(Temu Pakar Majalah SAGA - Padang Ekspres Group di Adinegoro Room, Graha Pena Padang)
Masih
banyak fakta sejarah tentang Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung yang
belum tergali. Selama ini Sumpur Kudus tak hanya dikenal sebagai daerah
penyebaran Islam, tapi juga dikenal sebagai pusat Pemerintahan Daerah
Republik Indonesia (PDRI).
Keberadaan Sumpur Kudus memegang peranan penting
dalam sejarah penyebaran Islam berbasis kerajaan Islam Melayu
Minangkabau dan Gerakan Nasionalisme Mempertahankan Kemerdekaan RI
1949.
Hal tersebut menjadi topik hangat yang dibahas dalam pertemuan pakar yang digagas Majalah SAGA - Padang Ekspres Group di Adinegoro Room, Graha Pena Padang, kemarin (23/12).
Temu pakar ini digelar setelah lawatan sejarah ke situs “Makam Rajo
Ibadat” dan Jejak PDRI di Sumpur Kudus, dipimpin Direktur Utama PT
Padang Intermedia Pers/Penerbit Padang Ekspres Sutan Zaili Asril pada 26 Maret lalu.
Sejumlah pembicara yang hadir dalam pertemuan dimoderatori
Muhafril Musri itu, di antaranya Sejarawan Unand Prof Gusti
Asnan, Guru Besar Unand Prof Novirman Jamarun, Ketua Yayasan Rajo
Ibadat Sumpur Kudus Azwir Maaruf Dt Sirajo, Dewan Pertimbangan LKAAM
Sumbar Yuzirwan Rasyid, Pemred Majalah SAGA Yulizal Yunus, tokoh
Sumbar Guspardi Gaus dan Zaili Asril.
Di awal dialog yang dihadiri jajaran redaksi Padang Ekspres Group
dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sijunjung itu, Novirman Jamarun
menceritakan kondisi Sumpur Kudus. Sebagai putra Silantai, Sumpur
Kudus, Novirman mengungkapkan dirinya tahu betul kondisi daerah
tersebut.
Selama ini Sumpur Kudus masih dikesampingkan dan fakta sejarahnya
belum tergali lebih dalam. Sumpur Kudus dikenal orang ketika mulai
dikenalkan Prof Sanusi Latif, mantan Rektor IAIN Imam Bonjol dan Prof
Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. “Merekalah yang
kemudian membuat Sumpur Kudus mulai dikenal awalnya,” kenang Novirman.
Sumpur Kudus merupakan daerah yang indah, tapi cukup terisolir. Di
pemahaman Novirman mungkin karena keterisolirannya juga Sumpur
Kudus menjadi tempat paling bagus dan strategis untuk bersembunyi,
terutama dari serangan tentara penjajah di masa lalu. “Karena daerah
itu tempat persembunyian yang dianggap aman dari Belanda,” ujarnya.
Namun belum banyak orang yang menulis lebih dalam soal Sumpur Kudus.
Selama ini tak banyak orang yang datang untuk mencari literatur lebih
dalam lagi untuk menulis tentang Sumpur Kudus. “Selama ini yang menulis
tentang Sumpur Kudus bukan orang yang pernah ke sana. Sehingga
tulisannya tentang Sumpur Kudus tidak dalam,” kritiknya.
Sampai saat ini katanya belum banyak hal yang tergali dari Sumpur
Kudus. Baik itu tentang perjuangan PDRI maupun keberadaan penyebaran
Islam oleh Kerajaan Rajo Ibadat. “Waktu itu musyawarah PDRI di
rumah wali perang, di rumah orangtua saya. Tentang ini, tidak ada yang
ditulis,” terangnya.
Ke depan, dia berharap keberadaan Sumpur Kudus harus terus
didorong dan dibicarakan lebih luas lagi. “Saya harap sejarah ini
digali benar lah. Apa yang belum ditulis, bisa ditulis,” ungkapnya.
Sementara Gusti Asnan mengatakan penyebaran Islam pada masa Kerajaan
Rajo Ibadat dan Rajo Tigo Selo banyak diperbincangkan sejak tahun
1970 lalu. Menariknya lagi, jauh sebelum itu, katanya ada penulis
Belanda yang mengungkap keberadaan Rajo Tigo Selo dan Rajo Ibadat ini.
Selain itu penulis asing pada masa lalu dalam bukunya juga pernah
mengutarakan awal abad ke-XVI ada satu hingga tiga raja di masa itu.
Ada yang mengatakan hanya ada satu raja, dan ada pula yang menyebutkan
ada tiga raja di Minangkabau. Namun Gusti tak mau menyimpulkan apakah
gelar-gelar raja yang diberikan tersebut memang bisa dibuktikan atau
tidak. Yang menarik, kata Gusti, Raja Alam Bagagarsyah paling banyak
disebut sumber Belanda. Bahkan, dalam sebuah laporan penulis negara
Eropa itu, Belanda berterima kasih karena mengundang datang ke ranh
Miang sehingga dia diangkat jadi Regent. “Bahkan gelarnya diberikan
belanda. Jadi, saya berpikir gelar raja-raja itu diberikan Belanda
juga,” tutur Guru Besar Sejarah Unand.
Diskusi ini menjadi hangat ketika penjelasan Gusti Asnan itu
memancing tanggapan dari Yuzirwan Rasyid. Menurut Ketua Dewan
Pertimbangan LKAAM Sumbar itu apa yang disampaikan Gusti Asnan
didasarkan pada buku-buku yang ditulis penulis asing. “Kalau ditulis
orang asing, tentu punya interest untuk kepentingan mereka. Begitu pula jika ditulis oleh kita yang nasionalis, tentu hasilnya lain lagi,” jelasnya.
Novirman juga tak sependapat dengan Gusti Asnan soal pemberian
gelar raja oleh Belanda. Menurut Novirman perlu ada pengkajian lagi
lebih dalam mencari tahu kebenarannya. “Termasuk menggali lebih
jauh keberadaan Rajo Ibadat dan Rajo Tigo Selo,” kata mantan
Koordinator Kopertis Wilayah X.
Gusti Asnan menegaskan, sejarah terus mengalami perkembangan.
Tidak saja menggunakan sumber tertulis, tapi semua yang ada kini
bisa terbantahkan jika memang ada sumber-sumber baru yang bisa
dipertanggungjawabkan. “Semua bisa diterima jika ada bukti-bukti
empirisnya,” ungkapnya.
Posting Komentar