SISTEM PENDIDIKAN SURAU
ANALISIS KARAKTERISTIK, ISI
DAN LITERATUR KEAGAMAAN
DARI PERSPEKTIF SEJARAH SOSIAL
ABSTRAK
Surau mempunyai “sejarah sosial pendidikan
Islam” besar masa lalu. Ada collective memory masyarakat Minang dalam kegemillangan
history of daily life di surau, dinamika intelektual dalam social
movementnya dan kebesarannya sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan di
samping pusat ibadah masyarakat. Sekarang masyarakat Minangkabau mempunyai
obesesi, menjadi wacana orang Minang di ranah dan rantau menghadirkan kembali
sistem surau sebesar namanya dulu itu menjadi basis nagari dan basis pendidikan
anak nagari dalam image profil baru. Kebesaran nama surau dulu meski
terjadi perubahan isi dan literature dalam dimensi waktu dan tempat, namun
sistem pendidikannya terkesan efektif melahirkan orang besar/ ulama Nusantara
tidak saja tokoh lokal yang malin kitab dan ulama nasional yang negarawan
bahkan ada kapasitasnya diplomat di level internasional dan penyebar Islam di
nusantara. Dari experience surau itu, sistem pendidikan surau dapat
diteorikan bahwa seurau sebagai lembaga pendidikan formal orang Minang dulu itu
dalam proses Islamisasi memposisikan fungsinya sebagai basis/ episentrum
penyebaran Islam dan mengukuhkan karakteristiknya bertahan dalam tradisi
intelektual berbasis kitab khazanah klasik (turats) tanpa mengabaikan
modernisasi dalam isi dan literatur.
Key-words : Surau dan
Pendidikan Formal Islam
I.
PENDAHULUAN
Surau sampai sekarang masih sulit
dilupakan kebesarannya. Sebagai lembaga pendidikan formal Islam klasik Minang dulu
itu mempunyai sejarah sosial menarik (Zulmuqim, 2010). Sejarah sosial sistim
pendidikan formal surau Minangkabau setidaknya menurut Azyumardi (2010) memperlihatkan
tiga tipologi (1) history of daily life (sejarah kehidupan sehari-hari)
yang indah, (2) social movement (gerakan sosial) yang dinamis, dan (3) basis
pendidikan dan kebudayaan masyarakat, baik pendidikan agama maupun
pendidikan umum meliputi pendidikan sosial/ adat maupun ekonomi dan politik.
Harum nama surau Minang ini tidak saja menjadi sebutan,
nostalgia, juga cerita apologetik pembelaan bagi kebesaran Minangkabau masa
lalu. Dari pengamatan Azyumardi (2003) surau tetap menjadi bagian integral dari
collective memory orang Minang secara keseluruhan. Karenanya
masyarakat Minang masih bermimpi bagaimana kembali lagi surau segemilang dulu.
Pemerintahan daerah Sumatera Barat seperti mengapresiasi mimpi masyarakat,
kembalinya fungsi surau seperti sebesar namanya dulu, yakni mencanangkan “kembali
ke nagari berbasis surau” sebagai strategi implementasi otonomi daerah di
ranah Minang ini[2].
Dari fenomena ini surau masih menjadi subject pembicaraan penting dalam perubahan
dimensi setting (tempat dan waktu) pada sejarah pendidikan Islam
Indonesia di Sumatera Barat, meskipun (sialnya) nomenklatur surau itu tidak
terdapat dalam sistim pendidikan Nasional sebagai pernah menjadi lembaga
pendidikan formal di Minangkabau.
Dalam dimensi setting (tempat dan waktu) itu,
surau mengalami perubahan. Perubahan itu dilakukan dan berlaku pada unsur-unsur
sosial yang berperan di surau. Mengacu pemaknaan sosial[3], maka unsur
sosial yang berperan di surau itu setidaknya meliputi semua elemen yang
bersinerji dalam berprilaku dan berproses, ada prilaku interpersonal dan
ada prilaku dalam proses sosial dalam penyelenggaraan pendidikan di
surau. “Proses sosial” itu terlihat dari hubungan timbal balik antara
bidang-bidang kehidupan di surau melalui interaksi[4] antara
personal yang ada atau antara kelompok sosial di surau.
Personal yang ada di surau dan yang berada dalam “kelompok
sosial” memperlihatkan struktur sosial (1) murid, (2) guru (syeikh/ mursyid/
khalifah/ badal) dan (3) pelayan dalam proses pendidikan (termasuk administrator
dan juru masak). Kelompok sosial itu berbasis secara utuh dalam kelembagaan/
institusi, sistim dan norm yang mengatur tertib sosial dan prilaku di surau.
Dari individu dan kelompok sosial anak surau (santri) yang berbasis institusi/
kelembagaan surau dan kehidupannya bergerak dinamis dalam sebuah sistim, diatur
norm untuk berprilaku, maka surau melahirkan “sejarah sosial yang menarik
sebagai pendidikan formal Islam masa lalu” baik dalam tipologi “daily
life (gaya hidup sehari-hari di surau), social movement (gerakan
sosial surau) maupun basis pendidikan dan kebudayaan masyarakat”. Profil surau
sebagai lembaga pendidikan formal Islam di zaman klasik itu punya karakteristik
unik, berbeda dengan surau seperti surau yang ada di negara-negara melayu nusantara
(Malaysia, Berunei dan Thailand, Singapura dan Philipina).
Meskipun nomenklatur surau juga terdapat di
negara-negara melayu lainnya namun karakteristiknya berbeda. Di Malaysia dan
Berunei misalnya terdapat surau, dan ada di mana-mana di perkantoran, di
terminal, di lebuh raya (tol), di tempat-tempat pasilitas umum lainnya, namun fungsinya hanya sebatas “tempat shalat seperti
fungsi mushalla”. Surau di Minangkabau fungsinya lebih besar, jika dilihat
sejarah di kampung-kampung dalam nagari-nagari di Minang. Dari perspektif owner
(kepemilikian), surau dapat dibedakan dua kategori:
1.
Surau ninik mamak (suku suku),
fungsinya sebagai “simbol budi” ninik mamak, artinya di surau ini anak kapanakan
(ponakan) dididik secara non formal “berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia,
diajar beragama dan beradat serta dilatih bersilat sebagai pertahanan diri
dalam menyebarkan Islam dan mempertahankan adat”. Artinya fungsi surau ninik
mamak (surau suku) di nagari adalah sebagai lembaga pendidikan non formal untuk
membuat anak kepanakan berbudi, diajar agama, adat disertai dengan keterampilan
seni pencak dan bela diri silat. Di momentum dan event hari baik bulan baik
(hari-hari besar Islam) surau ini menjadi sentra kegiatan masyarakat adat dan
terkesan pusat kebudayaan di samping pusat agama dan tempat ibadah. Dari
pengamatan Azyumardi (2010) surau seperti ini penting, bukan hanya dalam aspek
keagamaan tempat mengaji saja, tapi juga fungsi ritus peralihan bagi seorang
anak bujang/ mambujang lalok di surau. Guru sampai tahun 1980-han di surau, di
rumah penduduk tak ada kamar untuk anak laki-laki, laki-laki di Minang pada dasarnya
tidak punya rumah, di waktu kecil tidur di surau, sewaktu tua/ bercerai dari isteri tidur di surau, keluar
dari rumah isteri pakai celana kotok saja, rekening atas nama isteri dan anak
dan duda kembali ke surau, tak bawa apa-apa kecuali yang melekat pada dirinya
saja, seperti abu di atas tunggu, surau ninik mamak berfungsi sebagai ritus
peralihan.
2.
Surau ulama, artinya surau yang
dimiliki dipimpin oleh ulama. Kategori surau ulama ini ada pula dua bentuk
yakni:
a.
Surau ulama tarekat
(naqsybandi, satari, saman, sazili dan tarekat mu’tabarah lainnya). Biasanya
ditopang surau satelit lainnya yang berdiri di sekitar/ komplek surau tarekat seperti
berada pada sebuah perkampungan yang Azyumardi (2003) menyebutnya kampung
dagang. Surau-surau yang berdiri di kampung dagang itu masing ownernya adalah
para pengikut tarekat yang berasal dari nagari-nagari di Minang dan atau
pengikut daerah lain di luar Minang. Penamaan surau satelit itu memakai nama
nagari/ daerah asal pengikut tarekat mu’tabarah itu. Misalnya di Batuhampar di
komplek surau Syeik Abdurrahman itu, berdiri surau-surau dengan nama nagari
asal murid, seperti Surau Batang Kapas, Surau Painan, Surau Padang, Surau Riau,
Surau Pariaman, Surau Palembang, Surau Jambi dsb. (baca juga Azyumardi,
2003:12). Di sisi lain juga surau tarekat yang didukung surau satelit tadi
adakalahnya dinamakan dengan nama ulama/ inyiak tarekatnya dan adakalanya
dinamakan dengan nama wilayah, pohon, batu, sungai dsb. Dari perspektif
perubahannya seperti juga surau ninik mamak tadi, ada juga penamaannya melihat
regenerasi surau itu, seperti (a) surau lamo
(lama) dan (b) surau baru, demikian pula ada penamaan surau sesuai kapsitasnya
seperti (a) surau ketek (kecil) dan (b) surau gadang (besar). Surau ini amat
berjasa melahirkan tokoh tarekat, baik tingkat syeikh, mursid dan atau khalifah
tarekat dan menyebar kemudian membentuk jaringan surau yang saling kuat
menguatkan antara satu dengan yang lainnya, tidak saja di wilayah Minang tetapi
juga ke luar Minang (dalam/ luar negeri).
b.
Surau ulama yang
menyelenggarakan pendidikan formal (umum dan agama tidak dipisahkan), seperti
(1) Surau Jembatan besi di Padang Panjang, (2) Surau Syeikh Jamil Jaho, (3)
Surau Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungayang – Batusangkar, (4) Surau Syeikh
Ibrahim Musa Parabek, (5) Surau Syeikh Sulaiman al-Rasuli di Candung dsb. Surau
ulama ini resmi menjadi lembaga pendidikan formal Islam pada masa itu dan tidak
membedakan pelajaran agama dan umum, artinya tidak mendikotomikan umum dan
agama.
Di Surau ulama ini diajarkan ilmu agama yang
referensinya “kitab kuning”[5]. Para
murid mengaji kitab kuning di surau dimulai dengan guru muda dan dialih serta
minta berkat dari guru tuo yakni Syeikh/ Ulamanya sendiri. Untuk mengulang kaji
dalam daily life murid surau, pada waktu paginya sesudah subuh
dilanjutkan membaca kitab kuning di mad(a)rasah (tempat shalat kecil di
pinggir tepian tempat mandi). Sebuah pertanyaan generasi sekarang masihkah ada
surau, apalagi ketika Sumatera Barat dalam pelaksanaan otonomi daerah tahun
2000 mengambil sistem “kembali ke surau”. Apakah surau itu sekarang mushalla
atau masjid?, tetapi dilihat dari perspektif fungsi surau dulu sebagai lembaga
pendidikan tradisional formal dan episentrum pelaksanaan agama dan adat di
samping tempat ibadah mahdhah, maka masjid dan atau mushalla tidak
memenuhi kriteria itu.
Surau Inyiak di Minangkabau merupakan lembaga pendidikan
formal (suruau ninik mamak non formal) yang bersejarah dan mempunyai nama
agung. Sistim pendidikannya meskipun berhalaqah (duduk melingkar) namun
suasana akademiknya memberikan nuansa/ atmosfir yang merangsang untuk belajar. Dari
perspektif daily life (kehidupan sehari-hari) di surau penuh dengan
tradisi intelektual dan rasional tanpa mengabaikan kesantunan (ra’fah) dan
akhlak. Halaqah tidak saja guru melakukan transformasi ilmu pengetahuan tetapi
memberikan kesempatan mengasah pikir lebih tajam dalam event debating
dan diskusi a lot, dipimpin guru mudo (yunior) setelah alih kaji
dilakukan oleh guru guru tuo (guru senior/ guru besar). Di surau lebih
banyak jam belajar dibanding istirahat bahkan
jam tidur sudah sedikit, tidur pun tidak boleh pakai bantal, kalau harus
meninggikan kepala dalam berbaring, maka bantalnya adalah benda bulat keras
seperti kelapa, supaya memudahkan untuk bangun dan selanjutnya belajar dan
merumuskan hasil belajar[6] ,
demikian daily life murid surau sempanjang waktu.
Sistim pendidikan surau ini mempunyai karakteristik,
setidaknya dari rumusan isi terlihat mengajarkan tiga bidang keilmuan yakni (1)
agama, (2) adat dan (3) silat. Selain itu surau mempunyai karakteristik
spesialisasi keilmuan Islam terutama pada surau Inyiak/ ulama sufiyah. Selain
itu surau juga mempunyai networking (jaringan) kuat di antara kelompok surau,
sehingga antara satu dengan yang lain saling berkoordinasi dalam pematangan takhashshus
(spesialisasi) keilmuan Islam, bahkan kekuatan surau-surau itu berpotensi tidak
saja menjadi basis jaringan ulama tetapi juga menjadi basis perjuangan melawan
penjajah.
Isi pendidikan surau sejalan dengan tujuannya, di
tingkat awal[7]
pada Surau Inyiak maupun Surau Suku mengajarkan bidang agama mulai pokok-pokok akidah (tauhid),
akhlak mulia serta penerapannya dalam kehidupan diikuti dengan pengajaran agama
Islam yang mudah dipahami dan diamalkan. Pengajaran bidang agama diikuti dengan
pendidikan bidang adat budaya Minangkabau yang berisi sopan santun dan budi
– baso sebagai pelaksanaan pengajaran Islam dalam masyarakat sejalan dengan
filosofi masyarakat Minang “adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah
(ABS-SBK) yang dilakukan dengan strategi “syara’ mangato adat mamakai”. Dalam
bagian lain diajarkan silat sebagai strategi bela diri dalam mempertahankan
agama dan adat dalam masyarakat Minangkabau. Namun di tingkat lanjutan terutama
pada surau Inyiak diajarkan bidang ilmu alat (nahu-sharaf), mantik, ma’ani
(balaghah), tafsir, fiqhi, sejarah, tarekat/ tasauf dsb.
Pengukuhan isi pendidikan surau itu didukung referensi
dalam bentuk literatur keagamaan yang secara faktual “kitab kuning semua”
apakah dalam bahasa arab, bahasa melayu dalam tulisan jawi/ arab melayu/ arab pegon)
dsb. Buku itu ada yang dicetak di Arab sendiri ada yang disalin ulang dalam
bentuk manuskrip para ulama yang belum dicetak, dan ada karya murni ulama surau
itu sendiri yang dicetak di dalam/ luar negeri.
Bagaimana keunggulan karakteristik, isi dan literature
keagamaan dalam sistim pendidikan surau dahulu, sebuah kajian yang tetap
menarik melebih sekedar berapologia dan aplogetik pembelaan terhadap keagungan
masa lalu Minangkabau. Artinya secara jernih banyak experience
masyarakat surau yang bila dieksplisitkan menarik menjadi objek pembaharuan
pendidikan Islam sekarang yang berada di tengah era modernisasi.
II.
MASALAH
Dari isu dan fenomena sistim pendidikan
surau yang pernah agung di Minangkabau ini, makalah ini melakukan kajian kritis
terhadap masalah-masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan inti sejarah
sosial pendidikan surau dalam tipologi daily life dan social
movement serta aspek penting seperti ekonomi dan politik dalam
penyelenggaraan pendidikan masyarakat tradisonal sbb.:
1.
Bagamana karakteristik sistem
pendidikan surau
2.
Bagaimana isi (kurikulum dan
materi) sistem pendidikan surau
3.
Bagaimana literature sistem
pendidikan surau
III.
PEMBAHASAN
Dari perspektif sejarah sosial pendidikan di
Minangkabau sistem pendidikan surau mempunyai memori daily life dan social
movement serta aspek penting lainnya seperti ekonomi dan politik serta
sistim budaya lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan tradisional masyarakat Islam
Minang dalam bidang agama, adat dan silat. Karena surau sudah tidak dapat
dipungkiri tetap sebagai bagian integral dari collective memory orang
Minang dan sebagai episentrum pendidikan syara’ (Islam) mangato adat mamakai
(syara’ sumber dilaksanakan dengan adat). Artinya surau tidak hanya tempat
beribadah mahdhah saja misalnya shalat lima waktu, shalat tarwih dan
shalat sunat lainnya, tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pusat kebudayaan
masyarakat dan lembaga pendidikan Islam
formal (surau inyiak) dan non formal (surau ninik mamak) yang cukup
ampuh.
Di nagari-nagari surau ninik mamak dahulu
merupakan lembaga budi bagi ninik mamak untuk mengajar anak kemenakannya (generasi
muda) agar berakhlak mulia (berbudi pekerti baik), di samping mengajarkan
agama, adat dan silat. Untuk pengajaran agama bersumber literature kuat yang
disebut kitab kuning. Jebolan surau amat banyak yang menjadi tokoh besar
ulama-ulama terkenal Minangkabau dan secara faktual banyak yang berperan baik
di tingkat lokal, nasional, bahkan di tingkat internasional.
Performance result pendidikan surau yang demikian besar itu dimungkinkan karena,
karakteristik yang sarat dengan tradisi intelektual dan tradisi etik, dengan sistem
pendidikan surau itu sudah menunjukkan kekuatan plus spesialisasi-spesialisasi
yang ditawarkan kepada muridnya didukung isi/ materi/ kurikulum pendidikan yang
cukup kuat disertai literature yang sarat dengan pengajaran keilmuan dan
pendidikan pencerdasan umat.
Dalam paparan ini kembali menganalisis
karakteristik dan isi dan literature dalam pendidikan tradisional surau dari
perspektif sejarah sosial pendidikan Islam dalam tipologi history daily
life, social movement dan aspek penting lainnya dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam surau termasuk ekonomi dan politik yang mempengaruhinya.
A.
Karakteristik Sistem Sosial
Pendidikan Surau
Karakteristik surau di Minangkabau dalam perspektif
pendidikan, menunjukkan keunggulan tertentu. Keunggulan itu menjadi
karakteristis, di antaranya memperlihatkan corak pendidikannya berbeda dengan
lembaga pendidikan tradisional Islam
lainnya. Dari perspektif manajemen sistem surau tidak mempunyai birokrasi
formal yang rumit seperti pendidikan modern. Pengaturan disurau lebih
didasarkan pada hubungan personal di kalangan penghuni surau (Azyumardi,
2003:97). Dari perspektif proses pembelajaran, memakai sistem halaqah tidak
klassikal seperti pendidikan modern. Dari persepektif materi pembelajaran
terutama di surau ninik mamak (Yulizal Yunus, 2003) yakni dirumuskan dalam tiga
bidang pendidikan: (1) pendidikan agama, (2) pendidikan adat dan (3) pendidikan
silat. Pendidikan agama untuk memperkuat basis akidah dan ilmu ke-Islaman
(Syari’at) ingin memproses tujuan pendidikan Islam tertinggi mengacu Abu
al-‘Ainaian (1980), al-Toumy dan al-Najihi (1963) yakni
insane kamil. Adat untuk melaksanakan syari’at dan silat untuk strategi
petahanan dan pembelaan gerakan dakwah dalam pengembangan syari’at dan adat
sebagai ciri utama orang Minang.
Azyumardi (dikutip Muhammad Kosim, 2004) menceritakan Verkerk Pistorious (seorang pejabat Belanda pernah mengunjungi
Minangkabau guna mengamati berbagai lembaga keagamaan di daerah ini), ia membagi
surau-surau yang dikunjunginya dari perspektif kapasitas daya tampung ke dalam
tiga kategori: (a) surau kecil yang dapat menampung sampai 20 murid; (b) surau
sedang, 80 murid; dan (b) surau besar antara 100 sampai 1000 murid.
Ditekankannya surau kecil kurang lebih sama dengan surau keluarga—atau sedikit
lebih luas dari itu, yang umumnya dikenal sebagai surau mangaji (surau tempat
belajar membaca Al-Quran dan melakukan shalat).
Hanya saja Verkerk kurang
tepat mengategorikan surau kecil dengan
"langgar" atau mushalla, sebab fungsinya berbeda. Kalau surau
keluarga dan atau surau ninik mamak di kampung/ sukunya, suraunya tidak sekedar
tempat shalat seperti langgar dan mushallah saja seperti surau di Malaysia,
Brunei dan di Negara melayu lainnya, tetapi juga dalam daily life surau
itu berfungsi sebagai lembaga pendidikan non formal mengajarkan tiga
disiplin yakni agama, adat dan silat. Bahkan juga surau itu terlihat sebagai
basis dalam pembicaraan ekonomi (pertanian dan perdagangan) kaum suku di
kampung ninik mamak. Beralasan juga Dobbin (1997) menyebut surau Islam
memberikan respons terhadap perkembangan baru masalah ekonomi perdagangan dan
pertanian.
Surau Kecil suku ini seperti
disebut verkerk itu biasanya hanya mempunyai seorang guru yang sekaligus
bertindak sebagai imam surau di samping imam perangkat orang jinih nan ampek[8] dalam struktur ninik mamak dalam sukunya.
Sebaliknya, Surau Sedang dan besar dengan sengaja didirikan untuk tempat
pendidikan agama dalam pengertian lebih luas. Dengan kata lain, Surau Sedang
dan Surau Besar tidak sekadar berfungsi sebagai rumah ibadah seperti yang
dilakukan surau mangaji, tetapi yang lebih penting, sebagai pusat pendidikan
agama identik dengan surau inyiak (ulama besar) di mana ajaran Islam yang lebih
luas dalam berbagai aspeknya diajarkan kepada murid-murid. Suaru Inyiak sebagai
lembaga pendidikan tradisional formal Islam dan surau terekat menjadi pusat
pengjaran tarekat sepesialis tasauf.
Diakui atau tidak karakteristik
kebesaran surau ditentukan besarnya jumlah murid dan penamaan surau kecil,
sedang dan besar namun juga terdapat kelemahan lain dalam data
Muhammad Kosim bersumber Verkerk tadi yakni penamaan surau keluarga yang
mirip di Malaysia itu.. Sebutan surau keluarga itu sebenarnya tidak
popular dengan nomenklatur surau di Minangkabau, namun tak dapat dipungkiri
substansinya mungkin dekat dengan nomenklatur surau suku yang didirikan pada
setiap suku/ kampung dan dipasilitasi ninik mamak dipimpin penghulu kaum/ suku
di kampung itu. Tetapi tidak pula sama dengan surau tempat shalat di Malaysia
dan atau di Brunei Darussalam.
Demikian pula sebutan surau besar
itu, dimungkinkan seperti surau Inyiak (para Syeikh Tarekat/ Tarbiyah Shufiyah)
abad ke-20 yang kemudian mendapat moderniasi juga menjadi madrasah semenjak
berdirinya Tarbiyah[9] tahun 1928, dan bercorak Tarbiyah Sufiyah
sejak tahun 1930 diikuti berdirinya MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah). Atau prototype suaru yang disebut juga oleh Kosim
(2004) seperti Surau Koto Tuo (Tuanku Nan Tuo) Agam yang memiliki distingsi
dalam bidang tafsir, Surau Kotogadang yang terkenal sebagai pusat ilmu mantiq
dan ma'ani; Surau Sumanik, tersohor kuat dalam tafsir dan fara'id, Surau
Kamang, terkenal karena kuat dalam ilmu-ilmu bahasa Arab; Surau Talang, dan
Surau Salayo yang keduanya terkenal dalam bidang Nahu-Sharaf.
Termasuk jaringan 6 (enam) surau
basis pengembangan Islam pertama abad ke-17 di sentra pantai Barat Sumatera
yakni (1) Surau Ulakan dipimpim Syeikh Burhanuddin ahli tasauf – sentra
satari, (2) Surau Khalidin di Ipuh
spesifik tasauf – satari, (3) Surau Koto Panjang, Padang dipimpin Syeikh
Muhammad Nasir spesialis Tafsir, (4) Surau Puluikpuluik Bayang dipimpin Syeikh
Buyung Mudo spesialis ilmu sharaf (morfologi Arab), (5) surau Supayang – Solok
dipimpin Syeikh Muhsin spesialis ilmu Nahi (sintaksis Arab), dan (6) surau
Padang Ganting Tuanku Padang Gantiang spesialis fiqhi.
Keseluruhan surau tadi mencapai
puncak kejayaannya dalam masa pra-Padri. Namun sayang Kosim dari sumber barat
(Verkerk) tadi tidak menyebut networking (jaringan) surau dalam bagian social
movement sejarah sosial surau, seperti surau Syeikh Burhanuddin sentra
tasauf itu, mempunyai jaringan 6 surau tadi yang dipimpin 6 Syeikh murid dari
Syeikh Abdul Rauf Singkek lanjutan di awali dari pendidikan surau Syeikh
Tapakis. Cerita bagian lain ada pengembangannya menjadi 60 jaringan surau
tarantang, yang membidani lahirnya ulama besar Dato’ Ribandang, Dato’ Ritiro
dan Dato’ Ritimang, yang ketiganya menyebarkan Islam sampai ke Indonesia bagian
timur bahkan sampai ke Serawak dan Brunei, namun belum ditemukan sumber yang
valid untuk itu dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut secara mendalam.
Banyak sebenarnya social
history (sejarah sosial) surau yang terkubur, baik tentang jaringan surau di Minangkabau termasuk
daily life dan jaringan ulamanya yang
tidak kita kenal lagi, karena tidak ditemukan warisan intelektualnya dalam
bentuk manuskrip dan bukti sejarah lainnya. Misalnya dunia mengenal nama
Syeikh Abu Faidh Muhammad Yasin Al-Fadaniy al-Malakiy (w.1990), seorang
naqsyabandiy asal Padang, diakui sebagai ahli hadis internasional dan banyak
menulis dan mentashhih hadis, tidak banyak dikenal di Sumatera Barat, justru di
kalangan pesantren Jawa amat popular dan dikenal sebagai guru Said Aqil Husain
al-Munawar dan guru dari Syeikh Muhib al-Wali (cucu Inyiak Jaho itu). Demikian
pula hasil riset asing tentang surau, inyiak dan literature keagamaan kitab
kuning mereka sukar ditemukan. Buku Martin van Bruinessen misalnya tentang
“Tarekat Naqsyabandi di Indonesia” (1993) diterbitkan Mizan, dan tulisannya
tentang “Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat” (1999) diterbitkan Mizan juga
tidak banyak dijumpai di Pasar, menambah kaburnya sejarah episentrum surau dan
literature keagamaan di Sumatera Barat. Bahka banyak surau inyiak dahlu sebagai
basis kebudayaan sekaligus basis perjuangan menumpas penjajah tidak banyak
dikembanglebarkan para peneliti. Teori-teori
surau yang mencerminkan karakteristik khusus dan madrasah/ pesantren ini dapat
ditemukan dalam analisis, kecuali Azyumardi Azra (1999 dan 2003) dalam beberapa
kajiannya mengenai lembaga pendidikan Islam dalam tradisi dan modernisasi yang
di antaranya memperbandingkan surau dan pesantren.
Dari perspektif sejarah perjuangan dan sejarah sosial
pendidikan surau, surau juga melibatkan diri dalam social movement di
antaranya:
a.
Gerakan surau dalam perintisan
dan gerakan kemerdekaan dan menjadi pukul hebar terhadap kesewenangan penjajah,
adalah berfungsi surau sebagai basis perjuangan perintis, pergerakan dan
pertahanan kemerdekaan. Misalnya Surau Syeikh Buyung Mudo Puluikpuluik Bayang,
menjadi basis perjuangan Perang Bayang melibatkan Pauh Padang di Pantai Barat
Sumatera abad ke-17 yang berlangsung hampir satu abad setelah perjanjian
Bayang.
b.
Gerakan surau terlibat dalam
konflik paham. Cerita Azyumardi (2010) ketika surau Tuangku Jalaluddin dekat
dengan syari’ah, adat yang bertentangan dengan agama ditinggalkan, soal pakai
sutra, emas, pesis wahabiyah, kemudian mucul konflik berujung paderi. Surau
adat (surau kecil ninik mamak) yang diduga sentra praktek adat bertentangan
dengan agama, lalu dihancurkan. Tuanku Nan Renceh salah seorang pimpinan paderi
yang disebut gerkan purifikasi Islam, amat keras sekali, tidak sedikit surau
ninik mamak yang dihancurkan. Ini merupakan pukul pertama terhebat terhadap
surau dan membawa kemunduran surau ninik mamak. Fenomena ini membuktikan Paderi
bukan perang antara warga dan Belanda, tetapi perang hitam (ninik mamak yang
berpakaian hitam) dan perang putih (ulama yang berjubah putih), memperlihatkan kecenderungan
gelombang pertama Islam, di mana surau adat (ninik mamak/ surau kecil) menjadi
target pertama pembaharuan wahabi yang berbasis paderi itu.
Selain gerakan sosial, sejarah sosial surau juga
mencakup aspek penting dalam pendidikan tradisional masyarakat terkait dengan
dengan ekonomi dan politik dalam
penyelenggaraan pendidikan tradisional Islam bergerak ke modernis, yang tanpa
disadari menaruh dampak positif memperkuat gerakan tradisi rasional orang
Minang terhadap pemahaman agama dan masyarakat agama, namun tidak kurang pula
dampak negatifnya menjadi pukul hebat terhadap kemunduran surau. Setelah Padri
muncul lagi fenomenan pukul hebat terhadap surau dan membawa kemunduran surau,
yakni:
a.
Paderi pukulan pertama terhadap
surau. Pukulan kedua terhadap surau adalah kehadiran volck schoolen Belanda dikembangkan.
Tidak banyak orang pribumi dapat masuk, karena peluang sempit. Orang Minang
terbuka dan ingin masuk meskipun kritis tidak seperti Jawa. Perinsif Jawa
tertutup, involusi, yakni mereka menemia yang baru tetapi dicampur dengan apa yang ada pada mereka. Orang Minang banyak
menerima dan masuk, karena orang Minang responsive dan terbuka. Orang Minang
(Azyumardi, 2010) cepat menerima dan sialnya “yang ada pada mereka”
dicampakkan. Volck schoolen mengadopsi kurikulum Belanda sepenuhnya kemudian.
Hasil adopsi volck schoolen orang Minang dianggap lebih awal masuk ke sistim kolonial
dan timbulkan kaum terpelajar di kalangan Minang. Ini sebabnya Minang punya
orang besar, tapi tanpa disadari “sudah mengorbankan surau”, surau dalam
periode ini mendapat pukulan hebat dan membawa kepada kemunduran.
b.
Surau dengan gerakan modernis
Islam yang dipelopori ulama modernis yang cenderung menyelenggarakan pendidikan
formal Islam seperti Inyiak Rasul dan Dr. Abdullah Ahmad dipengaruhi Jamaluddin
al-Afghani, dkk. Menyusul memodernisasi Surau Jembatan Besi, lahir model Adabia
yang menghilangkan dikotomi pengajaran umum dan agama sebagai acuan model baru persekolahan
Islam. Menurut Azyumardi (2010) sejak itu bukan saja “jumlah surau , menjadi
kurang”, tetapi juga citra surau semakin lemah bahkan membentuk imej (citra)
bahwa surau itu terbelakang dan surau menjadi terbelakang. Inyiak Rasul berbanding
dalam perbandingan surau dan volck shoolen dicitrakan sebagai alam kemajuan. Murid
dan gurunya gagah pakai dasi dan sepatu. Surau pakai tengkelek dan sarungan dsb.
Keadaan material orang sukses, semakin meninggi. Akibatnya hubungan orang Minang
dengan Surau “terputus”. Artinya sejak muncul era sekolah modern Islam kaum
muda era volck schoolen, putus hubungan surau dengan masyarakat Minang,
masyarakat sudah kurang membantu bahkan tak membantu lagi surau dan muncul “paqih
saringgik”. Muncul gengsi yang sukses berduit, muncul era sekuler dengan kesan
ada kecenderungan pemisahan duniawi dan ukhrawi. Berdampak pada pilihan
menantu, karena dari perspektif materialisme, orang Minang terlihat muncul fungsi
materialis. Dokter dan kerja di bank rangking atas dalam seleksi mencari mantu.
Sisi
lain proses urbanisasi, yang juga mengubah struktur keluarga dan fungsi adat.
Ada mamak, tetapi prakteknya dominant dalam fungsi ayah dan ibu, ancaman bagi
adat kalau sumando tidak tahu adat dan tidak menghargai mamak. Ada kecanggungan
dalam perubahan itu, surau ninik mamak kehilangan fungsinya, karena sudah
diambil alih tanggung jawab ayah dan ibu dalam mendidik anak di rumah dan di
sekolah dan tidur di rumah. Sifat tetap anak laki-laki tak punya kamar dan
karenanya tidur di surau berangsur fungsi ritus peralihan surau berubah sebagai
tempat tidur anak lelaki ke rumah. Pada PRRI dan masuk APRI menghancurkan
semakin menghancurkan identitas Minang, pakaian orang Minang aneh-aneh. Karenanya
Azyumardi (2010) tak suka sloganistik “mambangkik batang tarandam”, mental
orang kalah kenapa dihidupsuburkan, dalam slogan itu ada isyarat orang Minang
masih terpuruk secara psyichologis, mentalitas orang kalah. Pernah Azyumardi diundang
untuk “mambangkik batang tarandam” ini, ia tak mau, “romantis saja itu” kata
Azyumardi.
Sejak
era modernis dalam pendidikan surau ke sistem sekolahan modern tadi, banyak
orang Minang keluar dari identitas. Banyak seminar mengangkat thema “bangkik
batang tarandam” maknanya sama dengan mengukuhkan mental orang kalah. Hegemoni
orang Minang sejak dulu kuat. Disebut Soekarno tak lupa Hatta, Syahrir, Tan
Malaka, Agussalim, Nasir, Hamka dsb. sekarang mau menyebut siapa. Jadi surau
kehilangan relevansinya dengan perubahan Minang yang demikian cepat itu. Jadi
selogan kembali ke surau, mengazu Azyumardi (2010) adalah gerakan romantis saja
tak ketemu-ketemu ujung pangkalnya. Kata Azyumardi juga saya tak menyarankan
ABS-SBK dan kembali ke surau, sebab itu sudah kemestian diisi, tapi saya
menyarankan bangun lembaga pendidikan yang dapat mengubah mentalitas orang kalah
menjadi suku bangsa cerdas.
Banyak sejarah sosial pendidikan surau ini yang belum
terungkap, adalah kewajiban para peneliti dan intelektual Islam menggalinya
(Zulmuqim, 2010). Demikian pula tidak banyak terungkap, dari perspektif
keilmuan surau ulama klasik mempunyai.basis keilmuan spesialis/ takhasus
(Zulmuqim, 2010). Pada surau ulama modernis tidak menonjol karaketeristik
spesialis keilmuan keculi suarau ulama modernis moderat Syeikh IbrahimMusa
Parabek berbeda dengan surau Syeikh Jamil Jambek dan atau surau Syeikh Muhammad
Jamil Jaho dan atau surau jembatan besi yang didirikan dan dipimpin Syeikh
Abdul Majid dan gurunya Dr. HAKA ayah Buya Hamka serta Dr. Abdullah Ahmad[10]. Surau
Ibarhim Musa Parabek itu kekuatannya berada pada spesialisasi bidang pengajaran
ilmu alat (nahu/ sintaksis dan sharaf/ morfologi Arab). Spesialisasi surau itu
lebih hebat pada surau ulama klasik, dan jelas-jelas kekuatannya berada pada spesialisasi
pendidikan bidang keilmuan, di antaranya yang dikenal:
1. Spesialisasi surau ulama pada
periode jaringan pengembangan Islam:
a.
Surau Syeikh Burhanuddin
Ulakan, spesialisasinya tasauf (تصوف)
b.
Surau Syeikh Buyung Muda
Puluikpuluik Bayang, speasialisasinya صرف /sharaf (morfologi Arab)
c.
Surau Syeikh Supayang Solok
spesialisasinya نحو /nahu
(sintaksis Arab)
d.
Surau Syeikh Muhammad Nasir
Koto Panjang Padang spesialisasinya tafsir (تفسير)
e.
Surau Syeikh Padang Ganting
Tanah Datar spesialisasinya fiqhi (فقه)
f.
Surau Syeikh Khalidin Lubuk
Ipuh spesialisasinya tasauf (تصوف)
g.
Surau Syeikh Abdurrahman
Batuhampar, tasauf/ tarekat
2. Spesialisasi
surau ulama kaum tua:
c.
Surau Inyiak Candung (Syeikh
Sulaiman al-Rasuli spesialisasinya fiqhi
d.
Surau Rao spesialisasinya ilmu
mantiq – ma’ani
e.
Surau Selayo spesialisasinya
ilmu alat (nahu – sharaf)
f.
Suau Kubung 13 spesialisasinya
tafsir
g.
Surau Inyiak Jaho (Syeikh
Muhammad Jamil Jaho) spesialisasinya ilmu alat
h.
Surau Syeikh Wahid Tabek Gadang
spesialisasinya ilmu mantiq – ma’ani
i.
Surau Syeikh Mustafa Muara
Labuh, tarekat
j.
Surau Syeikh Yunus Pinti Kayu,
tarekat
k.
Surau Syeikh Muhammad Jamil
Pariaman, tarekat
l.
Surau Syeikh Muhammad Jamil
Palangai, tafsir
m.
Surau Syeikh Koto Kandis
Kambang guru Syeikh Sampu Solok Selatan, fiqhi
n.
Surau Pakih Hud dan Pakuh Samun
Siguntur guru ayah Buya Hamka di Pesisir Selatan, fiqh
o.
Surau Syeikh Maulana Sufi
Sungai Pagu, tasauf
p.
Surau Syeikh Muhammad Dalil
Padang dengan jaringannya 12 surau Padang- Bayang, tarekat dan fiqhi
q.
Surau Syeikh Khatib Ali
al-Padaniy di Parak Gadang Padang, tarekat dll.
Karakter surau dalam spesialisasi keilmuan tetap
dipertahankan pada surau tarekat, sementara di surau yang mengidentifikasi lembaga
pendidikan modern Islam tidak memperlihatkan kecenderungan spsialisasi, justru seperti
terkesan lembaga pendidikan modern Islam mempelihatkan keragaman isi dan
literature pendidikannya dan tidak mengarah spesialisasi dan kecenderungan itu
berlanjut sampai sekarang mulai dari madrasah, madrasah yang berubah menjadi
pesantren, termasuk pesantren terpadu di Minangkabau seperti Pesantren Terpadu
HAMKA bercorak agama plus umum, tidak mununjukkan spesialisasi dalam ilmu
ke-Islaman, tetapi karakteristiknya adalah pada pengintegrasian ilmu agama dan
umum dan atau meretas dikotomi pendidikan umum dan agama.
Karakteristik surau ini berubah setelah masuknya arus
deras pembaharuan pendidikan modern seperti tadi disebut, dari sistem surau
yang berhalaqah ke era sekolah/ madrasah yang klasikal dan sekolah moder
seperti Adabiyah dan PGAI yang dimotori Dr. Abdullah Ahmad. Walaupun sudah
dilakukan pembaharuan/ modernisasi pada sekolah/ madrasah namun muridnya tidak
akan sama dengan murid surau dulu terutama dalam hal daily life yang
sangat santun kepada guru dan mencari “suhbat al-ustazd” diikuti prilaku
yang sedikit mengkultuskan guru sampai-sampai sisa minum dan makan guru menjadi
rebutan.
Demikian juga kharisaman dan kepopuleran guru surau
madrasah tidak akan pernah sama dengan surau Inyiak dulu. Kebesaran dan
kepopuleran guru surau dulu menjadi energi daya tarik murid memasuki surau
inyiak sebagai pendidikan formal tradisional. Kebesaran guru, menentukan
besarnya surau yang menyelenggarakan pendidikan Islam. Muridnya banyak meminati
masuk berharap mendapat ilmu dari guru/ ulama besar dan berpengetahuan tinggi.
Amat berbeda dengan sekarang orientasi pasar kerja dan ekonomi masa depan.
Sebaliknya pendidikan agama modern sekarang seperti juga pesantren terlihat
gejala diversivikasi orientasi pendidikan, ditandai dengan harapan lebih
besar minat murid/ santri belajar agama sekaligus umum, keterampilan dan
mandiri dari minat tafaqquh fi l-din yang bertahan dalam tradisi
intelektual berbasis khazanah klasik/ al-turats (Wahid Khozin, ed.,
2008:6). Fenomena tradisi ini mengikuti Daftary (2001:64) merupakan bagian dari
cara tradisi rasional memahami dan membahas fenomena agama dan masyarakat agama
ke depan.
Murid surau Inyiak dahulu (beda dengan surau suku yang
muridnya anak kapanakan ninik mamak dalam suku) berdatangan dari seluruh
penjuru Nusantara. Murid itu mondok pada surau satelit berada di sekitar surau
Inyiak yang layak seperti perkampungan santra di sana ada surau induk di
kelilingi surau satelit yang dinamai dengan kampung murid-murid surau induk itu.
Mapping surau yang dihunyi murid surau terutama pada sentra surau Inyiak didirikan
oleh murid yang bersangkutan dan surau itu dinamakan dengan nama daerah asal
murid itu sendiri seperti tadi dijelaskan juga dengan contoh yang amat kentara
dapat dilihat dalam pemetaan surau Syeikh Abdurrahman Batuhampar (lihat Edwar,
1981) seperti juga di Surau Syeikh Burhanuddin Ulakan.
Guru surau terdiri dari malin kitab kuning, menguasai
ilmu alat, mantiq dan ma’ani (balaghah), arudh qawafi, ahli tafsir dan fiqhi
dan ulama sufi dan atau syeikh tarekat. Gurunya terdiri dari guru tuo (senior)
dan guru mudo (yunior). Guru dalam daily life
surau tidak seperti kiyai Jawa yang memiliki otoritas dan otoriter atau semua
berpusat pada guru, tetapi lebih demokratis dalam keberlanjutan dan melanjutkan
kemajuan belajar di surau tersebut. Kalau ada murid yang pintar ilmu alat
sedangkan di surau yang ia sedang belajar itu spesialisasi fiqh, maka guru
secara demokratis menanyakan kepada murid apakah mau mendalami ilmu alat?,
kalau mau guru akan mengantarkan ke surau lain yang spesialisasi ilmu alat.
Diketahui karakteristik spesialisasi keilmuan Islam amat menonjol pada surau
terutama pada surau Inyiak termasuk di surau tarekat ulama sufiyah. Ada
pendistribusian kewenangan dan tanggungjawab guru. Guru tuo (tua) hak alih kaji
dan guru tuo memberikan pelimpahan kewenangan kepada guru mudo (muda) untuk
mengoperasionalkan kaji baru dan memperdebatkannya. Demikian pula pengahargaan
antara sesama guru amat tinggi dan saling membesarkan. Kalau ada orang bertanya
kepada seorang guru/ ulama, ulama yang dianggap sumber suatu ilmu itu ia akan
mengatakan, saya kurang ahli tetapi teman saya yang ulama di surau sana,
padahal dia yang ahli. Berbeda dengan sikap tokoh agama sekarang yang meresa
dirinya satu-satunya terhebat di dunia dan menafikan bahkan meniadakan tokoh
lain. Kalau ada yang bertanya meminta fatwa, sering terjadi sekarang merendahkan
teman sesama ulama, sepertinya yang pantas mengeluarkan fatwa dia saja.
Dimungkinkan ulama dahulu dalam daily lifenya di surau tidak banyak terjebak
dalam pekerjaan duniawinya (ekonomi, politik dan sistim budaya lainnya),
justeru ekonomi suraunya dipasilitasi umat di samping ada usaha mandiri surau
dalam lapangan ekonomi seperti bertani, beternak dan budi daya ikan di
kolom-kolom air tawar dsb.
B.
Isi (Kurikulum dan Materi)
Sistem Pendidikan Surau
Social movement dalam
sejarah sosial surau juga terbaca dari perkembangan dan perubahan isi (materi –
kurikulum) pendidikan tradisional Islam ini. Gerakan sosial itu terjadi karena
ada gejolak kelompok internal yang memegang tampuk kepemimpinan surau yang
menginginkan perubahan kurikulum. Pengalaman ini terlihat dalam perkembangan
surau Jembatan Besi Padang Panjang, pasca pulangnya dua tokoh modernis dari Mekkah tahun 1904, yakni Dr. HAKA dan Dr. Abdullah
Ahmad. Sebelumnya surau ini memberikan pelajaran utama yakni fiqhi dan tafsir Al-Qur’an.
Kedatangan Haji Abdullah Ahmad dan
Haji Rasul telah membawa perubahan besar dalam lembaga ini. Sasaran utama dari
Haji Rasul adalah kurikulum dari Surau Jembatan Besi. Pelajaran yang lebih
ditekankan adalah pelajaran bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Tekanan pada
pelajaran ini dimaksudkan untuk memberi bekal murid untuk mudah mempelajari
sumber-sumber ilmu pengetahuan Islam yang banyak tersimpan di kitab-kitab tebal
berbahasa Arab, termasuk sumber utama Al-Qur’an dan Hadits. Pada gilirannya
Surau Jembatan Besi lebih mengutamakan ilmu alat (bahasa Arab) dengan
cabang-cabangnya dan kelompok yang tidak setuju merasa terpinggirkan, dampaknya
paling tidak menimbulkan konflik internal di surau tersebut.
Justru isi/ matera dan atau kurikulum dalam pendidikan
termasuk salah satu sistim pendidikan yang sangat-sangat penting. Isi
pendidikan surau yang dimaksud adalah sebuah sistem materi pendidikan surau
yang di dalamnya dirumuskan bahan-bahan yang dikemas dalam bentuk kurikulum
sesuai dengan tujuan pendidikan. Isi dan atau materi pendidikan surau sudah didisain sedemikian rupa
sehingga pencapaian tujuan semakin memungkinkan terlaksana. Ada pebedaan tujuan
sejalan dengan adanya perbedaan masyarakat dan berimplikasi pula kepada materi
(Rochman, 2007:44). Karenanya pula isi pendidikan Islam (kurikulum -
sekarang), seperti yang diingatkan Abuddin Nata (2005:77-78),
merupakan alat pendidikan mengakses kepentingan hidup masa depan yang bernilai
duniawi dan ukhrawi.
Meskipun nomenklatur kurikulum itu baru, namun surau
klasik rata-rata sudah mempraktekan sistim kurikulum yang perumusannya terlihat
dalam struktur mata pelajaran dalam pengorganisasian bidang keilmuan yang ada.
Rumusan mata pelajaran yang diajarkan di surau pada tingkat lanjutan umumnya:
1.
Sharaf (صرف)
2.
Nahu (نحو)
3.
Mantiq (منطق)
4.
Ma’ani – Balaghah (معاني)
5.
Tafsir (تفسير)
6.
Tarekat (طريقة)
7.
Tasauf (تصوف)
8.
Wirid harian
Materi pelajaran
pada tingkat permulaan di surau bidang agama diajarkan pokok akidah dan ajaran
Islam yang mudah dipahami dan diamalkan. Materi ini sebagai basik bagi
pendidikan lanjutan di Surau.
C.
Literature Keagamaan dalam
Sistem Pendidikan Surau
Turut mewarnai sejarah sosial surau adalah terjadinya social
movement dalam hal penentuan dan pemahaman isi dan aliran/ paham penulis
literature yang digunakan. Literatur ini dahulu dapat membedakan mana berpaham
modernis (kaum muda) dan mana yang berpaham tradional (kaum tua) di
Minangkabau. Karena perbedaan literature sekaligus paham keagamaan dan atau
mazhab disusul konflik internal paham, BJO Scrieke memandangnya sebagai
pergolakan Islam di Sumatera Barat, namun positifnya cukup besar yakni
memberikan sumbang terhadap pengayaan bibliografi Islam di Sumatera Barat pada
abad ke-20. Tidak sedikit melahirkan buku-buku Islam baik yang ditinggalkan
sekarang sebagai warisan intelektual dalam bentuk manuskrip maun yang sudah
dicetak ditulis dalam tulisan arab melayu dan bahasa Arab, setidaknya judulnya
saja berbahasa Arab.
Justru literature misalnya kitab kuning sendiri sejak
awal mengalami perkembangan. Menyinggung tentang perkembangan kitab kuning ini
sampai sekarang, Tolhah (2008), lebih dikarenakan beberapa faktor; pertama,
munculnya masyarakat muslim kosmopolitan yang membutuhkan pelayanan mulai akhir
abad 1 H. Kedua, lahirnya ilmu-ilmu naqliyah & aqliyah secara
spektakuler di dunia Islam. Ketiga, tersedianya fasilitas penulisan,
terutama kertas. Keempat, banyaknya ulama dan cendekiawan Islam yang kompeten
suka menulis dan membaca, dan kelima sikap para penguasa yang cinta
ilmu dan budaya, mereka membutuhkan sumber yang kuat.
Literatur keagamaan dalam sistem pendidikan surau
digunakan sebagai referensi mata pelajaran dalam bidang-bidang keilmuan yang
ada sesuai dengan spesialisasi surau. Pada umumnya surau klasik basis ulama
tradisonal, menggunakan literature dalam bidang keilmuan:
1.
Sharaf (صرف)
2.
Nahu (نحو)
3.
Mantiq (منطق)
4.
Ma’ani – Balaghah (معاني)
5.
Tafsir (تفسير)
6.
Tarekat (طريقة)
7.
Tasauf (تصوف)
8.
Wirid harian
Literatur yang menjadi referensi bidang-bidang ilmu
tadi:
1.
Sharaf, buku al-‘Awamil (العوامل)
2.
Nahu, buku fawakih
al-Janiyah (فواكه الجانية)
3.
Mantiq, buku Idhah al-Mubham
(إيضاح المبهم)
4.
Ma’ani (Balaghah), Jawahir
al-Maknun (جواهرالمكنون)
5.
Tafsir, al-Jalalain (الجلالين)
6.
Tarekat, buku Shalawat
al-Tafarujah (صلاوات التفارجة)
7.
Tasauf, buku al-Hikam (الحكم)
8.
Wirid harian, buku Dala’il
al-Kahirat (دلائل الخيرات)
Sementara itu literature surau tarekat yang tetap
mempertahankan spesialisasi keilmuan diperkuat dengan literature keagamaan yang
digunakan. Setiap mata pelajaran/ bidang
ilmu memakai literature kitab kuning, yakni:
1.
Mata pelajaran nahu memakai
literature:
a.
Mata al-Ajrumiyah (متن الأجرمية)
b.
Mukhtashar (مختصر)
c.
Kawakib al-Durriyah Khalid
Azhariy (كواكب
الدرية خالد أزهرية)
d.
Qathr al-Nida (قطر الندى)
e.
Alfiyah/ Khasyiyah (ألفية – حاشية)
2.
Mata pelajaran sharaf memakai
literature:
a.
Matan al-Bina’I wa l-Asas (متن البناء والأساس)
b.
Kailaniy ‘Azza (كيلاني عزى)
c.
Salsal Madkhal (سلسل مدخل)
3.
Mata pelajaran mantiq memakai
literature:
a.
Idhahu l-Mubham (إيضاح المبهم)
b.
Sulam Melayu
4.
Mata pelajaran ushul fiqh
memakai literature:
a.
Al-Damithi ‘ala Syarhi l-Waraqat
(الدميطي على شرح
الورقات)
b.
Jam’u l-Jawami’ (جمع الجوامع)
5.
Mata pelajaran fiqh memakai
literature:
a.
Matan al-Taqrib (متن التقريب)
b.
Fathu l-Qarib (فتح القريب)
c.
I’anat al-Thalibin (إعانة الطالبين)
d.
Al-Mahalli (المحلّى)
6.
Mata pelajaran balaghah memakai
literature:
a.
Risalah al-Isti’arah (رسالة الإستعارة)
b.
Mata al-Samarqandiyah (متن السمرقندية)
7.
Mata pelajaran tauhid memakai
literature:
a.
Aqwal al-Mardhiyah (أقوال المرضية)
b.
Jawahir al-Kalamiyah (جواهر الكلامية)
c.
Fath al-Majid (فتح المجيد)
d.
Al-Dasuqiy (الدسوقي)
8.
Mata pelajaran sejarah memakai
literature:
a.
Nur al-Yaqin (نور اليقين)
b.
Atmam al-Wafa’i (أتمام الوفاء)
9.
Mata pelajaran tasauf[11] memakai
literature:
a.
Manhaj al-‘Abidin (منهج العابدين)
b.
Al-Hikam (الحكم)
Selain kitab kuning sebagai literature referensi tadi, dicetak
baik di negara-negara Arab maupun di Sumatera Barat, selain juga ada dalam
bentuk karya ulama tarekat baik yang sudah dicetak maupun dalam bentuk manuscrib
(makhthuthath/ مخطوطات). Ulama tua/ tradisional
dan modernis juga banyak menulis buku baik sebagai buku daras (literature) yang
dipakai di suraunya masing-masing[12], juga
banyak dalam bentuk buku-buku ilmu-ilmu ke-Islaman dan buku-buku polemik dan
atau ditulis atas perintah raja/ sultan. Pengalaman ini tidak saja terjadi di
Minangkabau, juga di daerah-daerah lain, karenanya tidak sedikit literature
keagamaan yang terwariskan sebagai karya intelektual ulama yang sangat
berharga. Naskah atas perintah sultan
misalnya hujjat al-balighah (حجة البليغة) Tuangku Muda Asan (1158
H) berisikan hukum positif untuk peradilan ditulis atas perintah Sultan
Alauddin Johan Syah Berdaulat – Aceh (Khairil Anwar, 2009:290).
Literatur keagamaan yang digunakan di surau-surau tadi
dari yang dapat ditemukan terutama fiqh adalah bermazhab syafi’iyah, buku
tasauf bercorak sufistik Imam al-Ghazali, tauhid dalam
teologi al-Asy'ari. Secara subtantif literature itu cenderung memerangi paham
keliru/ tak murni dalam Islam, dalam misi merehabilitir budaya lokal yang
tercemar aroma tbc (tahayul, bid'ah, churafat) yang sarat magis.
Penerapan ajaran terlalu keras terkesan
paham salaf, mengakibatkan konflik antar paham, baik intern kelompok paham
seperti dalam tarekat antara tarekat Satari dengan tarekat Naqsabandi kentara
tahun 1850 awal mula bendera Naqsyabandi gencar dikibarkan Syeikh Ismail Simabur.
Meskipun demikian, konflik itu menyebabkan berkembangnya jumlah surau dan
masjid. Negatifnya juga muncul, di ujunng konflik antar kaum agama dengan kaum
adat di antaranya menyebabkan perang paderi.
Hal yang positif lainnya konflik antar
ulama tradisional dan ulama modernis disertai literature sebagai rujukan paham
melahirkan gerakan kaum muda dan kaum tua abad ke-20 yang pergolakannya pernah
dicover secara luas oleh BJO Schrieke seorang ahli Belanda mengakibatkan lahirnya
literature polemistik. Para penulis buku polemis yang paling gencar sampai
melahirkan kepustakaan pejuang abad ke-20 di antaranya Syeikh Muhammad Dalil bin
Muhammad Fatawi (pimpinan ulama kaum tua moderat), Syeikh Chatib Ali al-Padani
(pimpinan ulama kaum tua radikal), Syeikh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah
(pimpinan ulama kaum muda radikal), Syeikh Dr. Abdullah Ahmad (pimpinan ulama
kaum muda moderat), Syeikh Saad Mungka (kaum tua), Syeikh Sulaiman al-Rasuli
(kaum tua), Syeikh Bingkung (kaum tua), melibat guru mereka Syeikh Ahmad Chatib
al-Minangkabawiy. Kalimak konflik itu berujung pada Rapat Besar 1000 ulama
dipimpin oleh BJO Schrieke yang panjang lebar sudah penulis paparkan pada
Riwayat Perjuangan Syeikh Chatib Ali al-Padani (Edwar, ed., 1981) dan Riwayat
Perjuangan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi ( Mestika, ed., 2002 lihat
juga Yulizal Yunus, 1999).
IV.
KESIMPULAN
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa
surau dalam perspektif sejarah sosial pendidikan Islam tradisional dalam tipologi
daily life, social movement dan aspek penting pendidikan Islam
tradisonal surau menyangkut pengembangan ekonomi dan politik, pada akhirnya semakin
mengukuhkan surau sebagai bagian integral dari collective memory orang
Minang, tidak pernah hilang nama besarnya dalam ingatan orang Minang, baik
dalam keunggulannya sebagai lembaga dan sistim pendidikan tradisonal formal Islam
di Minangkabau. Bahkan yang tidak dapat dilupakan dalam ingatan orang Minang
bahwa lembaga dan sistim surau, melahirkan orang besar/ ulama Nusantra, baik
yang kapasitasnya di level lokal, nasional maupun kapasitas tokoh internasional.
Dalam proses Islamisasi surau pun tidak dapat dilupakan merupakan episentrum
penyebaran Islam sampai ke kepulauan Nusantara dilakukan oleh para ulama
jebolan surau sendiri, namun sayangnya surau lenyap dan tidak terdapat
nomenklatur surau itu sebagai lembaga pendidikan formal dalam sitim pendidikan
nasional.
Karakteristik sistem pendidikan
surau terlihat nyata dari sistem belajar yang meskipun dalam daily life murid
berhalaqah dan penuh debat, namun memberikan atmosfir akademi yang merangsang
untuk belajar dan menawarkan sikap terdidik yang cerdas dan tradisi rasional dalam
pemahaman Islam dan pengembangan pikir pada event debating dan talk
show serta dialog a lot antara murid di dalam halaqah. Murid datang
dari berbagai penjuru, mondok di surau yang dinamakan dengan nama daerah mereka
sendiri yang orbitasinya merupakan perkampungan yang dipenuhi surau satelit
mengitari surau Inyiak di komplek itu. Hampir terjadi sepanjang kehidupan
surau, murid dominant memfaatkan waktu yang diberikan untuk belajar, sedangkan
waktu rehat/ tidur sedikit, kalau pun tidur diupayakan cepat bangun untuk
meneruskan pelajaran kitab kuning.
Dilihat dari pelaksanaan tradisi
rasional dan intelektualnya dalam belajar dan membahas kitab, guru surau tidak
seperti Kiyai Jawa yang memiliki otoritas dan otoriter, tetapi lebih demokratis
dalam keberlanjutan dan melanjutkan kemajuan belajar di surau tersebut. Ada
terjadi dinamika social movement antar kelompok murid berkompetisi
meraih prestasi, namun guru lebih arif melihat fenomena yang terjadi. Kalau ada
murid yang pintar ilmu alat sedangkan di surau yang ia sedang belajar
spesialisasi fiqh, maka guru secara sportif menanyakan kepada murid apakah mau terus
mendalami fiqh atau beralih mendalami ilmu alat? Kalau murid mau, maka guru
akan mengantarkannya ke surau temannya ulama yang lain spesialisasi ilmu alat.
Diketahui karakteristik
spesialisasi keilmuan Islam amat menonjol pada surau terutama pada surau ulam
sufiyah. Ada pendistribusian kewenangan dan tanggungjawab guru, guru tuo hak
alih kaji, dan guru tuo memberikan pelimpahan kewenangan kepada guru muda untuk
mengoperasionalkan kaji baru dan memperdebatkannya. Demikian pula pengahrgaan
antara sesama guru amat tinggi dan saling membesarkan. Kalau ada orang bertanya
kepada seorang guru/ ulama, ulama yang dianggap sumber suatu ilmu itu ia akan
mengatakan, bukan dia yang ahli tetapi temannya di surau sana, padahal dia yang
ahli. Berbeda dengan sikap tokoh agama sekarang yang meresa dirinya
satu-satunya terhebat di dunia dan meniadakan tokoh lain. Ulama surau dulu
tidak punya sifat ego sentries. Pembiayaan pendidikan surau pada umumnya
dipasilitasi oleh masyarakat/ umat Islam dan murid hidup dengan jerih payah
mereka sendiri di samping belajar ada yang bertani dan beternak dan budi daya
ikan air tawar.
Isi pendidikan surau dalam bentuk
implementasi disain materi dirumuskan seperti bentuk kurikulum dalam istilah
sekarang juga dahulu memicu social movement di tingkat internal guru. Perumusan
dan perubahan kurikulum itu disesuaikan dengan tujuan pendidikan setiap mata
pelajaran. Mereka belum mengenal kurikulum tetapi dalam prakteknya sudah
dilakukan. Pendistribusian dan pengorganisasi isi dilakukan berdasarkan
tingkatan dan kelas. Tingkat pemula diberikan pelajaran bidang agama dalam
dasar-dasar akidah dan ajaran yang mudah dipahami dan diamalkan. Tingkat
lanjutan diberikan materi meliputi: tafsir, fiqh (thaharah, munakahat,
mu’amalat, jinayat, fara’id dsb), ilmu alat (nahu sharaf), mantiq, ma’ani serta
bayan – badi’ (balaghah), arudh qawafi (ilmu prososi dan rima syair), tasauf/
tarekat dsb. Penguasaan materi lebih memakai sifat hafalan dan memahamiapa yang
dihafal.
Literatur keagamaan yang digunakan di surau terutama
fiqh adalah bermazhab syafi’iyah, buku tasauf bercorak
sufistik Imam al-Ghazali, tauhid dalam teologi al-Asy'ari. Ada kecenderungan
secara subtantif literature itu dalam menerapkannya memperlihatkan kesal
dinamika social movement memerangi paham keliru dalam Islam dan
merehabilitir budaya lokal yang tercemar aroma tbc (tahayul,
bid'ah, churafat) yang sarat magis. Ada fenomena penerapan ajaran terlalu keras
bagaikan paham salaf, mengakibatkan konflik antar paham, baik intern kelompok
paham seperti dalam tarekat antara tarekat seperti Satari dengan tarekat
Naqsabandi menyebabkan berkembangnya jumlah surau dan masjid, konflik antar
kaum agama dengan kaum adat di antaranya menyebabkan perang paderi, antar ulama
tradisional dan modernis melahirkan gerakan kaum muda dan kaum tua abad ke-20
yang pergolakannya pernah dicover Schrieke seorang ahli Belanda disebutkannya
melahirkan cukup banyak bibliografi/ literature polemistik.
Para penulis buku polemis yang
paling gencar sampai melahirkan kepustakaan pejuang abad ke-20 di antaranya
Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (pimpinan ulama kaum tua moderat),
Syeikh Chatib Ali al-Padani (pimpinan ulama kaum tua radikal), Syeikh Dr. Haji
Abdul Karim Amrullah (pimpinan ulama kaum muda radikal), Syeikh Dr. Abdullah
Ahmad (pimpinan ulama kaum muda moderat), Syeikh Saad Mungka (kaum tua), Syeikh
Sulaiman al-Rasuli (kaum tua), Syeikh Bingkung (kaum tua), melibat guru mereka
Syeikh Ahmad Chatib al-Minangkabawiy yang juga melahirkan buku polemis tidak
sedikit jumlahnya. Kalimaks konflik itu berujung pada Rapat Besar 1000 ulama
dipimpin oleh BJO Schrieke yang panjang lebar sudah penulis paparkan pada
Riwayat Perjuangan Syeikh Chatib Ali al-Padani.
Pada akhirnya
sebuah rekomendasi kepada pemerintahan daerah Sumatera Barat dan Depag mereaktualisikan sistem pendidikan surau
dalam kontek era otonomi daerah Sumatera Barat yang mengambil strategi “kembali
ke surau/ back to surau”, yakni melahirkan surau model nagari otonomi plus
meretas divesifikasi orientasi pendidikan surau serta menjaga tidak terbelahnya
antara sistim pendidikan yang ingin bertahan pada sistem pendidikan surau punya
tradisi intelektual berbasis khazanah klasik, dengan sistim pendidikan Islam
yang berubah menjadi sistem sekolah dan madrasah dan atau pesantren serta dengan
sistim yang separoh-separoh (antara surau dan sekolah).***
Reference
Abu al-‘Ainaian, Ali
Khalil, Falsafat al-Tarbiyat al-Islamiyah fi l-Qur’an al-Karim.
Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1980.
Abuddin, Nata, Prof., Dr., MA., dkk., Pendidikan
dalam Perspektif Hadits. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Al-Toumy
al-Saibany, Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, tth.
Al-Najihiy, Muhammad
Labib, Dr., Falsafat al-Tarbiyah. Al-Qahirah: al-Matabat
al-Tarbawiyah,1963
Apria, Putra, dkk., Identifikasi
dan Katalog Naskah Kuno Islam, Masjid Syeikh Muhammad Sa’id al-Khalidi Bonjol. Padang:
SNI, 2009.
Azyumardi, Azra, Bahan Kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam di Indonesia di S-3
PPs. IAIN IB. IAIN IB.
Padang: Catatan YY, 2010
_____________, Surau:
Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2003
_____________,
Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999
Daftary, Farhad, ed. Teradisi-tradisi
Intelektual Islam. Jakarta: Erlangga, 2001
Daulay, Haidar Putra,
Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Yakarta:
Kencana, 2007
Dobbin, C., Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani
yang Sedang Berubah. Jakarta: INIS, 1992
Edwar (ed.), Riwayat
Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre
Sumatera Barat, 1981
Fathurrahman, Oman, Tarekat
Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group bekerja sama
dengan Ecole francaise d'Extreme-Orient, PPIM UIN Jakarta dan KITLV – Jakarta,
2008
Hasan Langgulung, Pendidikan dan
Peradapan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985
_______________, Azas-azas Pendidikan
Islam. Jakarta: al-Husna, 1921
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Kharil, Anwar, dkk., Naskah Klasik
Keagamaan Edisi Bahasa Melayu. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2009.
Kosim, Muhammad, Sistim Pendidikan Surau:
Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan. http://mhdkosim.blogspot.com/2009/04/sistem-pendidikan-surau-karakteristik.html,
2009.
Linton, Ralp, the Study of Man an Introduction. Edisi
Pelajar Appleton – Century & Croft Inc., 1936
Mahmud, Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung: 1993
Mestika, Zed, Riwayat
Perjuangan Ulama Sumatera Barat, Padang: Angkasa Raya, 2002
Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of
Education in Islam, Kuala Lumpur: Art Printing, 1980
Ramayulis,
dkk., Filsafat Pendidikan Islam Tela’ah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para
Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2009
Rochman, Natawidjaja, Rujukan
Filsafat dan Praksis Ilmu Pendidikan. Jakarta: UPI Press, 2007
Sastrapradja, M., Kamus Istilah
Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional, 1978
Shubhiy, Ahmad Mahmud, Al-Falsafat
al-Akhlaqiyah fi l-Fikr al-Islamiy, al-‘Aqliyuna wa l-dzauqiyuna au al-Nazhar
wa l-‘Amal. alQahirah: Dar l-Ma’arif, tt.
Schrieke, B.J.O., terj. Pergolakan Agama
di Sumatera Barat Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara,1973
Tajjul Ariffin Noordin, Norasmah dan Nor
Sakinah Mohammad, Pendidikan Pembangunan Manusia: Aplikasi Sinerji
Bersepadu. Bangi: UKM, 2007
Tolchah, Hasan, Prof. Dr. KH. MA, Prosiding Sarasehan Memperkuat
Kelembagaan MQK, Membangun Tradisi Keilmuan Pesantren. Banjarmasin: Panitia
MQK Nasioanl III Banjarmasi Kalimantan Selatan, 2008
Wahid, Khozin, ed., Pendidikan Ma’had
Aly: Menyoal Tradisi Keilmuan Pesantren, Artikel Hasil Penelitian Fuaduddin TM
dalam Edukasi, Jurnal Penelitian
Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol.6 No.3 Juli-September 2008. Jakarta:
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang dan Diklat Depag RI, 2008.
Witrianto, Surau Jembatan Besi: Cikal Bakal Lahirnya Pendidikan Islam
Modern di Padang Panjang. http://pasyafamily.blogspot.com/2009/09/surau-jembatan-besi-cikal-bakal.html-ftn1,
2009.
Yulizal, Yunus, Al-Qashash al-Islamiyah
fi Tatsqif Syakhshiyati Athfal. Padang: IAIN-IB Press, 2003
____________, Lingkungan Pendidikan dalam
al-Qur’an. Padang: PPs.IAIN-IB, 2009
____________, Pengorganisasian Bidang Keilmuan pada Kurikulum
Pendidikan Islam dalam Perspektif Pemikiran Ibnu Khaldun. Padang: PPs. IAIN-IB,
2009
_____________,
Perjugangan Ulama Sumatera Barat. Padang: Museum Adytiawarman, 2007
_____________, Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Membela Tarekat
Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press, 1999.
_____________, Syeikh Thaher Jalaluddin (1869-1956) dalam
Mestika Zed, ed. Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya. Padang:
Ankasa, 2001
Zulmuqim, Prof. Dr., Bahan Kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam
di Indonesia di S-3 PPs. IAIN IB. Padang: Catatatan YY, 2010
[1]Makalah tugas kuliah Yulizal Yunus,
Mahasiswa Program Doktor (S-3) dalam mata kuliah “Sejarah Sosial Pendidikan
Islam di Indonesia” di bawah bimbingan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dan
Prof. Dr. Zulmuqim, MA dipresentasikan 27 Maret 2010 sebagai bagian tugas PBM
di PPs. IAIN Imam Bonjol Padang.
[2]Otonomi daerah di Sumatera Barat dilaksanakan dengan “peraturan
daerah kembali ke nagari” yakni Perda
No.9/2000 dan diperbaharui dengan Perda No.2/2007.
[3]Sosial mengacu Soerjono (1983:330) berkenaan dengan prilaku
interpersonal atau yang berkaitan dengan proses sosial.
[4]Interaksi dimaksudkan adalah (1) stimulasi dan tanggapan antar
manusia (2) hubungan timbale balik antara pihak-pihak tertentu (Soerjono,
1983:158).
[5]Buku referensi ilmu-ilmu ke-Islaman, ditulis dalam bahasa Arab
(tanpa baris/ harakah). Disebut “kitab kuning”, karena kertasnya kuning, di
samping warnanya memang agak kuning juga sudah dimakan usia dan termasuk naskah
klasik yang sudah dicetak.
[6]Ciri lain dari sistem pengajaran dan pendidikan
surau ini biasanya pengajaran diberikan pada waktu petang atau malam hari. Hal
ini disebabkan karena biasanya anak-anak di kampung atau di desa-desa pada pagi
atau siang hari bekerja membantu orangtuanya di sawah atau di ladang. Guru-guru
juga harus mencari nafkah pada waktu pagi atau siang hari, yaitu dengan
melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat lainnya termasuk
bertani di sawah atau di ladang. Hal ini merupakan pola umum dalam sistem
pendidikan agama di daerah pedesaan Minangkabau. Guru bukanlah seorang
profesional, ia mengajarkan ilmunya tak lebih sebagai tuntutan dalam berdakwah.
Oleh sebab itu murid-murid yang belajar tidak dibebani biaya pendidikan dalam
jumlah tertentu (Witrianto, 2009).
[7]Murni Jamal (1985:219-229), dalam buku Proyek Pembinaan Prasarana
dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN Tahun 1984/ 1985, dengan topik “Sejarah
Pendidikan Islam” juga menyebut sistim pendidikan surau yang tidak dibedakannya
secara tegas dengan pendidikan langgar dan masjid. Pada pendidikan dan
pengajaran agama pada tingkat permulaan disebutnya (1) belajar membaca
al-Qur’an, (2) Pelajaran dan praktek shalat, (3) pelajaran ketuhanan (teologi)
atau ketauhidan yang pada garis besarnya berpusat pada sifat-20. Kelemahan
Murni tidak menjelaskan pendidikan surau punya spesialisasi dan di samping
pengajaran agama, surau juga berisi pengajaran adat dan silat sebagai komponen
utama.
[8]Urang jinih nan ampek (orang jenisnya empat) ialah (1) imam, (2)
katik, (3) bila dan (4) Qadhi. Urang jinih nan ampek ini, merupakan pelaksana
pendidikan agama dalam suku/ kampung yang dipimpin oleh malim satu di antara
urang nan ampek jinih (orang yang ampek jinih) yakni (1) penghulu, (2) cadiak
pandai, (3) dubalang dan (4) malim.
[9]Madrasah modernisasi dari pendidikan surau. Diakui pertumbuhan dan
modernisasi pendidikan Islam di Indonesia cukup menarik (kembangkan dalam Daulay, 2007) dan amat
menarik lagi perkembangan sejarah sosial pendidikannya. Namun sayang,
sedemikian hebat sejarah sosial pendidikan surau, sejarah pendidikan di
Indonesia melupakan surau malah pupus dari sejarah pendidikan nasional,
buktinya nomenklatur surau tidak terdapat dalam sistem pendidikan nasional
sebagai pernah menjadi lembaga
pendidikan formal Islam Tradisional di Minangkabau – Indonesia.
[10]Witrianto (2009) mencatat halaqah
yang paling dikenal di Padang Panjang adalah Surau Jembatan Besi yang didirikan
oleh Haji Abdul Madjid. Sistem pendidikan di Surau Jembatan Besi berkembang
menjadi sistem madrasah, setelah masuknya Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mengajar
di surau ini sekembalinya dari Mekkah pada tahun 1904. Sebelumnya pelajaran
yang diberikan di surau ini dilakukan secara tradisional dengan
pelajaran-pelajaran yang memang biasa diberikan seperti fiqhi dan tafsir
Al-Qur’an yang merupakan pelajaran utama dalam surau tersebut. Kedatangan Haji
Abdullah Ahmad dan Haji Rasul telah membawa perubahan yang besar dalam lembaga
ini. Sasaran utama dari Haji Rasul adalah kurikulum dari Surau Jembatan Besi.
Pelajaran yang lebih ditekankan adalah pelajaran ilmu pengetahuan berupa
kemampuan untuk menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Tekanan pada
pelajaran ini dimaksudkan untuk memungkinkan murid-murid mempelajari sendiri
kitab-kitab yang diperlukan dan dengan demikian secara lambat laun dapat
mengenal Islam dari kedua sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Surau
Jembatan Besi ini akhirnya berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih
penting dan mungkin paling berpengaruh di Minangkabau, yaitu Sekolah Thawalib.
[11]Terdapat juga literature tasauf yang diperuntukan sebagai referensi
bagi murid-murid yang pengetahuan dasarnya sudah kuat yakni: al-Durr
al-Nafis (الدرالنفيس) / Syiekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
al-Banjari.
[12]Masih banyak literature klasik surau-surau yang belum ditemukan dan
tersimpan di tangan kolektor pemilik surau dan atau pada keluarga ulama pemilik
surau. Seperti dalam event investigasi lektur klasik karya intelektual
ulama Sumatera Barat yang dilakukan
tahun 2009 oleh tim Pusat Studi Naskah Lama Islam dan Nilai Tradisional (SNI)
Padang diperkuat tim-9 mahasiswa sastra Arab Fakultas Adab Apria Putra dkk.,
menemukan naskah klasik yang cukup kaya di surau Syeikh Said Bonjol dan Surau
Syeikh Kumpulan Bonjol. Fenomena ini menunjukkan perlu gerakan intensif
menginventarisasi, identifikasi dan mendigitalisasikan lektur klasik karya
intelektual ulama Sumatera Barat ini, diperkirakan kalau tidak dilakukan gerak
itu dalam 5-10 tahun yang akan datang kekayaan intelektual ulama Sumbar ini
akan lenyap.
Posting Komentar