/ Shadiq
Pasadigoe
(Dimuat Skh. Singgalang,
12 Maret 2014, Halaman 1)
![]() |
Bupati Tanah Datar |
Mutasi atau
pindah jenis pekerjaan (tour of duty) dan tour of area (pindah
tempat kerja) bagi pegawai adalah satu kemestian dalam sebuah instansi. Namun
pelaksanaan sebuah kemestian itu, bagaimana berjalan “damai”, adalah sebuah
kemestian pula yang harus dijaga pimpinan. Artinya tour of duty itu
tidak berbuntut konflik, internal bahkan meluas menjadi konflik eksternal.
Sungguh pun
demikian terjadinya konflik internal meluas menjadi konflik eksternal dan
terbuka tidak pula jarang terjadi. Satu di antaranya adalah kasus konflik
pemblokiran jalur keluar masuk “TPA Sampah” Air Dingin Padang. Pemblokiran itu
dilakukan puluhan warga setempat 30 April 2014 lalu, yang berakibat truk sampah
berjejer tertahan dan menawarkan aroma tak sedap yang dapat merontokan “bulu
hidung”. Peristiwa itu dilansir media masa, adalah bagian dari reaksi tour
of duty lima puluhan pejabat eselon II,III dan IV di Pemko Padang termasuk
seorang camat di wilayah setempat 28 April 2014. Fenomena pemblokiran TPA
Sampah itu banyak kalangan “menyayangkan” baik unsure eksekutif, legislative
maupun beberapa tokoh masyarakat, karena berpotensi menjadi preseden di ujung
setiap mutasi nanti, meski aksi ini dapat berakhir dengan cara damai, setelah
mengembalikan camat setempat ke jabatan semula.
Namun yang
harus disadari, dari perspektif sosiologis, aksi masa itu tidak serta merta. Harus
diakui, hal itu juga bagian hak dan kontrol sosial terhadap kontrak sosial yang
ada dalam ikatan-ikatan sosial yang ketat pada masyarakat tradisional setempat.
Dimungkinkan adanya
aksi masa itu, karena mereka punya “persepsi lain”, mungkin mereka menduga, ada
kepentingan sesaat yang sarat muatan politis di balik proses mutasi itu, atau mungkin
karena tekanan dan intervensi politis. Namun kita percaya pula bahwa pengambilan
kebijakan tour of duty (pindah jenis pekerjaan) dan tour of area
(pindah tempat pekerjaan) oleh pimpinan publik pastilah sudah ditimbang-timbang
dengan bijaksana.
Artinya, kebijakan
mutasi itu dari versi king maker, sudah dilakukan dengan arif bijaksana.
Namun juga perlu disadari, betapapun bijaksananya sebuah kebijakan itu, belum
tentu pula dipandang di luar sebagai kebijakan bijaksana, Lebih dari itu ada
saja yang merasa dirugikan. Justru harus diakui pula, secara psikologi publik, apa
yang anggap pemimpin sebagai “baik”, belum tentu “benar” di mata orang, dan apa
yang dianggap “benar”, belum tentu pula dianggap baik di mata orang lain.
Namun yang
harus disadari kebijakan mutasi (tour of duty dan tour of area)
ini, bagian dari pengalaman pimpinan yang tujuannya mulia. Secara ideal ada
kepentingan yang lebih besar, yakni di samping kepentingan penguatan
kelembagaan/ organisasi/ instansi juga pemberdayaan pegawai dan atau pejabat
yang menjalani mutasi.
Bagi instansi
mutasi bermakna penguatan organisasi, karena tour of duty merupakan momentum
dalam penciptaan kader pimpinan instansi
itu. Bagi pegawai bermakna bagian dari momentum promosi bagi pegawai yang
memenuhi persyaratan serta dipandang mampu meningkatkan performance result
(kinerja hasil) pada jabatan barunya.
Kerenanya
mutasi pada sebuah instansi semestinya dilakukan melalui pertimbangan matang
dan melalui prosedur hasil keputusan sidang tim “baperjakat”. Pertimbangan itu
dilakukan untuk pengembangan karir, dilihat dari aspek moralitas, integritas, kompetensi,
tingkat pendidikan/ diklat yang ditempuh, termasuk pertimbangan kepangkatan.
Justru pangkat
dan jabatan bagi pegawai bukan sekedar atribut keberadaannya di sebuah
instansi. Namun pangkat dan jabatan juga menunjukkan nilai dan kualitas kemampuan
melakukan pembaharuan (inovasi) dan menawarkan pola pikir kreatif dalam
pelaksanaan fungsi manajemen tupoksi, kewengangan dan tanggung jawabnya sebagai
abdi Negara dan masyarakat. Pelaksanaan fungsi manajemen itu seharusnya
memiliki kepastian arah pelaksanaan reformasi birokrasi dan mewujudkan clean
government (pemerintah yang bersih) dan berwibawa dalam good
governance (tata
kelola pemerintahan yang baik).
Karenanya kalau ada kebijakan mutasi, jangan karena tekanan dan intervensi para
pihak (stakeholder).
Ketika ada
tekanan dan intervensi “nan diawak” dan atau “tim sendiri” itu diberi peluang,
sulit bagi pimpinan publik (mulai dari presiden sampai ke lurah/ kades/ wali
nagari) menyelamatkan institusinya. Lebih dahsat dari itu, tidak saja intervensi
itu melahirkan kondisi blamming the victim (ketidakadilan) bagi yang
menjalani tour of duty, bahkan pimpinan sendiri yang membuat kebijakan
mutasi itu, sulit selamat dalam proses kepemimpinannya. Karena baru saja
memangku jabatan publik, serta merta dipaksa untuk melakukan mutasi (yang belum
menjadi haknya) secara tidak santun dan damai. Ujung-ujungnya kebijakan yang
dipaksakan itu membuahkan konflik gaya baru bahkan bisa meluas memicu aksi masa
seperti pengalaman Padang tadi.
Karenanya,
kalau ada paksaan kepentingan politik suatu golongan/ partai dan intervensi
para pihak termasuk pihak “nan diawak” atau “tim sendiri”, bagi pemimpin sepatutnya
dihindari. Sebab tidak mustahil intervensi itu jika satu kali dikabulakn, akan
meluas meliputi berbagai aspek, ya aspek manajemen/ administrasi, finansial, juga
kebijakan personil dan kebijakan strategis lainnya.
Fakta ini
bagian terbesar dari serangkaian pengalaman pemimpin. Pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan tour of duty, yang dimaksudkan semula untuk penyegaran personil
dan pejabat serta penguatan kelembagaan/ institusi, justru sebaliknya
melahirkan suasana kerja baru yang
menggelisahkan, tidak nyaman dan tak segar (refresh), yang pada
gilirannya melahirkan impact (dampak) buruk kepada institusi dan
mengendurkan performance result (kinerja hasil). Mari jadikan
pembelajaran bagi kita semua sebagai pemimpin.***
Posting Komentar