Puasa itu dapat mensucikan tubuh dari hal-hal yang dapat meracuni
pertumbuhan pisik (gemuk – cepat tua) dan psikis (ketidakpedulian). Kata
Nabi saw: …likulli syai’in zakatun, zakat al-badan al-ju` / …segala sesuatu ada zakatnya, zakat badan adalah menahan lapar”. Demikian pula diperingatkan la tumayyitu l-quluba (jangan matikan hati) dengan makan dan minum yang banyak. Hati itu bagaikan al-zar`u (kebun), tanamannya akan mati bila direndam genangan air.
Puasa dimaknai imsak
(menahan) dalam interval waktu mulai terbit fajar sampai terbenam mata
hari. Yang ditahan itu makan dan minum serta segala yang membatalkan
puasa. Menahan lapar bernilai menzakatkan badan. Nilai ini bisa jadi
i’tibar praktek orang gemuk yang gelisah ingin kurus. Ia
diet setidaknya mengurangi makan. Orang diet sudah sadar, banyak makan,
perut kenyang, biasa mata mengantuk. Sering tidur dalam kenyang, berat
badan bertambah dan gemuk lagi, setidaknya setelah bangun badan tidak
sehat. Rasakanlah di waktu sahur, perut kenyang sehabis shalat subuh,
terror kantuk datang tak ketulungan. Rasa mau runtuh semua kekuatan
badan kalau tidak ditidurkan.
Rasa
kantuk biasa memaksa pikiran sehat membenarkan pola laku tidur setelah
makan kenyang. Padahal setelah makan kenyang itu akal sehat menasehati
tidak boleh tidur karena bisa merusak badan dan jiwa seperti juga
nasehat dokter. Yang jelas dalam praktek tidur di waktu perut kenyang,
ketika bangun badan terasa angkik-angkik/ tidak segar, otak tidak encer – tidak cemerlang dan jiwa jadi kusut. Adalah benar, dalam badan yang sehat terletak otak yang sehat -cerdas. Karenanya Nabi saw menyuruh: “shumu tashihhuu/ puasalah kamu agar sehat”.
Tegas,
berlapar-lapar dalam puasa, itu menyehatkan badan dan jiwa. Kalau
kenyang dan penidur, perhatikanlah peringatan Nabi saw: “man syaba’a wa nama, qasa qalbuhu…/ siapa
yang dalam keadaan kenyang lalu tidur, kesat hatinya”. Kesat hati
mengesankan, jiwa rusak. Implikasinya dalam kehidupan: cuek, tak acuh/
tak peduli penederitaan orang lain seperti orang miskin. Tidak ada
kepekaannya bahkan tidak tersentuh untuk menyahuti jeritan si miskin dan
meredam kelaparan mereka.
Imsak
(menahan) dalam puasa, bukan sekedar merubah jadwal sarapan pagi dan
makan siang dan malam. Tetapi justru mengurangi dan menyederhanakan menu
dan memperbaikan pola dan volume makan. Ketika Ramadhan datang
diingatkan Nabi saw. puasa itu “…sufidat al-syayathin/ merantai
setan”. Dalam diri manusia ada symbol setan ialah nafsu. Imsak/ puasa
bukanlah membunuh nafsu tetapi juga diet, menekan kehendak nafsu yang
tidak berpangkal dan tidak berujung (tidak pernah ada kepuasan). Kalau
membunuh nafsu, manusia jadi malaikat. Itu tak mungkin. Aplikasinya,
penenakanan nafsu dalam makan minum bukan berarti tidak boleh makan.
Silakan (memaknai ayat Al-Qur’an) “…kulu wasyrabu wala tusrifu/ makan
dan minumlah tetapi jangan berlebihan”. Yang menyakit itu berlebihan.
Kalau berlebihan, tindakan itu versus imsak dan memasuki ambang
kegagalan dalam pengekangan nafsu yang tadi disebut simbol setan dalam
diri manusia. Dalam keadaan ini puasa tidak berfungsi menzakatkan badan
dan menyehatkan jiwa.***
Puasa dan Kebersamaan
/Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-2)
Orang
yang puasa penuh rasa keimanan dan ihtisab (penuh perhitungan dan
sabar) implikasinya melahirkan budaya mampu mengendalikan diri dan
disiplin. Justru imannya yang kuat, berfungsi dapat menangkal segala
godaan. Imannya akan mengekang rong-rongan hawa nafsu sebagai symbol
setan dalam dirinya.
Dengan
keimanan yang kuat, akan membebaskan diri dari sikap individualis. Iman
orang puasa mengajak untuk menolong orang setidaknya memotivasi memberi
perbukaan. Motivasi itu diisyaratkan: siapa yang memberi pebukaan kepada orang puasa, maka pahalanya sama dengan pahala orang yang puasa itu. Dengan imannya ia didorong berbagi pikir, ilmu dan pengetahuan seperti motivasi: “mandalla `ala khairin falahu ajri fa`ilihi/ siapa yang menunjuki kebaikan sesorang maka baginya pahala sebesar pahala orang
yang melakukannya”. Boleh jadi dipahami puasa itu dapat meruntuhkan
sikap keakuan dan membangung budaya baru di atas keruntuhan keakuan dan
keruntuhan egoisme sektoral itu yakni sikap togetherness (kerbesamaan) dan suka ta’awun (saling tolong, bekerjasama) dalam kerja yang benar.
Karenanya pantas didengar seruan, jaddidu imanaku (imanmu
perbaharuilah). Orang dapat melakukan puasa pasti disebabkan dasar
imannya yang kuat. Allah swt pun hanya mengajak orang beriman untuk
melakukan puasa. Puasa dilaksanakan dengan iman (penuh keimanan anti kemusyrikan) dan dengan ihtisab (pernuh perhitungan, sabar) pasti akan diampuni dosanya seperti yaumun walathu ummuhu (suatu hari yang saat itu ia dilahirkan ibunya) dalam keadaan suci seperti kertas putih (al-abyadhu min al-danas).
Ketika
puasa, kita tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan seks suami
isteri dll. di siang hari, inti ajarannya adalah mengajak manusia
menahan diri. Dalam kalimat lain seorang beriman tidak dibolehkan makan
minum dan berhubungan seks suami isteri di siang hari, meski miliknya
sendiri, halal dan tayyibah (baik), artinya kalau milik sendiri
saja tidak boleh dimakan dan diminum, karena sa’at itu dilarang,
bagaimana mungkin orang yang sudah pernah melaksanakan puasa itu mau
memakan milik orang lain yang sudah jelas-jelas dilarang oleh agama dan
aturan sosial atau adat istiadat. Karenanya siapa yang ingkar juga, keparatlah.
Orang
yang mampu menahan diri dan merantai nafsunya akan menadapat nikmat
iman dan terhidar dari prilaku kefarat. Prilaku adalah perangai yang
bila orang melihatnya amat memuakan. Keparat (kafir) berseberangan
dengan iman. Sikap keparat dalam masyarakat dilihat tidak lebih baik
dari sampah dan pelakunya dinyatakan sebagai sampah masyarakat, ia akan
dipencilkan masyarakat dan terbuang.***
Puasa dan Kepatuhan Sosial
/ Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-3)
Puasa
dengan paradigma menahan implikasinya mendidik prilaku tahu diri dan
melahirkan kepatuhan sosial. Orang puasa akan punya kesempatan tadabbur
(merenungkan) dirinya dan tahu diri, buat apa berbangga-bangsa toh
asalnya dari tanah (baca QS. al-Hajj 22:5). Orang puasa dengan basis
imannya, yakin dari tanah manusia diciptakan menjadi ahsan taqwim (ciptaan
tarbaik) yang tugasnya di bumi menjadi pemimpin (khalifah). Setiap
pemimpin akan bertanggungjawab apa yang dipimpinnya. Yang dipimpin dari
imannya lahir sikap kepatuhan sosial dan mematuhi pemimpin, di samping
ta’at kepada Allah swt dan RasulNya. Athi`ullaha wa athi`u l-Rasul wa ulil amri minkum (ta`atlah pada Allah, Rasul dan pemimpinnya).
Kalau
keta’atan (kepatuhan – loyalitas) dan kesalehan sosial itu sudah
menjadi prilaku, maka beragama dan beribadat itu tidak berat. Apalagi
kegiatan ibadahnya sudah didasari iman dan ilmunya yang kuat, maka
perinsip-perinsip ibadahnya akan menjadi jelas. Puasa dari shaum awal mula dari fenomena pohon shaum Arab yang meranggas (tidak berdaun) dan Ramadhan dari ramadha
(terik mata hari), biasa puasa Ramadhan itu terjadi iklimnya panas.
Sa’at terik, orang puasa dibolehkan mandi, bahkan bisa menyirami kepala
dengan air. Artinya, kalau sudah tahu dan mau, maka puasa tidak susah.
Dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan sekalipun pasti ada rukhshah (dispensasi/ keringanan) yang membolehkan berbuka, dan puasanya dibayar (qadha’ al-shaum) pada hari lain. Seperti itu pula ada rukhshah bagi hubla (ibu hamil) dan murdhi` (ibu
menyusukan) kalau takut puasanya berakibat buruk pada anaknya boleh
berbuka plus membayar fidyah. Justru siapa yang tanpa alas an kuat tidak
mengambil keringanan puasa itu dalam sebuah perjalan Rasul saw dengan
sahabat disebut sebagai `usha (durhaka).
Diriwayatkan,
Nabi saw pernah berbuka dalam perjalanan. Ada yang tidak berbuka
bersama Nabi saw dalam perjalanan yang melelahkan, mereka dicap sebagai ula’ika l-`ushah (mereka
itu pembangkang/ durhaka) atau tidak ta’at. Orang yang bisa berpuasa
tetapi tidak kuat, pun diperbolehkan tidak puasa, tapi setiap hari
puasanya diganti dengan fidyah (memberi makan orang miskin, sama banyak dengan makannya sehari). Tapi kalau kalau masih tersisa kekuatannya untuk puasa, maka an tashumu khirun lakum /puasa lebih baik bagi kamu.
Kalaulah tidak kerena keta’atan, alangkah terasa berat puasa. Orang kuat sekalipun bisa tidak sanggup puasa. Tidakah ada fenomena
(kejadian/ peristiwa) dalam masyarakat, orangnya kuat, tapi tampak
lebih lemah dari orang tua, sudah tidak bisa puasa tidak pula membayar fidyah,
juga sepertinya lebih lemah dari ibu hamil dan menyusukan. Dibilang
agama yang berat dan sulit, ternyata dirinya yang keberatan lantaran
keta’atan kurang dilatari keimanan yang rapuh atau memang ketidaktahuan.
Kalau memang tidak tahu, belajar. Islam tidak membenarkan umat
pembangkang atau jadi pak turut/ taqlid buta karena kebodohannya.***
Puasa dan Kecintaan Belajar
/Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-4)
Di hari-hari puasa Ramadhan terutama qiyam al-lail (mengisi malamnya), disuruh mengaji Al-Qur’an disebut tadarus
(belajar). Tadarus pun sudah menjadi bagian budaya malam ramadhan,
hanya saja yang dipertanyakan instensitas tadarus itu meningkatatau
menurut.
Dalam praktek tadarus ada makna cinta belajar. Belajar diawali dari sumber utama Islam Al-Qur’an, adalah sumber ilmu dan prilaku. Bagi Rasul saw. al-Qur’an akhlaquhu (Al-Qur’an
adalah prilakunya). Karenanya, orang beriman berpuasa yang terbaik itu
adalah banyak membaca Al-Qur’an. Pahalanya dilipatgandakan, satu huruf
saja pahalanya diberi 10. Tidak sekedar itu, akan lebih baik lagi bagi
yang dapat ta’allum (belajar) dan ta’lim (mengajarkan) Al-Qur’an itu.
Perinsip
Qur’an mengangkat tinggi derjat orang berilmu plus beriman. Bahkan ilmu
itu dalam suatu hadis Rasul saw, disebutkan mengangkat citra pekerjaan
(amal). Amal minus ilmu (bekerja tanpa ilmu) akan mengantarkan orang
bersikap tah (bingung) dan tidak akan mendapat taufik
(perinsip-perinp dasar) pekerjaan, akhirnya menjebak diri ke neraka,
setidaknya menemukan kebuntuan hidup. Tetapi amal (pekerjaan) plus ilmu,
maka waratsahullahu `ilma maa lam ya`lam (Allah swt akan
menambah ilmu yang belum diketahuinya), bertambah pengetahuan empiris
sekaligus akan menemukan perinsip-perinsip kerja plus memasuki kawasan
sorga.
Yang pasti saja sorga ilmu itu dalam suatu hadist Rasul saw. ditunjukan ilmu yang banyak manfa’at. Manfaat ilmu itu (1) al-anis fi l-wahsyah (teman di kala sepi), (2) al-shahib fi l-ghurbah (kawan di perantauan), (3) al-muhaddast fi l- khulwah (mitra dialog/ kawan bicara di kala sendirian), (4) al-dalil `ala al-sarra’ wa l-dharra’ (penuntun arah di kala duka dan suka), dan (5) al-salam `ala l-a`da’ (pendamai persiteruan) dll.
Karenanya
Al-Qur’an disuruh untuk dipelajari dan menjadikannya sumber utama ilmu
dan prilaku. Nabi saw menjadikan Al-Qur’an jadi akhlaknya (sumber
prilakunya). Bagi orang puasa, prilaku yang baik nilai plus baginya.
Dari sumber hadist, orang yang puasa plus berakhlak baik misal senang
tetangganya dengan perangainya ia dinyatakan masuk sorga. Sebaliknya
orang puasa minus akhlak dinyatakan masuk neraka. Karenanya perlu tadabbur (perenungan) Al-Qur’an dan jadi prilaku, misalnya dalam bicara layyinun (lembut) memenuhi persyaratan ma’ruf (baik, tahu dengan identitas lawan bicara), karimah (kemuliaan, tidak menjatuhkan martabat dan kemuliaan) dan sadid (pembicaraan yang baik dan benar menyejukan).***
Puasa dan Bicara yang Jernih
/Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-5)
Betapa
indah didikan puasa. Kalau tidak bisa berbicara jernih, lebih baik
tidak berbicara seharian seperti diceritakan pengalaman hamba Allah
Maryam. Apalagi bicara itu qaul al-zur (bicara penuh kepalsuan) atau lagha (bicara yang kehilangn kearifan dan tak bermakna) atau rafas (bicara kotor), sebiknya di bulan puasa ini ditinggalkan.
Dalam
praktek keseharian, kalau tidak menyikapi pendidikan puasa itu, betapa
banyak orang puasa, bicaranya masih jelek. Ada nada marah, ada term
menikam kawan seiring dan menohok kawan seiring atau menggunting dalam
lipatan, ada esensi fitnah, suka mengulas informasi jelek yang
sebenarnya masalahnya belum diketahui secara pasti dsb.
Tentang
ulas mengulas informasi/ berita buruk ini, tanpa disadari sudah menjadi
akar budaya. Mudah benar memutar lidah dan berprasangka buruk. Duduk
berdua, cerita bercerita dan ota maota, satu dan dua masih
bagus, yang ketiga sudah mencla-mencle. Tak karuan, kalau bertiga enam
mengorbankan teman yang ketiganya atau orang ketiga yang didengarnya
bermasalah. Meski tak tahun maslahnya, masalah kecil dibesar-besarkan,
dari sejengkal ke sehasta dan sedepa (budaya bicara hiperbol).
Prilaku dalam merespon langsung miring ketika membaca berita miring
seperti tuduhan korupsi, skandal atau berita amoral lainnya hampir
merambah semua kalangan. Ada yang awam, ada yang tahu dan apalagi yang pasik
(ia tahu tapi pengetahuannya belum menjadi prilaku yang baik dan sering
melanggar norma pengetahuannya yang baik itu) langsung mencap salah,
tanpa tabayyun/ check and re check. Komentar lepasnya
sudah kemana-mana, belum putus dalam sidang pengadilan di ujung
lidangnya sudah selesai perkaranya. Tak ada baginya pra duga tak bersalah.
Semua yang diberitakan itu langsung divonis dan dijatuhi hukuman telak
di lidahnya disertai kebencian yang melaut. Tapi bila ditanya betul, ia
pun tak tahu esensi dan substansi kasus yang diberitakan dan yang
dikutuk dan didemonya itu.
Pasik
itu namanya, ia rajin puasa, tapi ia rajin pula berbuat buruk, seperti
ia tahu disuruh berkata dan berprasangka baik, tapi bicaranya seperti
benang kusut dan bikin keruh juga. Banyak bicara banyak salah, bisa
terjebak al-kazibah (dusta). Memang lidah mudah memutarnya, meski resikonya berat. Mulut kamu harimau kamu/ akan menerkam kepalamu. Taseleo kaki kisa diurut/ tasaleo lidah susah. Ada empat hal yang buruk berakar dari lidah, yakni, (1) al-kazibah (dusta), (2) al-ghibah (gosip, gunjing), (3) al-namimah (propokasi, hasud) dan (4) al-yaminu l-kazibah (kesaksian bohong). Bila empat hal itu dilakukan orang puasa, ia berarti telah berbuka sebelum minum makan.
Karenanya remlah Lidah tidak bertulang. Lidah bisa penuh janji dusta, tinggi gunung seberibu janji. Sulit menahan lidah. Kata orang arif, lidah kalau sudah talonsong
(terdorong) lebih berat dari mobil. Lidah itu kecil dan beratnya 0,5
ons. Mobil besar dan beratnya 4 ton. Tapi menge-rem mobil tidak susah,
menge-rem lidah setengah mati juga tidak bisa. Kalau bulan puasa sudah
membiasakan meng-rem lidah, maka lebaran yang penuh dengan mobilitas
spiritual akan menjaga konsistensi prilaku memelihara lida dan tidak
membiarkan lidah biasa terseleo usai puasa.***
Pakaian Baru atau Bersih
/Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-6)
Minggu-minggu terakhir puasa ramadhan sesuatu ironis sering terjadi. Secara sepintas bukan lagi terlihat berpuasa tetapi berpuas.
Pasar rami membeli makanan dan pakaian persiapan lebaran ‘idulfitri.
Bernafsu ingin serba baru. Pada hal puasa tidak mesti serba baru, yang
lusuh/ lama pun lebih disuruh diperbaharui. Watsiyabaka fatahhir (pakaianmu bersihkan). Karena jamil al-tsiyab (sebagus-bagus pakaian) adalah ihsan
(Allah hadir dalam kehidupan di mana dan kapan saja). Kalau Tuhan hadir
setiap sa’at dalam kehidupan, pastilah tumbuh prilaku takut berbuat
salah.
Kalau didikan puasa ini tidak dihayati, maka di lebaran `id al-fithri (yang berarti kembali berbuka), segera pula pola konsumtif menguasai kehidupan sehari-sehari. Bisa-bisa ‘idulfitri memperlihatkan corak mobilitas materiil.
Makan dan minun bukan saja tidak terkendali, yang dapat merusak dan
meracuni tubuh kembali, akal pun jadi suntuk, hati tidak cemerlang, jiwa
kasar lagi bahkan tidak pernah lagi merasakan kepahitan hidup orang
kelas bawah dan dhu`afa (orang lemah). Padahal Allah swt telah mengingatkan lewat wasiat Rasul saw, al-qashdu fi l-qhida wa l-faqri (tetap
sederhana/ hemat sa’at kaya dan sa’at fakir/ orang yang masih
membutuhkan). Juga diwasiatkan agar bisa menyisakan belanja sehingga
punya kelebihan yang bisa disumbangkan kepada orang yang membutuhkan
bantuannya, sebagai bentuk kehalusan dan kepekaan pribadi terhadap
jeritan orang lemah.
Kalau
pola konsumtif lahir dalam bentuk mobilitas materiil, maka akan lahir
penyakit sosial baru yang suka menumpuk harta, kikir dan bermegah-megah
dengan harta serta kedudukannya yakni, (1) humazah (mengumpat orang miskin harta tapi status sosialnya tinggi, kenapa tidak bisa kaya sepertinya), (2) lumazah (suka mencela orang miskin harta dan status sosial tinggi, lihatlah terhormat ya, tapi miskin) dan (3) sikap takatsur (berbangga-bangga dengan harta) atau tafakhur (bermegah-megah dengan status sosial yang tinggi) yang Allah swt memperingatkan akan alhakum al-takatsur hatta zurtum al-maqabir (mentelantarkannya sampai ke liang lahad).
Jika di bulan puasa semua ajaran itu disampaikan dalam seruan humanistik spiritual
yang memancar dari mimbar masjid, maka yang harus dijaga adalah
konsistensi prilakku itu pada momentum idulfithri dan masa selanjutnya
tersosialisasi dalam kehidupan.***
Zakat Fitra dan Kasih Sayang
/Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-7)
Ashila man qatha`aniy (aku
sambung hubungan silaturrahmi dengan orang yang suka memutus hubungan)
wasiat Rasul. Hubungan yang harmonis terlihat dalam seringnya interaksi
antar pribadi dan kelompok sosial. Sikap santun dan pengasih tumbuh.
Terasa sekali man rahima ruhima (siapa yang mengasihi dikasihi). Salah satu wujud kasih itu bisa dilihat dari sikap suka memberi dan suka menerima.
Dalam
pembinaan hubungan sosial diperlukan pengembangan sikap suka memberi.
Rasul memberi wasiat dalam salah satu bentuk prilakunya, u`thiya ma haramaniy (ku
hadiahi orang yang suka menghalangiku). Suka memberi meski pun musuh,
merupakan aplikasi nilai Islam yang mengajarkan sikap kasih sayang yang
tidak pernah pupus meski teman punya kesalahan.
Rasa
sayang dan senasib sepenanggungang di bulan puasa menonjol. Seolah
puasa mengajarkan sikap memberi. Pemberian di bulan ramadhan dimotivasi
nilai Islam, pahalanya berlipat ganda. Pemberian perbukaan saja misalnya
kaana lahu mistlu ajrihi (pahalanya sama dengan pahala puasa orang puasa yang diberi perbukaan itu).
Konsistensi
prilaku suka memberi dan mengasihi orang itu diajarkan Islam tetap
berlanjut usai ramadhan. Event menjelang idulfithri diharuskan setiap
orang puasa membayar zakat fithrah. Dianjurkan selambat-lambatnya khatib
naik mimbar untuk khotbah idulfithri, zakat fithrah sudah dibayar.
Fungsi zakat fithrah itu untuk thu`mah lil-masakin (memberi
makan orang miskin). Artinya dengan zakat fithrah tidak ada orang
miskin yang tidak makan hari itu, seperti itu juga para fakir dan
mu’allaf, gharim (yang berhutang), budak dan orang yang berada pada
perjalanan (ibnu sabil) serta dalam fi sabilillah. Lebih jauh makna
zakat itu, ada pengajaran yang indah di dalamnya, yakni supaya merasakan
kesulitan orang lain yang lemah (dhu`afa) dan tidak menyusahkan orang
lain.
Untuk
mengatasi kesulitan orang lain itu, kita diajar mengeluarkan harta kita
yang di dalamnya ada milik orang yang kesulitan dan membutuhkan itu
sebagai manifestasi keadilan sosial. Kalau nilai ini tersosialisasi dan
menjadi sikap hidup, mana mungkin orang bisa mencuri, merampok dan
memotong hak orang lain, lalu dinikmatinya secara tidak sah dan sudah
sejak awal dilarang agama dan etika sosial.
Pada
idulfithri ini pun, tidak boleh orang miskin bersedih, apalagi tetangga
atau anggota masyarakat kita. Hari itu berbagi kebahagiaan. Idulfithri
tidak pada libas (berpakaian) dan markub (kenderaan)
dan yang serba baru, tetapi hari raya itu dapat memberi makan orang
miskin. Orang miskin dan dhu`afa di sekitar harus merasakan kebahagiaan.
Ketika
puasa kita sudah diajar merasakan lapar. Dipaksa untuk merasakan betapa
sulitnya bagi orang dhu`afa itu menahan lapar dalam ketiadaanya. Bila
perasaan ini tertanam dalam di sanubari, mustahil orang bisa melakukan
korupsi (KKN) yang memungkinkan akibatnya membuat banyak orang bisa
kelaparan.***
Puasa, ‘Id dan Ajaran Memberi Maaf
/Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-8)
Memasuki
lebaran muncul budaya meminta maaf. Medianya ada lewat kartu lebaran
sekarang didominasi SMS di samping langsung berjabatan tangan.
Sebenarnya Islam mengajarkan memberi maaf, bukan meminta maaf. `Afwu man zhalamani
(aku ma’afkan orang yang suka menzhalimi/ jahat padaku), salah satu
sikap Rasul saw. Meminta maaf dimulai dari orang yang paling dimuliakan
dan yang terdekat seperti orang tuan dan saudara, bukan orang di
seberang lautan yang harus dahulu.
Sikap
suka memberi ma’af tanpa harus diminta, adalah inti ajaran sosial dalam
Islam. Ajaran ini juga menjadi esensi/ inti dari malam mulia di bulan
ramadhan, yakni malam Qadar. Malam yang dianjurkan mendapatkannya pada
malam ganjil 10 hari terakhir yakni malam 21, malam 23, malam 25, malam
27, malam 29, dapat beribadat malam itu sama artinya dengan beribadat
1000 bulan.
Inti ibadat malam qadar itu adalah do’a. Inti do’anya adalah kema’afan. Do’anya, meminta kema’afan Allah, bukan meminta kekayaan atau hanya yang bersifat duniawi, yakni allahumma innaka `afwun tuhibbu l-`afwa fa`fu `anni (ya
Allah, sesungguhnya Engkau pema`af, karenanya ma`afkanlah aku). Dari
do’a yang dianjurkan malam qadar ini, bermakna, bahwa kita disuruh di
samping mencari kema’afan Allah juga disuruh memberi ma’af bukan meminta
ma’af. Biasakah memberi ma’af seperti wasiat Rasul tadi.
Cara
mengembangkan sikap pema’af dan mudah mendapat kema’afan ada resepnya
dalam Al-Qur’an. Resep itu terkandung dalam firman Allah swt dalam
sistem penciptaan manusia yang suka berkelompok dan bersuku bangsa.
Manusia berkelompok, gunanya li ta’arafu (untuk saling mengenal). Ta’arafu itu akar katanya ta’aruf
(saling berkenalan). Saling berkenalan dimaksud, saling mengtahui
identitas orang dan kelompok orang. Kalau sudah berhasil mengenal
identitas seseorang atau kelompok orang, apapun sikap dan prilakunya
pasti akan dipahami. Kalau sudah dipahami, pasti menumbuhkan sikap tasamuh (toleran),
tidak akan pernah marah, apapun yang dibuat orang yang identitasnya
sudah kita kenal, justru akan tersenyum dan dapat dengan mudah
mema’afkannya.
Dalam
suasana pergaulan misalnya orang yang identitasnya sudah dikenal maka
tumbuh sikap saling mengerti serta toleran, pastilah akan lahir setiap
sa’at rasa pema’af, tidak akan ada kamus tiada ma’af bagimu
bahkan akan memudahkan kita mendapat kema’afan orang dan Allah swt.
Psychologinya, bila kita mendengar orang kasar, kita tahu identitasnya
kasar, sebenarnya patut dikasihani, mungkin karena sejak dari sononya
kasar, atau kasar karena belum mendapat nur ilahi –belum tahu agama
atau pembawaannya kasar hatinya lembut. Bagaikan mu’allaf (patutut
diberi kasih sayang), ya harus disentuh hatinya. Bahkan mu’allaf cara
menyentuh hatinya diberi zakat, supaya tumbuh kasih sayang di hatinya.
Karenanya patut dihayati nash: man rahima ruhima(siapa
yang menyayangi orang, pasti ia disayangi). Pribadi yang halus selalu
sayang pada orang, ia pun membutuhkan kasih sayang (rahmat) dari arhama l-rahimin (yang amat pengasih penyayang) yakni Allah swt.***.
‘Idulfitri, Jangan Ada Duka di antara Kita
/Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
(Bagian ke-9)
Pagi
idulfithri, seharusnya jangan ada duka di antara kita. Karena
‘idulfitri itu hari berbuka, perasaan bahagia, badan dan jiwa suci,
kembali kefitrah yang bersih seperti baru dilahirkan ibu. Karenanya
berbahagialah!. Nyalakan semangat, hangatkan perasaan sambil merenung
anugerah ilahi di bawah kumandang syahdu kalimat takbir, tahmid, tasbih dan tahlil sejak malam mulai terbenam matahari sampai pagi hari raya ‘idulfitri.
Renungan berarti adalah, mengingat apa arti dan makna Ramadhan yang telah kita puasakan. Apakah sekedar rutinitas formal
saja bagi kita setiap tahun. Tahun dulu puasa, tahun ini puasa,
puasanya seperti itu juga, tidak merubah, apakah intensitas ibadah itu
sudah dapat merubah tingkah laku.
Dari masjid di setiap malam-pagi selama ramadhan penuh dengan seruan nilai humanistik spiritual (ruh al-insani/ nilai kemanusiaan), sebenarnya dapat mengantarkan kita memasuki idulfithri yang penuh dengan mobilisasi spiritual sebagai modal membina keharmonisan sosial masyarakat lingkungan dan menghindari diri dari kecemburuan dan konflik sosial.
Allahuakbar.
Kalau di dalam masyarakat masih banyak kecemburuan sosial, konflik,
tata pergaulan tidak harmonis, patut momentum idulfithri ini dijadikan
event mengembangkan usaha pembinaan keharmonisan dalam masyarakat.
Pastilah, bagi orang yang puasa dan idulfithrinya penuh mobilitas spiritual
(gerakan nilai moral Islami) akan bermakna menyuckan badan dan jiwa dan
terwujud hakekat kembali ke fithrahnya yang suci seperti bayi yang baru
dilahirkan ibunya dulu, bahkan akan melahirkan fiqh al-bathin
(kode prilaku) masyarakat yang mampu mengendalikan diri, kepatuhan
sosial, cinta belajar, bicara jernih, baso indah, suka memberi ma’af
dsb.
Kita menjadi sadar, bahwa sebenarnya puasa dan lebaran kita bukan sekedar rutinitas formal tahunan
atau bukan hanya hendak mendapat keampunan dan masuk sorga/ bebas dari
neraka, atau secara pisik hendak ingin mendapat kesehatan badan, tetapi
harus diresapi bahwa semua ibadah itu dikerja sebagai amal shaleh yang
dikerjakan berdasarkan keimanan untuk melaksanakan perintah Allah swt.
Hal yang sangat substansial dalam pelaksanaan ibadah atas perintah Allah adalah menjadi insan al-kamil, secara vertikal terjalin hablun min Allah dan rela menyembah Allah dan pandai bersyukur atas nikmat dan secara horizontal berkembang hablun min al-nas sebagai peluang berbuat ihsan (sikap bahwa Tuhan hadir dalam hidup di mana dan kapan saja) dan ma’ruf
(baik) tanpa memandang suku, agama, ras, ideologi, pangkat/ jabatan
dll., tahu mana miliknya dan mana hak orang lain dan berbudi mulia
sebagai modal menciptakan keharmonisan di dalam masyarakat. Kiranya
masyarakat kita menjadi masyarakat yang rukun, damai dan harmonis. ***
Posting Komentar