/ Yulizal Yunus

Puasa momentum merefleksikan bahasa Al-Qur’an dalam bahasa tutur
sehari-hari umat Islam. Karena di bulan Ramadhan ini umat sedang
termotivisir dengan ajarannya, (1) hiasi Al-Qur’an dengan suaramu (hadis), (2) baca indah pahami (rattil) Al-Qur’an (QS Al-Muzammil 4), (3) kamu senantiasa berada dalam sikon yang baik sa’at belajar dan mengajarkan Al-Qur’an (HR. Al-Bukhari), (4) ibadat terbaik umatku adalah membaca Al-Qur’an.
Yang dimaksud dengan Al-Qur’an (bedakan dengan Koran) setidaknya ditandai lima indentitas (1) membacanya saja bernilai ibadat, (2) kalam Allah yang diwakyukan kepada Nabi saw. di bulan Ramadhan , (3) mu`jizat bagi Nabi saw, (4) ditulis dalam mushaf (dicetak
dalam bentuk Kitab (Buku) Al-Qur’an Al-Karim juga dapat pula dalam
bentuk lembaran elektronik menjadi satu file dalam made rirectory CD
Al-Qur’an), (5) dirawikan secara mutawatir (yang membuatnya terpelihara sepanjang zaman).
Bahasa Al-Qu’an itu adalah bahasa Arab yang halus, lembut (layyinun) dan indah. Penyajian bahasanya liqaumi ya`qilun – ya`lamun – liyunzir al-ladzina zhalamu – yattaqun / ditawakan
kepada mereka yang berfikir – yang beretos kerja dan beramal –
peringatan bagi mereka yang serba tidak beres – harap mereka hati-hati
dalam konteks takwa (QS 1:2, 20:113, 39:28, 41:3, 42:7, 43:3, 46:12).
Artinya Al-Qur’an yang diwariskan kepada umat agar lan tudhillu abada – tidak akan sesat sepanjang masa (Hadis) itu, mengembangkan daya nalar dan berfikir rasional, merangsang etos kerja yang harus dirumus secara sophistecated
(canggih) dan beramal (ibadat), membentuk sikap waspada dan hati-hati
dalam konteks taqwa dan peringatan keras (dengan bahasa indah) bagi yang
serba tidak beres (zalim). Al-Qur’an dalam mengeritik mencontohkan cara tutur bicara dengan gaya qaul ma’ruf (bahasa yang indah) – qaul sadid (bahasa yang halus) dan menganjurkan layyinun (lembut).
Al-Qur’an bahasanya yang halus dan lembut (layyinun) dan indah itu tak dapat dipungkiri kerena keluar dari masternya yakni Allah Jamil (Allah Yang Maha Indah) dan menyukai jamal (yang indah). Orang yang ingin taqarrub (dekat) dengan Allah Yang Maha Indah itu, dapat dipastikan memilih keindahan (jamal)
sebagai canel. Karenanya umat yang merindukan dekat dengan Tuhan,
sewajarnya menciptakan keindahan dalam tutur bahasa dan tingkah laku
serta pola tindak (amal perbuatan). Sebab itu pula bagi umat patut
bahasa Al-Qur’an yang indah itu direfleksikan dalam bahasa
sehari-harinya, agar umat memiliki bahasa yang halus, manis dan indah
meskipun dalam menyampaikan kritik keras kepada orang lain.
Dapat ditiru bagaimana halus dan indahnya bahasa Al-Qur’an dalam
mengeritik berbagai fenomena di antaranya satu contoh fenomena saja
dalam tulisan ini yakni ketika Al-Qur’an mengeritik fenomena orang yang prilakunya serba tidak beres (zalim) dan penuh kepalsuan (kemunafikan) seperti perangai Abdullah bin Ubai bin Salul (tokoh cerita sebab turunnya ayat QS 2: 8 – 20),
Terhadap orang yang serba tidak beres – aniaya (zalim) dan penuh
kepalsuan (munafik) itu Al-Qur’an masih menggunakan gaya bahasa smile (perumpamaan – tasybih). Di antara ayatnya, adalah …perumpamaan
mereka seperti menyalakan api (nar), setelah api hidup –bercahaya
(dhiya’), Allah menghilangkan sinar (nur) yang menerangi dan
meninggalkan mereka dalam zhulumat (kegelapan). Mereka menjadi tuli,
bisu dan buta, tidak bisa kembali ke jalan yang benar (QS 2: 17-18). Ceritanya
Abdullah bin Ubai bin Salul merindukan pemimpin, tetapi setelah hadir
Nabi saw sebagai pemimpin teladan ia tidak senang, merasa kalah gengsi,
tak sportif lalu bersikap tidak patuh dan tidak setia. Di depan bermuka
manis pura-pura patuh dan setia, di balakang mencibir dan mendengki menghasud ingin mencelakankan Nabi dan sahabat. Gambar munafik dan zalim cucu Salul di depan bukan main di belakang bermain inilah yang digambarkan dalam ayat dan menjadi sebab turun ayat.
Diksi (pilihan kata- mufradat) ayat QS 2:17-18 ini di antarnya digunakan zhulumat (gelap) dipersandingkan dengan nur (sinar) dan dhiya’ (cahaya). Api dipersandingkan pula dengan air yakni shaib min al-sama’ (orang yang ditimpa hujan lebat dari langit). Air dapat memadamkan api. Tiga kata yang berlawanan gelap – cahaya/ api – air. Gelap (Zulumat) artinya sikap yang menyelimuti hidup gelap seseorang (seperti cucu Salul tadi) seperti dengki, hasud, jiwa goncang, hidup kacau (zalim)dll. Api (nar) menyala menjadi dhiya’ (cahaya) melahirkan nur (sinar). Sinar tidak dapat didengar, tidak dapat dicium, tidak dapat diraba dan dirasa, hanya dapat dilihat. Cahaya merupakan kode ordonansi
penglihatan. Terjadinya gelap karena cahaya dan sinar dihilangkan dari
mata alat indra dan mata hati. Gelap itu karena terhambat dan terhalang
penglihatan mata dan hati sebaga alat pemindahan dunia luar ke dunia
dalam. Dalam kondisi ini, kegelapapan menjadi permanen, digambarkan
dengan (1) telinga menjadi tuli artinya sakit telinganya mendengar
ajaran Allah rasa mau terbuka saja rahasia buruknya, (2) mulut menjadi
bisu tak sudi saja lagi mengatakan yang benar secara baik kecuali yang
kasar dan (3) mata buta perumpamaan, tidak suka melihat yang baik
kecuali yang jelek saja, semua ini berakibat anak buah si munafik
Abdulla bin Ubai yang serba palsu dan zalim itu tak bahkan bisa kembali
kejalan yang benar. Mereka diliputi zhulumat (gelap dengan ditutup sifat buruk dengki-hasud), karena api (cahaya-sinar) padam, sebab tidak benar menggunakan air sebagai perumpamaan kebenar. Kata Mahmud bin Syarif, kebenaran yang ada padanya seperti api yang dipadampaksa disiram air mathar syadid dzu rih ‘ashif (hujan deras disertai badai) sehingga gelap (zhulumat) menyungkupnya. Tak ada lagi nur (sinar) kebenaran.
Hidup yang diselubungi kabut zhulumat, bahasa kehilangan
makna dan kearifan, tidak sedikit pun bisa bertutur manis. Kritik bagai
teriakan dan gaung pasti meskipun isi bahasa kritiknya tidak dipahami
sepenuhnya. Atau kritiknya tidak pernah tergambar dirinya pernah dan
akan bersalah seperti yang dikritik. Simaklah bagaimana Nabi saw
menyadarkan, … jika ingin membuka borok orang lain, ingat juga diri apa tidak pernah dan tidak akan pernah punya borok yang sama (Hadis).
Karena itu kritik boleh saja, tetapi diamanatkan jangan saling buka aib
orang beriman. Artinya kritik itu membangun agar tidak lagi berbuat
aib. Bahasa kritiknya makruf (indah) dan sadid (bagus) dan layyin (lembut) seperti refleksi bahasa Al-Qur’an.
Akhirnya, bacalah Al-Qur’an, agar terbiasa berbahasa benar. Sial
sekali tak mau baca Al-Qur’an dalam tetap mengaku Al-Qur’an kitab
sucinya. Sial juga umat yang katanya rajin membaca Al-Qur’an tetapi
lidahnya tidak pernah berubah. Tidak ada kesan Al-Qur’an di lidahnya
seperti pada sikapnya yang lain. Kata Nabi saw. …wailun liman qara’
Al-Qur’an walam yatadabbarhu – sial orang yang membaca Al-Qur’an tetapi
tidak berpengaruh dalam hidupnya (Hadis). Patut jadi catatan umat Islam.
Posting Komentar