Oleh: Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
![]() |
Emran Djamal (no 2 dari kiri), Yulizal Yunus (no. 2 dari kanan) |
Cadiak pandai mempunyai fungsi meneliti kebijakan pelaksanaan ABS –
SBK. Kebijakan itu dalam masyarakat adat Minangkabau adalah fatwa ulama, yang
pelaksanaannya diperintahkan oleh ninik mamak. Kalau cadiak pandai tidak
meneliti pelaksanaan kebijakan publik (fatwa) itu, masihkah tuduhan bahwa
“syara’ dan adat tidak kuat” lagi, hanya dibebankan sebagai kesalahan ninik
mamak dan ulama saja?. Justru cadiak pandai jadinya yang tidak berperan. Suatu
hal yang istimewa di Minangkabau ada tiga tokoh kunci yang paling bertanggung
jawab melaksanakan syara’ dan adat, konsesus dan filosofi ABS – SBK itu adalah
funsionaris tungku tigo sajarang dan tali tigo sapilin, ialah ulama, ninik
mamak dan cadiak pandai. Ketiganya melakukan sharing fungsi dalam pelaksanaan
terpadu agama dan adat: fatwa pada ulama, perintah pada ninik mamak dan teliti
pada cadiak pandai.
1.
Pendahuluan
Masyarakat
subkultur Minangkabau dari perspektif adatnya secara kategoris hanya tiga
kelompok sosial saja. Pertama kelompok masyarakat agama, kedua
kelompok masyarakat adat dan ketiga kaum cadiak pandai (intelektual).
Ketiga kelompok ini masing-masing dipimpin oleh tiga tuanku fungsionaris adat yang
merupakan tokoh kunci pelaksanaan consesus (janji) dan filosofi masyarakat
yakni ABS – SBK. Tiga fungsionaris adat itu ialah: (1) alim ulama, (2) ninik mamak dan (3) cadiak pandai. Ketiganya
itu mempunyai sharing tupoksi, yakni “fatwa” pada ulama, “perintah” pada ninik
mamak dan “teliti” pado cadiak pandai.
Ketiga
fungsionaris adat yakni tuanku alim ulama, tuanku ninik mamak dan tuanku cadiak
pandai itu, mempunyai sharing peran. Artinya peran mereka bukan berjalan
sendiri-sendiri tetapi saling menguatkan dalam pelaksanaan adat berdasarkan
syara’ (Islam). Kekuatan integral mereka itu, mengkristal pada sistem kelembagaan “tungku
tigo sajarangan” (alim ulama, ninik mamak dan cadiak pandai). Sistem
kelembagaan ini diikat kuat pula dengan sistem dasar yakni “tali tigo sapilin”
yakni: (1) tali agama dipegang ulama (anggo tanggo), (2) tali adat dipegang
ninik mamak (alua jo patuik) dan (3) tali undang (negara – raso jo pareso)
dipegang cadiak pandai.
Fungsionaris
pemimpin di Minangkabau
tadi
menurut Taufik Dt. Mangkuto Rajo (dalam YY Dt. Rajo Bagindo, 2002) memakai
sistem keseimbangan
kelembagaan tungku
tigo sajarangan dan
sistem dasar pengikat
tali tigo sapilin, membuhul simpul agama (syara’),
nagari (hukum adat) dan negara (undang). Mereka, yang dipercayai mengatur fungsi
kelembagaan tungku
tigo sajarangan dan
mendayafungsikan dasar kuat tali tigo sapilin itu dalam menjalankan ABS – SBK,
dengan komitmen SM – AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai) dan ATJG (Alam
Takambang Jadi Guru).
2. Posisi Cadiak Pandai
sebagai Tokoh Kunci Minangkabau
Tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin (TTS-TTS), merupakan sistim kelembagaan dan sistem
dasar kepemimpinan adat Minangkabau dan sistem sandi adat yang terkonsolidatif sebagai sistem idiil kepemimpinan adat Minangkabau itu. Sistem menejerial Minangkbau ini sangat operasional dan implementatif dalam mengawal
pewarisan dan pelakanaan adat basandi syara’.
Tungku tigo
sajarangan secara alamiah adalah sistem keseimbangan bagi orang Minangkabau. Dulu dalam keluarga Minangkabau, tiga tungku ini
digunakan sebagai sistem pengapian dengan pesilangan kayu, di atas tiga tungku
itu ditempatkan alat memasak nasi (periuk – belanga). Tiga tungku orang Minangkabau
itu membentuk kesimbangan, karenanya tidak ada tungku itu yang empat. Meski sekarang dengan teknologi memasak yang canggih, tungku dipasang
empat persegi, tapi tidak lagi bernama tungku tetapi sudah dengan nama
baru yakni kompor gas. Fungsi berbeda, sistem
pengapian dalam kompor gas terpisah yakni gs ada satu sisi dan standar yang
empat persegi atau bundar pada sisi lain menempati periuk belanga (kuali)
memasak. Sedangkan tungku tigo sajarangan yang seimbang tidak terpisah dengan sistem
pengapian dari persilangan kayu yang menghasilan panas api yang kuat.
Demikian tali
tiga sepilin dalam pengalaman orang Minangkabau, talinya amat kuat. Artinya tali dipilin tiga itu, kuat. Cobalah pilin tali empat, banding dengan tali
yang dipilin tiga, lalu coba tarik, maka lebih kuat tali tiga sepilin. Karena itu dalam kehidupan
orang Minangkabau, tali tiga sepilin dijadikan simbol pengikat yang kuat. Sedangkan tungku tigo sajarangan merupakan simbol sandi adat yang seimbang dan kokoh dalam
kehidupan Minangkabau. Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin itu
menunjukkan tiga sumber nilai: (1) Tuanku alim ulama beridiri pada sistim dasar
hukum “anggo tanggo” (anggaran dasar), berpegang dengan tali “syara’ “ yang
disandi “kitabullah” (buhul agama), (2) tuanku ninik mamak berdiri pada sistem
dasar hukum adat “alua jo patuik”, berpegang dengan tali “adat” (buhul nagari),
dan (3) cadiak pandai berdiri pada sistim dasar undang dalam menghukum “raso jo
pareso/ perasaan dan periksa" berpegang dengan tali undang (buhul negara).
Artinya, tungku sebagai sandi yang kokoh dan tali sebagai
pengikat yang kuat itu secara operasional di Minangkabau dalam melaksanakan
syara’, dipandu petunjuk, pertama anggo tanggo fungsinya ibarat organisasi merupakan anggaran
dasar/ anggaran rumah tangga (hukum syara’ – agama), kedua alua jo patuik berfungsi sebagai undang (adat), ketiga raso – pareso (rasa – periksa) berfungsi sebagai
hukum (undang negara). Sumber tata laksana undang dan hukum pada tiga sisi: (1)
pedoman hukum dasar agama, tali syara’ (anggo tanggo), (2) undang, tali
adat (aluo jo patuik) dan (3) hukum, tali undang negara (raso jo
pareso), normnya terdapat dalam pepatatah (pepatah) orang tua Minangkabau sbb.:
Badasar ka anggo tanggo
Baundang ka alua jo patuik
Bahukum ka raso jo pareso
Raso Tumbuah di dado
Pareso tumbuah di kapalo
Sistem nilai inilah yang memperkuat sistem
tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin. Fungsionarisnya tigo tuanku yakni
alim ulama, ninik mamak dan cadiak pandai. Dasar anggo tanggo tempat
pijakan alim ulama dan pegangannya tali syara’. Undang alua jo patuik
tempat pijakan ninik mamak dengan berpegang tali adat (hukum adat). Hukum raso
jo pareso tempat pijakan cadiak pandai berpegang dengan tali undang
(negara).
Dari
pendistribusian tupoksi (ganggam bauntuak/ pegang bamasing) tuanku tadi,
dapat dipastikan posisi cadiak pandai penting, dalam mewariskan, melaksanakan
dan menyelesaikan masalah adat dilakukan dengan raso jo pareso (rasa/
perasaan dan periksa/ rasional). Posisi ini sesuai dengan fungsinya seperti
dalam normnya: teliti pado cadiak pandai (meneliti menjadi tugas cadiak
pandai).
3.
Fungsi dan Peranan Cadiak Pandai
Tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) ketiga fungsionaris adat itu mengesan sharing tugas
pokok dan fungsi. Pertama alim ulama berfungsi mengeluarkan fatwa,
sebagai bagian inti/ materi kebijakan mengenai pewarisan, pelaksanaan dan
pemecahan masalah syara’ dan adat. Kedua, ninik mamak berfungsi
memerintahkan (kepada anak kemanakan) untuk melaksanakan fatwa ulama itu, yakni
semacam menatalaksanakan isi kebijakan mengenai pewarisan, pelaksanaan dan
pemecahan masalah syara’ dan adat. Ketiga, cadiak pandai berfungsi meneliti
(memeriksa) apakah fatwa sebagai kebijakan mengenai pewarisan, pelaksanaan dan
pemecahan masalah syara’ dan adat yang sudah dilaksanakan anak kamanakan
(masyarkat adat) itu, menguntungkan atau merugikan masyarakat (anak kamanakan).
Tegasnya,
tupoksi ketiga fungsionaris tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin itu
diamanatkan dalam petata: fatwa pada ulama, parentah pada ninik mamak dan
teliti pada cadiak pandai. Dalam pelaksanaan tupoksi itu didistribusikan
dalam norm yang mendasari dan menjadi pegangan sistem tungku tigo sajarangan
dan tali tigo sapilin itu yakni (1) anggo tanggo, (2) alua jo patuik, (3). Raso
jo pareso. Khusus norm yang ketiga ini, menjadi tempat pijakan cadiak pandai
dalam memfasilitasi hukum. Karenanya cadiak pandai dalam menghukum (bahukum
ka raso jo pareso) berpegang kepada tali undang (negara) dan berpijak pada raso
jo pareso. Untuk mendapatkan kualitas raso jo pareso itu, dilakukan
dengan cara meneliti (taliti pado cadiak pandai).
4.
Cadiak Pandai dan Peran Aparat Penegak Hukum
Cadiak pandai dalam
kehidupan Minangkabau berperan sebagai penyidik/ pemeriksa. Dalam norm adat
tadi disebut bahukum ka raso jo pareso (menjatuhkan sanksi hukum berdasarkan raso jo pareso
(pertimbangan perasaan dengan periksa/ penyidikan secara rasional). Justru
perasaan dan periksa/ rasional dibuat seimbang.
“Raso dibao naik, pareso di bao turun”, artinya perasaan
di dada/ hati sanubari dibawa naik, periksa/ rasional di kepala dibawa turun,
sehingga terjadi bertemua pada gelombang
yang sama dan keseimbangan antara perasaan dengan periksa/ rasional (pikiran), yang
di dalam mengadili perasaan dengan periksa/ rasional bertemu pada satu titik
“adil”.
Justru perasaan dan periksa sudah bertemua pada
gelombang yang sama, sehingga nadanya yang keluar murni, seimbang dan adil. Artinya
dalam tatanan adat raso pareso ini
didayagunakan untuk pengambilan keputusan hukum. Karena itu raso jo pareso
berfungsi sebagai norm dalam menjatuhkan hukum dalam kehidupan Minangkabau.
Kalau fungsi
cadiak pandai tegak di pintu teliti/ penyidik/ periksa, maka pemegang pilar hukum dengan raso pareso ini ialah tuanku ke- 3
yakni cadiak pandai.
Karenanya, kalau
seseorang menyebutkan sistem kepemimpinan
Minangkabau, maka fikiran akan tertuju kepada sistem tungku tigo sajarangan
dan tali tigo sapilin. Kepemimpinan Minangkabau dalam sistem tungku tigo
sajarangan itu merupakan kepemimpinan
yang mens (ny)inergikan tiga
kekuatan tiga tuanku yakni mereka yang berada dalam tiga lembaga (1) lembaga ninik mamak, (2) lembaga alim ulama
dan (3) lembaga cadiak pandai.
Trio tuanku itu seperti tripartit, ialah tiga unsur yang menjadi
kekuatan dalam sistem kepemimpinan adat Minangkabau. Ibarat 3 tunku, di atasnya
diletakkan pariuak untuk memasak nasi, periuk akan kokoh terjarang dan
seimbang. Di bawah tungku itu ditempatkan kayu api dengan sistem penempatannya
dipersilangkan. Karena dengan dipersilangkan itu, akan memberi ruang api
menyala (hidup dengan baik), dan api terus membakar periuk nasi di atas tungku
itu. Sistem ini merupakan simbol, tiga tunku, dapat membuat keseimbangan dalam
memecahkan masalah dan sengeketa adat, yang pada gilirannya dengan memberikan
solusi untuk ditawarkan kepada anak kemanakan untuk menghadapi berbagai
persoalan kaum suku di rumah gadang dan atau di kampung dan atau di nagari.
Pada suatu musyawarah
untuk pemecahan masalah itu, bisa saja a lot (panas) karena bersilang pendapat serta
saran dan usul. Persilangan itu diibaratkan
seperti bersilang kayu dalam tungku menghasilkan energi api dan panas, tetapi di situ pula
intensitas pemecahan masalah menjadi kuat untuk mendapatkan solusi. Nilai
persilangan pendapat ini terungkap dalam petatah sbb:
Basilang
kayu dalam tungku
Di
situ api makonyo hiduik
Hasil musyawarah yang dirumuskan dari persilangan pendapat yang didistribusikan kepada seluruh peserta
musyawarah, akhirnya dibulat kata mufakat dengan
keputusan secara bulat. Bulatnya sudah bisa digolongkan. Karena kekuatan musyawarah mufakat di Minangkabau,
impctnya masyarakat menjadi ortimis.
Tidak ada masalah (kusut) yang tidak selesai, tidak ada keruh yang tak akan
jernih. Nilai optimisme ini, tercermin dalam pepatah:
Tak ada kusuik nan tak ka salasai
Tak ada keruh nan tak ka janiah
Karena kuatnya etos musyawarah dan optimisnya
orang Minang, ditambah pula karena penyelesaian masalah itu bertingkat “bajanjang
naik, batanggo turun” dalam struktur 5 tingkatan limbago adat: (1) keluarga,
(2) paruik, (3) kaum, (4) suku/ kampung dan (5) nagari, maka di Minang tidak
ada akar budaya demo. Gugatan atas kebijakan ada jenjang 5 limbago adat. Tak
selesai di tingkat bawah (limbago keluarga), naik ke limbago paruik, tak
selesai naik ke limbago kaum/ jurai, tak selesai naik perkara ke limbago suku/
kampung, tak juga selesai perkara naik ke limbago nagari (KAN). Sudah lima
tingkat pasti selesai, kalau ada niat menyelesaikan secara musyawarah mufakat.
Kebulatan
pendapat hasil musyawarah, mufakat adalah hasil kebulatan pendapat, dengan cara
perkataan dan argumen dipalegakan (diputar) sesuai dengan alur dan
struktur anggota kerapatan. Bulatnya sudah bisa digolongkan. Karenanya kata
musyawarah mufakat disebut kata bertuah
di Minangkabau.
Justru proses
pengambil keputusannya tidak ada tekanan dari suara terbanyak kepada suara yang
kecil seperti demeokrasi barat. Demokrasi Barat, ada tekanan dalam pengambilan
keputusan. Tak ada kebulatan. Mungkin bulat karena suara banyak, tetapi bulek
basandiang. Suara banyak menekan suara yang kecil. Tak puas yang kecil
mencari dukungan, suara kecil memblunder menjadi banyak pula dan menekan pula
suara yang dulunya banyak. Saling menjatuhkan. Demokrasi barat seperti konsep
pareman yang dibungkus konsep akademik. Indah dan cerdas kedengarannya, tetapi buruk
ujunganya. Kebulatan musyawarah mufakat bulatnya tidak basandiang
dan ujungnya damai. Karena bulek bisa
digolongkan di labuah nan panjang, bisa disorakkan di pasa nan rami. Kebulatan
musyawarah mufakat ini dilukiskan dalam petitih adat sbb:
Bulek
kato dek mufakat
Bulek
lah buliah digolongkan
Pipiah
lah buliah dilayangkan
Kato
batuah kato mufakatya
(kata
yang bulat itu adalah hasil mufakat
Bulatnya
sudah boleh digulirkan
Tipis
seperti lembing sudah boleh dilemparkan
Kata
bertuah itu adalah kata hasil musyawarah mufakat)
Kata
bertuah ini yang diputuskan dalam musyawrah mufakat adat oleh tiga tuanku:
ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai fungsionaris pemegang nilai tali tigo
sapilin/ tungku tigo sajarangan. Kata bertuah ini dijalankan. Mulanya
difatwakan oleh ulama, diperintahkan kepada anak kamanakan (masyarakat) untuk
dijalankan, kemudian diteliti validitas pelaksanaannya oleh cadiak pandai.
Karenanya tiga fungsionaris pemegang tali tigo sapilin ini menjadi simbol
pengikat yang kuat dalam menjalankan keputusan adat dan syara’ yang dibulatkan
dalam musyawarah mufakat. Semua keputusan diikat kuat oleh komitmen
(kesepakatan) bersama yang diambil secara musyawarah mufakat dalam memelihara,
membina anak dan kemanakan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
5.
Cadiak Pandai dalam Bebagai Posisi dan Fungsi
Cadiak pandai satu di antara fungsionaris
dari unsur tigo tali sapilin. Sesuai dengan sifatnya cerdik dan pandai,
maka unsur ini merupakan kaum intelektual dan terpelajar. Mereka memimilik
kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Orang cadiak pandai ini, boleh saja berada
pada banyak posisi dan fungsi seperti juga dalam berbagai aktor pegawai negeri (administratif,
edukatif/ dosen/ guru), peneliti, hakim, jaksa, polisi, tentara, politisi,
legislatif, eksekutif (pengusaha), tokoh NGO (Non Goverment
Organization) atau LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) dsb. Sungguh pun demikian di Minangkabau semua
mereka itu juga ninik mamak.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia cerdik pandai artinya kumpulan orang
pandai-pandai atau disebut cerdik cendikia. Artinya pada cadiak pandai ada dua sifiat yang melekat, pertama
cerdas dan kedua pandai. Cerdas tidak sama dengan pintar. Orang “cerdik” ialah orang yang cerdas memiliki sifat cepat mengerti dan paham nilai dan menilai sesusai situasi dan kondisi, karena kaya
pengetahuan. Orang cerdik (cerdas) lebih dari pintar yang memiliki banyak ilmu.
Orang berilmu pastilah pintar tetapi belum tentu cerdas (cerdik).
Orang pintar
ialah banyak ilmu, sedang orang cerdas ialah kaya pengetahuan. Kata orang arif,
tanpa ilmu orang masih bisa hidup, meski hidupnya sepi, gelap dan sempit, karena
ilmu bagaikan teman, bagai cahaya, bagai laut yang luas, namun tanpa
pengetahuan orang mati. Misalnya pakar buaya yang punya banyak ilmu tentang
buaya, tetapi tak punya pengetahuan tentang sebuah lubuk yang airnya jernih mempunyai
buaya, lalu mandi dan keenakan tanpa diketahuinya ia diintai buaya, ditangkapnya
dan mati.
Di sisi lain
ada pula sifat orang pandai. Orang pandai adalah mampu, tangguh dan ulet.
Ia piawai mencari kiat dalam pemecahan masalah. Ia pandai (terampil) dalam segala hal. Pandai meniti
buih, pandai menimbang, menimbang di atas yang ada.
Karenanya kedudukan kaum cerdik pandai di Minangkabau adalah penting. Mereka orang yang dapat mempergunakan ilmu
pengetahuan dan kepiawaian memenuhi kepentingan hidup dan memperjuangkan hajat orang banyak (anak kamanakan). Karena kemampuannya dan kecerdikannya dalam
kehidupan di masyarakat, maka ia diangkat jadi cerdik pandai. Kepemimpinan
seorang cerdik pandai itu daikui masyarakat dan
bersama-sama dengan penghulu dan alim ulama yang menjadi pemimpin dalam nagari akan tegak keadilan seiring penegakan hukum.
Kecuali Datuk dan atau penghulu (andiko dan penghulu nagari) dipilih oleh limbago adat bersifat turun temurun, tetapi cadiak pandai adalah pengakuan.
Cadiak pandai sebagai lelaki Minang seperti tadi
disebut mereka juga di kampungnya mempunyai kedudukan mamak diposisikan sebagai
cadiak pandai. Karenanya antara cadiak pandai dan ninik mamak tidak bisa
dipisahkan. Penghulu juga bisa sekaligus berfungsi cadiak
pandai dan mulutnya asin (katanya didengar), sebagai status tambahan dan
alamiah, syaratnya bila pandai bergaul dengan orang banyak. Dalam nilai adat
diisyaratkan:
Alah bauriah bak sipasan
kok bakiek alah bajajak
muluik panghulu nak nyo masin
pandai bagaua jo rang banyak.
Cadiak pandai
punya malu, bila ninik mamak dan ulama dalam kaumnya tidak bersih dan
berwibawa. Mereka semalu. Aib bagi
cadiak pandai tidak menghormati ninik mamak dan ulama, apalagi mengejek “menyebut
ninik mamak tak berperan”, karena sama dengan mengejek didirinya sendiri
sebagai lelaki Minangkabau yang juga berfungsi ninik mamak di kampungnya. Justru
ketika cadiak pandai mengejek mamaknya menyebut tak berperan, ketika itu pula
ia kehilangan identitas sebagai lelaki Minangkabau dan berarti pula mengatakan
dirinya tidak sebagai orang Minangkabau.
Karena itu antara ninik mamak dan cadiak pandai di Minangkabau tidak boleh
saling menempatkan dirinya paling hebat, kalau hebat, hebat bersama dan dapat sharing peran.
Cadiak pandai sebagai unsur tungku ketiga adalah memegang raso
jo pareso yakni norma hukum dalam kehidupan masyarakat adat Minangkabau. Karena itu pula cadiak pandai
punya sifat teliti/ periksa (tali undang), ninik mamak memerintah (tali adat),
memerintahkan fatwa alim ulama (tali syarak) mengenai pewarisan dan memecahkan
masalah dalam pelaksanaan syarak mangato adat mamakai.
Dalam limbago
adat kaum dan suku, cadik pandai bisa pada posisi “manti”. Manti boleh jadi kata jadian dari menteri. Dalam adat kedudukannya sebagai perangkat penghulu punya
tupoksi (tugas pokok dan fungsi) menyelesaikan segala persoalan dan silang
sengketa kaum dan sengketa adat dengan hukum “raso jo pareso”. Kareanya ia tegak di pintu “susah” dalam bidang pemerintahan adat, mengawal pelaksanaan adat nan-4 dalam limbago paruik, kaum dan suku, yakni adat nan sabana adat, adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat. Sungguh pun tidak mudah menyelesaikan sengketa
adat, bagi manti tetap optimis : tak ada kusuik nan tak ka salasai / tak ado karuah nan tak ka kajanih (tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan/ dan tidak
ada pula keruh yang tidak dapat dijernihkan).
Justru mati
baik sebagai cadiak pandai memegang tali undang, maupun sebagai urang nan-4
jinih, dengan kekayaan pengetahuannya ia cerdas dan pandai. Ia lubuk aka
tepian budi, aka tak tatumbuak, budi tak kan tajua. Ia pintar dengan ilmu,
pikirannya mengalir seperti bahasanya lancar. Katanya saling berhubungan.
Pandai menyambung kata, piawai mengulas yang pendek dengan arif bijaksana.
Sifatnya ini tercermin dalam pepatah:
Kato manti kato bahubuang,
kato dubalang kato mandareh
Jauhari pandai manyambuang
nan singkek buliah diuleh.
Pantangan urang nan-4 jinih yang cadiak pandai ada di
dalamnya, nagari tak elok di tangannya, ibarat “emas menjadi loyang/ tembaga karena “sapua
mangulang”, seperti tersirat dalam pepatah sbb.:
Elok nagari dek panghulu
sapakaik manti jo dubalang
kalau indak pandai
mamacik hulu
alamaik sapuah kamanggulang.
6.
Revitalisasi Nilai Adat dan Penguatan Peran
Cadiak Pandai
Nilai menjadi acuan dalam berperan. Kalau dulu nilai vital
dan peran cadiak pandai kuat, dan sekarang tidak, maka nilai perlu
direevitalisasi dan peran perlu diperkuat. Peran dalam perspektif sosialogis
ditandai dengan (aktif) beraktivitas, kedudukan dipandang penting, dan
mempunyai kharisma bicara didengar dan dalam bersikap disegani.
Di antara nilai yang perlu direvitalisasi dan peran yang
perlu diperkuat, (1) mempertahankan integritas dan revival (keberlanjutan) limbago
adat, (2) melestarikan adat, (3) penguatan sumberdaya pemangku dan masyarakat
adat, (4) mengembangkan prilaku yang baik dan iklim budaya yang sehat.
a.
Nilai dan Peran Mempertahankan Integritas dan
Keberlanjutan Limbago Adat
Minangkabau kaya dengan nilai mengatasi konflik dan
perpecahan. Karenanya orang Minangkabau tak takut konflik, malah konflik
dipelihara dan dimenej. “Basilang kayu dalam tungku di situ mako iduik”.
Justru konflik itu dijadikan energi karena diyakini sebagai sunnatullah. Karena
apa saja di alam ini tak ada yang ada di alam ini tak ada yang tak bersentuhan
apalagi masyarakat yang antara satu kelompok/ suku saling berhubungan.
Justru orang Minangkabau kaya dengan filsafat alam, arif
membaca tanda-tanda alam di samping membaca sumber adat yakni syara’ (agama
islam). Kearifannya itu melahirkan sifat bijaksana, yang cadiak pandai dalam
memegang tali undang terasa benar mengemban nilai “raso jo pareso”.
Sehingga dalam mensosialisasikan undang, santun dan mengikat persatuan,
terintegrasi bagaikan “santan jo tangguli”. Nilainya dalam pepatah: Anjalai
pamaga koto/ tumbuah sarumpun jo ligundi/ kalau pandai bakato kato/ umpamo
santan jo tangguli.
Dalam memegang tali undang dalam menghukum, cadik pandai
piawai dan budi tak pernah terjual, sehingga yang liar pun menjadi jinak dan
merapat/ malakok (musuh menjadi kawan). Nilainya dalam pepatah: Elok
sairiang jo juru mudi/ elok saiyo jo sakato/ kok pandai bamain budi/ nan
lia jinak malakok. Tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, yang
bertikai dan pecah kelompok akan menjadi satu. Nilai adatnya untuk berperan: Aia
janiah sayaknyo landai/ jalan rayo titian batu/ kalau barundiang cadiak jo nan
pandai/ nan duo manjadi satu. Karena dengan kearifannya cadik pandai piawai
memakai kawan, kalau tak berguna penanti guna (kok tak guno penanti guno).
Nilai adatnya dalam berperan pemersatu:
Cadiak jan bambuang kawan
gapuak nan usah mambuang lamak
tukang nan tidak mambuang kayu.
Gadang usah malendo
panjang usah malindih
cadiak usah manjua
laweh usaha manyaok.
Dibukak buhua deta datuak
disamek kain saluak timbo
tak mambuang lama dek gapuak
dek pandai alam santoso.
Pantangan cadiak pandai tak kuat berperan. Mereka harus
bisa membawa kapal adat, tidak tenggelam di tengah derasnya pengaruh global
ibarat kandas di atas daratan. Nilai adat dalam pepatah: Elok tapian dek nan
mudo/ manjadi tuah pandapatan/ kalau indak pandai jadi nakodo/ alamaik
kapa karam di daratan.
b.
Nilai dan Peran dalam Pelestarian Adat
Cadiak pandai mempunyai fungsinya “teliti/ periksa” menjaga
adat jangan binasa. Hasil penelitian/ pemeriksaannya itu disampaikan ke ninik
mamak dan ulama serta dikoordinasikan. Tidak membicarakannya begitu saja yang
tidak pada forumnya apalagi berbicara di lapau. Niat baik dan iktikadnya yang
benar “menjaga adat jangan binasa”, didasari iman yang kuat. Berkata yang benar
sebagai pancaran iman dari dalam yang benar. Isyarat nilai untuk berperan: alang
tukang binaso kayu/ alang cadiak binaso adat/
alang arih binaso tubuah/ adat baaluah jo bapatuik/ makanan banang siku-siku/ kato nan
bana tak baturuik/ ingiran bathin nan baliku.
Untuk berperan lebih kuat cadiak dipergunakan optimal.
Kalau tidak mengguanakan cadiak binasa adat. Alang tukang binaso kayu/ alang
cadiak binaso adat/ alang alim rusak ugamo/ alang pandai rusak nagari.
c.
Nilai dan peran penguatan sumberdaya pemangku
dan masyarakat adat
Nilai-nilai lain yang perlu direvitalisasi bagi penguatan
peran cadiak pandai dalam penguatan sumberdaya pemangku dan masyarakat adat, di
antaranya:
1)
Berguru untuk berkepandaian,
nilainya:
a)
Tak memadai kepandaian
sebatang rokok
Baulemu kapalang aja
bakapandaian sabatang rokok.
b)
Berguru dengan orang banyak
Alah bauriah bak sipasan
kok bakiek alah bajajak
muluik panghulu nak nyo masin
pandai bagaua jo rang banyak.
c)
Tinggikan ilmu naikan budi
Anjalai tumbuah dimunggu
sugi sugi dirumpun padi.
Supayo pandai rajin baguru
supayo tinggi naikan budi.
Ombak barayun manuju pantai
riak nyato manuju tapi
Indak guno jadi rang pandai
kalau baulemu indak babudi.
Hiduik batungkek batang bodi
mati bapuntiang ditanah
sirah
Jikok pandai bamain
budi
dalam aia badan ndak basah.
d)
Pandi tahu paham ukuran:
Pandai karano batanyo
tahu karano baguru
Kito nan bukan cadiak pandai
hanyo manjawek pituah dari guru
Pituah guru nan dipakai
nak jadi paham jo ukuran.
Partamo lareh nan tinggi
kaduo lareh nan bunta
kalau tak pandai kito mambimbiang
indak katantu sah jo bata.
2)
Manganjung dan Menggunakan Semua Potensi Sumber
Daya Manusia
a)
Menganjung tinggi, yang tua
dimuliakan yang kecil disantuni:
Jikok panghulu bakamanakan
maanjuang maninggikan
Pandai nan usah dilagakkan
manjadi takabua kasudahannyo.
Barakyat dulu mangko barajo
jikok panghulu bakamanakan
Kalau duduak jo nan tuo
pandai nan usah dipanggakkan.
b)
Menggunakan seluruh potensi
SDM
Nan buto pahambuih lasuang
nan pakak pamasang badia
nan lumpuah pahunyi rumah
nan patah pangajuik ayam
nan bingguang kadisuruah-suruah
nan cadiak bao baiyo
nan kayo bakeh batenggang.
d.
Nilai dan peran mengembangkan prilaku yang baik
dan iklim budaya yang sehat
Nilai-nilai lain yang perlu direvitalisasi bagi penguatan
peran cadiak pandai dalam mengembangkan prilaku yang baik dan iklim budaya yang
sehat, di antaranya:
1)
Pandai batenggang
Hulu baiak pandai batenggang
hulu malang salah galogok.
Seorang cadiak pandai, tahu benar bahwa pangkal menjadi
baik itu adalah pandai batenggang dalam hidup, sebaliknya pangkal hidup malang
itu, hidup sudah susah namun berlagak juga. Galogok gadang betapapun
rumitnya tidak bisa batenggang. Karena hilang segala tuah dan sulit
batenggang. Nilaianya:
Alah bakarih samparono
bingkisan rajo Majopahik
tuah bassabab bakarano
pandai batenggang dinan rumik.
2)
Pandai baraka
Hidup orang Minangkabau, bagaikan lubuk, tepian budi. Aka
tidak pernah tatumbuak, budi ndak pernah tajua. Kalau pandai barakat, nan
gaib di dalam itu, Tuhan memberi jalan.
Kabalai bajanjang aka
kanaiak jalan bapintu
kalau pandai bamain aka
nan gaib dalam itu.
Kalau tidak pandai berakal, justru yang muncul: ada
dusta di antara kita. Isyarat yang dalam ibarat yang tak disukai orang
Minangkabau:
Pandai mangulai ambuang-ambuang
bak umpamo gulai kincuang
baunnyo maimbau-imbau
tapi rasonyo amba sajo.
Adalah kemunafikan,
Pandai batanam tabu dibibia
pandai baminyak aia.
Ingat, jangan binasa
Bakato bapikiri dulu
ingek-ingek sabalun kanai
samantang kito urang nan tahu
ulemu padi nan kadipakai.
Indomo di Saruaso
Datuak Mangkudun di Sumaniak
sabab anak jatuah binaso
ibu bapak nan kurang cadiak.
3)
Jangan, Cadiak Sendiri
Orang Minangkabau tak
suka dengan prilaku, pahamnya seperti arif bijaksana, tetapi lawannya banyak
dan atau selalu membuat orang tak nyaman. SMS, susah melihat orang senang.
Isyarat nilai:
Faham arieh balawan banyak
faham cadiak maangan urang.
4)
Jangan, banyak rencana kerja
tak jadi
Karena gila merencanakan saja, tak jadi bekerja, termasuk
pantangan orang cadiak pandai Minangkabau, isyarat nilai:
Cadiak malam biguang siang
gilo maukia kayu tagak.
Malu bekerja tak berencana boleh, tapi pemalu bekerja
dilarang. Rajin pangkal pandai, pemalu pangkal kehidupan buruk. Isyarat orang
Minangkabau:
Dek rajin pandai nan datang
dek malu buruak tasuo
hari pagi mananti patang
insyaflah diri dengan tubuah.
Bekerja, mesti berencana dan sadar melakukan perubahan.
Kalau paham tidak tabuak, kurang pandai, boleh meminta kepada yang
pandai tetapi yang dipercaya. Tak pandai jangan berlagak pandai, pasti tak jadi
bekerja. Isyarat nilai:
Kito nan bukan cadiak pandai
ulemu di Tuhan tasimpannyo
Kok senteang batolong bilai
tandonyo kito samo sabanso.
7.
Penutup
Cukup banyak nilai vital penguat peran cadiak pandai yang sekarang
dirasakan ta vital lagi. Prilaku sudah berubah dan bergeser dalam memakai
nilai. Peran utama cadiak pandai sesuai dengan tupoksinya “meneliti/ periksa”
itu dimungkinkan perlu penguatan pula, karena kenyataan kurang nampak berperan.
Dalam pelaksanan fungsinya itu sebagai salah satu unsur dalam tungku tigo
sajarangan semestinya terus berdiri di atas dasar “raso jo pareso”.
Sebagai salah satu unsur tali tigo sapilin, semestinya pula cadiak pandai
memegang kuat tali undang dalam menghukum didasari “raso jo pareso“ itu. Namun
cadiak padandai dalam melaksanakan fungsinya itu, secara faktual dalam melakukan
sharing fungsi pelaksanaan terpadu agama dan adat serta undang, semakin
melemah. Tidak nampak pelaksanaan tupoksinya itu seperti yang digariskan secara
simultan dan sharing antara “fatwa” pada ulama, “perintah” pada ninik mamak dan
“teliti” pada cadiak pandai. Yang terkesan kesalahan hanya ditumpahkan kepada
peran lemah ninik mamak, hampir-hampir tidak pernah didengar cadiak pandai disebut
tidak berperan. Padahal dalam pelaksanaan adat berfilosifi ABS – SBK dengan
SM-AM dan ATJG itu adalah berada di tangan tiga tokoh kunci Minangkabau ini,
yakni ninik mamak, ulama dan cadiak pandai. Karenanya, perlu kembali revitalisasi
nilai dalam penguatan peran cadiak pandai itu.***
Padang,
7 Mei 2014
Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo
[1]Yulizal
Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM Sumatera Barat, Ketua Dewan Adat dan
Syara’ Nagari Taluk Batangkapas Pesisir Selatan, Dosen Sastra Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Imam
Bonjol. Pernah meneliti dan menulis 9 Judul Buku
BAM Padang Panjang, 12 Judul Buku BAM Padang, dan 2 Judul Buku BAM Pesisir Selatan.
Makalah disampaikan sebagai nara sumber pada Seminar Penguatan Peranan Tungku Tigo Sajarangan dan Tali
Tigo Sapilin dalam Pelaksanaan ABS – SBK, 7 Mei 2014.
Posting Komentar