Oleh Yulizal Yunus
Publikasi Sku. Haluan dan Suluh, Minggu, 29 Desember 2013
Berbagai fenomena sosial budaya terakhir yang berwujud perilaku yang menggugat marwah subkultur dan martabat orang Minang, memberikan petunjuk pentingnya peningkatan peran ninik mamak dalam penerapan filosofi ABS – SBK (filosofi adat basandi syara’ – syara’ basandi Kitabullah). Fenomena sosial itu, mulai dari prilaku kelembagaan adat sendiri dalam pemberiaan gelar yang tidak sesuai dengan nilai filosofi Minang itu dan terkesan dalam fenomena itu “manjua gala”, juga perilaku anak kamanakan yang terjebak dalam perilaku yang memalukan dengan alasan jepitan kehidupan (ekonomi, rumah tangga dan gengsi sosial lainnya) seperti profesi peristiwa terkini tertangkapnya dua wanita penari striptis di tempat hiburan malam di Padang oleh Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang (27 Sept 2011), beredarnya video porno di kalangan pelajar di Minang serta penyakit masyarakat lainnya (miras, judi, pergaulan bebas dan perbuatan maksiat lainnya).
Kasus yang benar-benar menciderai marwah ranah dan martabat masyarakat subkultur Minangkabau yang mempunyai filosofi adat basandi syara’ – syara’ basandi Kitabullah (ABS-SBK) itu, Skh. Haluan menyebutnya “Minangkabau dalam Kemaksiatan”, mengandung nada marah media massa dan publik. Fenomena ini justru menunjukkan salah satu sisi bahwa orang Minang yang menganut norm ABS-SBK itu prilakunya sudah mengalami kritis.
Sebenarnya cideranya marwah ranah dan martabat orang Minang ini berakar dari rasa malu tidak lagi menjadi budaya (perilaku), dimungkinkan karena didera ekonomi dan kekecewaan rumah tangga disamping sikap mental dan pribadi lemah iman. Rasa malu yang tidak bertahan karena godaan ekonomi dan ancaman kekecewaan rumah tangga itu menandai iman lemah dan tidak lagi menjadi kendali kehidupan. Dalam syara’ (Islam) malu itu bagian dari iman. Iman yang kuat akan menjadi benteng mempertahankan rasa malu. Di dalam adat disebut: – apalagi arang tacoriang di kaniang – “malu tidak dapek diagiahkan” seperti juga “suku tak dapek diasak”. Artinya rasa malu bagi orang minang bagian dari identitas (Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Haluan Minggu, 9 Oktober 2011:3). Praktek yang memalukan tadi, tidak saja memalukan dirinya, tetapi juga semua kaum (anak kamanakan, mamak dan penghulu suku) dalam sukunya di Minangkabau. Sudah dapat dipastikan pada kondisi sosial anak kamanakan seperti ini, yang amat tergugat itu peran ninik mamak dalam limbago adatnya dalam penerapan ABS – SBK.
Perbuatan memalukan yang meski dilakukan kamanakan apalagi oleh mamak sendiri karena jebakan godaan “material”, yang paling bertanggung jawab adalah ninik mamak dalam limbago adatnya. Tetapi limbago adat dimaksud bukan KAN (Kerapatan Adat Nagari) dan atau LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang berada di garda terdepan, namun yang tergugat pertama itu adalah (1) limbago paruik yang mempunyai tunganai (mamak paruik/ lelaki tertua di paruiknya). Setelah limbago paruik adalah (2)limbago jurai (mamak di jurainya/ beberapa paruik), berikutnya (3) limbago suku (mamak suku beserta ninik mamak yang diketuai penghulu/ datuknya), berikutnya (5) limbago kampong (sentra suku), berikutnya limbago nagari (KAN), berikutnya limbago kecamatan, kabupaten dan provinsi (LKAAM).
Dalam penyelesaian kasus yang memalukan di Minang “bajanjang naik batanggo turun”. Karenanya yang bertanggung jawab pertama menyelesaikan kasus memalukan yang bertentangan dengan nilai ABS – SBK adalah ninik mamak di limbago paruik bertingkat ke atas yakni limbago jurai dan atau limbago suku dan atau limbago kampung. Tidak boleh penyelesaiannya langsung ke atas, karena ini bagian jug dari malu kaum pada setiap tingkatan limbago adat. Jangankan penyelesaian perbuatan memalukan itu langsung ke limbago nagari (KAN), apalagi ke lembaga adat kecamatan, kabupaten, provinsi ( LKAAM), sedangkan dilimpahkan langsung ke limbago kampung (mamak kampong basis suku) saja dengan melewati mufakat ninik mamak diparuik atau jurai, atau suku, fenomena penyelesaian seperti itu sudah berarti “mambao busuak ka langau/ kaum awak juo nan kamalu”, “manapiak ayia di dulang/ dado kaum awak juo nan kabasah”.
Tegasnya menyelesaikan perkara memalukan sepanjang adat dan syara’ ini di Minangkabau bertingkat, mulai dari limbago paruik, limbago jurai, limbago suku, limbago kampung, sampai limbago nagari, dan terlalu jauh ke LKAAM sebagai payung panji. LKAAM dimungkinkan boleh berperan, menyampaikan fatwa adat untuk melaksanakan Islam kepada mamak yang berbasis di limbago nagari (KAN), KAN menurunkan ke limbago kampung, limbago suku, limbago jurai dan limbago paruik. Eksekusinya pado mamak paruik dan atau jurai dan atau suku dan atau l;imbago kampung, yang undang dan hukum adatnya sudah ada, tinggal menerapkannya saja oleh mamak yang bersangkutan.
Persoalannya, kaum (kamanakan, mamak, ninik yang dipimpin penghulu/ datuk) apakah berdaya untuk melakukan itu atau tidak, masalah ini tidak berdiri sendiri. Kita dan pemerintah selalu berharap ninik mamak (semua lelaki Minang yang dewasa diketuai penghulu/ datuk), tetapi dirasakan sekarang, tidak berdaya. Di sinilah perlunya pemberdayaan ninik mamak sebagai bagian kegiatan penerapan ABS-SBK (seperti kegiatan Pemda Sumbar membekali ABS-SBK untuk ninik mamak 18-19 Oktober 2011 di Mariani Hotel), diikuti dengan fasilitasi dana pemda yang cukup, kalau tidak sebesar anggaran olah raga, setidaknya separohnya. Tetapi kita yakin, Gubernur Irwan Prayitno juga salah seorang Datuk/ penghulu di Padang, sekarang juga sudah sedang menghimpun indikator pengamalan ABS – SBK (perioritas tentangg prosesi tradisi, kelembagaan dan bangunan) untuk memacu gerakan terpadu agama dan ABS-SBK dan tahap awal sudah bertemu dengan unsur tali tigo sapilin untuk menghimpun pemikiran kearah penemuan indikatornya, 22 September 2011 lalu di Gubernuran. Pemberdayaan ninik mamak tadi sudah tentu berharap hasilnya adalah meningkat peran ninik mamak dalam penerapan ABS – SBK.
Kedudukan Ninik Mamak dan Pemerintahan Nagari Minang
Dari perspektif sosiologis, peranan dapat dimainkan ditopang tidak hal: (1) kedudukan/ status jelas dan kuat, (2) aktif melakukan kegiatan seperti kegiatan penerapan nilai-nilai ABS - SBK, (3) ada kharisma (karena kedudukan yang jelas dan aktif). Bagi ninik mamak juga demikian dalam peningkatan perananya di nagari sebagai salah satu unsur pemimpin di nagari dalam memimpin kamanakannya / masyarakat adat.
Pemimpin (leader) dalam perspeltif menejerial, adalah yang memiliki mampuan dan seni seorang dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok (yang dalam hal ini ninik mamak sebagai leader dan kamanakan yang dipimpin/ dikoordinasikan) dalam melaksanakan tupoksi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama dalam kaum (paruik, jurai atau suku). Karenanya kedudukan ninik mamak harus jelas dan kuat sebagai unsur pemimpin di nagari Minang.
Leader terkemuka di Nagari (desa Minang sekarang) pihak penyelenggara pemerintahan adalah Wali Nagari dan Bamus dan dari pihak subkultur (budaya khusus masyarakat) adat Minangkabau adalah ninik mamak nagari yang berbasis pada KAN (Kerapatan Adat Nagari). Trio (tiga) pemimpin nagari ini sebenarnya berpotensi mengambil posisi trias politika seperti yang ditunjukan dalam sejarah kepemimpinan di nagari Minang dahulu ketika pemerintahan nagari itu setangkut dengan pemerintahan adat. Pembagian kekuasaannya: (1) Wali Nagari sebagai kepala pemerintahan berfungsi eksekutif, (2) Bamus sebagai legislatif lembaga musyawarah pihak pemerintah bersama lembaga musyawarah pihak masyarakat adat KAN, sedangkan (3) KAN sendiri difungsikan kembali seperti KN (Kerapatan Nagari) dulu berfungsi sebagai lembaga yudikatif (lembaga penegak hukum) di nagari. Bamus dan KAN bisa-bisa saja seperti kabinet dua kamar di Australia yakni majeis rendah dan majelis tinggi.
Dari perspektif adat Minangkabau, posisi pemimpin di nagari Minang tadi adalah orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Tidak jauh jarak antara pemimpin dan yang dipimpin., Artinya pemimpin di Minang dekat dengan kaum (masyarakat) yang dipimpinnya.
Kepemimpinan di Minangkabau dari perspektif SDM adalah dijabat fungsionaris/ pimpinan/ pemangku adat yakni “urang nan ampek jinih” yakni (1) penghulu (tagak di pintu adat), (2) manti (tagak di pintu susah), (3) malin (m) tagak di pintu agama dan (4) dubalang/ hulu balang (tagak di pintu mati). Unsur malin diperkuat fungsionaris “urang jinih nan ampek” yakni (1) imam (mengimami kaum), (2) katik (memberi fatwa kaum), (3) bila (mengajak kaum ke jalan Allah) dan (4) qadhi (mengurus NTCR anak kapanakan). Sifat kepemimpinan Minangkabau mengidentifikasi sifat nabi saw yakni (1) siddiq (benar), (2) amanah (dipercaya), (3) fathanah (cerdas) dan (4) tabligh (sosialisasi/ mendidik). Sistem yang dipakai ada dua mekanisme (1) sistem kalarasan “koto piliang”, mekanismenya perintah tuntas (turun dari atas), karena protap birokrasinya bajanjang naik batanggo turun, dalam pengalaman Indonesia mirip demokrasi terpimpin di zaman orba dan demokrasi Pancasila masa orba, (2) sistim kalarasan bodi caniago, mekanismenya pertimbangan perintah timba (timbul dari bawah), karena protap birokrasinya adalah partisipatif (dari rakyat) sesuai dengan prinsip dasarnya “duduk samo randah tagak samo tinggi”, dalam pengalaman pemerintah demokrasi sosial (social democratic). Fiosofi kepemimpinan Minangkabau adalah abs-sbk (adat basandi syara’ – syara’ basandi Kitabullah) diemplementasikan dalam mekanisme sm-am (syara’ mangato – adat mamakai).
Secara terus menerus perlu perbaikan pelaksanaan adat Minangkabau dengan penerapan nilai-nilai filosofi ABS - SBK, sekaligus pengembangan kelembagaan dan perbaikan budaya (prilaku) orang adat yang tidak mencerminkan prilaku beradat. Ninik mamak diharapkan gigih dan konsen dengan pelaksanaan adat Minang. Artinya dilakukan dengan benar penerapan nilia-nilai filosofi ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ - Syara’ Basandi Kitabullah) yang dioperasionalkan dengan Syara’ Mangato Adat Mamakai (SM – AM) dan ATJG (Alam Takambang Jadi Guru).
Masyarakat Minang masih antusias dalam perbaikan pelaksanaan adat. Ulama dan ninik mamak sudah memfatwakan dan meminta nilai sayra’ dilaksanakan dengan adat. Cadiak pandai sudah banyak meneliti, masih dominant merekomendasikan ABS – SBK dilaksanakan. Masyarakat dan berbagai pakar dalam tausiah budaya umumnya terutama budaya lokal termasuk adat, sudah tersebar lewat berbagai tulisan yang dimuat di berbagai media. Lembaga pucuk adapt: LKAAM dan Bundokandung juga serius melaksanakan cita-cita penerapan ABS – SBK. Bundokandung tahun 2006 membentuk timinti merumuskan butir-butir pelaksanaan ABS – SBK dengan mengambil angka keramat kenegaraan RI yakni 45 butir. Keseluruhan 45 butir ABS-SBK itu disepakati, terjabar dalam 6 Bidang yakni (1) Bidang Sosial 12 butir, (2) Bidang Pendidikan 6 butir, (3) Bidang Ekonomi 8 butir, (4) Bidang Politik 4 butir, (5) Bidang Hukum 9 butir dan (6) Bidang Kesenian 5 butir. Khusus bidang seni tercakup pada indikator: (1) pengertian dan batasan kesenian, (2) etika dan estetika dalam kesenian, (3) bentuk-bentuk kesenian; rupa (arsitektur, seni ukir, lukisan), gerak (tari, pencak silat, drama/film), suara (instrumental, vokal, deendang saluang, nyanyian), (4) kesusasteraan, (5) pekerja seni, (6) masyarakat penikmat seni dan (7) sarana/prasarana kesenian. Ketuju perinsip ini diarahkan Wisran bersama tim pada tiga sasaran (1) seni dengan substansi estetika (rasa keindahan) tidak boleh sama sekali terlepas dari etika. Sesuatu yang indah harus mengandung nilai etika. (Nan indah budi, nan elok baso), (2) masyarakat Minangkabau harus menolak estetika, erotika dan pleasure yang berlawanan dengan etika moral, dan (3) estetika dan etika harus takluk kepada nilai-nilai ke-Islam-an yang dilaksanakan adat budaya local Minang.
Demikian pula LKAAM Sumatera Barat menulis buku pedoman pelaksanaan ABS – SBK dari perspektif prilaku yang bersumber dari Islam (akhlaq karimah), nilai adapt Minang sendiri, nilai luhur bangsa yang tertuang dalam filosofi Pancasila. LKAAM yang timnya di ketuai Ketua Umum LKAAM Sayuti Dt. Rajo Penghulu, dengan tim Yulisal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Prof. Dr. Ramayulis, Tunku Bagindo Mohd. Leter dll, mengambil angka keramat Islam yakni angka 99 asma’ulhusna.
Justru pelaksanaan ABS – SBK dalam berbagai aspek kehidupan (sosial, ekonomi, politik, pendidikan/ iptek, filsafat hidup masyarakat, religi, termasuk seni) dipandang sudah seharusnya tersosialisasi sebagai manifestasi dari pemahaman yang kuat terhadap Minangkabau dan sistem adat sebagai pelaksanaan syara’ (Islam) bersumber dari Kitabullah. Secara substansial adat meliputi segala bentuk sistim yang mengatur prilaku dan tatanan kehidupan bermasyarakat yang ideal dan yang dicita-citakan atau yang ingin dicapai seluruh masyarakat Minangkabau. Syara’ dipahamkan dengan substansi ajaran Islam termasuk hukum-hukum Islam yang melandasi idealisme dan cita-cita seluruh masyarakat Minangkabau. Sedangkan pemahaman kitabullah itu pada perinsipnya adalah al-Qur’anulkarim, kitab suci yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dan dijelaskna maksudnya oleh hadis Nabi saw.
Dalam rumusan butir ABS-SBK oleh Bundokandung dan LKAAM, tergambar fungsi yang kuat sebagai filosofi dan pedoman dasar kehidupan masyarakat Minangkabau dan hanya ditujukan kepada masyarakat yang menganut budaya termasuk sistem adat Minangkabau. ABS-SBK disosialisasikannya sebagai konsensus dan kesepakatan masyarakat Minangkabau sejak lama tanpa memperbincangkan lagi tentang bila, di mana dan bagaimana ABS-SBK tersebut terjadinya. Butir implementasi ABS-SBK dan penjelasannya dalam pembetukan prilaku, sikap dan perbuatan orang Minang adalah sebagai point-point ABS-SBK yang harus dilaksanakan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Minangkabau dan menjadi prilaku dalam amal perbuatannya. Nilai filosofi ABS – SBK itu merupakan pelaksanaan dari syara’ (SM – AM / Syara’ Mangato Adat Mamakai) terutama aspek akidah dan syari’at, bersumber dari Kitabullah. Dalam pelaksanaan syara’ oleh adat itu mengeksplisitkan terhimpun dalam emapat nilai yakni sopan, santun, budi dan baso. Keempat nilai itu dilaksanakan dalam seluruh aspek kehidupan yang oleh Bundo Kandung dirumuskan dalam 6 AKM (Aspek Kehidupan Masyarakat) yakni: Sosial, Ekonomi, Pendidikan, Politik, Hukum dan Kesenian. Kesemuan aspek ini dalam pelaksanaannya dituntun oleh 45 butir ABS – SBK seperti yang dirumuskan Bundokandung.
Nilai-nilai filosofi ABS – SBK ini menjadi bagian tanggung jawab ninik mamak dan dipasilitasi oleh pemerintah dalam menerapkannya pada masyarakat adat dimulai dari anak kamanakan di paruik, jurai, di suku, di kampung dan di nagari. Pensosialisasian nilai ini diperkaya oleh lembaga adat LKAAM dari Provinsi hingga kecamatan dengan memerintahkan fatwa adat ini kepada masyarakat adat oleh ninik mamak di nagari yang berbasis pada KAN. Tentu saja kedudukan KAN dan LKAAM itu harus kuat dalam mengemban peranan sesuai fungsinya dalam menerapkan nilai filosofi ABS – SBK ini.
Posting Komentar