Minggu, 13/10/2013
http://padangekspres.co.id
Padang, Padek—Banyak kritikan dari masyarakat bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) belum efektif. PAI sekarang masih dianggap nomor dua. PAI dinilai belum berkembang, buktinya masih banyak perilaku menyimpang yang terjadi di tengah masyarakat. Mulai dari tawuran pelajar sampai saling membunuh.
Padang, Padek—Banyak kritikan dari masyarakat bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) belum efektif. PAI sekarang masih dianggap nomor dua. PAI dinilai belum berkembang, buktinya masih banyak perilaku menyimpang yang terjadi di tengah masyarakat. Mulai dari tawuran pelajar sampai saling membunuh.
”Yang membunuh orang muslim dan yang terbunuh juga orang muslim. Waktu di penjara, pelaku ini pernah kita tanyai. Apakah kamu menyesal? Tidak katanya. Justru dia puas telah membunuh mereka,” kata Kepala Subdit PAI pada SMP Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, Dr Ni Fasri Muh, menuturkan sekilas permasalahan dihadapi PAI saat menjadi narasumber pada seminar nasional penguatan profesionalisme alumni pendidikan agama Islam dan sosialisasi pendidikan profesi guru, di Hotel Pangeran Beach Padang, kemarin (12/10).
Acara ini merupakan rangkaian temu akbar alumni dalam rangka Milad Emas 50 tahun Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang. Selain Ni Fasri Muh, seminar ini juga menghadirkan tiga pembicara lain yang juga alumni dari Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang yakni Kadivre Riau Pos Padang Sutan Zaili Asril, Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof Farid Wajdi Ibrahim, dan Prof Syafruddin Nurdin salah seorang guru besar di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.
Belum lagi perilaku menyimpang lainnya, seperti degradasi akhlak, premanisme dan anarkisme, ekslusivisme keagamaan, kecenderungan sikap intoleran, lemahnya kerukunan hidup beragama, dan pelajar terlibat narkoba. ”Dan itu sebagian besar dilakukan oleh umat Islam. Kita lihat ke atas-para politisi dan pejabat kita yang banyak masuk penjara yang lulusan pendidikan agama,” terangnya.
Dia mengingatkan bahaya besar jika saja pendidikan agama ini tidak menjadi perhatian bersama. ”Kalau pendidikan agama ini tidak kita perbaiki ke depan, maka bangsa kita akan hancur,” tuturnya.
Kondisi ini sekaligus menjadi tantangan bagi Fakultas Tarbiyah. ”Kalau guru agama saja tidak berkualitas, yang mendidik gurunya apa?” kritiknya.
Karena persolan itu, menurut Ni Fasri Muh, PAI dianggap belum efektif karena selama ini gurunya belum bermutu. Bukan saja faktor itu, tapi banyak lagi faktor lain yang menyebabkan PAI belum efektif melahirkan guru-guru agama yang berkualitas karena memang selama ini pemerintah menganggap PAI sebelah mata.
Ada tiga faktor penting menyebabkan PAI belum efektif. Pertama faktor internal. Faktor ini dipengaruhi oleh kualifikasi guru pendidikan agama yang relatif masih lemah, banyaknya guru agama yang belum sarjana dan penguasaan kompetensi guru PAI belum terlaksana.
Kedua, faktor institusional. Faktor ini dipengaruhi sarana dan prasarana untuk PAI yang masih sangat kurang. Seperti contoh sekolah minim sarana ibadah dan praktik ibadah. Kemudian kurikulum PAI selalu berubah-ubah dan membebani guru, sehingga guru tak bisa membuat silabus.
Terakhir, faktor eksternal. Faktor ini dipengaruhi faktor orangtua yang banyak tidak peduli dengan pendidikan agama anaknya. Ditambah pengaruh teknologi dan informasi yang menyebabkan anak-anak lebih senang bermain dibanding belajar agama.
Beranjak dari kondisi keterkinian di atas, diakui Ni Fasri Muh, Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam Kemenag berupaya meningkatkan kualifikasi dan kompetensi serta sarana dan prasarana di sekolah.
Terkait kompetensi, Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam Kemenag katanya memberikan beasiswa untuk guru PAI yang bertitel sarjana S1 dan S2. Ada sekitar 5.300 guru di seluruh Indonesia mendapatkan beasiswa tersebut.
”Tahun ini kami ajukan juga program beasiswa S1 tambahan. Silakan, ajukan data ke kami,” katanya. Di samping itu, tahun ini juga dianggarkan dana sebesar Rp 52 miliar oleh Kementerian Agama untuk program peningkatan kompetensi untuk guru PAI.
Sementara Sutan Zaili Asril melihat dari persepektif lain mengapa PAI belum efektif selama ini. Wartawan senior ini mengatakan, belum efektifnya PAI disebabkan tidak jelasnya kedudukan PAI di dalam sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Penanganan atau pengelolaan kebijakan penyelenggaran pendidikan nasional selama ini tidak jelas-ambivalen dengan sistem konvensional. ”Masalah kita kesulitan merumuskan orientasi pendidikan Islam di pendidikan nasional kita,” tegas putra kelahiran Kiambang itu.
Buktinya selama ini belum ada indikator yang menjadi ukuran seorang jadi guru atau dosen agama Islam. ”Karena itu ke depan perlu ada indikator yang jelas untuk mengukur seorang itu jadi guru atau dosen agama Islam,” terang Zaili.
Ditambah lagi selama ini belum ada sumbangsih besar dari sarjana agama islam terhadap sistem pendidikan nasional. ”Sarjana Islam lebih banyak mengomel dan tidak kooperatif. Mestinya diminta ataupun tidak diminta harus ada dari pendidikan Islam ini menyumbang pemikirannya bagi pendidikan nasional,” katanya.
Zaili memberi contoh ringan. Misalnya para sarjana agama Islam ini membuat suatu simposium. Melalui simposium itu kemudian dihimpunlah pemikiran-pemikiran mereka untuk kemudian disampaikan sebagai masukan dalam sisdiknas kita. ”Ini mesti dilakukan, tanpa harus diminta dulu,” paparnya. Dia menambahkan, bicara soal profesionalisme, harus ada indikator dan standar yang jelas seperti apa penguatan profesionalisme alumni PAI tersebut.
Prof, Syafruddin Nurdin mengemukakan sejumlah kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman melalui analisa SWOT terhadap alumni PAI. Untuk kekuatan alumni, lulusan IAIN Imam Bonjol contohnya, telah memiliki regulasi, sertifikat pendidik dan organisasi profesi. ”Kita sudah berupaya melahirkan lulusan Fakultas Tarbiyah yang dibutuhkan lapangan,” katanya.
Sedangkan Farid Wajdi Ibrahim mengamini kata Zaili Asril. Ketidakjelasan PAI dalam sisdiknas membuat keberadaan PAI selama ini tidak efektif. ”Yang masuk IAIN banyak yang dari sekolah umum. Kemampuan agama mereka rata-rata masih lemah. Inilah peran kita dari IAIN bagaimana nanti output dari lulusan IAIN ini berdayaguna terutama kemampuan PAI nya,” kata Ketua Umum PP HSPAI.
Pada kesempatan itu Farid juga melantik Pengurus Daerah HSPAI Sumbar periode 2013-2018. Dia mengajak pengurus HSPAI bekerja luar biasa. ”Zaman sekarang harus bekerja luar biasa, tidak bisa biasa-biasa,” katanya.
Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, Prof Duski Samad mengatakan di usia yang ke-50, Fakultas Tarbiyah telah melahirkan lebih dari 30 ribu alumni. Alumni tersebut berasal dari latar belakang profesi berbeda. ”Alumni Fakultas Tarbiyah sudah berkiprah di berbagai tempat. Salah satunya Sutan Zaili Asril. Saya tidak berpikir dia (Zaili Asril, red)-adik kelas saya jadi wartawan dan kini menguasai Padang Ekspres Group,” ungkap Rektor IAIN Imam Bonjol Padang Prof Makmur Syarif.
Pada peringatan 50 tahun Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang itu, juga dilakukan pemilihan pengurus ikatan alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Sutan Zaili Asril dipercaya sebagai ketua umum, didampingi Yulizal Yunus dan Abbas Jusad sebagai Ketua I dan Ketua II. Sementara, sekretaris umum dipercayakan kepada Artin Arjun, dibantu Muhammad Kosim, Jon Misfar, dan Muhammad Zalnur, sebagai sekretaris I, II, dan III. Sedangkan yang menjabat bendahara adalah Mimi Suharti dengan wakil Gusti Murni.
Posting Komentar