Headlines News :
Home » » Makalah-3 REKONSTRUKSI IDEALISME PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF GUPPI Maret 16, 2013

Makalah-3 REKONSTRUKSI IDEALISME PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF GUPPI Maret 16, 2013

Written By Unknown on Senin, 04 November 2013 | 11.17

Oleh:

Imam Tholkhah

Pendidikan Agama Islam di sekolah belum sesuai dengan harapan sebagian orang tua. Pendidikan agama di sekolah masih dipandang oleh sebagian pengamat sangat kognitif oriented. Sikap dan prilaku serta pengamalan ibadah ritual bagi para peserta didik di sekolah belum menggembirakan. Selain itu kasus-kasus penyalah gunaan narkoba, kriminalitas, kekerasan, radikalisme dan prilaku a moral masih marak dalam dunia pelajar. Saya pikir inilah tantangan besar dunia pendidikan yang perlu memperoleh perhatian serius dari berbagai pihak.
A. Pendahuluan
Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI), lahir pada tanggal 3 Maret 1950 di Pesantren Islam Gunung Puyuh Sukabumi Jawa Barat. GUPPI lahir sekitar empat tahun setelah Indonesia merdeka. Sebuah era yang disebut dengan era pasca revolusi, atau Era Orde Lama. Sebuah era yang penuh dengan pergolakan sosial politik yang memperebutkan kekuasaan negara baru Indonesia. GUPPI lahir karena di dorong adanya kesadaran, semangat dan idealisme beberapa tokoh Islam yang dipimpin oleh KH Sanusi, khususnya di lingkungan komunitas pendidikan Islam tradisional Jawa Barat. GUPPI perlu dilahirkan karena adanya tantangan untuk mengisi dan merespon tuntutan zaman awal kemerdekaan bangsa Indonesia.
Konstelasi sosial, ekonomi maupun politik pada masa awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sangat memerlukan sejumlah besar sumber daya manusia, kader-kader dan tokoh-tokoh bangsa yang kompeten untuk mengurus negara. Beberapa tokoh Islam pada masa itu nampaknya sangat menyadari, bahwa hanya melalui sumber daya manusia yang terdidik dengan pengetahuan dan keterampilan yang komprehensif yang mampu mengisi kemerdekaan Indonesia. Mereka menyadari bangsa Indonesia adalah bangsa yang majmuk, terdiri dari berbagai penganut agama yang berbeda. Mereka memahami bahwa umat Islam merupakan mayoritas penduduk bangsa Indonesia dan memiliki potensi serta peluang yang besar untuk membangun kader bangsa yang berkualitas melalui lembaga pendidikan Islam tradisional. Lembaga pendidikan tradisional ini tersebar diberbagai pelosok tanah air sejak sebelum bangsa Indonesia merdeka, dan bahkan sejak sebelum masa kolonial Belanda. Sebagian dari lembaga pendidikan tradisional ini menjadi sumber kebangkitan nasionalisme, menjadi kantong-kantong sumberdaya manusia yang mampu melakukan perlawanan dan penyebaran ideologi anti kolonialisme. Melalui lembaga pendidikan Islam ini bangsa Indonesia telah mampu membangun kekuatan SDM berkualitas untuk berjihad, melawan dan mengusir kekuasaan penjajahan Belanda maupun Jepang, meskipun banyak dari umat Islam ini yang gugur dalam perjuangannya.
B. Tantangan awal
Revolusi kemerdekaan secara cepat merubah orientasi masyarakat Islam Indonesia dari masyarakat yang berjihad, berjuang dan berperang melawan kekuasaan pemerintah kolonial menjadi masyarakat yang harus berjuang dan berjihad mengisi SDM pemerintahan dan membangun kedaulatan negara sendiri. Tentu sejak awal kemerdekaan di Era Orde Lama, pergulatan politik perebutan kekuasaan antar partai-partai dan keleompok-kelompok masayarakat tak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah suasana pertentangan antar partai politik itulah kemudian muncul gerakan idealisme pendidikan tradisional dari dikalangan pesantren di Jawa Barat yang dipelopori oleh KH Sanusi. Idealisme pendidikan tradisional tersebut dikembangkan dan dipromosikan melalui sebuah organisasi GUPPI, yang peduli terhadap nasib pendidikan Islam tradisional, yang nyaris terlupakan oleh pemerintah di waktu itu.
Di antara idealisme yang dikembangkan adalah: Pertama, mempromosikan sistem lembaga pendidikan Islam tradisional, terutama madrasah dan pesantren sebagai tempat yang ideal untuk pusat pengembangan sumberdaya bangsa Indonesia yang berkualitas. Dipandang sebagai tempat ideal karena lembaga pendidikan tradisional ini memiliki kekuatan yang menekankan pada pendidikan karakter bangsa yang berbasis pada akhlak mulia. Kedua, mempromosikan sistem lembaga pendidikan tradisional sebagai tempat pendidikan ideal untuk mengembangkan spirit perjuangan dan spirit jihad sosial yang berorientasi pada perjuangan membangun bangsa Indonesia yang sejahtera lahir dan batin. Ketiga, mempromosikan sistem lembaga pendidikan tradisional, khususnya pesantren, dengan sistem boarding dan kyai sebagai tokoh panutan yang mampu memberikan peluang pada peserta didik menjadi pembelajar sepanjang waktu siang dan malam. Tetapi, sistem pendidikan Islam tradisional ini dirasakan masih memiliki kekurangan, tertinggal jauh di belakang dalam berkompetisi dengan sistem lembaga-lembaga pendidikan moderen yang telah dikembangkan oleh pemerintah, yakni sekolah-sekolah tinggalan zaman penjajahan Belanda. Mereka menyadari, idealisme menjadikan lembaga pendidikan tradisional sebagai pusat pengembangan sumber daya bangsa tidak akan tercapai kalau sistem lembaga pendidikan Islam ini tidak diperbaiki. Mereka menyadari, kalau lembaga pendidikan Islam ini tidak diperbaiki, tamatan-tamatan dari sistem lembaga pendidikan Islam ini justeru hanya akan menjadi kelas dua, kelas komunitas bangsa Indonesia yang terasing dalam negerinya sendiri. Bahkan boleh jadi, sebagian para alumni lembaga tradisional ini hanya akan menjadi beban negara, kelas peminta bantuan, terutama karena mereka tidak memiliki akses yang memadai, dan tidak memiliki ketrampilan dan kemampunan menghidupi dirinya sendiri.
Perspektif pemikiran seperti itulah yang kemudian mendorong para tokoh pendidikan Islam tersebut mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam. Mengapa Gabungan Usaha? Karena tokoh-tokoh Islam yang mengelola lembaga pendidikan Islam tradisional sudah banyak jumlahnya. Karena esensi sebuah organisasi adalah sebuah usaha bersama untuk mencapai tujuan mulia. Tujuannya adalah memberikan konsep pemikiran atau gagasan untuk perbaikan sistem pendidikan Islam seutuhnya. Misinya adalah memberikan penyadaran kepada para pengelolanya, bahwa sistem lembaga pendidikan Islam tradisional harus memperbaiki diri untuk mengejar ketertinggalan. Ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan umum, ketrampilan dan teknologi yang memang sangat diperlukan untuk mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia. Selain itu, idealisme GUPPI untuk mendorong lembaga pendidikan Islam tradisional agar bangkit menjadi pusat pendidikan yang maju dan pusat peradaban bangsa Indonesia terus dikembangkan. Mereka meyakini bahwa lembaga pendidikan Islam memiliki potensi kekuatan yang besar untuk membangun peradaban bangsa, karena berakar kuat dalam masyarakat. Potensi kekuatan itu juga karena lembaga pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari masyarakat yang di landasi oleh niat yang kuat, misi suci keagamaan, semangat perjuangan dengan wawasan kebangsaan dan spirit nasionalisme yang tinggi. Mereka melihat bahwa dari lembaga pendidikan Islam yang kuat akan lahir tokoh-tokoh masyarakat, tokoh perjuangan dan tokoh-tokoh bangsa yang bermartabat
Tetapi sayangnya potensi kekuatan itu belum dapat di gelar secara maksimal. Mereka menyadari, bahwa untuk memperbaiki lembaga pendidikan Islam tradisional ini pada masa Orde Lama itu memang memiliki tantangan yang tidak mudah untuk segera diatasi.
Pertama, dari sisi status, lembaga pendidikan Islam tradisional bersifat swasta dan tidak diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Sehingga ijasah atau tanda tamat para alumni dari lembaga pendidikan tradisional ini tidak diakui pada sektor lapangan kerja formal di pemerintah maupun luar pemerintah. Karena itu para alumni lembaga pendidikan Islam tradisional ini hanya dapat memasuki lapangan kerja sektor informal.
Kedua, dari sisi kualitas kurikulum, lembaga pendidikan Islam tradisional ini belum memiliki standar yang mampu menjawab perkembangan tuntutan pasca kemerdekaan secara memadai. Hal ini karena, kurikulum pendidikan Islam tradisional berjalan secara alami, bertumpu pada selera dan misi para pendirinya masing-masing. Kurikulum yang berkembang belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan masa depan bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan umum, ketrampilan dan teknologi sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara maju.
Ketiga, pengelola lembaga pendidikan Islam tradisional idealnya terbebas dari kepentingan politik tertentu. Pada masa pasca kemerdekaan lingkungan pendidikan dirasakan tidak kondusif untuk perbaikan sistem pendidikan Islam tradisional. Sebagian para tokoh pendidikan Islam ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai politik yang melelahkan. Kompetisi antar partai politik untuk memperebutkan kekuasaan yang tidak sehat terus terjadi sepanjang tahun. Pertentangan antar partai Islam, Nasionalis dan Komunis seperti tak pernah berhenti. Bahkan, kemudian pertentangan antar partai Islam juga tidak dapat dihindari. Meski secara organisatoris GUPPI bersifat Independen, tidak berafiliasi pasa salah satu partai politik, tetapi karena sebagian dari para pengurus GUPPI secara individual terlibat kesibukan pengurus atau aktivis partai politik, menyebabkan idealisme GUPPI untuk menyumbangkan, pemikiran, gagasan perbaikan pendidikan Islam belum bisa berjalan dengan baik. Kondisi semacam ini terus berlangsung hingga lahirnya Orde Baru.
C. Revitalisasi Idealisme Pendidikan
Awal revitalisasi idealisme GUPPI nampak mencuat secara dramatis di Era Orde Baru, yakni pada tahun 1968, ketika GUPII bergabung dengan gerakan partai politik pada masa itu. Sebagian para pengurus GUPPI mampu menangkap peluang, yang kemudian melakukan manouver politik ketika di selenggarakan Muktamar I di Malang. Organisasi GUPPI yang semula bersifat independen menjadi organisasi yang berafiliasi dengan partai Golkar, sebuah partai yang didukung oleh partai penguasa. Salah satu pertimbangan penting mengapa GUPPI masuk berafiliasi dengan Golkar adalah karena organisasi GUPPI pada masa itu tidak memiliki dana dan fasilitas yang memadai untuk menggerakkan organisasi. Pertimbangan lain adalah untuk memperluas akses para fungsionarisnya terlibat dalam pengambilan keputusan dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan harapan sebagian para pengurusnya, setelah GUPPI masuk dalam lingkaran partai yang berkuasa, GUPPI dapat berkembang pesat secara nasional dan mereka memiliki akses yang mudah untuk terlibat dalam berbagai keputusan penting di bidang usaha perbaikan pendidikan Islam tradisional. Hal ini dapat terjadi, karena fungsionaris GUPPI berada dalam jajaran birokrasi dan lembaga negara yang strategis. Revitalisasi GUPPI berlangsung hingga Muktamar II, tahun 1971 di Jakarta, Muktamar III, tahun 1975 di Pandaan Jawa Timur, Muktamar IV tahun 1980, di Jakarta, Muktamar V tahun 1986 di Jakarta, Muktamar VI, tahun 1992 di Pondokgede Jakarta. Revitalisasi GUPPI ini berlangsung bersamaan dengan masa kejayaan partai Golkar di masa Orde Baru.
Revitalisasi idealisme GUPPI melalui jalur partai politik memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikanIslam. Berbagai kontribusi penting GUPPI dalam dunia pendidikan Islam yang tercatat dalam sejarah GUPPI adalah adanya pemikiran-pemikiran, gagasan dan konsep para fungsionaris GUPPI untuk memodernisasi lembaga pendidikan Islam tradisional dengan pengembangan kurikulum pesantren pada bidang ketrampilan kerja dan life skill serta penguatan sarana dan prasarana pesantren, yang mulai mengalir tahun 1970 an. Para fungsionaris GUPPI, khususnya yang tergabung dalam birokrasi dan partai politik juga ikut memberikan kontribusi terhadap lahirnya konsep modernisasi madrasah, yang semula madrasah hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama Islam menjadi lembaga pendidikan tradisional yang setara dan sama dengan sekolah umum. Para fungsionaris GUPPI juga tercatat ikut memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah, dan ikut mendorong lahirnya Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989. Melalui Undang-Undang ini lembaga pendidikan Islam tradisional madrasah menjadi makin moderen dan telah ditempatkan sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan nasional. Selain itu, pada masa kejayaan Orde Baru, GUPPI di berbagai daerah mampu memanfaatkan peluang adanya akses yang baik untuk membangun lembaga pendidikan GUPPI, seperti madrasah, sekolah maupun pesantren. Jumlah lembaga pendidikan GUPPI pada masa itu tergolong besar, mungkin jumlahnya mencapai ratusan satuan pendidikan, terutama di Jawa, Sulawesi dan Lampung. Tentu bisa dipahami, adanya kemudahan akses GUPPI di Era Orde Baru ini karena para pengurus GUPPI berada pada pusat kekuasaan yang strategis di berbagai lembaga-lembaga negara. Anti klimax existensi masa revitalisasi GUPPI nampak pada masa tamar ke VI, tahun 1992 di Pondok Gede Jakarta. Pada awal tahun 1990an ini pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai tahun menyongsong Era Tinggal Landas, memasuki fase kebangkitan ke 2 pembanguanan bangsa Indonesia menuju masyarakat Industri yang dicita-citakan. Berbagai rencana dan program pembangunan telah dipersiapkan dan di implementasikan, termasuk program-program pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi di masa era tinggal landas itu kekuasaan Orde Baru mulai tergoyang dan akhirnya ketika krisis moneter dunia menyentuh negara Indonesia, berakibat juga pada munculnya krisis politik yang pada giliran berikutnya membawa runtuhnya pemerintah Orde Baru di pertengahan tahun 1998.
D. Tantangan baru
Bersamaan runtuhnya pemerintah Orde Baru dan lahirnya Era Reformasi, GUPPI mengalami stagnasi. Idealisme GUPPI untuk terus mengembangkan pendidikan Islam ikut mengalami stagnasi. Pada Muktamar GUPPI ke VII November tahun 1998, GUPPI melepaskan afiliasinya dari partai Golkar dan kembali ke khittahnya sebagai organisasi Independen sebagaimana awal mula organisasi ini didirikan ( Dalam sejarah GUPPI dan Peranannya, tahun 2011, dinyatakan bahwa GUPPI telah menyatakan Independen pada Muktamar ke VI tahun 1992). Pada Muktamar ke VII, tahun 1998, sebagai upaya membangun spirit baru, istilah Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) dirubah menjadi Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI). Pasca Muktamar VII hingga Muktamar ke VIII tahun 2005, dan Muktamar tahun 2011, GUPPI masih terus bergulat pada persoalan internal, mencari strategi yang tepat untuk bangkit kembali. Secara nasional GUPPI telah berada di luar kekuasaan birokrasi dan partai politik. Karena itu, GUPPI secara nasional nampak pada kondisi yang statis, terutama sejak turbulensi politik era reformasi yang menempatkan posisi GUPPI yang tidak menguntungkan.
Tentu mudah dipahami, salah satu faktor utama yang menyebabkan statisnya GUPPI adalah tertutupnya akses sumber dana organisasi GUPPI sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru. Bahkan hingga kini, yang terjadi di berbagai daerah adalah semakin menyusutnya aset-aset GUPPI , karena sebagian aset seperti tanah milik GUPPI telah berubah menjadi milik pribadi. Para pengurus di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah nampak kurang bergairah, meskipun sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang potensial dalam berorganisasi. Kepengurusan GUPPI di di berbagai daerah juga tidak mampu melakukan regenerasi. Setelah satu persatu pimpinan daerah GUPPI gugur, tiada yang mau dan mampu mengganti. Hal ini karena dalam model pembinaan GUPPI tidak ada sistem kaderisasi yang memadai. Berbagai daerah di tingkat propinsi, kotamadya dan kabupaten GUPPI nampak tidak mampu lagi melakukan koordinasi kepengurusan dan menyelenggarakan Musyawarah Daerah (MUSDA) sesuai aturan organisasi, terutama karena sebagian besar para pemimpin intinya sudah tiada. Yang terjadi adalah koordinasi organisasi cenderung hanya terjadi pada lapisan beberapa pengurus inti, yang memang memiliki hubungan-hubungan pribadi. Hanya sebagian kecil GUPPI di daerah yang masih exis dan memiliki kekuatan. Hal ini karena sebagian dari mereka masih memiliki pengurus inti yang kompeten. Sebagian lain, pengurus GUPPI di daerah telah memiliki lembaga pendidikan yang bernama GUPPI. Kegiatan-kegiatan pengurus GUPPI di berbagai daerah yang masih relatif jalan adalah kegiatan silaturahim antar pengurus. Saya pikir inilah tantangan internal nyata yang dihadapi GUPPI secara nasional hingga dewasa ini. Tentu terdapat faktor-faktor lain yang ikut menyumbang melemahnya GUPPI di berbagai daerah. Selain kurangnya tenaga pengurus yang fokus, tenaga pengurus yang ada juga memiliki kesibukan-kesibukan lain yang dirasakan lebih prioritas.
Namun pada era reformasi ini, di bidang pengembangan sistem pendidikan Islam tradisional sebagaimana di cita-citakan para pendiri GUPPI pada tahun 1950an,secara konseptual telah tercapai, meskipun belum sepenuhnya memadai. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, status lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan Pesantren telah diakui sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan nasional. . Existensi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, serta madrasah semakin diakui, dilindungi dan diperkuat secara explisit dalam undang-undang, dan di dalam peraturan pemerintah serta dalam peraturan Menteri Agama. Di antara isi penting dari peraturan perundangan tersebut adalah menempatkan lembaga pendidikan madrasah sama dengan lembaga pendidikan sekolah. Selain itu, lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren dan madrasah diniyah juga diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendiodikan nasional, yang harus di kembangkan. Lebih dari itu, pendidikan agama di sekolah umum semakin diperkuat mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Dalam kaitan ini ditegaskan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama dan di ajarkan oleh guru yang seagama dengan peserta didik. Secara implisit, makna pasal ini mencegah terjadinya upaya konversi agama yang sistematis melalui dunia pendidikan.
Peneguhan dari pasal-pasal yang mengatur pendidikan agama ini diperkuat dengan lahirnya PP no 55 tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, kemudian di tindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Agama nomor 16 tahun 2010, tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di sekolah. Selain itu dalam sistem pendidikan nasional, lembaga pendidikan swasta telah benar-benar disetarakan dengan lembaga pendidikan negeri. Atas dasar inilah, kemudian lembaga pendidikan Islam seperti madrasah swasta dan pesantren, serta lembaga pendidikan formal maupun non formal GUPPI di berbagai daerah mendapatkan dukungan bantuan finansial untuk biaya operasional sekolah dan bantuan fasilitas sarana pendidikan secara insidental dari pemerintah. Hanya persoalannya adalah bahwa secara umum penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan, serta madrasah hingga kini kualitasnya dinilai belum maksimal, kecuali beberapa madrasah yang menjadui unggulan. Di antara alasannya adalah:
Pertama, pendidikan agama di sekolah belum sesuai dengan harapan sebagian orang tua. Pendidikan agama di sekolah masih dipandang oleh sebagian pengamat sangat kognitif oriented. Sikap dan prilaku serta pengamalan ibadah ritual bagi para peserta didik di sekolah belum menggembirakan. Selain itu kasus-kasus penyalah gunaan narkoba, kriminalitas, kekerasan, radikalisme dan prilaku a moral masih marak dalam dunia pelajar. Saya pikir inilah tantangan besar dunia pendidikan yang perlu memperoleh perhatian serius dari berbagai pihak. Kedua, kualitas pendidikan di lingkungan madrasah dan pesantren khususnya yang terkait dengan kompetensi bidang ketrampilan, science dan matematika serta bahasa internasional secara umum masih tertinggal, kecuali pada beberapa madrasah negeri unggulan di nilai sudah mencapai prestasi yang menggembirakan. Ketiga, pendidikan agama pada sebagian sekolah swasta tertentu belum menyelenggarakan pendidikan agama sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas, nomor 20 tahun 2003, PP nomor 55 tahun 2007 dan Peraturan Menteri Agama nomor 16 tahun 2010. Dari hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan masih ditemui berbagai sekolah yang dikelola oleh kelompok masyarakat tertentu tidak mengajarkan pendidikan agama kepada siswa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan oleh sebagian pihak lembaga pendidikan swasta tersebut dipandang sebagai bagian dari misi keagamaan terselubung dan sistematis untuk mendangkalkan keimanan penganut agama lain atau mengkonversi keyakinan agama peserta didik sesuai dengan misi sekolah tersebut.Bekasi,3 Maret 2013
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yuyu Center - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger