Oleh: Yulizal Yunus Dt. Rajo
Bagindo[1]
(
Makalah dipresentasikan
pada Pelatihan Pelaksanaan ABS-SBK KAN Painan – Pemda Pessel, 21 Sept 2013.
Juga pernah menjadi materi pada pembekalan ABS SBK untuk Ninik Mamak, Pemprov, di
Mariani Hotel, Rabu, 19 Oktober 201, 08.00 -10.00.)
Ninik mamak
mesti berperan (aktif dengan kegiatan, sesuai kedudukannya dan kharisma yang
dimiliki). Pelaksanaan perannya pada setiap limbogo adat tertinggi di KAN.
Dalam berperan mesti sharing dengan unsut TTS-TTS
lainnya. Tidak boleh main surang. Kepastian arahnya melaksanakan ABS – SBK.
I. Fenomena sosial budaya dan marwah orang
Minang
Berbagai
fenomena sosial budya terakhir yang berwujud prilaku yang menggugat marwah
subkultur dan martabat orang Minang, memberikan petunjuk pentingnya peningkatan
peran ninik mamak dalam penerapan filosofi ABS – SBK (filosofi adat basandi
syara’ – syara’ basandi Kitabullah). Fenomena sosial itu, mulai dari prilaku
kelembagaan adat sendiri dalam pemberiaan gelar yang tidak sesuai dengan nilai
filosofi Minang itu dan terkesan dalam fenomena itu “manjua gala”, juga prilaku
anak kamanakan yang terjebak dalam prilaku yang memalukan dengan alasan jepitan
kehidupan (ekonomi, rumah tangga dan gengsi sosial linnya) seperti profesi peristiwa
terkini tertangkapnya dua wanita penari striptis di tempat hiburan malam di
Padang oleh Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang (27 Sept 2011), beredarnya
video porno di kalangan pelajar di Minang serta penyakit masyarakat lainnya
(miras, judi, pergaulan bebas dan perbuatan maksiat lainnya).
Kasus yang
benar-benar menciderai marwah ranah dan martabat masyarakat subkultur Minangkabau
yang mempunyai filosofi adat basandi syara’ – syara’ basandi Kitabullah
(ABS-SBK) itu, Skh. Haluan menyebutnya “Minangkabau dalam Kemaksiatan”,
mengandung nada marah media massa dan publik. Fenomena ini justru menunjukkan
salah satu sisi bahwa orang Minang yang menganut norm ABS-SBK itu prilakunya
sudah mengalami kritis.
Sebenarnya cideranya
marwah ranah dan martabat orang Minang ini berakar dari rasa malu tidak lagi
menjadi budaya (prilaku), dimungkinkan karena didera ekonomi dan kekecewaan
rumah tangga di samping sikap mental dan pribadi lemah iman. Rasa malu yang
tidak bertahan karena godaan ekonomi dan ancaman kekecewaan rumah tangga itu
menandai iman lemah dan tidak lagi menjadi kendali kehidupan. Dalam syara’
(Islam) malu itu bagian dari iman. Iman yang kuat akan menjadi benteng
mempertahankan rasa malu. Di dalam adat disebut: – apalagi arang tacoriang
di kaniang – “malu tidak dapek
diagiahkan” seperti juga “suku tak dapek diasak”. Artinya rasa malu bagi orang
minang bagian dari identitas (Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Haluan Minggu, 9
Oktober 2011:3). Praktek yang memalukan tadi, tidak saja memalukan dirinya,
tetapi juga semua kaum (anak kamanakan, mamak dan penghulu suku) dalam sukunya
di Minangkabau. Sudah dapat dipastikan pada kondisi sosial anak kapanakan
seperti ini, yang amat tergugat itu peran ninik mamak dalam limbago adatnya
dalam penerapan ABS – SBK.
Perbuatan
memalukan yang meski dilakukan kamanakan apalagi oleh mamak sendiri karena
jebakan godaan “material”, yang paling bertanggung jawab adalah ninik mamak
dalam limbago adatnya. Tetapi limbago adat dimaksud bukan KAN (Kerapatan Adat
Nagari) dan atau LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang berada di
garda terdepan, namun yang tergugat pertama itu adalah (1) limbago paruik
yang mempunyai tunganai (mamak paruik/ lelaki tertua di paruiknya). Setelah
limbago paruik adalah (2) limbago jurai (mamak di jurainya/ beberapa
paruik), berikutnya (3) limbago suku (mamak suku beserta ninik mamak
yang diketuai penghulu/ datuknya), berikutnya (5) limbago kampong (sentra
suku), berikutnya limbago nagari (KAN), berikutnya limbago kecamatan, kabupaten
dan provinsi (LKAAM).
Dalam
penyelesaian kasus yang memalukan di Minang “bajanjang naik batanggo turun”.
Karenanya yang bertanggung jawab pertama menyelesaikan kasus memalukan yang
bertentangan dengan nilai ABS – SBK adalah ninik mamak di limbago paruik
bertingkat ke atas yakni limbago jurai dan atau limbago suku dan atau limbago
kampung. Tidak boleh penyelesaiannya langsung ke atas, karena ini bagian jug
dari malu kaum pada setiap tingkatan limbago adat. Jangankan penyelesaian perbuatan
memalukan itu langsung ke limbago
nagari (KAN), apalagi ke lembaga adat kecamatan, kabupaten, provinsi (
LKAAM), sedangkan dilimpahkan langsung ke limbago kampung (mamak kampong
basis suku) saja dengan melewati mufakat ninik mamak diparuik atau jurai, atau
suku, fenomena penyelesaian seperti itu sudah berarti “mambao busuak ka langau/
kaum awak juo nan kamalu”, “manapiak ayia di dulang/ dado kaum awak juo nan
kabasah”.
Tegasnya
menyelesaikan perkara memalukan sepanjang adat dan syara’ ini di Minangkabau
bertingkat, mulai dari limbago paruik, limbago jurai, limbago suku, limbago
kampung, sampai limbago nagari, dan terlalu jauh ke LKAAM sebagai payung panji.
LKAAM dimungkinkan boleh berperan, menyampaikan fatwa adat untuk melaksanakan
Islam kepada mamak yang berbasis di limbago nagari (KAN), KAN menurunkan ke
limbago kampung, limbago suku, limbago jurai dan limbago paruik. Eksekusinya
pado mamak paruik dan atau jurai dan atau suku dan atau l;imbago kampung, yang
undang dan hukum adatnya sudah ada, tinggal menerapkannya saja oleh mamak yang
bersangkutan.
Persoalannya,
kaum (kamanakan, mamak, ninik yang dipimpin penghulu/ datuk) apakah berdaya
untuk melakukan itu atau tidak, masalah ini tidak berdiri sendiri. Kita dan
pemerintah selalu berharap ninik mamak (semua lelaki Minang yang dewasa
diketuai penghulu/ datuk), tetapi dirasakan sekarang, tidak berdaya. Di sinilah
perlunya pemberdayaan ninik mamak sebagai bagian kegiatan penerapan ABS-SBK
(seperti kegiatan Pemda Sumar akan memberkali ABS-SBK untuk ninik mamak 18-19
Oktober 2011 di Mariani Hotel), diikuti dengan pasilitasi dana pemda yang
cukup, kalau tidak sebesar anggaran olah raga, setidaknya seperoh-separohnyalah.
Tetapi kita yakin, Gubernur Irwan Prayitno juga salah seorang Datuk/ penghulu
di Padang, sekarang juga sudah sedang menghimpun indikator pengamalan ABS – SBK
(prioritas ttg prosesi tradisi, kelembagaan dan bangunan) untuk memacu gerakan
terpadu agama dan ABS-SBK dan tahap awal sudah bertemu dengan unsur tali tigo
sapilin untuk menghimpun pemikiran kearah penemuan indikatornya, 22 September
2011 lalu di Gubernuran. Pemberdayaan ninik mamak tadi sudah barang tentu
berharap hasilnya adalah meningkat peran ninik mamak dalam penerapan ABS – SBK.
II. Kedudukan
Ninik Mamak dan Pemerintahan Nagari Minang
Dari
perspektif sosiologis, peranan dapat dimainkan ditopang tidak hal: (1)
kedudukan/ status jelas dan kuat, (2) aktif melakukan kegiatan seperti kegiatan
penerapan nilai-nilai ABS - SBK, (3) ada kharisma (karena kedudukan yang jelas
dan aktif). Bagi ninik mamak juga demikian dalam peningkatan perananya di
nagari sebagai salah satu unsur pemimpin di nagari dalam memimpin kamanakannya /
masyarakat adat.
Pemimpin
(leader) dalam perspeltif menejerial, adalah yang memiliki mampuan dan seni
seorang dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok (yang dalam
hal ini ninik mamak sebagai leader dan kamanakan yang dipimpin/
dikoordinasikan) dalam melaksanakan tupoksi, kewenangan dan tanggung jawab
untuk mencapai tujuan bersama dalam kaum (paruik, jurai atau suku). Karenanya
kedudukan ninik mamak harus jelas dan kuat sebagai unsur pemimpin di nagari
Minang.
Leader
terkemuka di Nagari (desa Minang sekarang) pihak penyelenggara pemerintahan
adalah Wali Nagari dan Bamus dan dari pihak subkultur (budaya khusus
masyarakat) adat Minangkabau adalah ninik mamak nagari yang berbasis pada KAN
(Kerapatan Adat Nagari). Trio (tiga) pemimpin nagari ini sebenarnya berpotensi
mengambil posisi trias politika seperti yang ditunjukan dalam sejarah
kepemimpinan di nagari Minang dahulu ketika pemerintahan nagari itu setangkut
dengan pemerintahan adat. Pembagian kekuasaannya: (1) Wali Nagari
sebagai kepala pemerintahan berfungsi eksekutif, (2) Bamus sebagai
legislatif lembaga musyawarah pihak pemerintah bersama lembaga musyawarah pihak
masyarakat adat KAN, sedangkan (3) KAN
sendiri difungsikan kembali seperti KN (Kerapatan Nagari) dulu berfungsi
sebagai lembaga yudikatif (lembaga penegak hukum) di nagari. Bamus dan KAN
bisa-bisa saja seperti kabinet dua kamar di Australia yakni majeis rendah dan
majelis tinggi.
Dari
perspektif adat Minangkabau, posisi pemimpin di nagari Minang tadi adalah orang
yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Tidak jauh jarak antara
pemimpin dan yang dipimpin., Artinya pemimpin di Minang dekat dengan kaum
(masyarakat) yang dipimpinnya.
Kepemimpinan
di Minangkabau dari perspektif SDM adalah dijabat fungsionaris/ pimpinan/
pemangku adat yakni “urang nan ampek jinih” yakni (1) penghulu (tagak di pintu adat), (2) manti
(tagak di pintu susah), (3) malin (m) tagak di pintu agama dan (4) dubalang/
hulu balang (tagak di pintu mati). Unsur malin diperkuat fungsionaris “urang
jinih nan ampek” yakni (1) imam (mengimami kaum), (2) katik (memberi fatwa
kaum), (3) bila (mengajak kaum ke jalan Allah) dan (4) qadhi (mengurus NTCR
anak kapanakan). Sifat kepemimpinan Minangkabau mengidentifikasi sifat nabi saw
yakni (1) siddiq (benar), (2) amanah (dipercaya), (3) fathanah (cerdas) dan (4)
tabligh (sosialisasi/ mendidik). Sistem yang dipakai ada dua mekanisme (1)
sistem kalarasan “koto piliang”, mekanismenya perintah tuntas (turun dari
atas), karena protap birokrasinya bajanjang naik batanggo turun, dalam
pengalaman Indonesia mirip demokrasi terpimpin di zaman orba dan demokrasi
Pancasila masa orba, (2) sistim kalarasan bodi caniago, mekanismenya
pertimbangan perintah timba (timbul dari bawah), karena protap birokrasinya
adalah partisipatif (dari rakyat) sesuai dengan prinsip dasarnya “duduk samo
randah tagak samo tinggi”, dalam pengalaman pemerintah demokrasi sosial (social
democratic). Fiosofi kepemimpinan Minangkabau adalah abs-sbk (adat basandi syara’ – syara’ basandi
Kitabullah) diemplementasikan dalam
mekanisme sm-am (syara’ mangato – adat mamakai).
III. Macam-macam
Kepemimpinan Minang
Ada
tiga macam kepemimpinan dalam masyarakat Minangkabau yaitu dapat diuraikan
sebagai berikut:
A. Kepemimpinan Penghulu
Penghulu
sejak era Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan, berfungsi
sebagai pemimpin dalam kaum sukunya. Ia sebagai leader melindungi kepentingan
anak kemenakan (masyarakat) yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab kepada
kaumnya, karena ia dipilih oleh kaumnya (ninik mamak kaum dan mandeh/ perempuan
dalam kaum) dengan kriteria antara lain: baligh, berakal sehat, sopan santun,
ramah tamah, rendah hati,, punya keteladanan, punya gezah/ kharisma, punya
harta dsb. Proses kader secara informal adat calon penghulu sudah teruji dalam
memimpin mulai pengalaman berharga dalam memimpin lingkungan mamak rumah (adik
– kakak – kapanakan saparuik), se-jurai, sampai ke kaum suku dan dihormati suku
lain di nagari.
Penghulu
di dalam adat Minangkabau disebut penghulu dengan panggilan sehari-hari "Datuak".
Penghulu itu hulu (ketua) dalam kaum suku di nagari. Tugasnya luas meliputi
segala persoalan dan masalah yang terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya,
maka datuk itu sebenarnya ketua Ninik Mamak. Penghulu dalam menjalankan
tugasnya dibantu oleh beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat,
yakni manti, malim dan dubalang di samping wakilnya langsung
disebut panungkek.
Panungkek
dapat mewakili penghulu dalam tugas-tugas umum masyarakat adat seperti alek
(pesta/ kenduri) kaum sukunya, menghadiri ucok/ ucapan (undangan) alek di luar
paruik, jurai dan atau di luar alek sukunya di nagari. Menghadiri suatu rapat
(musyawarah) dan dalam tugas yang prinsipil seperti memimpin rapat “urang nan
ampat jinih” atau mengambil keputusan dalam suku/ kaum penghulu tidak boleh
diwakili oleh panungkek.
Adapun
yang dimaksud dengan “urang nan ampek jinih” adalah:
1. Penghulu Adat
Penghulu
merupakan ketua ninik mamak dalam sukunya. Ia mempunyai otoritas mengurus adat, karenanya disebut
tagak di pintu adat. Pemimpin adat disebut penghulu merupakan pemimpin
yang tertinggi dalam sebuah suku, kepemimpinannya kompleks di samping bersifat
privat yakni memimpin anak dan kemenakannya juga memimpin kaumnya, juga
memimpin sukunya dalam berhubungan dengan suku-suku lain dalam nagari.
2. Manti Adat
Manti disebut-sebut asal katanya dari menteri. Kedudukannya berada pada pintu susah. Ia banyak
disusahkan menyelesaikan yang kusut dan menjernihkan yang keruh. Dalam alek
ia yang mempalegakan kato untuk mencari kata mufakat sebagai
pertimbangan pengambilan keputusan adat. “Biang tabuak gantiang putuih”
(keputusan) berada di tangan penghulu.
pemerintahan adat. Manti juga mempunyai tugas mengawasi kaum sukunya
dalam praktek “adat mamakai” baik
adat nan sabana adat, adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat.
3. Malin Adat
Malin salah seorang pembantu penghulu dalam bidang
agama. Tugasnya mulai dari pengajaran mengaji, menunaikan Rukun Islam juga
menunjukan dan mengajari kapanakan (masyarakat) berakhlak atau taat mengamalkan
agama Islam serta mengarahkan kapanakan ke jalan yang lurus dan diredhai oleh
Allah swt. Tugas malim ini dibantu “urang jinih nan ampek” yakni: (1) imam, (2)
katik, (3) bila dan (4) qadhi.
4. Dubalang Adat
Dubalang merupakan seorang pembantu penghulu dalam
bidang ketahanan dan keamanan. Dubalang berasal dari kata hulubalang, yang
bertugas menjaga huru hara yang mengancam ketahanan dan kemanan baik dalam
lingkungan kaum sukunya maupun salingka nagari. Karena beratnya tugas dubalang,
disebut posisinya tagak di pintu mati.
Keempat orang ampek jinih ini merupakan jabatan
pemangku adat yang diturunkan secara turn temurun dari mamak ke kapanakan.
Pewarisan pusaka itu digariskan nilai petitih ssb.:
Biriek-biriek turun ka sawah
Tibo disamak taruih ka halaman
Dari ninak turun ka mamak
Dari mamak turun ka kamanakan
B.
Kepemimpinan Mamak
Mamak adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. Semua
saudara laki-laki ibu baik adik maupun kakaknya yang sudah dewasa/ menikah
disebut mamak. Secara khusus mamak bukanlah sekedar saudara laki-laki ibu akan
tetapi mamak adalah seseorang yang dituakan dan dianggap cakap dan bertanggung
jawab terhadap kelangsungan sistim matrilineal di Minangkabau.
Di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau laki-laki
memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kepala keluarga/ rumah tangga (tunganai) dan
sebagai mamak. Artinya laki-laki itu juga menjadi pemimpin dari adik-adik dan
kapanakannya. Sebagai seorang mamak ia diharapkan mengawasi adik dan kemenakannya
yang perempuan serta mengurus dalam hal-hal yang berhubungan dengan tata cara
bernagari atau bermasyarakat, hal ini menjadi tanggung jawab mamak, seperti
mamang adat berikut:
Pucuak paku kacang balimbiang
Ambieak tampuruang lenggang-lenggokkan
Bawo manurun ka saruaso
Tanamlah siriah di ureknyo
Anak dipangku kemanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggang sarato jo adatnyo
Artinya jadi seorang mamak itu di samping memelihara
anak-anaknya (sebagai ayah di rumah anaknya) juga harus membimbing kemenakan
(di dalam kaum sukunya), memelihara kampung jan binaso.
C. Kepemimpinan Tungku Tigo
Sajarangan (Tali Tigo Sapilin)
“Tungku tigo sajarangan” alam yang sesungguhnya adalah
3 tungku disusun di atasnya dijarangkan periuk/ belanga/ kuali dijarangkan dan
di dalamnya ada makanan/ minuman yang mau dimasak. “Tali tigo sapilin” adalah 3
jurai tali yang dijalin menjadi satu tali dan kuat. Tungku itu panas, di situ
kayu bersilang, api dihidupkan dengan bahan bakar kayu, di saat itu pula nasi
menjadi masak. Fakta empiris kekuatan susunan 3 tungku sajarangan itu
bersinergi dengan energi panas api yang dihidup karena kayu disilang-silangkan
di dalamnya.
Basilang kayu dalam tungku
Di situ makonyo api hiduik
Filosofinya, ketiga unsur kepemimpinan Minang itu bila
bermusyawarah dapat menghasilkan keputusan yang bulat dan punya kekuatan
menghadapi persoalan yang dihadapi. Sistim tungku tigo sajarangan dan tali tigo
sapilin adalah (1) anggo tanggo (AD/ART), (2) raso jo pareso (UU) dan (3) alua
jo patuik (hukum). Leadernya merupakan kepemimpinan kolektif 3 unsur
fungsionaris (1) ninik mamak, (2) alim ulama, dan (3) cadiak pandai.
Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan tungku
tigo sajarangan akan dijelaskan unsur-unsur yang terkait dalam tungku tigo
sajarangan itu sebagai berikut:
1. Ninik Mamak
Di dalam urusan adat Minangkabau Ninik Mamak adalah
orang yang dituakan berfungsi KK dalam rumah tangga kaum paruk/ jurai. Ninik
mamak merupakan unsur mamak rumah/ jurai tunggania/ mamak kapalo kaum/ mamak
kapalo warih dan ninik mamak kaum suku yang kepimpinannya diketuai/ dipenghului
penghulu (datuk). Penghulu diperkuat urang nan ampek jinih dan urang jinih nan
ampek. Dalam adat Minangkabau telah dijelaskan bahwa mamak itu adalah pemimpin
dan yang dipimpinnya adalah anak kemenakan (masyarakat).
Kedudukan mamak dalam adat Minangkabau adalah memegang
gelar pusako dan menguasai sako yaitu warisan kehormatan dan harta termasuk
lahan (hutan, ladang dan sawah). Walaupun sawah itu dpelihara dan digunakan
kaum perempuan, tetapi penguasaannya atas harta tersebut dipegang mamak
tunganai/ lelaki tertua di dalam paruik.. Kumpulan mamak-mamak tadi dan
diketuai tunganai di paruik/ jurai dan diketuai penghulu dalam kaum suku semuanya
itu Ninik Mamak.
Mamak rumah di rumah tangga orang tuanya yaitu rumah
gadang, mereka mempunyai tiga kewajiban:
(1) Memelihara harta pusaka dan
mengusahakan bagaimana cara menambah harta kaumnya;
(2) Mengawasi dan melindungi serta mengayomi kapanakan (masyarakat)
(3) Menunjukajari serta
menegakan hukum dalam pelanggaran hukum adat, agama dan negara.
Mamak yang barajo jo penghulu (ketua mamak) di Minang tugasnya
adalah menjalankan pemerintahan adat. Kalau tersandung minta fatwa dari ulama
dan diperintahkan penghulu untuk diamalkan anak kapanakan (rakyat) di
bawah pengawasan ninik mamak.
2. Alim Ulama
Alim Ulama adalah orang yang alim dan tahu tentang agama.
Seseorang yang alim adalah orang yang memeliki ilmu agama yang sangat luas dan
memiliki iman kuat. Alim ulama ini disebut juga dengan suluah bendang dalam
nagari, makasudnya alim ulama berfungsi sebagai penerang kehidupan di
masyarakat yang bertugas mengurus persoalan ibadah masyarakat dalam nagari di
samping itu, ia juga bertugas untuk mengelola lembaga pendidikan yang diadakan
di mesjid-mesjid dan surau-surau. Kalau nama saja alim tak banyak ilmu dan tak
kuat iman bisa beraku: banyak alim rusak agama/ banyak cadiak rusak nagari.
Kedudukan alim ulama dihormati kerena ilmu dan
keteladanan imannya. Jika penghulu tingginya karena ditinggikan (dianjuang) dan
gadangnya karena diamba dan jabatan penghulu ini dipegangnya secara turun
temurun, tetapi seseorang ulama dalam masyarakat adalah karena ilmu yang
dituntutnya dan ia menduduki jabatan ulama karena kemampuan pribadinya,
ketaatan dengan kesungguhannya. Jabatan ini tidak dapat diturunkan, kecuali
kalau anak atau kemenakannya mau menuntut ilmu agama dan ia mampu pula menjadi
panutan masyarakat tentang agama. Walaupun seseorang itu mempunyai ilmu yang
tinggi dalam bidang agama tapi tidak mampu menyebarkannya lewat tabligh-tabligh
dan belum diakui kepemimpinannya sebagai ulama oleh masyarakat belumlah boleh
disebut ulama.
Fungsi
alim ulama dalam masyarakat adalah pengikat tali lahir batin dan memberi contoh
dan teladan/ panutan dan sebagai suluh bendang dalam nagari. Ulama itu
berkewajiban menunjukkan yang baik dan yang buruk, menyatakan yang terlarang
(nahi) dan tersuruh (amar) oleh agama Islam. Tegasnya tugas ulama di Minang
memberi fatwa, karenanya ulama memegang anggo tanggo (anggaran
dasar/ anggaran rumah tangga) Minang yakni Kitabullah (bersama Hadist).
3. Cerdik Pandai
Cerdik
pandai artinya kumpulan orang pandai-pandai atau disebut cerdik cendikia. Orang
yang cerdik ialah orang yang cepat mengerti dan berfikir cepat dan pandai
mencari pemecahan suatu masalah serta sangat teliti.
Kedudukan
kaum cerdik pandai di Minang sejalan fungsinya “teliti”. Orang yang dapat
mempergunakan ilmu dan pengetahuannya untuk kepentingan hidup, pribadi dan
untuk masyarakat karena kemampuannya dan kecerdikannya dalam kehidupan di
masyarakat. Cerdik cendekia pasti jadi orang cerdik pandai. Kepemimpinan
seorang cerdik pandai itu diakui masyarakat dan bersama-sama dengan penghulu
dan alim ulama menjadi pemimpin kolektif pula di nagari dan kepemimpinannya
didudukan oleh anak kapanakan di suku/ nagarinya. Tugasnya kalau ulama memberi fatwa, perintah pada
penghulu dan teliti pada cadiak pandai. Yang lebih penting lagi fungsi cadiak
pandai di nagari ialah penegak hukum adat berdasarkan alua jo patuik.
IV. Hubungan Kerja KAN dan Pemerintahan Nagari
(Wali Nagari + Bamus)
KAN (Kerapatan Adat Nagari) dulu pernah namanya
KN (Kerapatan Nagari) ketika pemerintahan nagari setangkup dengan pemerintahan
adat, yakni ketika itu Kapalo Nagari (Penghulu Palo) dipilih dari penghulu
dalam KN (Kerapatan Nagari). Penghulu Palo itu berfungsi sebagai eksekutif, KN
ketika itu berfungsi legislatif dan yudikatif. Kemudian dalam perjalanan
sejarah nagari Minang KN berubah menjadi DPRW (Dewan Perwakilan Rakyat
Wilayah), DPRN (Dewan Perwakilan Rakyat Nagari), BMN (Badan Musyawarah Nagari)
ditunjuk Muspika, kemudian menjadi KAN tahun 1983 (UU5/79 + Perda 13/1982)
masih terasa berfungsi legislatif dan yudikatif.
Di era otonomi dengan Perda 9/ 2000 diamandemen
dengan Perda 2/2007 KAN tetap ada tetapi sudah dimarjinalkan dan dihapus secara
tidak langsung fungsinya sebagai legislatif dan yudikatif di nagari. Tahun 1999
posisi KAN digantikan BMAS dalam pemerintahan dan Tahun 2007 posisi KAN digusur
Bamus. Sebenarnya masih ada peluang, tergantung komitmen nagari dan dikukuhkan
Pemkab (Perda, Perbup atau AK Bupati) kembali menempatkan KAN sebagai berfungsi
yudikatif menyelesaikan sengketa nagari secara mekanisme informal di samping
bersama Bamus menjadi legislatif sebagai lembaga tempat bermusyawarah, dan wali
nagari sebagai eksekutif/ kepala pemerintah nagari.
KAN sejak awal setidaknya menjalankan tupoksi
sesuai kewenangan dan tanggung jawabnya, yakni di samping mengembangkan
kekayaan Nagari, pembinaan dan pengembangan adat, peningkatan Kesejahteraan
masyarakat Nagari dan keuangan Nagari yang paling penting lagi adalah fungsi
pelaksana perdamaian adat (penegak hukum secara adat) dan hukum pada umumnya
secara mekanisme informal.
Peranan KAN ini semakin terpinggirkan dengan
keluarnya Perda 9/ 2000 dan Perda 2/ 2007. Perda ini merugikan dan tidak adil (blamming
the victims) terhadap masyarakat adat. KAN (termasuk unsur ninik mamak)
dalam pemilihan Bamus disamabesarkan dan disamakan posisinya dengan unsur
Pemuda (kapanakan), Bundo Kandung, Alim Ulama dan Cadik Pandai. Padahal semua unsur itu
kecuali pemuda berada dalam unsur KAN seluruhnya sejak dahulu.
Akibat disamakan posisi
KAN dengan unsur-unsur nagari tadi oleh Perda di era otonomi ini berakibat
fatal, memicu konflik kelembagaan di nagari. Suasana kehidupan bernagari
semakin tidak bisa direvitalisasikan yang pada gilirannya Pemerintahan Nagari
(Wali Nagari + Bamus) sulit memacu kinerjanya merevitalisasi kehidupan
bernagari, karena suasana gaduh dan konflik di nagari melelahkan berfikir dan
tak terarah bekerja.
Pengalaman pemilihan
Bamus, betapa banyak kasus di nagari KAN dilecehkan unsur Pemuda di samping 3
unsur lainnya (CP, AU dan BK), karena salah memahami Perda di era otonomi ini.
Dianggap KAN samo gadang dengan unsur lainnya termasuk Pemuda. Kondisi
ini memicu kapanakan (pemuda) mandago mamak., yang dalam hukum adat
dapat dijatuhkan sanksi hukum adat. Hal itu disebabkan karena merasa sama besar
dalam pemilihan Bamus dan KAN sendiri kurang pandai pula memposisikan diri
sebagai lembaga besar di nagari. Kalau
sudah merasa sama besar pemuda dengan KAN dalam persaingan politik bisa-bisa
muncul ucapan mandago itu: apo juo lai urusan yang tuo-tuo nan babaju
hitam kolai. Itu ungkapan meniadakan ninik mamak dan mandago mamak.
Ungkapan mandago itu muncul dari kapanakan bisa-bisa takabau itu,
karena melanggar komitmen kaumnya sendiri, memilih dan melewakan yang berbaju
hitam itu dengan menyembelih kerbau. Dalam persaingan politik ala demokrasi
yang tidak berakar pada budaya Minang, ungkapan itu bisa terjadi setiap saat,
meski tidak dibenarkan oleh nilai adat dan syarak sebagai acuan.
Tetapi kalau KAN
sendiri pandai memposisikan diri, jangan menyamabesarkan diri dengan 4 unsur
tadi (P, CP, AU, BK) tetapi kembalikan mereka ke unsur-unsur dalam lingkup KAN
mungkin aman. Sebab bagaimana pun di Minang ini semua unsur pada perinsipnya
hanya dua unsur saja yakni kalau tidak ia kapanakan pasti mamak.
Kapanakan ketika ketek, lah gadang menjadi mamak apapun kedudukannya (menteri,
gubernur, bupati, camat, wali nagari, kapalo kampung, ketua pemuda, ketua
cadiak pandai, ketua Bundo Kandung, ketua alim ulama, ketua KAN sendiri, dosen,
dokter, hakim, jaksa, polisi, tentara dsb tetap semuanya kapanakan atau ninik
mamak di Minang). Mempraktekannya, pemilihan Bamus sendiri misalnya, jangan KAN
mengatasnamakan ninik mamak mencalonkan diri, meskipun berbunyi dalam Perda
2/2007 unsur ninik mamak di samping 4 unsur lainnya sebagai unsur yang memilih
dan dipilih. Bawa 4 unsur itu oleh KAN musyawarah, tanya pemuda siapa calonnya,
tanya BK siapa calonnya, tanya ulama siapa calonnya, tanya cadiak pandai siapa
calonnya. 4 calon dari 4 unsur itu,
direstui sebagai calon dari KAN. Pasti 4 calon itu ninik mamak nagari.
Mekanisme penyaluran aspirasi/ pikiran/ saran/ usulan 4 unsur yang dibulatkan
dan disalurkan KAN itu dapat diskemakan sbb.:
![]() |
![]() |
Kalau suara anak kapanakan
(AU, BK, CP, P) sudah sepakat dan bulat pasti tidak diperlukan pemungutan suara
yang merupakan ciri utama demokrasi liberal itu, pasti bisa dipilih secara
demokrasi Minang dengan musyawarah mufakat oleh semua unsur anak kapanakan tadi
yang dihimpun ninik mamak bersatu anak kapanakan dalam KAN tadi. Suara bulat
anak/ kapanakan (rakyat) yang bulat tadi disalurkan ke penyelenggara
pemerintahan (Wali Nagari dan Bamus) diyakini tidak ada konflik, karena semua
akur. Bamusnya pun nanti akan akur pula dengan KAN dan Wali Nagari dan bisa
bersinergi dengan baik, karena tidak ada dendam politik. Suasana itu akan
ciptakan trio leader (pemimpin) nagari yang kuat. Power (kekuatnnya) akan besar
di nagari (pemikiran yang sama pernah saya sajikan/ didiskusikan pada Pelatihan
Kepemimpinan Wali Nagari se-Kabupaten Pesisir Selatan di Painan, 30 November–5
Desember 2008).
Sharing power bisa
dibagi dan saling berhubungan KAN-Bamus dan Wali Nagari. Wali Nagari posisinya
kepala pemerintahan sebagai eksekutif, Bamus bersama KAN lembaga musyawarah
(pemerintah dan adat) fungsi legislatif, dan KAN sendiri sebagai yudikatif bisa
menyelesaikan sengketa adat, pusaka dan sengketa aset nagari terutama secara
mekanisme informal dan formalnya dilakukan penegak hukum positif (polisi,
jaksa, pengadilan negeri/ hakim). Yang pangkal balanya adalah sama-sama
mempertahankan santiang sendiri-sendiri, akhir tak keluar juga santiang itu. Ya
sudahlah, mari kita bernagari, saling membesarkan dan menghargai,pada akhir
dihargai.
V. Penerapan
Nilai ABS – SBK dan Peran Ninik Mamak Berbasis Limbago Nagari
Ninik mamak dalam berperan (aktif sesuai
kedudukannya dan charisma yang dipunyai) sharing dengan unsure ulama dan cadiak
pandai, ketiganya dalam system tali tigo sapilin dan dan tungku tigo sajarangan
(TTS-TTS).
Ketiganya unsure TTS-TTS tadi berperan sesuai
fungsinya pertama dimulai dari memberdayakan 5 limbigo adat nagari
(rumah tangga, paruik, kaum/ jurai, suku/ kampung dan nagari/ KAN). Kedua
memberdayakan SDM TTS-TTS termasuk seperti kegiatan KAN Painan ini dan
pembekalan atau Diklat-diklat yang dilaksanakan Pemda sebelumnya. Ketiga menciptakan
program seperti membuat pilot proyek pada kampung yang dipilih untuk
melaksanakan ABS – SBK seperti kegiatan : (1) maghrib mangaji dikukuhkan dengan
perna, (2) jum’at hening (dari suara Honda dan suara buah domino dsb) dikuatkan
perna, (3) memakai pakaian adat – sayara’ laki dan perempuan pada hari yang
dipilih dikukuhkan dengan perna, (4) mengatur manajemen suku, (5) menulis
kembali monografi nagari, (6) membuat panduan dakwah adat – syara’ dikukuhkan
perna dsb seperti yang menjadi pilot proyek di Solok dibiayai Pemda.
Pendanaannya dimohon fasilitasi Pemda Pesisir Selatan dan para donator rantau
dan ranah (anak nagari). Aritinya ninik mamak pada setiap limbago nagari tadi
tidak berhenti memerintahkan anak kamanakan agar ABS-SBK dilaksanakan,
sekaligus perbaikan pembangunan adat dan syara’ secara terpadu.
Secara terus menerus perlu perbaikan
pelaksanaan adat Minangkabau dengan penerapan nilai-nilai filosofi ABS - SBK, sekaligus
pengembangan kelembagaan dan perbaikan budaya (prilaku) orang adat yang tidak
mencerminkan prilaku beradat. Ninik mamak diharapkan gigih dan konsen dengan
pelaksanaan adat Minang. Artinya dilakukan dengan benar penerapan nilia-nilai filosofi
ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ - Syara’ Basandi Kitabullah) yang
dioperasionalkan dengan Syara’ Mangato Adat Mamakai (SM – AM) dan ATJG (Alam
Takambang Jadi Guru).
Masyarakat Minang masih antusias dalam
perbaikan pelaksanaan adat. Ulama dan ninik mamak sudah memfatwakan dan meminta
nilai sayra’ dilaksanakan dengan adat. Cadiak pandai sudah banyak meneliti,
masih dominant merekomendasikan ABS – SBK dilaksanakan. Masyarakat dan berbagai
pakar dalam tausiah budaya umumnya terutama budaya lokal termasuk adat, sudah
tersebar lewat berbagai tulisan yang dimuat di berbagai media. Lembaga pucuk
adapt: LKAAM dan Bundokandung juga serius melaksanakan cita-cita penerapan ABS
– SBK. Bundokandung tahun 2006 membentuk tim[2] inti
merumuskan butir-butir pelaksanaan ABS – SBK dengan mengambil angka keramat
kenegaraan RI yakni 45 butir. Keseluruhan 45 butir ABS-SBK itu disepakati,
terjabar dalam 6 Bidang yakni (1) Bidang Sosial 12 butir, (2) Bidang Pendidikan
6 butir, (3) Bidang Ekonomi 8 butir, (4) Bidang Politik 4 butir, (5) Bidang
Hukum 9 butir dan (6) Bidang Kesenian 5 butir. Khusus bidang seni tercakup pada
indikator: (1) pengertian dan batasan kesenian, (2) etika dan estetika dalam
kesenian, (3) bentuk-bentuk kesenian; rupa (arsitektur, seni ukir, lukisan),
gerak (tari, pencak silat, drama/film), suara (instrumental, vokal, deendang
saluang, nyanyian), (4) kesusasteraan, (5) pekerja seni, (6) masyarakat
penikmat seni dan (7) sarana/prasarana kesenian. Ketuju perinsip ini diarahkan
Wisran bersama tim pada tiga sasaran (1) seni dengan substansi estetika (rasa
keindahan) tidak boleh sama sekali terlepas dari etika. Sesuatu yang indah
harus mengandung nilai etika. (Nan indah
budi, nan elok baso), (2) masyarakat
Minangkabau harus menolak estetika, erotika dan pleasure yang berlawanan dengan
etika moral, dan (3) estetika dan etika harus takluk kepada nilai-nilai
ke-Islam-an yang dilaksanakan adat budaya local Minang.
Demikian pula LKAAM Sumatera Barat menulis buku
pedoman pelaksanaan ABS – SBK dari perspektif prilaku yang bersumber dari Islam
(akhlaq karimah), nilai adapt Minang sendiri, nilai luhur bangsa yang tertuang
dalam filosofi Pancasila. LKAAM yang timnya di ketuai Ketua Umum LKAAM Sayuti
Dt. Rajo Penghulu, dengan tim Yulisal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Prof. Dr.
Ramayulis, Tunku Bagindo Mohd. Leter dll, mengambil angka keramat Islam yakni
angka 99 asma’ulhusna.
Justru pelaksanaan ABS – SBK dalam berbagai
aspek kehidupan (sosial, ekonomi, politik, pendidikan/ iptek, filsafat hidup
masyarakat, religi, termasuk seni) dipandang sudah seharusnya tersosialisasi
sebagai manifestasi dari pemahaman yang kuat terhadap Minangkabau dan sistem adat
sebagai pelaksanaan syara’ (Islam) bersumber dari Kitabullah. Secara
substansial adat meliputi segala bentuk sistim yang mengatur prilaku dan
tatanan kehidupan bermasyarakat yang ideal dan yang dicita-citakan atau yang
ingin dicapai seluruh masyarakat Minangkabau. Syara’ dipahamkan dengan
substansi ajaran Islam termasuk hukum-hukum Islam yang melandasi idealisme dan
cita-cita seluruh masyarakat Minangkabau. Sedangkan pemahaman kitabullah
itu pada perinsipnya adalah al-Qur’anulkarim, kitab suci yang diturunkan Allah
swt kepada Nabi Muhammad saw dan dijelaskna maksudnya oleh hadis Nabi saw.
Dalam rumusan butir ABS-SBK oleh Bundokandung
dan LKAAM, tergambar fungsi yang kuat sebagai filosofi dan pedoman dasar
kehidupan masyarakat Minangkabau dan hanya ditujukan kepada masyarakat yang
menganut budaya termasuk sistem adat Minangkabau. ABS-SBK disosialisasikannya
sebagai konsensus dan kesepakatan masyarakat Minangkabau sejak lama tanpa
memperbincangkan lagi tentang bila, di mana dan bagaimana ABS-SBK tersebut
terjadinya. Butir implementasi ABS-SBK dan penjelasannya dalam pembetukan
prilaku, sikap dan perbuatan orang Minang adalah sebagai point-point ABS-SBK yang harus dilaksanakan
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Minangkabau dan menjadi prilaku dalam
amal perbuatannya. Nilai filosofi ABS – SBK itu merupakan pelaksanaan dari
syara’ (SM – AM / Syara’ Mangato Adat Mamakai) terutama aspek akidah dan
syari’at, bersumber dari Kitabullah. Dalam pelaksanaan syara’ oleh adat itu
mengeksplisitkan terhimpun dalam emapat nilai yakni sopan, santun, budi dan
baso. Keempat nilai itu dilaksanakan dalam seluruh aspek kehidupan yang oleh
Bundo Kandung dirumuskan dalam 6 AKM (Aspek Kehidupan Masyarakat) yakni:
Sosial, Ekonomi, Pendidikan, Politik, Hukum dan Kesenian. Kesemuan aspek ini
dalam pelaksanaannya dituntun oleh 45 butir ABS – SBK seperti yang dirumuskan
Bundokandung yang kalau dibuat skemanya sbb.:
|
Nilai-nilai filosofi ABS – SBK ini menjadi
bagian tanggung jawab ninik mamak dan dipasilitasi oleh pemerintah dalam menerapkannya
pada masyarakat adat dimulai dari anak kamanakan di paruik, jurai, di suku, di
kampung dan di nagari. Pensosialisasian nilai ini diperkaya oleh lembaga adat
LKAAM dari Provinsi hingga kecamatan dengan memerintahkan fatwa adat ini kepada
masyarakat adat oleh ninik mamak di nagari yang berbasis pada KAN. Tentu saja
kedudukan KAN dan LKAAM itu harus kuat dalam mengemban peranan sesuai fungsinya
dalam menerapkan nilai filosofi ABS – SBK ini.
Wisran (dalam Yulizal Yunus, 2001) dalam
menyampaikan pandangan dan memberikan kritik terhadap pelaksanaan ABS – SBK di
samping kritik terhadap prilaku ninik mamak dan fungsi kelembagaan adat dalam fenomena
terakhir. LKAAM (Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau) sendiri diberi kritik pedas. Saat LKAAM
melaksanakan konsolidasi dengan forum Mubes (Musyawrah Besar) ke-10 Tahun 2010,
disebut Wisran pada sebuah koran besar (Padang Ekpress, 7 Juni 2010) , “LKAAM
mati suri” dan patut dibubarkan”.
Fenomena ini tantangan
LKAAM memperkuat eksistensinya dalam mengubaloi adat Minang. LKAAM harus
tetap hidup dan bersanding dan seperti tadi disebut sharing power dengan
ulama (MUI) dan cadiak pandai (pemerintah provinsi, kab/ kota, kecamatan dan
nagari) mensosialisasikan ABS – SBK. Diinginkan lembaga adat ini di garda
terdepan berperan memerintahkan secara adat dituas oleh KAN dalam pelaksanaan
ABS – SBK ini, agar masyarakat adat Minang berpriku sesuai adatnya dan agamanya
Islam. Tentu saja dalam pelaksanaannya harus mendapat pasilitas yang besar dari
pemerintahan daerah diimplementasikan pemerintah otonom di nagari. Situasi
sekarang, harapan tingga harapan, pasilitasi pemerintah di daerah masih lemah,
malah KAN tidak lagi dibantu dalam bebarapa kasus di kabupaten/ kota. Karenanya
kedudukan KAN tidak kuat, tidak bisa melenggang dan jalan terasa tidak datar. Kata orang Minang “elok lenggang di nan data”.
***
Painan, 21 September 2013
[1]Yulizal
Yunus Dt.Rajo Bagindo, Ketua Lembaga Penelitian IAIN Imam Bonjol, Lektor Kepala
pada Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol, Ketua V LKAAM Sumatera Barat
dan Ketua Dewan Adat dan Syara’ Nagari Taluk Batangkapas. Makalah dipresentasikan
pada Pelatihan Pelaksanaan ABS-SBK KAN Painan – Pemda Pessel, 21 Sept 2013.
Juga pernah menjadi materi pada pembekalan ABS SBK untuk Ninik Mamak, Pemprov, di
Mariani Hotel, Rabu, 19 Oktober 201, 08.00 -10.00.
[2]Tim
ABS SBK itu selengkapnya Ketua, Ir. Puti Raudha Thaib, MP, Sekretaris penulis sendiri Yulizal Yunus Dt.
Rajo Bagindo, Anggota, Wisran Hadi, H.Kamardi Rais Dt. P.Simulie/ Ketua Umum
LKAAM, Prof. Dr. Nasrun Harun/ Ketua MUI Sumbar, Buya Mas’ud Abidin, Prof. Dr.
Nursyirwan Effendi, Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid, MS,Dt. Pahlawan GP Gajah Tongga, Firman
Hasan, SH, LLH., H.RB.Khatib Pahlawan Kayo, Prof. Dr. Hayati Nizar, Prof. Ir.
Yuliar Anas, Hj.Nur Ainas Abizar/ Ketua Umum Bundo Kandung, Drs. Zulfahmi
Dt.Rajo Nan Putiah, Musyawarah Pertama
Tim Sabtu, 21 Januari 2006 jam 09.00 –
17.00 di Pangeran Beach Hotel pada Basa Room.
Posting Komentar