bisa kompromi dengan
Pertindonya Soekarno. Bentuk komprominya dalam bentuk koalisi
memperkuat perjuangan kebangsaan, yakni dimana telah ada berdiri cabang
Pertindo maka di sana tidak lagi perlu ada cabang PERMI dan sebaliknya.
Karena dianggap membahayakan pemerintahan, maka berdasarkan vergarder verbod Belanda mengeluarkan kebijakan exorbita terechten yang menyatakan PERMI terlarang dan diikuti tindakan
penangkapan terhadap tokoh-tokohnya. Haji Ilyas Ya’kub bersama dua
temannya Mukhtar Luthfi dan Janan Thaib ditangkap dan dipenjarakan.
Setelah 9 bulan di penjara Muaro Padang, ia diasingkan selama 10 tahun
(1934-1944) ke Bouven Digul Irian Jaya bersama para pejuang pergerakan
kemerdekaan Indonesia lainnya. Selama di Digul Haji Ilyas Ya’kub
didampingi isteri Tinur sering sakit-sakitan. Masa awal penjajahan
Jepang di Indonesia pun, para tahanan Digul semakin memprihatinkan,
mereka dipindahkan lagi ke daerah pedalaman Irian Jaya di Kali Bina
Wantaka kemudian diasingkan pula ke Australia[3]. Ia senantiasa dibujuk van der Plas dan van Mook (Belanda),
namun semangat nasionalis dan Islamnya tidak pernah pudar memotivasi
pembangkangannya dalam menentang penjajah dan menggerakkan terwujudnya
kemerdekaan Indonesia.
Oktober
1945 pemulangan para tahanan perang dari Australia ke Indonesia dengan
kapal Experence Bey Oktober, Haji Ilyas Ya’kub tidak diizinkan turun di
pelabuhan Tanjung Periuk, bahkan ia kembali ditahan dan diasingkan
bersama isteri selama 9 bulan berpindah-pindah di Kupang, Serawak,
Brunei Darussalam, kemudian ke Labuhan, Singapura (anaknya iqbal
meninggal di sana). Satu tahun Indonesia merdeka (1946) barulah habis
masa tahanan dan Haji Ilyas Ya’kub, ia kembali bergabung dengan kaum
republik sekembali dari Cerebon. Ia ikut bergrillya pada clas II
(1948) dan ikut membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia) yang kemudian dipimpin oleh Mr. Safruddin Prawiranegara. Ia
mendapat tugas menghimpun kekuatan politik (seluruh partai) di Sumatera
untuk melawan agresor Belanda. Tahun itu ia menjabat ketua DPR Sumatera
Tengah kemudian terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan
merangkap sebagai penasehat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan
agama.
Penutup: akhir hayat yang husn al-khatimah
Sebenarnya
banyak perjuangan Ilyas Ya’kub yang tidak tercatat secara syumul, mulai
sejak masa awal ia bekerja di Perusahaan Asing (Belanda) yakni Tambang
Batubara di Sawah Lunto, masa pendidikan di Mesir pasca Mekah (8 tahun), masa bergerak di PERMI diperkuat tabloid Medan Rakyat
serta hubungannya dengan tokoh politik, masa konsolidasi ideologi
gerakan Islam dan Kebangsaan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang
beresiko tinggi pada dirinya masuk penjara keluar penjara penjajah dari
satu daerah pengasingan ke daerah pengasingan lainnya di dalam/ luar
negeri (13 tahun), sampai ia mengabdi kepada Republik bekerja di badan
legislatif. Namun ia telah memenuhi ajakan ‘isy karima wa mut syahida (hidup
sebagai orang mulia dan wafat meninggalkan jasa) adalah jasa kepada
Islam dan kebangsaan, turut memperjuangkan kemerdekaan Republik
Indonesia.
Di
akhir hayat yang husn al-khatimah itu Ilyas Ya’kub menghembuskan nafas
terakhir Sabtu, 2 Agustus 1958 jam 18.00 wib, ia meninggalkan 11 orang
anak, antara lain putranya Anis Sayadi, Fauzi (satu di antaranya yang
menulis riwayat hidup singkat tokoh ini) dll. Kesaksian kebesaran
perjuangannya dikukuhkan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan RI dengan
SK Mensos No. Pol-61/PK/1968, 16 Desember 1968, mendapat piagam
penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sejak 17
Agustus 1975. Kepahlawanannya dikukuhkan kembali dengan Keputusan
Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999
serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana
atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman
kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI di samping
memperjuang Partai dan Pendidikan Islam. Kebesarannya dihargai Negara
dan oleh Pemerintahan Kabupaten setiap bulan diberikan bantuan
kesejahteraan sejumlah uang tunai kepada keluarga pahlawan nasional ini
ditetapkan dengan SK-Bupati Nomor 400-134/BPT-PS/2005 tanggal 2 Januari
2005.
Kepahlawanan
Ilyas Ya’kub juga diabadikan dengan pemberian namanya kepada gedung
olahraga dan jalan serta dibangun sebuah patung di perapatan jalan di
gerbang kota Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Indonesia).
Makamnya di depan mesjid raya Al-Munawarah Koto Barapak, Bayang, Pesisir
Selatan, Sumatera Barat juga menjadi saksi bisu kebesarannya dalam
Islam dan Kebangsaan. ***Yulizal Yunus
Referensi
Abdul Munaf Al-Amin, Imam Maulana,
tt. Muballigh Al-Islam. Padang: PP Batangkabung.
Mardanas Safwan, dkk., ed.,
1997 Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
Edwar, ed.,
1981 Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat
Mestika Zed, Dr., ed
2002 Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Sumatera Barat. Padang: IAIN-IB Press – Angkasa – ICSB.
Nirmawati,
1984 Tinjauan tentang Sejarah Perjuangan Haji Ilyas Ya’kub (skripsi). Padang: Fakultas Adab IAIN-IB.
Schrieke, BJO., terj.,
1973 Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara.
Taufik Abdullah, ed.,
2003 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini. Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve.
Yulizal, Yunus,
1999 Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press.
___________,
2000 Pulau Cingkuk Saksi Perjuangan Anak Pesisir. Padang: IAIN-IB Press.
__________,
2001 Bayang ke Arah Sarambi Makkah, Jadi Sentra Pendidikan Islam di Pesisir Selatan (makalah seminar). Bayang: Panitia Seminar Identitas Bayang Serambi Makah.
___________,
2003 Islam Masuk dan Berkembang di Pantai Barat Sumatera, Fenomena Gerbang Selatan Sumatera Barat (makalah). Padang: Pusat Pengkajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
____________,
2003 Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari hingga Semangat Malayu Dunia. Padang: Pemkab. Pesisir Selatan – IAIN IB Press.
[1]Yulizal Yunus Datuk Rajo Bagindo,
Dekan Fakultas Ilmu Budaya- Adab (FIB-A) IAIN Imam Bonjol Padang, Ketua
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Balaiselasa, Pesisir Selatan, Tim
Ahli Pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Indonesia
bidang kebudayaan. Makalah dipresentasikan-dibentangkan pada Nadwah
Ulama Nusantara (Asean) di Malaysia, 2006.
[2]Memadukan
Islam dengan semangat kebangsaan yang dirintis ulama dan politikus ini
merupakan mata rantai pembaharuan pemikiran Islam dan nasionalisme di
Indonesia. Masa orde baru di Indonesia tejadi gelombang pembaharuan
pemikiran Islam. Fenomena Islam diIndonesia ini merupakan kesadaran baru
dan new genius dari tokoh Islam di Indonesia dalam memberikan respon
terhadap kebijakan orde baru dan bangkit dari keterlenaan dengan
romantisme partai Islam masa tahun 1950-han. Robert W.Hefner (baca
Taufik Abdullah,ed., 2003:345) masa orde baru itu ruang gerak politik
umat Islam diperkecil, tanpa disadari mendorong mereka lebih banyak
berkifrah dalam bidang keagamaan dan kebudayaan.
[3]Kesulitan
dan kerumitan yang dialami kehidupan Ilyas Ya,kub dalam pengasingan
mengundang keprihatinan dalam bersikap permisif terhadap berbagai
tekanan. Apalagi dalam pengasingan ke Australia yang belum dalam pengaruh Islam
secara luas seperti di Malaysia, Brunei dan Singapura. Australia tidak
seperti dalam era AFIC (Australian Federation of Islamic Council)
sekarang yang menjadi juru bicara penderitaan muslim di
depan publik. Memang Islam telah datang ke tanah kangguru ini dibawa
migrasi muslim Turki, Mesir dan negara Timteng lainnya pasca perang
dunia I, tetapi pembelaan kepentingan Islam belum ada.
Posting Komentar