Abtar boleh dimaknai proses keterhalangan/ terputus datangnya nikmat – rahmat Allah.
Rela berkorban, berarti dekat dengan Allah swt spiritnya dan diyakini
dapat memutus mata rantai mewabahnya abtar. Tanda abtar, boleh jadi
segala sesuatu yang didapat tidak berkat, bahkan segala proses usaha
pribadi, kelompok mungkin bangsa selalu diikutu force major, seperti
fenomena kemiskinan, tidak malu mengaku miskin, ketakutan terhadap
makanan yang menaruh formalin atau kimia pengawet lainnya termasuk
pewarna makanan, dan produsen/ penyedia makanan itu tidak menaruh hiba
kepada orang/ konsumen akan teracuni kimia itu bahkan bisa membunuh,
karena dilatari tidak rela berkorban ingin meraih untung besar. Abtar
secara essensial menyemangati lahirnya budaya (prilaku) dan amalpebuatan
yang humanistik dan ilahiyah.
Kata abtar muncul dalam QS. Al-Kautsar 108:1-3, mengamanatkan, agar tidak tekena abtar
harus rajin beribadah rela berkorban sebagai tanda bersyukur atas
nikmat dan rahmat Allah. Racun kemauan beribadah dan bersyukur, di
antaranya berakar dari prilaku lemah, mau dihalangi dan tergoda pula
menghalangi dalam sikap yang muncul kurang rela berkorban. Faktor
penghalang dan membuat terhalang rela berkorban itu setidaknya nafsu (prilaku keinginan setan yang ada pada kita, tak berujung tak berpangkal) dan sifat hayawani
(prilaku kebinatangan, tega-teganya berprilaku tidak manusiawi/
humanistik). Kalau faktor ini menonjol, meskipun ada kemauan berkorban,
hanya di mulut. Misalnya ia berkata: demi bangsaku, tetapi kenyataannya bank bangkrut, sakunya padat. Itu korup namanya. Atau juga: jadikan hukum imam.
Imam tak tegak-tegak. Imam pun apa lagi rakyat terhukum tanpa dasar
hukum yang jelas. Hukum jadi bahan dagangan. Rakyat, kambingnya yang
hilang mencarinya secara hukum rumah yang terjual, rakyat jadi terhukum.
Fenomena tidak taat asas hukum. Mengorbankan kepentingan agung dan
tidak bekorban demi kepentingan lebih besar. Abtar bentuk apalagi yang
mau datang, na`uzhubillah.
Rela
berkorban, belajarlah pada Ibrahim, betapa dengan kerelaannya
berkorban, sabar dan tawakal dalam meraih nikmat, ia terbebas dari abtar. Pada
mulanya yang dikorbankan Ibrahim tidak binatang tetapi semua yang
disayangi dan yang dicintainya termasuk anaknya Ismail untuk disembelih
(QS Ashshaffat 37:102-108). Islamil pun santun pada ayahnya sambil
berkata: … sembelih aku jadi korban sesuai perintah Allah, insya Allah
ayah mendapatkanku sebagai anak yang sabar/ … ya abatif`al matu’maru, satajiduni insya Allah min ashshabirin… (QS
Ashshaffat 37:102). Kesabaran mereka teruji. Balasannya luar biasa, si
jantung hatinya Ismail tetap hidup, di luar dugaan, Ibrahim dipanggil
Allah (QS Ashshaffat 37:104) Ia dicegah menyembelih Ismail dan diganti/
ditebus dengan korban binatang (kibas/ kambing, lembu) disebut dzabih `azhim/ sembelihan yang besar (QS Ashshaffat 37:107). Ia terbebas dari bahaya abtar (terputus nikamat – rahmat datang kepadanya) bahkan, kepadanya dilimpahruahkan salam/ kesejahteraan: keselamatan, kedamaian, kekayaan dan martabat (QS Ashshaffat 37:109).
Sekarang,
kambing atau lembu jadi binatang korban. Binatang korban saja betapa
tinggi kerelaannya berkorban, menyerahkan nyawanya demi tuannya. Leher
digorok, darah mencurat membasahi tanah, kaki menerjang-nerjang menahan
sakit, demi tuannya yang juga rela berkorban. Hikmahnya: pertama binatang disembelih adalah untuk membunuh sifat hayawani (kebinatangan) manusia, dan kedua pelajaran dari Ismail – Ibarahim berkorban untuk membunuh sifat syaithani (sifat setan) yang ada pada diri manusia.
Ibrahim
– Ismail adalah simbol-simbol spirit rela berkorban. Ali Shariati
(1983) banyak memberikan analisa menarik pengobanan Nabi Allah ini.
Dalam prspektif kekinian, apa yang harus kita korbankan (apa Ismail
kita). Apakah kita seorang Ibrahim – Ismail?, apakah kita orang tua
mencintai anak?, apakah kita pemimpin mencintai rakyat?, apakah kita
pemilik (kekuasaan, wibawa, kekayaan) yang mencintai apa yang kita
miliki?.
Apakah
kita seorang Ismail yang dicintai Ibrahim, apakah kita seorang anak
yang dicintai orang tuanya, apakah kita rakyat yang dicintai
pemimpinnya, apakah kita harta – kekuasaan yang dimiliki yang dicintai
pemiliknya, apakah kita seorang diri yang dimintai pengorbanan diri atas
dasar keayakinan kita?.
Pada diri Ibrahim ada keteladan (uswatun) yang baik (QS Almumtahanah 60:4,6), seperti ada pada Rasulullah saw ada uswatun hasanah
(QS Alahzab 33:21). Kalau kita mencontoh Ibrahim seperti Nabi saw
mencontohnya, apakah kita orang tua ayah, pastilah kita ada punya anak
yang dicintai, punya isteri yang dicintai. Korbankanlah sebagian
kehendak anak isteri yang menghambat ketaatan kita kepada Allah,
mengorbankan perasaan menundukkan keengganan mereka yakin dan taat
Allah, mengorbankan sedikit keberpihakan kepada anak isteri untuk
berbuat baik dan santun kepada orang tua dan orang banyak yang patut
disantuni, mengorbankan sedikit tuntutan kebutuhan anak istri yang
cenderung merugikan kepentingan orang banyak: mengambil milik orang,
milik masyarakat, milik bangsa dan Negara dsb.
Apakah
kita Ibrahim sebagai pemimpin, mungkin sebagai kepala dusun/ kampung,
mungkin wali nagari, mungkin ketua Badan Perwakilan Nagari (BPN) atau
DPN, mungkin ketua BMAS, mungkin Ketua KAN tempat berhimpun ninik mamak/
penghulu dan perangkatnya malim/ alim ulama (imam, katik, bila, qadhi),
mungkin manti/ cadik pandai, mungkin dubalang, mungkin pemuda parik
paga nagari, mungkin bundo kanduang limpape rumah nan gadang dan
undung-undung ka sarugo dst. Sebagai pemimpin korbankanlah kemampuan,
ilmu, kekuasaan, wibawa, kepentingan, perasaan untuk memberi arah kepada
yan diredhai Allah, membebaskan kebodohan masyarakat, mencegah
perbuatan jahat, melayani orang yang membutuhkanmu: staf, warga/ rakyat/
masyarakat, anak kepenakan dsb.
Apakah
kita Ibrahim sebagai pejuang radikal. Betapa dengan rabaan tangannya
ditamsilkan sebagai kapak/ martil meruntuhkan berhala yang dibikin bapak
yang membesarkannya dan menjadi sesembahan (tuhan) rakyat nimrod. Kalau
tidak radikal (radikal positif) integritas dirinya tidak akan muncul.
Radikalisnya penuh dengan semangat kepahlawanan yang non kontra
produktif (merusak), kehormatan, kemuliaan harga dirimu yang tinggi,
penghargaan yang dimiliki berkorban mengangkat martabat umat. Berjuang,
berjihad itu sulit meski ia radikal. Kadang keberpihakan tinggi, kadang
banyak lawan. Semangatnya menaruh api. Apinya kadang membakar diri kita
sendiri. Lihat sejarah Ibrahim dibakar hidup-hidup oleh kaum nimrod, tak kuasa Azar
pembuat dan penyebah berhala membelanya. Yang membela adalah semangat
pengorbanan yang istiqamah (lurus dan pendirian kukuh) berpihak kepada
yang kebenaran dan akidah iman yang kuat kepada Allah. Api yang panas
menjadi istana yang sejuk, karena Allah juga berpihak kepadanya.
Ibrahim
tetap pula sadar sebagai seorang anak. Kepada orang yang membesarkannya
Azar, ia tetap santun, meski musyrik fanatik menyembah berhala (patung)
yang dibuatnya sendiri. Ia tetap mendo’akan agar dosanya diampuni Allah
swt. (QS Almumtahanah 60:4-5)
Lalu
Ismail, seorang anak yang santun lahir dari ayah yang santun kepada
orang tua. Ya, ayah yang santun melahirkan anak yang santun. Jika Ismail
dicintai ayahnya, yang dicintai itu menggoda dan biasa pula
memperbudak. Siapa yang mencintai siapa ia akan diperbudak siapa yang
dicintainya. Ibrahim digoda saat perintah menyembelih yang dicintainya.
Kasih yang berlebih dapat menghalangi melihat yang benar. Mempertahankan
diri karena cinta diri pribadi bisa mencegah diri sendiri rela
mengorbankan sedikit kepentingan diri sendiri.
Sekarang
siapa Ismail kita. Mungkin rasa sayang/ cinta kita. Mungkin rasa kasih
kita. Mungkin harapan kita yang didamba. Mungkin diri kita, keluarga
kita, sahabat/ mitra kita atau kelompok pembela kita. Mungkin pekerjaan
kita, kekuasaan kita, kedudukan kita, cita-cita kita, jabatan/ pangkat
kita, harapan sukses/ kemenangan kita, prestasi kita, charisma kita,
supremasi kita, ketenaran nama atau harga diri kita. Mungkin kekayaan
kita: uang, mobil, rumah, sawah ladang, barang dagangan dan banyak lagi.
Semua itu tempat menumpahkan rasa sayang, karena sayang sering
melupakan kita kewajiban kepada kepada Allah dan orang banyak.
Korbankanlah
sebagian dari segala sesuatu yang dicintai itu untuk kepentingan yang
agung dan mulia (Allah/ agama dan manusia/ masyarakat bangsa dan
negara). Mungkin sebagian dari segala sesuatu: yang melemahkan iman,
yang menghalangi memikul tanggung jawab, yang melalai tugas pokok dan
fungsi kita, yang hanya memikir diri sendiri dan kelompok, mendorong
kita menghalalkan yang tidak halal dan korup, yang menyumbat kepekaan
hidung mencium yang benar harus diberikan kepada diri dan kepada orang,
menulikan telinga, membutakan mata bahkan membutakan nurani si mata hati
(intuisi) dsb. yang mungkin karena produk kita bukannya orang kenyang
tetapi teracuni dan mati. Bacalah kasus wabah bahan makan kita sekarang
yang diracuni kimia pengawet, pewarna dsb.
Artinya berkorban mencerdaskan hati sanubari/ nurani menumbuhkan sikap to getherness (kerbesamaan) dan suka ta’awun (saling tolong, bekerjasama) melenyapkan kepedihan orang lain di samping pembebasan kita dan orang lain dari kemungkinan abtar (terputus dari nikmat-rahmat Allah).
Bangsa kita dewasa ini, membutuhkan rakyat dan pemerintahnya memperbesar semangat dan budaya rela berkorban biar abtar
tidak mengerogoti bangsa kita, yang wabahnya menakutkan kita semua
seperti saat ini ketakutan datangnya bencana alam seperti gempa dan
tsunami, ketakutan ancaman kemiskinan dan tidak malu mengaku miskin
untuk menguntung diri sendiri, ketakutan makanan saat ini menaruh
formalin dan pengawet serta pewarna lainnya yang meracuni tubuh dan
membunuh kita semua. Ya Allah tumbuhkembangkanlah semangat korban pada
kami semua.***
Padang, 10 Januari 2006
*** Yulizal Yunus, Dekan Fakultas Ilmu Budaya – Adab (FIB-A) IAIN Imam Bonjol.
E-mail: yy_datuk@yahoo.com atau fiba_dab@yahoo.com
Posting Komentar